Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawa (90): Panembahan Rama di Kajoran ditumpas habis

 Alkisah, di Gunung Kidul Panembahan Rama dari Kajoran akan melawan Sang Raja. Ketika negeri Kediri yang dikuasai Trunajaya takluk, banyak para punggawanya lari ke Kajoran. Hal ini membuat Sinuhun Ing Ngalaga dulu hendak menyerang Kajoran. Namun sang Panembahan mengungsi ke Gunung Kidul, bersembunyi di gua-gua di tepi samudera. Kemudian mereka menggelar barisan di Malambang. Orang-orang di Gunung Kidul semua tunduk kepada Panembahan sehingga pasukannya terus membesar. Pasukan garis depan Panembahan Kajoran telah bergerak turun sampai di Kalesan, lalu menaklukkan wilayah di kiri-kanan.

Pergerakan pasukan Panembahan Kajoran sudah dilaporkan kepada Sang Raja. Raja Amangkurat sangat murka, segera memerintahkan pasukan Kartasura untuk menyerang. Yang ditunjuk untuk melaksanakan adalah Adipati Surabaya Tumenggung Jangrana. Berangkat dari Kartasura Adipati Jangrana membawa tiga ribu prajurit. Sesampai di Karangasem Kalesan terjadilah pertempuran dahsyat. Pasukan Gunung Kidul dihujani tembakan senapan, tulup dan lembing. Tidak bertahan lama, pasukan Gunung Kidul bubar berlarian. Sisa pasukan yang hidup kembali naik gunung dan melapor kepada sang Panembahan bahwa pasukan garis depan sudah ditumpas oleh Adipati Jangrana dari Surabaya.

Di Gunung Kidul Panembahan Kajoran sedang dihadap para lurah. Panembahan menyuruh para pembantunya untuk menyembelih ayam jago dan memerintahkan untuk memanggangnya serta memotong-motong ayam tersebut.

Panembahan lalu berkata, “Anak cucuku, kalau hewan ini nanti bisa hidup pasti kita menang perang.”

Panembahan lalu menggertak ayam tersebut. Seketika ayam jago terbang dan berkokok.

Panembahan berkata, “Nah, ini tanda bahwa aku akan menang perang. Semua anak cucuku kalau kalian menerjang musuh jangan ragu dan takut melihat tajamnya senjata. Kalaupun engkau sampai mati aku gertak akan seperti ayam itu. Mati bisa hidup lagi. Sedangkan musuh kalau mati, pasti mati sungguhan. Jangan sampai ragu-ragu semua prajuritku serta anak cucuku, kalau sampai kena senjata jangan takut, kalian menoleh pasti sembuh.”

Para pembantu Panembahan Kajoran sangat kegirangan.

Panembahan berkata lagi, “Dan lagi, kalau besok berperang katakan seperti ini: payo pepecut larut[1]. Maka oleh musuh engkau akan terlihat mempunyai sepuluh kepala. Musuh yang jumlahnya ribuan akan lari.”

Para prajurit menyembah. Ada seorang pemuka prajurit bernama Ki Rangga Dhadhapan. Oleh Sang Panembahan disembur ubun-ubunnya dan diberikan kuda bernama Pamulang. Si Rangga disuruh telanjang di atas kuda. Setelah semua siap maka pasukan berangkat dari Malambang dengan bersorak-sorai di sepanjang jalan.

Singkat cerita, pasukan Kajoran sudah sampai di Pamasaran. Barisan pasukan Adipati Surabaya mendengar kalau pasukan musuh mendapat bantuan dari Gunung Kidul. Mereka bersiap menghadang. Kedua kubu sudah berhadap-hadapan di Kaleca, dan pecahlah pertempuran dahsyat. Pasukan Kajoran dari Gunung Kidul mengamuk serempak. Rangga Dhadhapan memimpin sambil telanjang di atas kuda. Para pasukan Kajoran berteriak: payo pepecut larut. Pasukan Surabaya menembak, tetapi tak satupun senapan mereka berbunyi. Pasukan Surabaya ciut hatinya. Si Rangga Dhadhapan maju ke depan dan menantang. Pasukan Surabaya bubar. Para prajurit hilang keberaniannya. Pasukan dari Gunung Kidul mengamuk seperti singa galak melihat mangsa. Banyak prajurit Surabaya yang tewas. Pasukan Surabaya terdesak ke barat dan berhenti di Wanglu.

Pasukan Gunung Kidul menduduki Wanglu. Pasukan Surabaya lari ke Ceper dan menata barisan. Ada bantuan pasukan dari Kartasura sejumlah seribu prajurit Madura. Pangeran Ngawangga dari Ceper juga membantu pasukan Jangrana dengan mengerahkan penduduk sekitar.

Semua kekuatan Kartasura sudah berkumpul di Ceper. Ki Tumenggung Jangrana hendak maju sendiri ke medan perang. Para prajurit Surabaya dan Madura bersiap kembali menyerang pasukan Gunung Kidul di Wanglu. Pertempuran kembali pecah di Wanglu. Pasukan Surabaya berada di dada, sementara sayap diisi pasukan bantuan dari Kartasura. Senapan kini telah berbunyi. Pasukan Gunung Kidul menerjang sambil berteriak: pecut larut. Mereka menerobos kepulan asap senapan pasukan Surabaya. Banyak dari mereka tewas. Pasukan Gunung Kidul terdesak dan banyak yang lari. Si Rangga Dhadhapan diberondong senjata dan dihujani panah. Tetapi tak satupun mengenai Ki Rangga. Di atas kuda Ki Rangga Dhadhapan menghindar dan kembali bersama sisa pasukan ke Malambang.

Rangga Dhadhapan sudah sampai di hadapan Panembahan Rama Kajoran. Rangga Dhadhapan bersimpuh sambil melaporkan jalannya perang.

Panembahan Kajoran berkata, “Hai prajuritku. Jangan berkurang semangatmu. Masih banyak gelar perang yang akan aku terapkan. Semua berkumpulah, aku akan membuat penanda kalah atau menang kita dalam perang.”

Panembahan lalu meminta ikan lele sepasang. Para prajurit semua disuruh berjanji dengan mengatakan: “Hai ikan lele, kalau tuan lestari engkau pasti bisa memanjat pohon kelapa dan menyusuri pelepah.”

Si lele segera digertak oleh Panembahan. Seketika lele melesat naik ke pohon kelapa. Sesampai di atas Panembahan menyuruh prajuritnya untuk melihat. Yang disuruh segera memanjat pohon kelapa untuk membuktikan. Sesampai di pelepah dua lele sudah berada di tapas pelepah. Para prajurit kembali percaya diri.

Sementara itu Adipati Jangrana membawa pasukannya naik gunung. Orang Gunung Kidul geger melihat kedatangan pasukan Adipati Jangrana. Kanan kiri Malambang sudah dikepung pasukan Surabaya. Panembahan masih berada di dalam benteng di Malambang.

Rangga Dhadhapan melaporkan, “Tuan, musuh sudah datang mengepung. Yang berbaris di utara Adipati Jangrana. Yang ditunjuk berbaris di timur adalah pasukan Madura dengan dipimpin empat mantri serta tiga ratus prajurit Madura. Di barat tiga ratus prajurit Surabaya dan prajurit bantuan dari kakak Tuan Pangeran Ngawangga.”

Panembahan berkata, “Hai Dhadhapan, engkau majulah berperang. Aku berikan cambukku, pakailah sebagai senjata. Di arah manapun engkau mencambuk pasti musuh meriang, ciut hatinya. Aku takkan tega dengan kalian. Aku akan mendampingi kalau-kalau ada yang tewas aku gertak supaya hidup lagi.”

Semua prajurit menyatakan sanggup. Ada empat ratus kurang lebih. Panembahan lalu turun ke pasukan yang sedang berbaris. Panembahan mengitari dengan memegang dupa dan kemenyan serta membaca doa-doa. Rangga Dhadhapan sudah menerima cambuk.

Panembahan berkata, “Yang utara itu terjanglah dulu.”

Rangga Dhadhapan segera menerjang dengan memegang cambuk. Ki Tumenggung Jangrana melihat musuh datang, segera menyiapkan pasukan. Ki Tumenggung sudah mengenakan pakaian perang. Segera memukul tanda perang, para prajurit bersorak bergemuruh. Kedua pasukan segera terlibat pertempuran.

Ki Rangga Dhadhapan mencambuk dari belakang ke arah pasukan Surabaya, para prajurit Kajoran berteriak: pecut larut. Prajurit Surabaya ciut, senapan mereka macet. Panembahan Rama Kajoran berada di belakang sambil membawa dupa diiringi dua abdinya. Datang angin semilir, lama-lama bercampur angin topan. Medan perang seketika gelap. Prajurit Surabaya ketakutan. Pasukan Madura dari arah timur menerjang, tetapi hati mereka menciut ketika masuk ke medan perang. Prajurit bantuan dari Ngawangga datang dari arah barat sambil bersorak. Tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Pasukan besar dari Kartasura meriang semua. Ki Dhadhapan memanfaatkan kesempatan dengan menerjang ke kiri-kanan. Banyak prajurit Surabaya dan Madura tewas, prajurit bantuan dari Ngawangga banyak yang lari. Perang berhenti karena hari menjelang malam. Pasukan Kartasura mundur. Pasukan Kajoran kembali ke Benteng.

Di dalam benteng Malambang, Panembahan Kajoran berbincang dengan para prajuritnya. Rangga Dhadhapan sudah menghadap.

Panembahan berkata, “Hai Dhadhapan. Besok kalau engkau berperang, tidak harus maju sendiri ke medang perang, juga para prajuritku semua. Besok aku akan memakai gelar perang seperti yang sudah-sudah. Aku akan pakai rumput alang-alang, aku gertak dan menjadi manusia. Musuh akan gentar melihatnya.”

Para prajurit Kajoran percaya diri, mereka semua menyembah dan kembali istirahat.

Sementara itu di markas pasukan Kartasura, Tumenggung Surabaya berbincang dengan para mantrinya. Hadir para mantri prajurit Madura, Pangeran Ngawangga dan utusan dari tanah perdikan Kekunang dan Pacalan. Hanya dari Tembayat yang belum datang.

Tumenggung Jangrana berkata, “Saudara-saudara, bagaimana akan berakhir perang ini kalau selalu demikian. Bisa-bisa tujuh bulan tak selesai. Besok aku sendiri yang akan maju. Tidak perlu ada pasukan sayap atau sejenisnya. Semua bergabunglah denganku. Pangeran Ngawangga dan saudara dari Pacalan dan Kekunang serta Tembayat di belakangku semua. Jangan ikut perang, aku sendiri yang maju.”

Berkata Pangeran Ngawangga, “Si Dinda dari Tembayat belum hadir. Kalau tak hadir harus mengirim wakil. Banyak kerabatnya sudah disertakan dengan saya, tetapi masih saya tunggu kedatangannya sampai besok.”

Tumenggung Jangrana berkata, “Walau tidak hadir pun itu hanya seorang, tidak perlu ditunggu karena telah banyak kerabatnya yang berada di sini. Karena saya besok pagi akan maju menyerang benteng. Orang Gunung Kidul walau punya kepala seribu, aku tidak takut. Anda Pangeran sebaiknya berdoa di belakang dan berilah tulak balak agar para prajuritku tidak takut. Asal masih kelihatan, walau yang mati bisa hidup lagi, asal tidak terbang dan masih bisa dijangkau tombak dan berada di darat takkan mundur diriku. Hai orang-orangku dari Surabaya, para mantri dan saudaraku semua, besok jangan jauh-jauh dariku. Pilihlah prajurit yang tangguh, tak usah banyak-banyak. Cukup lima ratus saja asal berani mati.”

Pagi harinya Adipati Jangrana Surabaya sudah bersiap menyerang. Dari dalam benteng keluar Rangga Dhadhapan bersama pasukannya. Pasukan dari Gunung Kidul terlihat tak takut dengan senjata, mereka laksana macan galak. Guru mereka Pangeran Kajoran berada di belakang dengan membawa dupa. Tetapi sudah menjadi kehendak Tuhan kesaktian Panembahan Kajoran tak berujud. Senapan pasukan Surabaya kembali berbunyi. Secara bersamaan pasukan Surabaya menghujani tembakan ke arah pasukan Kajoran. Pasukan Gunung Kidul bergelimpangan menemui ajal. Pasukan Surabaya terkenal tangguh, bukan tandingan orang gunung.

Panembahan Kajoran melihat para prajuritnya bertumbangan tewas. Berkali-kali digertak tak ada yang bangun. Panembahan mencabut rumput alang-alang, dan berkali-kali digertak tak terjadi apapun. Masih berujud rumput alang-alang. Ki Rangga Dhadhapan telah tewas diberondong peluru, panah dan tombak. Panembahan mundur ke benteng hanya dengan delapan prajurit yang tersisa. Setelah masuk ke benteng Panembahan menuju tempat semedi.

 Sementara itu pasukan Surabaya mengepung benteng dari segala penjuru. Berondongan peluru terus diarahkan ke bentang. Para wanita di benteng terdengar saling menjerit dan menangis. Sementara itu Panembahan yang sedang semedi lama-lama terlihat menjadi semakin muda, lalu tampak seperti perjaka dan perlahan-lahan menjadi anak kecil,  lalu tampak menjadi bayi sebelum akhirnya musnah.

Prajurit Surabaya yang mengepung benteng sudah berhasil masuk. Kocar-kacir orang-orang di dalam benteng. Semua lelaki walau masih kecil kalau ketemu dibunuh, sedangkan yang wanita ditawan sebagai boyongan. Sudah hancur markas Panembahan Kajoran di Malambang. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: têrus sirna bahing ratu[2]. Bekas benteng Malambang lalu dibakar sampai habis.

Tumenggung Adipati Jangrana bersiap kembali ke Kartasura. Yang ditugaskan berjaga adalah Pangeran Ngawangga dan para kerabat dari Pacalan serta Kekunang. Mereka berjaga-jaga barangkali sepeninggal pasukan Kartasura Panembahan Kajoran yang menghilang muncul lagi.

Adipati Jangrana Surabaya telah sampai di Kartasura. Sudah dilaporkan kepada Sang Raja jalannya perang di Gunung Kidul. Harta rampasan dan para wanita boyongan sudah dihaturkan kepada Sang Raja. Tumenggung Jangrana sudah diberi hadian uang dan pakaian indah.


[1] Artinya secara harafiah: ayo semua cambuk luluh.

[2] Sengkalan: trus sirna bahing ratu (1609 A.J., 1685/1686 A.D.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/27/babad-tanah-jawa-90-panembahan-rama-di-kajoran-ditumpas-habis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...