Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (18): Kisah hidup Jaka Tingkir muda

 Ganti cerita, tersebutlah negeri bernama Pengging yang dipimpin oleh Ki Ageng Pengging. Ki Ageng Pengging adalah keturunan dari Adipati Handayaningrat. Sejak dulu Pengging adalah sebuah kadipaten, sejak masa negeri Pajajaran hingga zaman Majapahit. Wilayahnya membentang di sebelah barat gunung Lawu. Walau hanya sebuah kadipaten Pengging dipimpin oleh para pemimpin yang kuat dan perkasa. Para adipati dari lain daerah segan dan takut kepada Pengging. Oleh karena itu Raja Majapahit Prabu Brawijaya sangat memanjakan penguasa Pengging waktu itu, yakni Adipati Handayaningrat. Sang adipati diberi salah satu putri Prabu Brawijaya sebagai istri. Dari hasil pernikahan tersebut lahir dua putra. Yang tertua bernama Kebokanigara dan yang muda bernama Kebokenanga.

Ketika negeri Majapahit sirna dan digantikan Demak negeri Pengging ikut runtuh. Adipati Handayaningrat telah mangkat, sementara kedua putra mengambil jalan yang berbeda. Putra tertua Kebokanigara tidak mau masuk Islam dan kemudian memilih bertapa di gunung. Setelah tua Kebokanigara menjadi seorang ajar dan mati dalam keadaan kafir. Sedangkan sang adik Kebokenanga memilih masuk Islam dan menjadi murid dari Syekh Siti Jenar. Kebokenanga berguru bersama tiga murid Syekh Siti Jenar lainnya, yakni; Ki Ageng Adipurwa di Tingkir, Ki Ageng Erang dan Ki Ageng Butuh.

Di antara keempat murid tersebut yang menjadi tetua murid adalah Ki Ageng Adipurwa di Tingkir. Kemudian secara urut murid yang lebih muda adalah Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Erang. Keempat murid sudah berdiri sendiri di tempat masing-masing serta mendirikan shalat Jum’at. Para penduduk sekitar pun sudah mengikuti agama Rasul. Apalagi di Pengging bekas negeri besar maka Ki Ageng Pengging pun segera mendapat pengikut yang banyak. Masjidnya selalu penuh oleh jamaah, sampai berdesakan oleh jamaah lelaki maupun perempuan.

Sementara itu negeri Demak yang sudah menggantikan Majapahit sebagai penguasa tanah Jawa kian hari kian menjadi negeri besar. Sudah masyhur di seluruh nusantara bahwa ada raja baru muslim yang didukung para wali. Sang Raja menata negeri dengan penuh keadilan berdasar syariat Nabi. Sang Raja Demak sudah mendengar bahwa negeri Pengging di bawah pimpinan keturunan Adipati Handayaningrat sudah ikut serta mengamalkan syariat Nabi. Yang masih mengganjal di hati, hingga saat ini pemimpin Pengging belum pernah sekalipun menghadap ke Demak. Seharusnya sebagai penguasa di Jawa setelah runtuhnya Majapahit negeri-negeri Islam bersatu di bawah panji kesultanan Demak.

Menghadapi keadaan seperti itu Raja Demak lalu mengutus sesepuh kerajaan, Ki Ageng Wanapala untuk mendatangi negeri Pengging. Pembesar Demak itu disertai beberapa pesan yang harus dipatuhi.

Singkat cerita utusan Demak Ki Ageng Wanapala sudah sampai di Pengging dan berhasil menemui Ki Ageng Kebokenanga. Keduanya lalu terlibat dalam pembicaraan yang penuh isyarat. Ki Ageng Wanapala tidak samar lagi dengan maksud Ki Ageng Kebokenanga. Setelah selesai bicara Ki Ageng Wanapala kembali ke Demak untuk melapor. Dalam laporannya Ki Ageng menyatakan bahwa memang ada maksud tersembunyi dari Ki Ageng Pengging, akan tetapi Ki Ageng Wanapala sudah memberi tempo agar dalam waktu dua tahun Ki Ageng Pengging menghadap ke Demak. Oleh karena itu dimohon paduka Raja Demak bersabar. Karena selain masih saudara, selayaknya seorang raja harus penuh ampunan kepada bawahan yang berulah. Demikian laporan Ki Ageng Wanapala.

Sementara itu di Pengging, sepulang utusan dari Demak Ki Ageng Adipurwa Tingkir mendengar kalau Ki Ageng Pengging baru saja kedatangan tamu dari Demak. Ki Ageng Tingkir segera mengunjungi saudara muda seperguruannya itu. Di saat yang bersamaan seolah sudah saling berjanji, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Erang juga datang. Ki Ageng Pengging sangat suka kedatangan kakak dan dua adik seperguruannya.

Ki Ageng Adipurwa di Tingkir bertanya, “Mengapa Dinda dipanggil tidak menghadap ke Demak? Sungguh durhaka berani melawan kehendak raja.”

Sang adik tersenyum dan berkata, “Saya hanya orang yang membangun dukuh kecil, dan warga sekitar juga tidak ada yang ingin saya menghadap raja.”

Ki Ageng Adipurwa berkara seru, “Jangan begitu Dinda. Raja itu khalifatullah, imam bagi kaum muslim di tanah Jawa. Segala kehendaknya wajib dituruti. Kelak kalau datang utusan lagi engkau berangkatlah. Aku yang akan mengantarmu. Mustahil aku tega kepadamu Dinda. Kedua adikmu juga akan ikut mengantar engkau menghadap panglima besar Jimbun Panembahan Palembang. Karena engkau sebenarnya masih keponakan Raden Patah itu, barangkali dia masih teringat padamu.”

Ki Ageng Pengging berkata dingin, “Sudah menjadi raja mosok masih ingat?”

Keempat saudara seperguruan melanjutkan perbincangan mereka, bahkan karena sudah saling kangen mereka menginap di tempat Ki Ageng Pengging selama sepuluh hari. Setiap malam mereka menggelar acara wayang dengan menampilkan wayang beber. Ceritanya Panji Susupan di negeri Kediri yang berganti  nama menjadi Dewa Katon. Keempat ki ageng rupaya sedang menggelar pengetahuan yang rumit dalam pagelaran wayang tersebut.

Ketika itu istri Ki Ageng Pengging sedang hamil tua. Pada malam hari Nyai Ageng melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Di saat yang bersamaan dengan kelahiran bayi ada pelangi yang seolah menyedot air dari langit. Seketika turun hujan rintik-rintik. Pagelaran wayang disuruh untuk berhenti. Setelah hujan reda si bayi diberikan kepada sang uwak Ki Ageng Tingkir. Ki Ageng Tingkir memangku bayi itu sambil berkata kepada Ki Ageng Pengging.

“Wahai Dinda, anakmu ini kelewat tampan. Aku beri nama dia Karebet karena di saat dia lahir sedang ada pagelaran wayang beber.”

Semua sepakat dengan nama yang diberikan oleh sang uwak, bayi itu kemudian dipanggil Mas Karebet. Setelah sepuluh hari Ki Ageng Tingkir bersaudara meminta pamit kepada Ki Ageng Pengging.

Alkisah, sepulang dari Pengging Ki Ageng Tingkir tidak lama kemudian meninggal dunia. Selama sepekan Ki Ageng Pengging takziyah di rumah Ki Ageng Tingkir. Ki Ageng sangat bersedih ditinggal mati saudara tua. Hatinya patah seolah hendak ingin segera menyusul sang kakak ke alam baka.

Hari demi hari berlalu, waktu dua tahun yang diberikan Ki Ageng Wanapala sudah terlewat. Ki Ageng Pengging abai dan tak pernah beripikir untuk menghadap ke Demak. Apalagi sejak meninggalnya Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging lebih fokus beribadah dan tidak sempat memikirkan urusan kekuasaan.

Sementara di Demak Raja Demak sungguh mengharap kedatangan Ki Ageng Pengging. Namun yang ditunggu tak juga muncul. Sang Raja marah dan menjatuhkan hukuman. Yang diutus melaksanakan tugas adalah Kangjeng Sunan Kudus.

Sunan Kudus berangkat dengan membawa tujuh sahabat dan satu bende bernama Ki Macan. Bende Ki Macan asalnya dari Terung. Semula milik mertua Sunan Kudus, yakni Adipati Terung. Sepanjang jalan Sunan Kudus membuat banyak petilasan nama desa-desa seperti Buthak, Pepe, Sima, Aru-Aru, Jimbungan dan Darana. Semua nama desa tersebut yang memberi Sunan Kudus.

Sesampai di Pengging Sunan Kudus mendapati Ki Ageng Pengging tetap kukuh tak mau menghadap ke Demak. Sunan Kudus menyampaikan kemarahan Raja Demak dan menerapkan hukuman. Ki Ageng Pengging sudah tewas. Para pengikut Ki Ageng hendak berbela mati melawan Sunan Kudus. Bende tanda perang dari pasukan Pengging ditabuh. Namun karena karamah Sunan Kudus pengikutnya yang hanya tujuh orang tampak seperti dua puluh ribu prajurit. Bende Ki Macan ditabuh, suaranya bergemuruh di langit. Orang Pengging takut tak berani melawan. Sunan Kudus lalu menyabetkan tongkatnya, seketika amarah warga Pengging reda. Perang bersenjata urung terjadi. Warga Pengging lalu kembali ke rumah Ki Ageng untuk mengurus pemakaman.

Seluruh warga Pengging merasa bersedih atas kematian Ki Ageng. Empat puluh hari kemudian Nyai Ageng Pengging ikut menyusul Ki Ageng ke alam baka. Mas Karebet menjadi yatim piatu. Para warga Pengging bergantian merawat semampu mereka. Bulan berganti bulan Mas Karebet tumbuh menjadi anak yang tampan. Lalu ada yang membawa Mas Karebet ke rumah Ki Ageng Tingkir. Karebet lalu dirawat oleh Nyai Ageng Tingkir yang sudah menjanda. Maka Karebet juga dipanggil dengan sebutan Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir mempunyai kebiasaan yang agak ganjil dibanding teman sebayanya. Kesukaannya adalah menyepi di gunung, jurang dan pinggir sungai. Sang ibu Nyai Ageng Tingkir sering merasa kehilangan karena Jaka Tingkir tak pulang berhari-hari. Akibat kegemarannya bertapa tersebut dan laku prihatin yang dia jalani Jaka Tingkir mendapat anugerah kesaktian yang unggul.

Nyai Ageng Tingkir pada suatu hari meminta agar Jaka Tingkir mengurangi kegemarannya bertapa tersebut. Nyai Ageng manasihati agar Jaka Tingkir berguru saja kepada guru yang mukmin. Untuk sementara Jaka Tingkir kemudian hanya tinggal di rumah. Namun karena dasarnya memang gemar bertapa, Jaka Tingkir lalu membuat gua di kebun Nyai Ageng dan bertapa di sana. Nyai Ageng yang melihat sangat prihatin, tetapi hanya bisa membantu dengan doa dan tirakat. Nyai Ageng pun mengikuti kebiasaan sang putra dengan hidup prihatin.

Pada suatu hari Jaka Tingkir berpamitan kepada Nyai Ageng hendak mencari guru mukmin seperti yang Nyai Ageng kehendaki. Nyai Ageng sangat bersukacita mendengar keinginan Jaka Tingkir.

Berkata Nyai Ageng, “Baiklah anakku, tetapi jangan lama-lama ibu engkau tinggalkan. Sering-seringlah pulang menengok ibu.”

Jaka Tingkir bersikeras pergi sendiri mencari guru, tidak mau ditemani. Perjalanan Jaka Tingkir menuju arah timur. Tempat pertama yang dituju adalah Serang. Setelah tujuh malam berhenti di Serang Jaka Tingkir melanjutkan perjalanan menuju arah timur laut dan sampailah di Sesela atau juga disebut Sela. Di Sesela Ki Jaka Tingkir berguru kepada Ki Ageng Sesela, cucu dari Ki Ageng Tarub Bondan Kajawan.

Ki Ageng Sesela atau sering pula disebut Ki Ageng Sela sangat terkesan dengan pemuda dari Tingkir tersebut. Pembawaan Jaka Tingkir yang halus dan wajahnya yang rupawan dengan segera membuat warga Sela jatuh hati. Ki Ageng Sela dan anak cucunya pun sangat mengasihi Jaka Tingkir. Sesuai pesan ibu, Jaka Tingkir setiap bulan pulang ke rumah untuk menengok ibundanya. Namun hanya tiga hari kemudian sudah balik lagi ke Sela. Di Sela Jaka Tingkir merasa kerasan seperti di rumah sendiri.

Ki Ageng Sela mempunyai kegemaran menanggap pertunjukkan wayang. Wayang gedhog, wayang krucil dan wayang purwa sering diberi kesempatan pentas di rumah Ki Ageng. Banyak dalang-dalang muda bermunculan atas dorongan Ki Ageng yang sangat menyukai wayang. Mas Karebet pemuda dari Tingkir pun tak ketinggalan ikut belajar. Oleh Ki Ageng bahkan dibelikan seperangkat wayang dan gamelannya. Sudah masyhur santri Ki Ageng Sela bernama Jaka Tingkir piawai mendalang seperti dalang sungguhan.

Ki Ageng Sela mempunyai kegemaran bertapa dan tidur di sawah sambil tirakat atau melakukan zikir di tempat sepi. Walau berpenampilan sebagai petani Ki Ageng tidak melupakan jatidirinya sebagai keturunan Prabu Brawijaya. Ki Ageng senantiasa memohon agar anak keturunannya juga mendapat anugerah dapat kembali menguasai tanah Jawa seperti leluhurnya. Maka tak aneh kalau Ki Ageng gemar laku tirakat dan hidup prihatin. Semua itu demi cita-cita besarnya.

Pada suatu ketika Ki Ageng selama tujuh malam bermalam di gubug tengah sawah sambil berzikir. Ki Jaka Tingkir tak ketinggalan menyertainya, berada di bawah kaki Ki Ageng tidur. Malam itu, malam Jum’at. Ki Ageng bermimpi sedang berada di hutan lebat sambil membawa kudhi hendak membabat hutan. Ketika Ki Ageng tiba di hutan ternyata Jaka Tingkir sudah berada di sana sambil mematahkan pohon dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang pucuk pohon dan merobohkannya. Dalam mimpi itu Ki Ageng sangat kaget sehingga sampai terbangun. Ki Ageng melihat Jaka Tingkir masih tertidur di bawah kakinya, lalu dibangunkan.

Ki Ageng berkata, “Cucuku, selama ini engkau tidur atau pergi-pergi ke mana?”

Jaka Tingkir menjawab, “Saya tidur di sini dari tadi Eyang.”

Ki Ageng tertegun, merasa bahwa mimpinya mengandung firasat yang belum pernah ia terima selama ini. Anak ini belum seberapa laku tirakatnya tetapi mendapat kemudahan yang lebih dariku. Begitu isyarat yang dibaca oleh Ki Ageng dari mimpinya itu.

Ki Ageng berkata, “Cucuku, nyalakan api. Mari kita berjaga di malam ini. Menurut kebiasaan orang Arab, malam Jum’at adalah malam yang baik untuk berjaga.”

Jaka Tingkir lalu membuat api unggun. Ki Ageng lalu mengeluarkan bekal makanan sebagai ganjal perut berupa ketan dan pule.

Ki Ageng kembali berkata, “Cucuku, sebelum engkau berada di Sela ini, apakah engkau pernah bermimpi? Mimpi apa saja yang engkau rasa berkesan.”

Jaka Tingkir berkata, “Benar, dahulu saya sering bepergian untuk bertapa. Pernah pula bertapa di gunung Telamaya, di timur laut Ngandong. Waktu saya ikut Ajar Adirasa. Saya bermimpi tertimpa bulan lalu bulan itu saya makan. Rasanya seperti gabus atau kenthos. Setelah bulan selesai saya makan terdengar getar seperti suara halilintar. Sejak itu saya tak pernah memberitakan mimpi itu kepada siapapun. Baru malam ini saya ceritakan kepada paduka.”

Ki Ageng berkata, “Benar, jangan katakan kepada orang lain selain diriku. Mimpimu sangat baik. Aku ikut berdoa semoga kelak menjadi kenyataan yang baik.”

Ki Ageng semakin heran mendengar mimpi Jaka Tingkir. Semakin yakin pula bahwa takdirnya kalah dengan bocah kecil itu. Namun Ki Ageng segera ingat bahwa semua yang terjadi pasti sudah sesuai kehendak Tuhan Yang Mahasuci. Semua sudah tercatat di lauhil mahfudz. Jaka Tingkir kemudian bertanya apa makna dari mimpinya.

Berkata Ki Ageng, “Jangan engkau bertanya maknanya. Itu adalah semulia-mulia mimpi. Aku hanya bisa memberimu petunjuk. Engkau mengabdilah kepada Sultan di Bintara. Itu yang akan menjadi sebab tercapainya mimpimu itu. Aku ikut berdoa semoga makna mimpimu itu segera terwujud.”

Ki Jaka Tingkir berkata, “Baiklah Kyai, saya sekedar menjalani saja. Pesan paduka akan selalu saya patuhi.”

Kyai Ageng Sela berkata, “Aku kurangi makan dan tidur untuk keberhasilanmu cucuku. Namun bila kelak terjadi engkau mendapat anugerah, biarlah anak cucuku nanti yang akan menyambung kemuliaanmu.”

Ki Jaka Tingkir berkata, “Silakan Kyai, saya tidak merasa kita seperti dua orang. Keluarga Kyai sudah saya anggap layaknya diriku sendiri.”

Hati Kyai Ageng merasa lega. Setelah menyelesaikan pelajaran Jaka Tingkir disuruh segera berangkat ke Demak Bintara.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/17/babad-tanah-jawi-18-kisah-hidup-jaka-tingkir-muda/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...