Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (65): Peristiwa Ratu Malang dan hukuman terhadap Pangeran Silarong

 Sudah beberapa lama Sang Raja Amangkurat bertahta. Keraton sudah dipindahkan ke Pleret. Negeri Mataram makmur sejahtera, serba murah semua yang dibeli. Selang beberapa tahun telah banyak kejadian di keraton Mataram. Ada seorang abdi Sang Raja bernama Ki Ngabei Wirapatra, yang sangat dikasihi oleh Sang Raja.

Ada cerita lain tentang Pangeran Silarong. Pada masa Kangjeng Sultan Agung masih memerintah, suatu malam Pangeran Silarong sedang berjaga di istana. Pada waktu itu ada abdi kesayangan Sultan dari golongan jin yang bernama Jurutaman. Si Jurutaman ini membuat rusuh dengan menyerupai Sang Sultan sehingga membuat resah penghuni istana. Sultan sangat marah. Jurutaman dipanggil pada pada malam itu. Setelah menghadap Jurutaman segera ditikam dadanya dengan tombak pendek. Darah mengucur dari lukanya dan tak lama si Jurutaman musnah tak terlihat. Juru taman sudah sirna.

Sultan lalu bertanya, “Hai, itu siapa yang sedang berjaga malam?”

Pangeran Silarong berkata, “Saya Kangjeng Sultan.”

Sultan berkata, “Segeralah buang darah si Jurutaman. Buanglah di sungai jangan mengotori zaman. Kalau masih ada bekasnya menjadi kotoran di istana. Akan menjadi hal buruk kelak kalau tanah tercampur darahnya.”

Tanah segera dikeruk agar sisa darah dapat terbuang semua, lalu ditempatkan dalam sebuah takir. Rencananya pagi-pagi akan dibuang. Pada pagi hari setelah sampai di rumahnya Pangeran Silarong makan dulu. Ada anjing piaraan Pangeran Silarong yang berada di dekat takir berisi darah si Jurutaman tadi. Setelah selesai makan Pangeran mengepal nasi lalu ditutulkan ke darah itu dan dilemparkan kepada si anjing. Si anjing segera melahap kepalan nasi tersebut. Seketika si anjing nyungsep tak bangkit lagi. Si anjing telah mati. Pangeran berpikir kalau darah itu yang membuat si anjing mati. Pangeran lalu mencobanya kepada sapi, dan sapi pun mati seketika.

Oleh Pangeran Silarong darah kemudian diambil dan diberi minyak kelapa hijau dan kemudian disimpan. Itulah awal mulanya Pangeran Silarong dianggap bisa menyantet orang. Karena sudah masyhur kabar itu Pangeran Silarong kemudian dibuang ke desa Waladana. Selama beberapa tahun Pangeran Silarong berdiam di Waladana.

Pada suatu hari Sultan menderita sakit yang sangat. Pangeran Silarong dipanggil ke Mataram. Sesampai di Mataram semua kerabat sudah berkumpul. Tidak lama kemudian Sultan wafat. Pangeran Silarong tidak segera pulang ke Waladana. Dia ingin ikut menyaksikan penobatan sang putra Sultan menjadi raja. Tak lama kemudian Pangeran Silarong harus menyaksikan Pangeran Alit mengamuk dan tewas oleh senjatanya sendiri. Setelah peristiwa itu Pangeran Silarong disuruh kembali ke Waladana.

Kembali ke Sang Raja Mataram yang kini sudah nyaman memerintah negara. Sang Raja memerintahkan untuk mencari wanita cantik untuk dijadikan selir. Para punggawa segera melaksanakan tugas. Ketika itu Pangeran Balitar mendapat laporan dari para prajurit kalau ada seorang wanita cantik tetapi sudah bersuami. Si wanita tadi rumahnya di Mataram, anak seorang dalang wayang gedhog bernama Ki Wayah. Nama menantunya yang punya istri si cantik tersebut dalah Ki Dalem. Pangeran Balitar meminta didatangkan si wanita tadi. Tak lama si wanita sudah dibawa ke hadapan Pangeran Balitar dalam keadaan hamil dua bulan dari pernikahannya dengan Ki Dalem. Ketika dibawa ke hadapan Sang Raja si wanita diperiksa dan Sang Raja merasa berkenan. Si wanita kemudian diambil sebagai selir dan diberi nama Ratu Wetan. Sang Raja sangat mengasihi selir itu. Ketika itu si selir juga diberi julukan Ratu Malang, karena sejak kedatangannya Sang Raja menjadi melupakan semua istrinya yang lain dan hanya berdiam di tempat Ratu Wetan. Tak lama kemudian kandungan si selir sudah waktunya lahir. Maka lahirlah seorang putra yang tampan. Sang Raja semakin mengasihi si selir dan anaknya.

Setelah si anak lahir Sang Raja menjadi ingat bahwa selirnya itu dulu telah bersuami dan si anak ini adalah anak si suami tersebut. Sang Raja kemudian memerintahkan agar si bekas suami selirnya tersebut dibunuh. Ketika Ratu Wetan mengetahui bahwa bekas suaminya dibunuh sangatlah bersedih hatinya. Siang malam yang disebut hanya Ki Dalem.

“Ki Dalem suamiku, aku tak bisa hidup tanpamu. Tunggulah aku hendak menyusulmu,” begitu Ratu Wetan merintih setiap hari.

Tak berapa lama Ratu Wetan menderita sakit muntaber dan itu menjadi sebab kematiannya. Sang Raja sangat murka. Semua isi puri dikurung di keputren dan tidak diberi makan. Kalau ada yang berani memberi makan dan minum diikutkan dosanya. Mereka dikurung karena dianggap tidak bisa menjaga ratu dengan baik sampai meninggal dunia.

Jenazah Ratu Wetan dimakamkan di gunung Kelir. Ketika itu Sang Raja sampai lupa segalanya. Setiap hari datang ke kuburan dengan sang putra peninggalan si selir.

Berkata Sang Raja, “Ayo anakku, aku bawa ke manapun aku pergi. Engkau ini anak seorang duda, siapa yang akan merawatmu setelah engkau ditinggal ibumu.”

Para kerabat, pembesar dan pegawai kecil serta para prajurit memohon agar Sang Raja ingat kembali. Sang Raja bergeming, hatinya masih diliputi kebingunan. Heboh orang senegara Mataram akibat Sang Raja sakit hatinya. Selama berada di kuburan jenazah si selir tak boleh ditimbun tanah. Sampai-sampai sudah hilang sifat jenazah karena bercampur tanah.

Pada suatu malam Sang Raja bermimpi melihat si selir sudah dijemput oleh suami lamanya yang bernama Ki Dalem. Ketika terbangun Sang Raja kaget karena selama ini menunggui jenazah yang telah membusuk.

Sang Raja berkata dengan menahan marah, “Sudahlah, engkau timbun sekarang.”

Sang Raja segera kembali ke istana. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: naga sare tata janma[1]. Setelah Sang Raja sadar Mataram kembali pulih seperti sedia kala.

Alkisah Pangeran Silarong yang tinggal di desa Waladana mempunyai kegemaran pada burung dara. Ada seorang kawulanya bernama Ki Upasanglung memelihara burung dara berbulu gambir. Burung dara itu diminta oleh Pangeran tetapi tidak diganti dengan uang. Si pemilik hanya diberi ganti berupa minyak yang dibawa dari Mataram dulu. Kepadanya telah diberi pesan kasiat dari minyak tersebut. Si pemilik burung dara pun sangat gembira. Lalu ada seorang pemelihara burung bernama Ki Citra, juga mempunyai burung dara berbulu megan. Pangeran pun menyukai burung itu dan hendak memintanya. Si pemilik tak mau diberi uang, mintanya agar diberi minyak seperti yang diberikan kepada Ki Upasanglung. Pangeran tak berkenan memberikan minyak seperti itu, tetapi Pangeran memberikan minyak penawar dari racun minyak yang dimiliki Ki Upasanglung.

Berkata Pangeran Silarong kepada Ki Citra, “Jangan khawatir. Ini lebih hebat. Bisa menawarkan racun dari minyak si Upasanglung. Kalau ada orang terkena racun dari dia kamu bisa sembuhkan.”

 Ki Citra ini rumahnya di Tegal Ampel. Sejak itu sering terjadi orang keracunan dan ketika dibawa ke tempat Ki Citra bisa sembuh. Ki Citra kemudian kondang bisa menawarkan racun dan sering dipanggil dengan nama Ki Citratawa.

Akan tetapi kehebohan segera terjadi. Tidak semua yang terkena racun dari Ki Upasanglung sempat dibawa ke tempat Ki Citratawa. Banyak yang sudah telanjur mati. Sehingga di sekitar Waladana sering terdengar orang mati keracunan. Berita ini sampai ke istana. Sang Raja kemudian mengirim tim penyelidik untuk mengetahui sebab-sebab banyak orang mati keracunan. Akhirnya terkuak bahwa perang racun antara dua orang itu bermula dari tukar menukar burung dara oleh Pangeran Silarong.

Sang Raja sangat marah dengan kelakuan sang paman. Seketika ingat dosa pamannya dulu ketika diusir dari Mataram akibat menggunakan racun dari bekas ceceran darah si Jurutaman. Sang Raja sangat murka dan memanggil sang paman ke istana.

Pangeran Silarong dipanggil ke istana dan bermalam selama satu hari. Paginya Pangeran Silarong diantar kembali ke desanya oleh gandek utusan.

Kepada gandek yang mengantar Sang Raja berkata, “Hai gandek, pesanku kalau sudah sampai di luar Taji, kalian berjalanlah melalui Kuwel.”

Gandek menyembah dan segera berangkat. Ketika sudah sampai di Taji gandek berjalan melalui Kuwel.

Sang Raja lalu menyuruh orang untuk memeriksa sudah sampai di mana Pangeran Silarong. Ketika diberi laporan bahwa Pangeran Silarong sudah melalui Kuwel Sang Raja memberi perintah kepada prajurit Singanagara dan Martalulut.

Dengan nada marah Sang Raja berkata, “Hai segeralah susul pulangnya si Silarong. Di mana pun terkejar, kalian tidak usah banyak bicara, segera selesaikan.”

Prajurit Martalulut dan Singanagara segera berangkat. Rombongan Pangeran Silarong terkejar di desa Biru. Pangeran Silarong segera dibunuh. Jenazah Pangeran Silarong dimakamkan di gunung Wujil. Enam bulan kemudian dipindah ke Mataram, dimakamkan di Bacingah. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan: wong sêsanga prang pratala[2].

Mungkin sudah takdir Tuhan ucapan sang ajar yang dibunuh Pangeran Silarong ketika di Blambagan dulu benar-benar terwujud. Pangeran Silarong menemui ajal oleh Raja yang punya ciri bekas luka gores di tangan.


[1] 1528 AJ

[2] 1591 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/02/babad-tanah-jawi-65-peristiwa-ratu-malang-dan-hukuman-terhadap-pangeran-silarong/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...