Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (106): Sinuhun Pakubuwana menduduki tahta Kartasura

 Sementara itu Raja Pakubuwana sudah bermarkas di Baledug, setelah berhasil menduduki bekas markas Pangeran Arya Mataram itu. Setelah menginap semalam paginya berangkat lagi menuju Kartasura. Sepanjang jalan mereka menjarah milik penduduk. Yang tak mau menyerahkan akan ditelanjangi. Pasukan Semarang terus berjalan sampai di Majalegi. Pada hari Sabtu, tanggal 8 bulan Jumadilawal, atau selang sehari dari kepergian sang keponakan dari istana Kartasura. Setelah semalam berada di Majalegi paginya berangkat menuju istana Kartasura.

Pangeran Arya Mataram, Pangeran Natakusuma dan Pangeran Arya Panular yang tetap tinggal di istana Kartasura hendak menjemput Sang Raja Pakubuwana. Admiral Speelman, Adipati Surabaya dan Panembahan Madura datang duluan dan bertemu Pangeran Arya Mataram di pesanggrahan Kalitan.

Admiral bertanya, “Ada di mana Raja Amangkurat sekarang?”

Pangeran Arya Mataram menceritakan semua yang terjadi di istana, dari awal sampai akhir. Admiral sangat gembira mendengar penuturan Pangeran Arya Mataram. Mereka kemudian dijamu oleh Pangeran Arya Mataram. Semua sudah makan sampai kenyang berserta para prajurit. Setelah selesai jamuan Admiral bersama Adipati Surabaya dan Panembahan Madura menuju alun-alun. Admiral melihat ada dua meriam yang besar, Kyai Sapujagat dan Kyai Gunturgeni. Mengapa kedua meriam besar itu tidak dipakai menghadapi serangan? Tuan Admiral kemudian naik ke Sitinggil dan mendapati pintu menuju istana tertutup. Ketiga Pangeran yang menjaga istana tak berani membukakan pintu untuk Admiral. Mereka takut kepada Sang Raja.

Berkata Admiral, “Panembahan Madura dan Adipati Jangrana, kalidan berdua tinggal di sini. Saya akan kembali menjemput Sang Raja.”

Tuan Admiral kembali ke pondokan Sang Raja di Majalegi. Adipati Surabaya dan Panembahan Madura segera menggelar barisan untuk menyambut masuknya Sang Raja ke istana. Pasukan kedua pembesar dari timur itu berjajar dengan pakaian berwarna-warni di sepajang jalan mulai dari Pagelaran sampai di  Kamalayan. Tuan Admiral yang menjemput Sang Raja sudah sampai di Asem. Di Asem Tuan Admiral bertemu dengan rombongan Sang Raja yang sudah berangkat dari Majalegi.

Berkata Tuan Admiral, “Keraton Kartasura sudah kosong paduka. Mohon paduka berkenan untuk segera memasuki keraton.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, ayo kita berangkat.”

Rombongan Sang Raja berbaris memasuki kota. Rakyat kecil bergembira menyambut kedatangan raja mereka. Sang Raja naik gajah yang berasal dari Siam. Asal mulanya gajah tersebut pemberian Raja Siam kepada Susunan Amangkurat Mas. Ketika sampai di Semarang Adipati Semarang menahan gajah tersebut dan tidak menghaturkannya ke Kartasura. Sekarang gajah tersebut dipersembahkan untuk raja baru mereka. Gajah sudah diberi pelana yang indah dengan warna mencolok.

Pasukan pesisir yang berjalan mengawal Sang Raja sudah bersambung membentuk barisan panjang dengan pasukan Surabaya dan Madura. Sang Raja memasuki alun-alun. Gamelan berbunyi riuh menyambut kedatangan Sang Raja. Sesampai di Pagelaran Sang Raja turun dari gajah. Panembahan Madura dan Adipati Surabaya sudah menyambut. Admiral Speelman tak pernah jauh dari Sang Raja. Ketika naik ke Sitinggil Sang Raja mendapati pintu masih terkunci. Tuan Admiral memerintahkan agar kunci dipatahkan. Sang Raja kemudian masuk ke dalam istana. Pada hari Jum’at Sang Raja masuk istana. Di dalam istana Sang Raja menerima penyerahan diri Pangeran Arya Mataram, Pangeran Panular dan Pangeran Natakusuma.

Lain cerita, putra Sang Raja Pakubuwana yang masih tinggal di Kartasura, Pangeran Ngabei. Ketika Raja Amangkurat hendak hengkang dari istana Pangeran Ngabei diminta kesetiaannya. Oleh karena terdesak, Pangeran Ngabei menyanggupi. Namun di tengah jalan Pangeran memisahkan diri dari rombongan. Berserta keluarganya Pangeran Ngabei melarikan diri ke Wedhi. Sekarang Pangeran Ngabei bersiap hendak menyerahkan diri kepada sang ayah. Sang Raja dengan senang hati menerima penyerahan diri sang putra. Mereka telah berkumpul kembali. Para adik-adik pangeran Ngabei kemudian bergantian sungkem kepada sang kakak.  Pangeran Ngabei sangat terharu. Tiga tahun sudah mereka berpisah karena keadaan.

Mengulang cerita ketika Sang Raja Pakubuwana berangkat dari Semarang, ada seorang putranya yang ditinggal untuk menjaga kota Semarang. Kumpeni merasa tidak nyaman kalau tidak ada pembesar Jawa yang ditinggal sebagai pemimpin di Semarang. Maka Sang Raja meninggalkan salah satu putranya yang bernama Pangeran Prangwadana. Sang pangeran adalah perwira yang cakap dan tangguh, maka selayaknya jika diserahi memimpin kota Semarang selama ditinggal ke Kartasura.

Ketika mendengar bahwa Sang Raja Pakubuwana telah menang perang dan berhasil mengusir Raja Amangkurat Mas, Pangeran Prangwadana ingin segera menyusul ke Kartasura. Bersama sang ibu yang juga ditinggal, mereka sepakat untuk segera berangkat. Namun seorang alperes Kumpeni mencegahnya.

Si alperes beralasan, “Duh Pangeran, jangan dulu Pangeran pulang ke Kartasura kalau belum ada utusan dari ayah paduka yang memanggil.”

Pangeran menunda keberangkatan, tetapi utusan yang diharap datang tak segera kunjung tiba. Pangeran berencana berangkat tanpa menunggu utusan datang. Si alperes lagi-lagi mencegahnya. Dua tiga kali Pangeran berhasil ditahan, tetapi Pangeran lama-lama jengkel. Pangeran memaksa untuk tetap berangkat. Ketika alperes tak kalah keras menghalangi, Pangeran murka. Si alperes ditikam hingga tewas. Pangeran segera berangkat meninggalkan Semarang. Di sepanjang perjalanan sang ibu terus menangis, membayangkan betapa amarah Sang Raja nantinya. Pangeran menjadi ragu untuk pulang ke Kartasura, lalu berbelok ke wilayah Kedu dan menduduki desa Kabakalan. Di Kabakalan Pangeran Prangwadana menggelar barisan beserta para prajuritnya. Orang-orang Kabakalan dan sekitarnya tunduk dan patuh. Prajurit Pangeran Prangwadana telah berjumlah hampir sembilan ribu.

Di Kartasura Admiral Speelman melapor kepada Sang Raja kalau Pangeran Prangwadana telah menikam seorang Kumpeni dan sekarang menggelar barisan di Kabakalan. Sang Raja sangat marah mendengar berita tersebut. Adipati Sujanapura diperintahkan menyusul Pangeran Prangwadana dan membujuknya pulang ke Kartasura. Bersamaan waktunya Panembahan Madura dan Adipati Jangrana diperintahkan untuk mengejar larinya Susunan Amangkurat Mas. Kedua pasukan berangkat bersamaan. Pasukan Panembahan Madura dan Adipati Jangrana membawa prajurit pesisir. Mereka melakukan pengejaran sampai di Kabangkekan.

Sementara itu Sunan Amangkurat Mas masih berada di Laroh. Di sana mereka berhenti selama tiga hari. Patih Sumabrata memberi tahu kalau pasukan Panembahan Madura dan Adipati Jangrana terus mengejar. Sang Raja Mangkurat kaget dan segera berpindah ke Kaduwang. Di sepanjang perjalanan satu per satu punggawanya tercecer dan menyerah kepada Panembahan Madura.

Sementara itu, Adipati Sujanapura telah sampai di Kabakalan. Adipati Sujanapura berhasil membujuk Pangeran Prangwadana agar bergabung ke Kartasura. Bersama seluruh prajuritnya Pangeran dibawa ke Kartasura. Ada tiga ribu prajurit bersenjata yang dibawa selain para tukang pikul yang membawa barang. Sesampai di Kartasura segera dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat marah, sang putra segera diperintahkan untuk dihukum bunuh dengan cara dicekik tambang. Pelaksanaan hukuman dilakukan di masjid agung.

Sementara itu Panembahan Madura yang mengejar Sunan Amangkurat Mas dipanggil pulang ke Kartasura. Karena Sang Raja merasa sang keponakan sudah cukup jauh pergi dari kotaraja. Semua punggawa yang menyerah dibawa serta menghadap Sang Raja.

Di istana Kartasura Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa. Patih Cakrajaya duduk di depan berjajar dengan Panembahan Madura, Adipati Surabaya dan Adipati Sujanapura. Juga hadir Adipati Jayaningrat, Tumenggung Citrasoma, Tumenggung Wirancana, Tumenggung Kartanagara, Pangeran Arya Mataram, Pangeran Arya Panular dan Pangeran Natakusuma. Para putra juga lengkap menghadap, Pangeran Adipati Anom Amangkunagara, Pangeran Purubaya, Pangeran Ngabei, Pangeran Balitar, Pangeran Upasanta dan Pangeran Dipanagara.

Sang Raja berkata, “Wahai Dinda Madura, bagaimana perjalananmu mengejar Nak Raja Amangkurat? Berada di mana dia sekarang?”

Panembahan berkata, “Putra paduka berada di Kaduwang. Punggawa putra paduka sudah banyak yang menyerah. Hanya tinggal Mandurareja, Wiraguna, Patih Sumabrata, Mangunnagara dan Arya Tiron yang masih setia menemani.”

Sang Raja berkata, “Hai Patih Cakrajaya, aku perintahkan semua punggawa Nak Raja yang menyerah kembalikan jabatanannya. Hanya si Mangkuyuda yang harus berbagi jabatan dengan Si Surantaka. Si Natayuda itu, si Natakusuma, tetap pada kedudukannya. Si Sindureja juga tetap menjadi tumenggung. Dinda Arya Mataram dan Dinda Panular juga masih menempati jabatan lama. Jangan berubah dari yang dulu ketika Kanda Raja masih bertahta. Si Citrasoma aku angkat sebagai wadana gedhong kiri, wadana gedhong kanan dijabat si Wirancana. Dan lagi Ki Adipati Amangkunagara aku beri tanah lima ribu karya. Adipati Purubaya aku beri tanah tiga ribu karya. Adipati Balitar aku beri tanah tiga ribu karya juga. Ki Ngabei Loring Pasar aku beri tanah dua ribu. Dan, anakku Dipanagara aku beri tanah seribu karya. Juga anakku si Upasanta aku beri tanah seribu karya.”

Ki Patih menyembah. Sang Raja kemudian beranjak masuk ke dalam istana. Penduduk Kartasura sudah merasa aman sejahtera. Para petani nyaman bekerja. Tuan Admiral Speelman sudah disuruh kembali ke Betawi beserta para serdadunya. Sebagai penjaga Sang Raja di Kartasura ditempatkan seorang komisaris Kumpeni. Ki Adipati Semarang juga sudah pulang bersama Tuan Admiral Speelman.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/12/babad-tanah-jawi-106-sinuhun-pakubuwana-menduduki-tahta-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...