Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (69): Negeri Pajarakan dijarah pasukan Kraeng Galengsong

Alkisah, dari Makasar ada seorang pelarian bernama Kraeng Galengsong. Dia kalah dalam berebut negara dengan saudaranya sehingga lari membawa anak istri dan dua ribu prajuritnya. Para punggawa Kraeng Galengsong bernama Busung Marnung, Panji Karunuban, Daeng Makicing dan Daeng Wasageni. Watak orang kalah perang sudah pasti bekal pun tipis, sepanjang tempat yang disinggahi pasukan Kraeng Galengsong menjarah dengan ganas seperti harimau lapar. Ketika singgah di Paminggir mereka mengobrak-abrik negeri Pajarakan. Seisi kota dijarah sampai tandas. Orang Pajarakan mengungsi pontang-panting meninggalkan negerinya. Pajarakan ditinggalkan dalam keadaan kosong. Saat itu Ngabei Pajarakan sedang melawat ke kotaraja Mataram di Pleret.

Di Mataram, Sang Raja sedang bertahta di hadapan para punggawa negara. Hadir di depan Pangeran Adipati Anom Mataram, duduk bersebelahan dengan sang adik Pangeran Singasari, Pangeran Puger dan Pangeran Martasana. Juga hadir di depan para pembesar negara, Pangeran Purubaya, Pangeran Pringgalaya dan Pangeran Balitar. Hadir pula para tumenggung andalan Mataram, Wiramanggala, Wiratmeja, Raden Prawirataruna, Panji Karsula, Wirakarti, Mangunnagara dan para bupati Mataram lainnya.

Saat itu seorang bupati mancanegara, Darmayuda dari Pasuruan melakukan pepe di alun-alun. Dia memimpin para bupati dari mancanegara Ngabei Prabalingga, Nalidika dari Caruban, Ki Ngabei Wiragati dari Wirasaba dan Ngabei Wangsapati dari Pajarakan. Mereka semua melakukan pepe di bawah beringin kembar. Sang Raja melihat ada kerumunan orang melakukan pepe lalu bertanya kepada para punggawa yang hadir.

“Siapa yang melakukan pepe itu?” tanya Sang Raja.

Berkata Pangeran Purubaya, “Abdi paduka Ngabei Darmayuda dari Pasuruan dan teman-temannya bupati dari mancanegara.”

Sang Raja berkata, “Lah, gandek, segera panggil mereka ke hadapanku.”

Gandek segera berlari ke alun-alun memanggil Ki Darmayuda dan teman-temannya. Yang dipanggil segera berlari ke Sitinggil. Sesampai di hadapan Sang Raja muka-muka mereka tertunduk ke tanah, semua tunduk patuh bersiap menerima perintah.

Sang Raja berkata, “Apa maksudmu melakukan pepe?”

Darmayuda menyembah dan berkata, “Hamba serahkan hidup-mati. Negeri hamba di pinggir timur pulau, diserang dari Makasar. Dua ribu prajurit Makasar dipimpin Kraeng Galengsong sangat rusuh, menjarah di sepanjang pantai negeri Pajarakan. Yang melawan semua ditumpas, yang menurut diambil hartanya. Negeri Pajarakan rusak berantakan. Hamba meminta petunjuk kepada paduka.”

Sang Raja berkata, “Kalau begitu Darmayuda dan para bupati semua, kalian segera pulanglah. Hadapi segera musuh dari Makasar yang menyerang wilayah timur. Kerahkan semua pasukan dari mancanegara. Kalian aku beri panglima, si Panji Karsula, untuk memimpin pasukan mancanegara. Bawalah mantri Panumping, Sewu dan Numbakanyar.”

Ada seorang lurah Sarageni bernama Ngabei Saradipa, oleh Sang Raja diangkat sebagai punggawa di Jepara, lalu disuruh pulang.

Sang Raja berkata, “Bawalah anakmu. Dan engkau si Ngabei Jagagati, Ngabei Jayamanggala dan Ngabei Wiragati kalian ikutlah ke Jepara. Adapun kedudukanmu berikan kepada anak-anakmu. Si Tanumenggala juga berjagalah di Jepara dengan prajurit Sarageniku si Gunturgeni dan si Gulu. Juga lurah pesisir Mangunnagara bawalah ke Jepara agar mereka semua berjaga-jaga di sana.”

Sang Raja masuk ke istana, para punggawa yang ditunjuk segera melaksanakan tugas. Di bangsal Pancaniti mereka menabuh tanda perang. Pasukan Mataram segera berkumpul untuk bersiap berangkat. Di Taji mereka menata barisan. Darmayuda Pasuruan yang menjadi pemimpin. Para bupati wilayah timur yang rumahnya di Mataram semua sudah berkumpul di Taji. Para bupati dari Warung, Grobogan, Sela, Blora, Jipang, Jagaraga, Kaduwang, Ponorogo, Madiun, Pamagetan, Kalangbret, Rawi, Kediri, Sarengat, Balitar, Wirasaba dan Pasuruan, semua sudah berkumpul di Taji. Sekumpulan besar pasukan yang kalau dilihat dari jauh tampak seperti hamparan bunga, tampak warna-warni bendera dan umbul-umbul yang mereka bawa. Bende terus ditabuh bertalu-talu, sorak-sorai para prajurit membahana. Kilatan senjata terlihat menakutkan. Para pasukan bersenjata tombak panjang dan pendek, tombak hitam dan tombak putih.

Panji Karsula menjadi panglima pasukan Mataram. Ki Panji asalnya dari Japan, maka banyak orang Japan kerabatnya berkumpul bersamanya. Ki Panji berpamitan kepada anak istrinya. Istri dan anak-anaknya terlihat menangis ingin ikut serta.

Panji Karsula berkata, “Sudah kalian tinggalah. Baik-baiklah di rumah. Seperti saya tak pulang saja. Tetapi andai tak pulang aku titip anak-anaku yang masih kecil. Jagalah mereka dengan baik.”

Sang istri makin menangis, “Mengapa Anda berkata seperti itu. Saya harap Anda lestari mengasuh anak-anak. Saya tak bisa mengabdi kepada orang selain kyai.”

Panji Karsula berkata, “Sudahlah. Itu hanya pesanku, karena musuh sungguh berat. Saya telah dipercaya oleh Sang Raja untuk melaksanakan tugas memimpin pasukan mancanegara. Kalau tidak berhasil tentu saja saya tak pulang.”

Pasukan Mataram segera berangkat meninggalkan anak istri mereka yang masih menangis. Panji Karsula membawa seribu orang Numbakanyar, Bumija dan Panumping. Sejatanya terlihat menyala, berkilat-kilat sangat tajam. Mereka sudah berkumpul di Taji, bergabung dengan pasukan dari mancanegara. Panji Karsula dan para punggawa mancanegara kemudian berunding bagaimana rencana yang mereka terapkan.

Panji Karsula berkata, “Mari kita membuat rencana jangan sampai ada perselisihan. Sekarang aku putuskan Anggajaya menjadi sayap kiri, membawahi pasukan dari Jipang, Blora, Kaduwang, Pamagetan, Madiun, Warung dan Grobogan. Kanda Darmayuda menjadi sayap kanan membawahi prajurit dari Gresik, Sarengat, Balitar, Prabalinga, Bangil, Kediri, Ponorogo, Wirasaba dan Kartasana. Kelak jangan sampai ada yang mundur. Kalau sampai mundur aku tombak dari belakang. Aku sendiri akan berada di dada. Yang saya bawa hanya orang Mataram.”

Semua sudah sepakat dengan arahan Panji Karsula. Pagi hari pasukan Mataram berangkat ke wilayah timur. Singkat cerita perjalanan mereka sudah sampai di Japan. Setelah berhenti untuk menata barisan, pasukan Mataram melanjutkan perjalanan menuju Demung.

Sementara itu pasukan Makasar sudah mendengar kalau pasukan Mataram datang ke wilayah timur hendak menyerang mereka. Para prjurit Makasar tak hendak mundur. Orang Makasar sudah membuat benteng yang kuat dengan tembok yang tinggi. Di Demung pasukan Makasar sudah membuat markas yang kuat. Raja Galengsong pada satu kesempatan sedang bersama para punggawanya.

Raja Galengsong berkata kepada punggawanya yang bernama Daeng Makincing, “Bagaimana bapak beritanya orang Mataram? Aku dengar sudah hampir datang untuk menyerang ke sini.”

Daeng Makincing menjawab, “Benar berita itu. Orang Mataram dan mancanegara hendak menyerang ke sini. Sepertinya mereka hampir tiba.”

Raja Galengsong berkata, “Lebih baik kalau orang Mataram menyerang ke sini. Kalau aku pulang ke Makasar sudah pasti aku sangat malu. Lebih baik aku mati di Jawa. Aku akan menyerang Mataram sekalian. Semua prajuritku akan aku ajak mati. Jangan tanggung dalam melangkah. Daripada kalian pulang tanpa hasil lebih baik mati di sini. Kalau orang Mataram menyerang, segera hadapilah. Kalau mereka banyak, amuklah di malam hari.”

Sudah sepakat para punggawa dan prajurit akan mendukung tekad Raja Galengsong yang nekad. Lebih baik mati daripada pulang ke Makasar tanpa hasil.

Sementara itu pasukan Mataram yang hendak menyerang dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian di depan pintu, satu bagian di sebelah kiri dan satu bagian di kanan. Pasukan Mataram sudah mengepung benteng dan sesekali menembak untuk memanas-manasi lawan. Pasukan Makasar di dalam benteng sudah bersiap menghadang. Kraeng Galengsong memimpin pasukan Makasar keluar benteng. Dengan bersenjata lembing mereka menyongsong pasukan Mataram. Pasukan Makasar bergerak menakutkan, pasukan Mataram menyambut tak kalah garang. Pasukan Mataram menembak gencar, pasukan Makasar bergeming. Pasukan mancanegara Mataram menyerang dari kiri dan kanan benteng. Pasukan Makasar memakai gelar emprit neba. Kedua pasukan sudah bertempur dengan dahsyat.

Lama-lama terlihat pasukan Makasar terdesak oleh banyaknya lawan. Dua ribu prajurit Makasar kalah banyak oleh prajurit mancanegara. Pasukan Makasar berniat istirahat dulu, mereka kemudian mundur ke hutan. Pasukan Mataram mengira mereka sudah kalah dan bubar. Benteng orang Makasar kemudian hendak dijarah, tetapi hari sudah malam. Panji Karsula memerintahkan pasukan pasukan istirahat dulu. Besok pagi saja masuk benteng dan menjarah segala harta benda orang Makasar. Toh sudah menang perang.

Pasukan Mataram kemudian membuat markas di tanah lapang. Mereka merasa tenang karena musuh sudah lari. Segera mereka melucuti senjata  dan perabotan perang. Kuda-kuda pun dilucuti pakaiannya dan dibiarkan berkeliaran. Para prajurit Mataram bersuka-suka meninggalkan kewaspadaan.

Sementara itu pasukan Makasar yang lari ke hutan sudah berkumpul kembali. Setelah istirahat cukup mereka berencana menyerang di malam hari. Mereka akan masuk ke perkemahan orang Mataram di saat mereka tidur. Semua sudah bersiap. Saat tengah malam tiba Galengsong memberi aba-aba.

“Ayo, saatnya kita mengamuk. Jangan ada yang berpisah. Kita serang bersamaan. Hancurkan sekalian, bunuh para prajurit, jarah dan bakar. Yang dekat seranglah dengan tombak,” kata Galengsong.

Setelah rencana matang, mereka segera menerjang bersamaan. Tidak banyak prajurit yang menyerang, hanya kira-kira dua ratus orang. Tetapi mereka adalah prajurit pilihan. Galengsong sendiri yang memimpin.

Prajurit Mataram tidak ada yang mengira musuh akan datang. Ketika sebagian mendengar suara-suara mereka terbangun.

“Suara apa itu? Coba lihat dengan obor. Barangkali hewan buruan yang mendekati perkemahan,” kata seorang prajurit.

Belum sempat mereka menyalakan obor pasukan Makasar sudah menerjang. Dengan cepat mereka membakar segala yang ada sambil menombak kiri dan kanan. Pasukan Mataram kaget, tapi tak sempat melawan. Baru bangun tidur di malam gelap tak sanggup membedakan kawan dan lawan. Sedang senjata mereka tak terjangkau. Banyak prajurit Mataram tewas di malam itu. Banyak pula yang mati oleh teman sendiri karena suasana serba kacau dan gelap. Dalam semalam pasukan Mataram yang besar hancur berantakan.  Para prajurit banyak yang lari, harta benda dan senjata dijarah musuh.

Panji Karsula ciut hatinya. Prajuritnya banyak yang meninggalkannya. Pasukan Mataram yang besar telah habis. Dengan sisa prajuritnya Panji Karsula pergi ke Japan. Wilayah timur tak berani melawan Kraeng Galengsong. Mereka memilih bergabung meninggalkan Mataram. Pajarakan, Prabalingga, Pasuruan dan Wirasaba sudah bergabung. Para bupatinya sudah menyeberang ke kubu lawan.

Di Japan Panji Karsula sangat bersedih karena mendengar wilayah timur sudah bergabung ke Galengsong. Ki Panji hendak terus melawan, tetapi tak punya lagi prajurit yang cukup. Semua sudah takut melawan Galengsong. Sedang kalau mau pulang merasa malu. Juga pasti akan mendapat murka Sang Raja. Karena sangat sedih dan bingung Panji Karsula sakit hingga menemui ajal di Japan. Setelah dikebumikan, ada seorang mantri Mataram yang pulang untuk melaporkan bahwa Panji Karsula telah wafat. Pasukannya kalah perang dan mancanegara sudah berbalik ke kubu Kraeng Galengsong. Mendengar berita tersebut Sang Raja sangat murka. Bibirnya bergetar menahan amarah.

Berkata Sang Raja, “Semua pasukan pesisir, kalian pulanglah untuk menghadapi musuh. Si Prawirataruna engkau yang menjadi panglima para prajurit pesisir. Semua mantri Mataram ikutlah menyerang ke Demung. Si Wirabumi engkau ikutlah, mendampingi Si Prawirataruna. Juga si Pulangjiwa, Wirawangsa, Panji Wirabumi dan Suramenggala. Tumpaslah semua orang Makasar yang berada di sana. Juga periksalah Madura, mengapa mereka telah lama tak menghadap ke Mataram.”

Semua punggawa yang ditunjuk menyembah, menyatakan kesanggupannya.

Sang Raja berkata lagi, “Dan semua pasukan Belanda yang berjaga di Jepara ajaklah serta menyerang ke Demung. Kalau tak mau hancurkan sekalian. Jangan menambah kerepotan.”

Sang Raja kemudian masuk ke istana, para punggawa pun mundur keluar. Sesampai di luar mereka segera bersiap melaksanakan tugas. Pasukan pesisir mendahului pulang untuk menyiapkan peralatan perang, kapal dan senjata. Mereka berjanji ketemu di Jepara. Raden Prawirataruna segera menyiapkan barisan. Setelah siap semua Raden Prawirataruna berpamitan kepada anak istrinya.

Berkata Raden Prawirataruna, “Kalian tinggallah baik-baik di rumah. Kalau diriku tak pulang kelak aku titip anakku. Kalau selama ini ada kesalahanku maafkanlah. Repotnya orang melawat berperang bisa saja kehilangan nyawa. Sebab aku berpesan demikian karena aku dipercaya menumpas musuh di Demung. Kalau tak berhasil aku tidak akan pulang. Baik-baiklah sepeninggalku.”

Para istri dan anak-anak menangis. Pasukan Mataram segera berangkat. Raden Prawirataruna naik kuda berbusana mencolok, diiringi para prajurit dan punggawa Mataram dengan senjata beraneka macam. Ada tombak panjang dan pendek, tombak hitam dan tombak Bung Ampel.

Raden Prawirataruna dan pasukannya telah sampai di Jepara. Pasukan beristirahat di dalam kota. Adipati Jepara Ngabei Wangsadipa menyambut dengan penuh hormat dan menjamu dengan baik pasukan dari Mataram. Para bupati pesisir barat sudah berkumpul di Jepara, dari Kendal, Kaliwungu, Batang, Pekalongan, Brebes, Pemalang, Wiradesa dan Tegal. Adapun dari sekitar Jepara telah datang pasukan dari Demak, Semarang, Kudus, Pati, Juwana, Rembang, Pajangkungan dan Lasem.

Raden Prawirataruna bertanya kepada Wangsadipa, “Bagaimana kanda, perkara serdadu Belanda di Jepara. Perintah Sang Raja mereka disuruh membawa ke Demung untuk membantu menyerang pasukan Makasar. Anda tanya kesediaan mereka. Kalau tidak mau, perintah Sang Raja segera diusir saja dari Jepara agar tidak merepotkan.”

Wangsadipa berkata, “Baik saya tanyai dulu, bagaimana kehendak Kumpeni.”

Komandan Kumpeni segera dipanggil dan ditanyai. Hanya ada tiga komandan yang berjaga di Jepara, Kapten Wulkup, Sersan Drop dan seorang kopral serta satu juru tulis. Semua sudah menghadap kepada para bupati pesisir dan Mataram.

Ki Wangsadipa berkata, “Perintah Sang Raja kepadamu Kapten, musuh Makasar telah datang. Engkau disuruh ikut Raden Prawirataruna menyerang ke Demung. Kalau engkau tak mau, perintah Sang Raja engkau harus diusir dari Jepara agar tidak merepotkan.”

Berkata Kapten Wulkup, “Kebetulan ada perintah Sang Raja. Memang saya di Jepara hendak membantu bila diperlukan. Saya sanggup diajukan ke medang perang melawan musuh. Saya tak hendak menghindar perintah Raja, saya ikut serta.”

Semua telah siap. Raden Prawirataruna sudah memutuskan berangkat ke Demung lewat laut. Pasukan pesisir segera menyiapkan kapal. Di muara telah berjejal kapal-kapal orang pesisir bersandar di pelabuhan. Kapal mereka besar-besar. Pasukan segera naik dan mengibarkan bendera. Setelah semua siap gong besar ditabuh sebagai tanda berangkat. Layar telah mengembang, hembusan angin membawa pasukan Mataram menuju Demung. Sepanjang jalan gong terus dipukul, suaranya bergema meniti ombak. Singkat cerita pulau Mandalika telah terlewati, Surabaya menjelang.

Sesampai di pelabuhan Surabaya kapal bersandar. Para bupati membuat markas di Surabaya. Orang-orang Surabaya sangat menyambut kedatangan pasukan pimpinan Raden Prawirataruna. Mereka memberikan jamuan beraneka macam. Tampak orang-orang Surabaya tunduk lahir batin kepada Raden Prawirataruna. Raden Prawirataruna memberikan mereka busana dan sejumlah uang. Orang-orang Surabaya sangat suka hatinya. Mereka bertekad membalas kebaikan tuannya dengan hidup-mati mereka. Raden Prawirataruna bertanya tentang perkara orang Madura.

Berkata Raden Prawirataruna, “Orang Madura sudah satu tahun bahkan lebih tidak menghadap ke Mataram. Ketika saya di sini tak ada seorang Madura pun yang datang menyambut. Perintah Sang Raja saya disuruh memeriksa dulu. Sekarang saya hendak mengirim utusan ke Madura.”

Para bupati berkata, “Kami dengar Madura sudah dikuasai Trunajaya. Itulah sebab Madura tak manghadap ke Mataram. Baik bila segera dikirim utusan agar pasti dan tidak menimbulkan duga-duga yang merepotkan pikiran.”

Raden Prawirataruna segera mengirim utusan dengan membawa surat untuk Trunajaya.

Sementara itu Trunajaya baru saja pulang dari Demung. Di Demung Trunajaya mengadakan pembicaraan dengan Kraeng Galengsong. Trunajaya sepakat untuk saling bantu dengan Kraeng Galengsong. Bila Galengsong diserang pasukan Mataram, Trunajaya akan membantu dengan menyerang dari belakang.

Utusan dari Raden Prawirataruna sudah sampai di Madura dan sudah dibawa menghadap kepada Trunajaya. Ketika itu Trunajaya berpura-pura sedang sakit. Surat sudah diterima dan dibaca oleh Trunajaya.

Isi suratnya: “Surat dari Raden Prawirataruna negeri Mataram, disertai doa dan salam untuk cucuku Trunajaya. Perintah Sang Raja kepadamu cucuku menanyakan mengapa orang Madura tidak menghadap ke Mataram. Ada berita bahwa engkau yang melarang mereka menghadap ke Mataram. Apakah benar berita itu? Yang kedua, ada perintah Sang Raja kepada pasukan Madura untuk membantu menyerang orang Makasar di Demung.”

Tamat isi surat. Trunajaya berkata kepada utusan, “Engkau katakan kepada eyang, aku tidak mengukuhi Madura dan melarang orang Madura menghadap ke Mataram. Semua itu karena orang Madura sungguh gila, sehingga sulit diperintah. Adapun mengenai permintaan ikut menyerang ke Demung aku menurut saja. Tidak siang tidak malam saya ikut saja. Tetapi badanku sedang sakit. Engkau kembali dulu. Setelah engkau kembali orang Madura akan bersiap dan menyusul ke Surabaya.”

Utusan sudah dijamu dan diberi hadiah, lalu dipersilakan pulang duluan. Setelah sampai di Surabaya utusan melapor kepada Raden Prawirataruna. Semua yang dialaminya dilaporkan dari awal sampai akhir. Raden Prawirataruna paham bahwa Trunajaya hanya berbasa-basi. Tetapi untuk sementara diabaikan. Pikir Raden Prawirataruna, kalau sudah mengalahkan orang Makasar, orang Madura gampang diatasi. Pasukan Prawirataruna segera menarik jangkar dan berlayar melanjutkan perjalanan ke Demung. Yang dituju adalah pelabuhan Panarukan.

Sementara itu pasukan Kraeng Galengsong sudah mendengar kedatangan pasukan Mataram bersama pasukan pesisir. Mereka sepakat hendak menahan pasukan Mataram secara bersama-sama sampai hancur.

Raja Galengsong berkata, “Kanda Daeng Marewa, siapkan pasukan. Aku hendak menghadapi prajurit Mataram. Berhati-hatilah jangan sampai ada yang mundur dari bahaya. Menurut berita kapal orang Mataram sudah mendarat. Juga siapkan perahu kita, kalau-kalau sampai terjadi perang di laut. Pakailah perahu kecil dengan dayung karena lebih cepat. Siapkan lembing untuk menghadapi perang di laut. Aku sendiri yang akan turun ke medan perang. Para prajurit dari negeri taklukan tempatkan di belakang.”

Daeng Marewa mundur bersiap melaksanakan perintah. Tanda perang dipukul, para prajurit segera bersiap. Watak orang Makasar tak sabar ingin segera menghadang musuh. Raja Galengsong sudah bersiap. Dengan naik kuda Galengsong diiringi para kerabat lengkap dengan pakaian perangnya.

Di pihak lain, Raden Prawirataruna dan pasukannya telah meminggirkan kapal. Akan tetapi belum semua kapal sampai. Pasukan Kumpeni dan pesisir masih mengambang di lautan. Rangga Sidayu dan Ngabei Singawangsa yang telah sampai duluan segera mendarat. Para prajurit Mataram sudah bersiap di pantai, berjajar-jajar dengan senjata lengkap. Ki Ngabei Pulangjiwa, Ki Panji Wirabumi, Ki Wirawangsa dan Ki Suramenggala sudah mendarat dan bersiap.

Tidak lama kemudian prajurit Makasar datang sambil memukul tanda perang. Mereka datang berbondong dengan menyandang lembing. Pasukan Mataram melihat musuh telah datang. Segera memukul bende tanda mulai perang. Orang pesisir dan Kumpeni belum menepi, musuh keburu datang. Walau demikian pasukan Mataram tidak hendak mundur.

Pasukan Makasar menyerang dengan ganas. Pasukan Mataram menyongsong dengan tembakan senapan. Suara ledakan mesiu seperti langit runtuh, tembakan peluru seperti hujan gerimis. Tidak mundur orang Makasar. Mereka semakin mengamuk. Walau teman banyak tewas terkena tembakan, mereka tak peduli. Terus saja mereka maju sambil menginjak mayat teman-temannya. Dengan senjata lembing dan belati mereka terus merangsek.

Pasukan Mataram lama-lama terdesak karena orang Makasar nekad merangsek. Gelar pasukan menjadi rusak diterjang amukan orang Makasar. Terjadi perang tanding jarak dekat. Orang Mataram banyak yang mati terkena lembing dan belati. Ditambah suasana di medan perang gelap oleh asap senjata, pertempuran menjadi sangat kacau. Ki Panji Wirabumi terluka. Ki Suramenggala juga sudah mundur dengan digotong. Raden Prawirataruna melihat pasukan Mataram rusak, segera mengambil kuda hendak masuk ke medan perang. Dengan menyandang tombak Ki Prawirataruna bertekad mati di medan perang.

Pikir Ki Prawirataruna, aku ini sudah tua. Sudah sepantasnya kalau mati. Lebih baik mati di medan perang ketika melaksanakan perintah raja. Kalau orang Makasar tak bisa dipulangkan, permintaanku kepada Tuhan jangan sampai orang Mataram pulang hidup-hidup. Pulanglah semua dalam peti mati, dihaturkan kepada Sang Raja. Sudah kehendak Tuhan kalau prajurit Mataram kalah, tetapi jangan sampai aku melihat. Lebih baik mati duluan di medan perang.

Raden Prawirataruna sudah mencambuk kudanya, si kuda melesat ke tengah medan perang. Di belakangnya empat puluh orang mengikuti, hendak berbela mati. Mereka adalah para lurah prajurit bernama Ki Sewaya, Sewatruna, Sewabangsa, Sewantaka, Trunawijaya dan Wirakarti. Pasukan Makasar menyambut para perwira yang datang dengan amukan seperti singa lapar. Satu persatu punggawa Raden Prawirataruna berjatuhan. Sewatruna sudah tewas terkena senjata dadanya, Mangunnagara terluka, Wirakarti tewas. Raden Prawirataruna melihat mereka berjatuhan, terus maju dengan mencambuk kuda.

“Ayo semua kerabatku, saya ajak mati bersama!” seru Raden Prawirataruna.

Sewajaya menyahut, “Jangan maju Raden, kalau saya masih hidup. Kalau saya sudah tewas, silakan Tuan.”

Raden Prawirataruna berseru, “Terima kasih kerelaanmu, tetapi aku hendak ikut mati.”

Raden Prawirataruna terus maju. Bersama sisa pasukan Matarm bersamaan menerjang. Melihat senapati mereka tak kenal takut orang Mataram bangkit keberaniannya. Tidak ada yang hendak lari, lebih baik mati di medan perang. Raden Prawirataruna tangguh. Para penggiringnya sudah habis, Prawirataruna masih mengamuk sendirian. Tombaknya terus berputar mencari mangsa. Sewajaya dan Sewabangsa sudah maju ke tengah, banyak orang Makasar tewas olehnya.

Raja Galengsong melihat para perwira Mataram sudah turun, bersiap hendak melawan sendiri. Raden Prawirataruna sudah terluka, semua kerabatnya sudah tewas. Ki Sewajaya juga terluka, Sewajaya mundur karena luka. Melihat penggiring Raden Prawirataruna sudah habis Sewajaya menangis memohon agar Prawirataruna mundur dulu.

Berkata Sewajaya, “Abdi pasuka sudah habis, saya pun terluka.  Bukannya takut mati, tetapi karena kasihan dengan pasukan kita yang sudah tak mampu melawan lagi. Mari kita mundur ke laut naik perahu dulu sambil menunggu pasukan pesisir.”

Raden Prawirataruna menuruti saran Sewajaya, berangsur membawa pasukan mundur ke laut. Pasukan Mataram berebut naik ke perahu. Banyak yang tidak bisa berenang dan jatuh tenggelam. Yang bisa berenang langsung nyebur ke laut, lalu berusaha naik kapal. Raden Prawirataruna berdiri di pantai menunggu semua pasukan naik kapal. Sewajaya masih mendampingi dengan luka-lukanya. Pasukan Makasar terus mengejar. Raden merasa bahwa ajalnya telah dekat. Saat itulah dia teringat kepada anak-istrinya yang dirumah. Dalam hati sudah pasrah kepada Tuhan. Sudahlah, kalian semua tinggalah meneruskan hidup. Juga teringat kebaikan Sang Raja. Saya pamit mati tuan, kata Raden Prawira dalam hati.

Sewajaya menangis karena sudah merasa tak kuat lagi menahan luka-lukanya.

Sambil memeluk kaki tuannya Sewajaya berkata, “Tuan, di dunia dan akhirat jadikan saya sebagai abdi. Semoga kelak saya bisa bertemu lagi dengan Tuan.”

Berkata Radèn Prawiratruna, “Aku terima kesetiaanmu. Maafkan jika ada salahku padamu.”

Sewajaya sudah mati di depan tuannya. Radèn Prawiratruna tinggal sendirian. Pasukan Makasar datang mengepung. Tak lama kemudian Radèn Prawiratruna terjatuh oleh luka-lukanya dan menemui ajal. Ketika hendak dipenggal kepalanya oleh orang Makasar serdadu Kumpeni Ambon datang menghalau. Pasukan Kumpeni telah sampai di pantai dan segera menerjang pasukan Makasar. Tetapi sudah terlambat. Pasukan Makasar yang melihat bantuan datang segera mundur ke dalam benteng. Jenazah Radèn Prawiratruna berhasil diamankan dan dibawa ke laut, setelah dipulasara lalu dipulangkan ke Mataram.

Sementara itu pasukan Mataram dari pesisir sudah datang semua, tetapi mereka tidak berani mendarat. Mereka berlabuh agak ke tengah laut. Para punggawa berunding menentukan langkah berikutnya. Ada Ki Surawangsa, Rangga Sidayu, Ngabei Singawangsa dan Suramenggala.

Berkata Suramenggala, “Bagaimana ini kanda. Kalau di tengah laut terus menerus dan tak segera minggir kami semua tak kuat diterjang ombak. Rasanya seperti dibanting-banting. Dan lagi para serdadu Kumpeni itu, rasanya tak banyak membantu. Juga harus dipikirkan orang Sampang, yang tampaknya bisa berbuat merugikan kita. Bagaimana kalau kita minggir ke tempat yang aman dulu.”

Para punggawa dari pesisir sepakat untuk menepi dahulu. Yang dituju adalah Paiton. Kapal-kapal segera diarahkan masuk ke sungai Paiton dan mendarat di sana dengan terus waspada. Semua sudah mendarat kecuali Singawangsa yang masih berada di lautan. Tetapi memang sudah kehendak Tuhan, pasukan Mataram tidak beruntung. Ketika mendarat ternyata sungai Paiton mengering. Banyak perahu kandas tak mampu lagi melaut. Di saat yang sama orang Makasar ternyata selalu mengintai pergerakan mereka. Ketika mereka mendarat orang Makasar segera menyerang.

Pasukan Mataram kaget. Hendak melawan belum siap semua. Hendak kembali ke laut kapal mereka kandas. Pasukan Makasar menerjang dengan ganas. Kapal-kapal yang kandas dibakar, prajurit Mataram yang tertangkap dibunuh. Semua barang bawaan dijarah. Para prajurit pesisir habis, kapal mereka hancur semua. Prajurit Mataram yang sudah terlanjur turun memberikan perlawanan terakhir tetapi segera dilibas pasukan Makasar. Sebagian besar tewas, hanya sedikit yang bisa menyelamatkan diri.

Ki Surawangsa dan Ki Suramenggala kebingunan. Pasukannya kelaparan karena semua perbekalan terbakar di kapal. Dalam kebingungan mereka memutuskan hendak mundur ke Surabaya, lalu pulang ke Jepara.

Sementara itu jenazah Radèn Prawiratruna sudah sampai di Mataram. Anak-istrinya datang menangisi, juga para abdi dan prajuritnya yang berada di kotaraja. Kediaman Radèn Prawiratruna hujan tangis. Suasana di kotaraja mencekam karena berita pasukan Mataram kalah perang. Banyak keluarga merasa bersedih karena dipastikan suami dan ayah mereka takkan pulang. Jerit para janda bersahutan, bercampur tangis para anak-anak.

Sang Raja Mataram Prabu Amangkurat bertahta di bangsal pasewakan. Tampak Sang Raja menahan amarah terlihat dari raut wajahnya yang sangar. Para punggawa sudah lengkap hadir di depan. Pangeran Adipati Anom duduk bersebelahan dengan sang adik Pangeran Singasari, Pangeran Puger dan Pangeran Martasana. Para pembesar kerajaan telah hadir. Pangeran Purubaya bersebelahan dengan Pangeran Pringgalaya. Para tumenggung duduk agak ke belakang, Raden Wiratmeja, Wiramenggala, Mangunnagara dan Ngabei Wirapati. Semua punggawa diam tertunduk menunggu perintah Sang Raja.

Berkata Sang Raja kepada Pangeran Adipati, “Sekarang engkau Ki Adipati, turunlah sendiri bersama adikmu Singasari ke medan perang melawan orang Makasar. Karena semua yang aku tunjuk tidak mendapat hasil. Paman Pangeran Purubaya Anda ikutlah serta sebagai sesepuh. Dinda Pangeran Balitar, engkau ajak serta si Arya Pamot untuk ikut. Juga si Rajamenggala, si Wirapati dan si Wirajaya ikutlah juga ke Demung. Pasukan Mataram yang berada di kotaraja bagilah tiga. Dua bagian bawalah, satu bagian tinggalah untuk menjaga kota. Dan pesanku kepada engkau Ki Adipati, mampirlah ke Madura. Gempurlah si Trunajaya. Dialah yang menjadi sebab orang Madura tak menghadap ke Mataram. Anakku Cakraningrat, engkau ikutlah serta. Barangkali orang Sampang masih takut kepadamu.”

Sudah habis perintah Sang Raja. Pangeran Adipati dan punggawa yang ditunjuk segera bersiap menata barisan. Paginya pasukan Mataram di bawah pimpinan Pangeran Adipati Anom bersiap berangkat. Sebelum berangkat para pangeran berpamitan kepada para istri-istri mereka. Banyak istri tak rela ditinggalkan dan ingin ikut serta. Para pangeran tak mengizinkan, hanya meminta bunga bekas hiasan rambut sebagai pengobat rindu dalam perjalanan. Hanya Pangeran Adipati yang membawa selir, dinaikkan dalam tandu. Pangeran Adipati segera menabuh bende tanda berangkat. Dengan naik kuda Pangeran Adipati memimpin pasukan. Dikelilingi para pengawal sang pangeran berpayung kuning.

Tumenggung Rajamenggala bertindak sebagai pimpinan pasukan garis depan. Di belakangnya menyambung pasukan Arya Pamot dan Ki Wirapati. Lalu di belakangnya pasukan tombak di bawah pimpinan Pangeran Balitar. Sang pangeran naik kuda berpayung putih. Di belakangnya pasukan Pangeran Purubaya yang memakai payung hijau. Para prajuritnya memakai tombak pendek. Lalu di belakangnya Pangeran Madura memakai payung hijau. Pasukan Pangeran Madura hanya sedikit dan itupun pemberian Sang Raja karena Pangeran Madura telah banyak ditinggalkan prajuritnya. Pangeran Madura tinggal di Mataram, sementara wilayahnya telah dikuasai Trunajaya. Di belakang Pangeran Madura menyambung pasukan Pangeran Adipati. Tampak pasukan pilihan mengawal sang pangeran dengan pakaian warna-warni. Tujuh puluh orang memakai pakaian kuning dan menyandang tombak. Di belakangnya prajurit dengan tombak biru dan pakaian putih. Di belakangnya seratus orang memakai tombak panjang. Di belakang pasukan Pangeran Adipati, menyambung pasukan Pangeran Singasari dengan payung kuning. Lalu di belakangnya lagi pasukan Tumenggung Wirajaya. Para istri prajurit yang berangkat bertangisan. Setelah dua pasukan Mataram yang terdahulu gagal kali ini mereka diliputi kekhawatiran. Ada yang sudah menangis meraung-raung seolah ditinggal mati. Ada yang memilih mengurung diri di kamar. Ada yang seharian menangisi kepergian lakinya. Ada yang punya nazar kalau kelak selamat dirinya akan mengizinkan suaminya menikah lagi empat sekaligus. Tapi ada pula yang bersyukur karena suaminya pergi dia bisa nyaman berselingkuh. Rupa-rupa perilaku para istri prajurit yang berangkat perang. 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/05/babad-tanah-jawi-69-nagari-pajarakan-dijarah-prajurit-dari-makasar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...