Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (61): Sinuhun Sultan Agung bertemu dengan Ratu Kidul

 Pada pisowanan hari Senin Sang Sultan keluar ke pasewakan. Sultan memakai kampuh dan berbusana indah, juga berhias seperti Arjuna. Ketika keluar Sultan diiringi perabotan upacara, sawunggaling-banyak dalang dan kendaga, serta perabotan yang lain. Para punggawa heboh melihat penampilan Sultan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Sang Sultan kemudian bertahta di singgasana, di hadapan para punggawa Mataram. Susana pagi itu amat tenang, tidak ada suara dari dedaunan yang bergerak ataupun burung-burung yang berkicau. Bahkan angin pun tak mau berjalan. Hanya terdengar alunan gamelan yang ditabuh pelan.

Setelah beberapa saat hening, Sultan berkata, “Periksalah prajurit yang berperang ke Blambangan, siapa yang berperang dengan bagus.”

Para mantri menyembah dan berkata, “Paduka, punggawa yang tangguh di dalam perang Blambangan adalah yang bernama Padureksa, serta saudaranya yang mengamuk di malam hari si Wangsakartika.”

Sultan berkata, “Yang terakhir itu siapa. Mengapa saya belum pernah mendengar namanya.”

Para mantri berkata, “Dia adalah anak dari paman paduka Pangeran Pringgalaya yang dulu dihukum buang Sang Raja karena berlaku durjana.”

Berkata Sang Sultan, “Si Wangsakartika ini, dia telah membantu berperang dan mempertaruhkan nyawa. Panggilah dia. Hadapkan kepadaku. Dan Dinda Padureksa sekarang aku angkat sebagai adipati dengan nama Adipati Tepasana. Aku beri seribu tanah dan kedudukan yang setara dengan para kerabat lainnya.”

Para punggawa menyatakan kesiapan menjalankan perintah. Sultan kemudian beranjak masuk ke istana. Para punggawa membubarkan diri, bersiap melaksanakan tugas masing-masing.

Beberapa lama kemudian terdengar kabar bahwa Adipati Ukur di Sumedhang berbalik melawan Sultan. Sang Sultan sangat marah mendengar berita itu. Pasa satu kesempatan di hari pisowanan Sultan memperlihatkan kemarahannya. Para mantri tak berani bersuara, semua tertunduk memandang tanah.

Sultan berkata, “Orang Sumedhang si Adipati Ukur beritanya berbalik melawanku. Sekarang juga negeri Ukur seranglah. Tumenggung Singaranu, bawalah pasukan Mataram untuk menyerang Ukur. Tumpaslah semua laki-laki yang melawan. Bawalah prajurit Bumija, Sewu dan Numbakanyar. Juga bawalah pasukan pesisir.”

Para punggawa dan mantri yang ditunjuk menyembah sebagai tanda kesiapan menjalankan perintah. Mereka kemudian bersiap berangkat. Pasukan dari Bagelen, Bumijo dan pesisir sudah diberi tahu. Mereka sepakat akan berkumpul di Banyumas. Setelah semua pasukan yang diundang berkumpul di Banyumas, mereka segera berangkat ke Ukur.

Pasukan Mataram sudah sampai di Ukur. Mereka segera mengepung kota. Pasukan Banyumas di sebelah barat. Pasukan Bagelen di sebelah selatan. Orang Bumija di sebelah timur. Desa-desa sekitar kota sudah dijarah oleh pasukan Mataram. Kota Ukur dalam suasana yang mencekam. Para prajurit Sumedhang tak berani melawan. Adipati Ukur sudah ditangkap dan kotanya dijarah, para wanita sudah diboyong ke Mataram. Dalam penyerangan itu seribu orang Sumedhang tewas. Pasukan Mataram sudah kembali ke kotaraja dan melaporkan hasil penyerangan ke Sumedang. Sultan sangat suka mendengar Sumedhang telah takluk.

Tak lama dari peristiwa itu Sultan berkenan mengadakan acara berburu di kebun agung. Dengan senjata tombak pendek bergagang kayu wregu para kstraria Mataram berburu kijang. Sultan mendapati seekor kijang jantan yang galak. Ketika hendak diburu si kijang malah menerjang Sultan. Kangjeng Sultan waspada dan segera menghunjamkan tombak pendeknya. Kijang terkena dan darahnya menyembur. Tetapi karena terjangan kijang begitu keras gagang tombak Sultan melengkung sehingga si kijang menubruk paha Sultan. Sultan kokoh berdiri, pahanya tak lecet sama sekali. Meski Sultan selamat tak kurang satu apapun, tetapi insiden tersebut sangat membahayakan.

Sultan kemudian mengeluarkan perintah, “Kelak anak-cucuku sepeninggalku jangan ada yang memakai gagang tombak dari kayu wregu. Ini membahayakan.”

Alkisah Kangjeng Sultan Agung mempunyai dua keraton. Satu berada di Mataram dan satunya lagi berada di laut selatan. Nyai Kidul sudah diambil istri oleh Sultan Agung. Nyai Rara Kidul adalah jin dari kalangan makhluk halus.

Pada suatu hari Sultan Agung hendak bercengkerama di keraton Kidul. Sultan kemudian menuju ke pesisir Pamantingan. Nyai Rara Kidul sudah menyambut kedatangan Sultan dengan diiringi para jin laut selatan. Nyai Rara Kidul kemudian menggandeng tangan Sultan diajak menapak lautan laksana berjalan di daratan. Tak lama kemudian mereka sudah tidak kelihatan. Para prajurit pengawal Sultan kemudian berkemah di Pamantingan.

Tidak lama kemudian Sultan sampai di keraton Kidul. Keratonnya indah, alun-alun sangat indah, pancaksuji dari tembaga, pintu gerbangnya besi, ada kolam yang mengapit gerbang yang terbuat dari batu marmer. Di pinggir kolam tumbuh berbagai bunga dan buah-buahan menggantung. Sang Sultan terus melaju dan berhenti di bangsal witana yang indah. Bangsal pengrawitnya terbuat dari tembaga bersirap perak putih. Lantai rata dari perunggu. Singgasananya terbuat dari emas berhias batu permata. Alas duduk terbuat dari sutera. Di pelataran terhampar kerikil batu mulia.

Setelah beberapa saat duduk di bangsal pangrawit Nyi Rara Kidul berkata kepada sang suami, “Paduka dipersilakan masuk ke dalam puri.”

Sang Sultan segera beranjak ke puri. Setelah sampai di dalam istana Sultan masuk ke peraduan. Sang istri tak pernah jauh. Keduanya lalu memadu kasih. Sang Raja menaklukkan kota.

Nyai Rara Kidul berkata kepada Sultan, “Hamba beri tahu bahwa Tuan hampir sampai pada janji bertemu dengan Tuhan. Atas kehendak Tuhan hanya dua tahun lagi umur paduka. Bila Tuan berkenan Tuan tinggalkan saja Mataram, meninggalkan kawula, para mantri, anak dan istri dan pindah ke sini. Pasti Tuan takkan mati sampai akhir zaman.”

Sultan tertawa, “Itu mustahil. Aku hargai rasa kasihmu padaku, tetapi bagaimana mungkin aku berpindah dari negeri Mataram. Semua leluhurku dimakamkan di Mataram. Aku ini manusia yang pasti akan mati. Semua yang hidup pun juga akan mati, walau jin dan syetan sekalipun.”

Nyai Rara Kidul ketika mendengar perkataan Sultan hanya bisa menangis, tak mampu membantah lagi. Sang dewi menangis di pangkuan Sultan sambil menghiba-hiba agar dirinya dijadikan manusia kembali.

“Paduka raja besar dan sakti, terkenal di seluruh tanah Jawa. Bila Tuan berkenan meruwat diri hamba, tentu bukan hal yang sulit. Paduka sudah mendapat izin dari negeri Mekkah untuk menjadi Sultan di Mataram. Semua raja telah mengabdi. Paduka ruwat diriku ini agar bisa menjadi manusia kembali.”

Sultan berkata, “Itu tidak boleh. Sudah menjadi kehendak Tuhan. Asalkan engkau bersungguh-sungguh, kelak di hari kiamat engkau bisa bersamaku lagi.”

Sang dewi hanya bisa menangis dan sungkem di pangkuan dan memegang tangan Sultan.

Nyai Rara Kidul berkata, “Duhai Kanda Sultan, segeralah ruwat hamba agar menjadi manusia kembali.”

Sultan segera mengambil kain cindhe. Nyai Rara Kidul digendong dan dibujuk-bujuk dan dibawa ke peraduan. Sang dewi ditenangkan kembali dan diberi nasihat agar bisa menerima takdirnya. Hati sang ayu kembali tenang. keduanya lalu duduk di balai-balai emas. Sang dewi menginang, Sultan mencium pipinya. Sang ayu tampak gelisah.

Berkata Nyai Rara Kidul, “Hamba hendak memberi tahu, ada dua keris pusaka milik paduka. Saran saya, salah satunya buanglah ke laut. Hamba yang akan merawatnya. Kalau kelak paduka wariskan kedua keris itu pasti akan menjadi sebab kerepotan. Akan menjadi rebutan dan membuat kawula Mataram tidak tenang.”

Sultan berkata, “Benar peringatanmu Dinda. Kelak akan aku buang si Sangkelat. Sekarang aku akan pulang ke Mataram. Para prajuritku menunggu di pesisir.”

Sang dewi menyembah, “Saya ikut paduka. Kalau paduka sudah sampai di keraton Mataram saya akan pulang kembali.”

Sultan mencium sang istri, lalu keduanya bergandeng tangan menuju pesisir. Para jin dan lelebut mengiringi dengan membawa peralatan. Sultan berjalan di atas air laksana berjalan di daratan. Di depannya bergulung ombak besar dan angin ribut. Para prajurit tahu raja mereka akan tiba.

Dari pesisir Sultan sudah terlihat dengan segala peralatan upacaranya, tetapi yang membawa tidak terlihat. Sesampai di pesisir segera diterima para prajurit. Sultan melanjutkan perjalanan dengan kereta, berdua dengan Nyai Rara Kidul. Akan tetapi para prajurit tidak melihat sama sekali.

Perjalanan Sultan sudah sampai di keraton Mataram. Sang dewi minta pamit.

“Kanda saya minta pamit,” kata sang dewi manja.

Sultan mencium sang dewi dan berkata, “Berilah aku obat kangen dari kinangmu itu.”

Sang dewi mencubit Sultan, “Aduh, nggombal benar orang ini.”

Sang dewi memberikan bekas kinangnya kepada Sultan. Berkali-kali sang dewi dicium-cium Sultan, seolah enggan berpisah. Sang dewi lalu berjalan sambil tersenyum. Sesekali menoleh sampai akhirnya tak kelihatan. Sultan masuk ke istana. Para istri telah menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...