Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (64): Tumenggung Wiraguna bertempur melawan pasukan Balambangan

 Alkisah pasukan Mataram yang sedang melakukan penyerangan ke Blambangan sudah sampai di perbatasan Pasuruan. Semua mantri pasukan Mataram dan pasukan mancanengara sudah hadir lengkap. Senapati perang dari Mataram adalah Tumenggung Wiraguna didampingi Tumenggung Danupaya. Tumenggung Danupaya adalah pengasuh Pangeran Alit, yang kebetulan ketika peristiwa berontaknya Pangeran Alit Tumenggung Danupaya sedang tidak berada di Mataram.

Sementara itu Blambangan sudah mendapat kiriman bantuan prajurit dari Bali. Pasukan Blambangan sudah bergerak menghadang pasukan Mataram di luar kota. Kedua kubu sudah berhadap-hadapan. Tumenggung Wiraguna sudah mengumumkan kepada pasukan akan menyerang keesokan harinya, pada hari Jum’at. Semua prajurit sudah bersiap menata barisan. Pasukan Blambangan juga sudah bersiap menghadapi serang pasukan Mataram.

Pada pagi hari kedua pasukan sudah menabuh tanda perang. Pasukan Mataram segera menerjang. Pertempuran pun pecah. Pasukan Blambangan yang menjadi komandan bagian dada adalah Lurah Yabana dan Panjipati. Tawangalun dan Wiranagara berada di belakang. Pasukan Mataram terus menembak dengan berondongan senapan. Pasukan Blambangan banyak yang mati. Panjipati dan Lurah Yabana segera turun ke medang perang.

Ketika peluru-peluru sudah menipis kedua pasukan berperang darat dengan tombak, pedang dan keris. Saling tarik, saling tusuk, saling penggal. Medan perang penuh dengan tumpukan bangkai yang bersusun-susun. Lama-lama terlihat kalau pasukan Mataram terdesak oleh amukan orang Bali yang seperti singa galak. Pasukan Mataram tak mampu membalikkan keadaan. Para prajurit Mataram dari mancanegara sudah berlarian.

Tumenggung Wiraguna melihat pasukannya banyak yang lari. Segera Ki Tumenggung menabuh bendhe bertalu-talu, hendak maju sendiri ke medan laga. Pasukan Mataram yang melihat komandan mereka terjun ke medan perang bangkit lagi semangatnya. Pasukan Mataram mengamuk dengan gila. Setelah para perwira Mataram turun ke medan perang orang Bali banyak yang mati karena sudah kelelahan. Pasukan Blambangan gantian terdesak. Pasukan Mataram makin ganas menerjang. Panjipati dan Lurah Yabana sudah mundur, tetapi ketika mendengar sorak-sorak kemenangan pasukan Mataram telinganya seperti disabit. Kedua komandan bermaksud balik lagi ke medan perang. Prajurit dari Bali tinggal kira-kira seratus lima puluh. Semua bertekad perang habis-habisan. Mereka berebut duluan menerjang musuh.

Pasukan Mataram melihat kalau musuh berbalik lagi, segera mereka menyongsong datangnya musuh. Karena sudah habis-habisan kedua komandan dari Bali mengamuk seperti Iblis.

Prajurit Mataram bernama Ki Rangga menahan amukan Panjipati. Ki Rangga ditusuk dadanya, terluka dan jatuh. Ki Rangga tewas. Prajurit Mataram melihat Ki Rangga tewas segera membalas serangan. Panjipati dikeroyok beramai-ramai. Ditikam, dipanah dan ditindih batu besar. Tak lama kemudian Panjipati pun tewas.

Lurah Yadana melihat Panjipati tewas segera membantu. Pasukan yang mengeroyok Panjipati diterjang. Prajurit Mataram dari Ponorogo bernama Citrayuda menghadang Lurah Yadana. Keduanya terlihat pertarungan sengit. Saling desak dengan tombak. Citrayuda menombak dengan sekuat tenaga, Lurah Yadana menangkis. Tombak Citrayuda patah, Lurah Yadana segera menghujamkan tombaknya. Dada Citrasoma tertembus sampai ke punggung, jatuh dan tewas. Kakak Citrayuda, Ki Wirantanu, melihat sang adik tewas di tangan Lurah Yudana. Bersama pasukannya bersamaan mengeroyok Lurah Yudana. Terdesak oleh musuh yang banyak Lurah Yudana terluka parah. Sekujur tubuhnya penuh luka, seketika tewas di tempat. Sisa Prajurit Bali bubar berlarian. Para prajurit Blambangan ketika melihat pasukan Bali bubar pun ikut-ikutan lari berebut hidup. Tawangalun lari terbirit-birit dikejar prajurit Mataram. Ketika ada kebun tebu Tawangalun masuk. Kakinya menginjak anak katak, Tawangalun kaget dan melompat sambil berteriak, “Audzubillah, mati aku!”

Pasukan Blambangan kehilangan satu bupati, tinggal Ki Wiranagara yang masih bertempur. Tetapi tak lama kemudian Ki Wiranagara pun lari, karena teringat keselamatan istrinya. Pasukan Blambangan telah kalah. Pasukan Mataram berbenah, merawat yang luka dan mengubur teman mereka yang tewas. Mereka kembali ke markas untuk menata barisan. Sementara itu Tawangalun dan Ki Wiranagara sudah mengungsi ke Bali. Ki Wiraguna menyuruh para prajurit mengumpulkan jarahan. Para wanita dikumpulkan dan diboyong ke Mataram. Ada seribu lima ratus kepala yang dibawa.

Ki Tumenggung Wiraguna sudah mendapat berita dari Mataram kalau Pangeran Alit sudah tewas ketika mengamuk di alun-alun. Pasingsingan yang menghasut Pangeran Alit hingga sampai berani melawan sang kakak. Ki Tumenggung Danupaya ketika diberi tahu sangat sedih hatinya. Dalam hati memanggil nama Pangeran Alit, mengapa tidak mengajaknya serta pergi ke alam baka.

Ki Tumenggung Wiraguna berpikir kalau pulang pastilah akan mendapat hukuman. Maka bersama para mantri sudah sepakat akan terus mengejar penguasa Blambangan yang lari ke Bali, sekalian menaklukkan Bali.

Pasukan Tumenggung Wiraguna sudah sampai di tepi pantai. Mereka terhenti karena tidak tersedia sarana untuk menyeberang. Untuk sementara Ki Wiraguna menunggu di pantai sambil membuat kapal.

Sementara itu di Bali sudah terdengar kabar kalau pasukan Mataram akan menyeberang. Mereka segera menurunkan pasukan untuk menjaga lautan. Pasukan Bali dipimpin oleh Panji Arungan. Mereka telah bersiap dengan senjata lengkap.

Tumenggung Wiraguna sudah berlayar tetapi masih berada di tepi pantai. Sudah berapa lama tidak terlihat kapal atau perahu di lautan. Orang-orang Bali tidak ada yang keluar. Tiba-tiba pada suatu hari terlihat banyak kapal datang mendekatinya. Tumenggung mengetahui bahwa mereka adalah pasukan Bali yang keluar untuk bertempur. Tumenggung segera melepas layar dan  berganti memakai dayung. Orang-orang Bali sangat berani, mereka sengaja datang mendekat. Pasukan Tumenggung Wiraguna segera menembak mereka dengan senapan. Banyak prajurit Bali tewas terkena tembakan, tetapi mereka tak surut. Kedua kubu saling membenturkan kapal dan bertarung jarak dekat. Panji Arungan berdiri di tengah kapal memimpin pasukan.

Pasukan Mataram terus memberondong dengan tembakan. Panji Arungan tertembak dan roboh. Para prajurit Mataram naik ke kapalnya, lalu memenggal kepala Panji Arungan. Sisa pasukan Panji Arungan banyak yang menceburkan diri ke laut mencari selamat.

Meski menang perang Tumenggung Wiraguna menderita sakit yang parah. Para mantri sepakat untuk membawanya pulang. Barisan segera dibubarkan dan kembali ke Blambangan. Pasukan Mataram bersiap pulang. Harta rampasan dan para putri boyongan diberangkatkan dahulu. Tumenggung Wiraguna dibawa belakangan.

Dalam perjalanan Tumenggung Wiraguna berpesan, “Kalau sampai aku mati di jalan, mayatku jangan dibawa pulang ke Mataram. Di tempat aku mati, di situlah kalian kuburkan. Aku tidak memilih-milih tempat. Aku minta kepada Allah agar tidak sampai di Mataram. Perasaanku walau aku hidup mustahil Sang Raja mau menerimaku. Dan semua anak cucuku kelak, kalau aku sudah mati, baik kalau mengabdi kepada Sang Raja Mataram.”

Para prajurit bersedih mendengar pesan Ki Wiraguna. Sakitnya makin parah, hatinya serba tak tenang. Sepanjang jalan inginnya hanya segera mati. Ketika perjalanan pasukan Mataram sampai di Kediri Ki Tumenggung minta minum. Sudah diberi minum oleh prajurit, tak lama kemudian Ki Tumenggung meninggal dunia. Para kerabat dan para mantri menangis. Para kerabat meminta agar jenazah Ki Tumenggung dibawa pulang ke Mataram. Para mantri mengingatkan akan pesan Ki Tumenggung. Mereka belum sepakat mengambil keputusan. Lalu mereka mengirim utusan ke Mataram untuk memberi tahu kepada Sang Raja. Utusan berangkat dengan cepat-cepat. Ki Tumenggung Danupaya sangat bersedih. Ki Tumenggung yang bertugas membawa rampasan dan boyongan dengan sisa pasukan segera mempercepat jalan agar segera sampai di Mataram.

Singkat cerita utusan sudah sampai di hadapan Sang Raja dan melapor segala kejadian dari awal sampai akhir. Sang Raja sangat marah, lalu mengirim pasukan untuk menjemput jenazah Ki Wiraguna.

Pesan Sang Raja, “Wahai prajurit Singanagara dan Martalulut, berangkatlah kalian. Hadanglah perjalanan pasukan si Wiraguna. Kalau sudah bertemu mayatnya kuburkanla di tempat engkau bertemu. Adapun anak cucunya kalian bunuhlah semuanya.”

Pasukan yang dikirim Sang Raja segera berangkat melaksanakan tugas. Singkat cerita mereka berhasil bertemu dengan pasukan Wiraguna yang kini dipimpin Tumenggung Danupaya. Pasukan Sang Raja segera menguburkan Ki Wiraguna dan membunuh semua kerabatnya. Ada dua belas orang anak cucu Wiraguna yang ikut dalam pasukan itu. Semua telah tewas dan dikubur bersama jasad Ki Wiraguna.

Tumenggung Danupaya yang melihat peristiwa itu semakin bertambah kesedihannya. Ditambah kesedihannya karena kehilangan anak asuhnya si Pangeran Alit, Danupaya memutuskan untuk mengakhiri hidup. Ki Danupaya segera mengambil racun dan menenggaknya. Dua panglima pasukan Mataram telah tewas di jalan.

Sisa pasukan dan para boyongan melanjutkan perjalanan pulang di bawah pimpinan Tumenggung Asmaradana. Rombongan sudah sampai di Taji dan kemudian berhenti, lalu mengirim utusan ke istana. Sampai lama mereka tak dipanggil menghadap. Suatu ketika datang utusan dari istana. Awal mula hanya bertanya-tanya kepada Ki Asmaradana, tetapi akhirnya Ki Asmaradana pun dibunuh.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/01/babad-tanah-jawi-64-tumenggung-wiraguna-bertempur-melawan-pasukan-balambangan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...