Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (62): Sultan Agung wafat, digantikan sang putra Pangeran Arya Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat

 Sultan Cakrakusuma mempunyai putra dua orang lelaki yang tampan. Putra yang tertua sudah menikah dengan anak dari Ratu Pekik Surabaya. Putra yang muda bernama Raden Mas Alit. Setelah sampai pada masanya Sang Sultan menderita sakit parah. Para istri sudah dipanggil menghadap. Juga para punggawa dan para mantri.

Berkata Sang Sultan kepada Tumenggung Wiraguna, “Kerisku ini buanglah ke laut. Jangan sampai membuat repot. Kalau kelak aku meninggalkan dunia ini jangan sampai ada dua raja. Kalau masih ada dua pusaka pasti akan menjadi dua warisan. Maka, kerisku Kyai Sangkelat buanglah ke laut.”

Tumenggung Wiraguna menerima keris, lalu segera melesat meninggalkan Sang Raja. Singkat cerita Wiraguna sudah sampai di tepi laut. Ada ombak besar yang datang, itulah yang menerima keris pusaka Sang Sultan. Setelah keris dibuang ke laut, Wiraguna kembali ke keraton. Sudah dilaporkan pekerjaannya kepada Sultan.

Sultan berkata pelan, “Panggilah anak-anakku dan para kerabatku semua.”

Semua putra dan kerabat sudah dipanggil. Pangeran Purubaya sudah menghadap, Sultan mengisyaratkan agar mendekat.

Sultan berkata kepada Pangeran Purubaya, “Wak, aku ini sudah sampai pada hari akhir menerima kasih Tuhan. Nah, Uwak pesanku baik-baiklah semua yang masih tiggal.”

Pangeran Purubaya berkata, “Siapa yang sebaiknya menggantikan paduka.”

Kangjeng Sultan berkata pelan, “Uwak, keinginanku Arya Mataram yang menggantikanku. Karena sebagai putra tertua layak menjadi raja. Adapun adiknya si Jaka ikutlah hidup mulia.”

Sultan sudah selesai berpesan, seketika alam merespon. Gunung Merapi meletus dan suara ombak bergulung-gulung, angin ribut dan hujan rintik-rintik. Sang Sultan telah wafat. Hujan tangis memenuhi istana kerajaan Mataram. Para istri dan putra menangis sambil memeluk jenazah Sang Sultan. Seluruh negeri berduka, para kawula Mataram heboh.

Jenazah Sultan sudah dimandikan dan dikafani kemudian dishalatkan. Setelah upacara pemakaman lengkap jenazah Sultan diberangkatkan ke Imogiri. Perlahan jenazah Sultan diturunkan ke liang lahat dan dikuburkan. Selama prosesi pemakaman para modin selalu memanjatkan doa. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: bujangga manggih wisiking nata[1].

Telah selesai upacara pemakaman Kangjeng Sultan Agung. Para punggawa Mataram hadir di bangsal pasowanan, para prajurit berbaris di alun-alun. Pangeran Adipati Purubaya duduk di bangsal Pagelaran di hadapan semua punggawa yang hadir.

Pangeran Purubaya berseru, “Wahai semua orang Mataram, ketahuilah negara Mataram sepeninggal Sultan berada dalam perintahku. Siapa yang hendak menghalangi, keluarkan segala kemampuanmu. Jika kalian hendak melawan, aku yang akan menjadi musuhmu.”

Para punggawa Mataram tak satupun berani berkata. Semua bupati dan mantri takut, tidak ada yang hendak melawan. Semua tunduk dan patuh pada Pangeran Purubaya. Pangeran Purubaya lalu mendudukkan Pangeran Arya Mataram ke singgasana gading. Setelah Pangeran Arya Mataram duduk, Pangeran Purubaya lengser. Para bupati dan mantri kaget, tidak mengira Pangeran Purubaya akan bertindak demikian. Akan tetapi mereka segera tunduk dan patuh kepada raja baru mereka.

Datuk Syarif dan para pendeta menyaksikan semua. Para penghulu dan ketib memanjatkan doa. Segenap para punggawa dan mantri sudah mendukung pengangkatan Pangeran Arya Mataram sebagai raja baru dengan gelar: Kangjeng Susunan Amangkurat Senapati tanah Jawi Ngabdurahman Sayidin Anata ing Agama. Segera setelah naik tahta Sang Raja sudah termasyhur sampai ke seberang.

Pada hari Senin Sang Raja hendak bertakhta di hadapan para punggawa. Piranti upacara telah keluar dibawa para dayang, kuthukkacu mas, sawunggaling, kacapuri dan ardhawalika. Sang raja keluar diiringi para bedhaya yang berjalan tujuh lapis di depan dan belakan, di kiri dan kanan. Para Magersari membawa berbagai senjata, panah, tulup, towok, tameng, tombak dan pedang. Sang Raja turun ke Sitinggil lalu duduk di singgasana di bangsal Witana. Dengan segala perabot kebesaran Sang Raja muda terlihat sangat tampan layaknya Dewa Kamajaya baru turun dari surga.

Para punggawa sudah menghadap di kanan-kiri. Para prajurit Jabagaya, Sangkragnyana, Kartiyasa, Wisamarta, para magang, Yudanagara, Katanggung, Wirabraja, Brajanala, Patrayuda dan Kanoman. Di sebelah mereka berjajar abdi gandek. Para mantri anom agak ke pinggir bersebelahan dengan orang Martalulut, Margasa dan Suranata. Para niyaga agak ke pinggir timur bersama para tukang kuda.

Para bupati dan kerabat senior duduk di depan di hadapan Sang Raja. Ada Pangeran Purubaya, Pangeran Silarong, Pangeran Pringgalaya, Pangeran Tepengsara, Prawirataruna dan Pangeran Martapura. Juga berada di jajaran depan Adipati Puger, Pangeran Balitar, Adipati Mangkubumi, Wiramanggala, Tepasana, Sebajaya, Kusumayuda, Demang Malang, Raden Wiranagara, Raden Wiramantri dan Raden Wiradipura. Kemudian menyambung di belakangnya Tumenggung Singaranu dan orang dari pesisir dan Numbakanyar serta dari mancanegara. Juga hadir saudara Sang Raja Raden Mas Alit atau Pangeran Arya yang saat itu masih perjaka. Dia hadir bersama pengasuhnya, Tumenggung Danupaya.

Sang Raja berkata, “Wahai segenap punggawa Mataram, aku ingin membuat kotaraja baru. Kota Karta akan aku pindah ke Pleret. Aku hendak membuat kotaraja berpagar bata. Maka kalian para punggawa semua buatlah batu bata. Yang kedua, aku mendengar kalau Blambangan sudah ditaklukkan orang Bali. Si Tawangalun sudah tunduk kepada raja Bali. Anda Paman Purubaya, aku minta pendapat bagaimana sebaiknya langkah selanjutnya.”

Pangeran Purubaya berkata, “Sebaiknya segera diserang dan segala isinya dijadikan boyongan. Jangan sampai ada keluarganya yang tertinggal karena tak urung nanti akan menjadi musuh.”

Berkata Sang Raja, “Siapa yang sebaiknya ditunjuk untuk memimpin ke Blambangan?”

Pangeran Purubaya berkata, “Tidak boleh saya memberi usul, semua terserah anak Prabu.”

Berkata Sang Raja, “Si Wiraguna, engkau bersiaplah berangkat. Dan juga Tumenggung Danupaya bawalah orang Mataram dan mancanegara. Para tumenggung Mataram kalian bawalah orang pesisir melalui laut. Anakku Adipati Sampang ikutlah serta, tetapi jangan ikut berperang, tunjuklah mantri yang cakap.”

Adipati Sampang menyatakan kesanggupan. Sang Raja masuk pura. Para punggawa yang ditunjuk segera melaksanakan perintah. Tumenggung Singaranu mengerahkan orang untuk mencetak batu-bata di Pleret. Tumenggung Wiraguna dan para bupati pesisir serta mancanegara menyiapkan pasukan. Setelah pasukan siap Wiraguna bermaksud minta pamit kepada Sang Raja, Sang Raja sudah memberi perintah berangkat, tetapi tidak berkenan hadir melepas pasukan. Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya segara berangkat melalui laut.


[1] 1558 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/30/babad-tanah-jawi-62-sultan-agung-wafat-digantikan-sang-putra-pangeran-arya-mataram-dengan-gelar-sunan-amangkurat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...