Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (107): Sunan Amangkurat Mas meminta bantuan ke Pasuruan

 Sementara itu Sang Raja yang baru saja lari dari istana, Susunan Amangkurat Mas telah mengirim utusan ke Pasuruan untuk meminta bantuan kepada Raden Surapati atau sekarang dikenal dengan nama Adipati Wiranagara. Raden Surapati kemudian mengirim kedua patihnya Ngabei Lor dan Ngabei Kidul untuk menjemput Raja Amangkurat Mas. Rombongan Raja Amangkurat juga sudah bergerak ke timur. Keduanya bertemu di Dermalang. Ngabei Kidul dan Ngabei Lor kemudian meminta izin kepada Raja Amangkurat untuk meneruskan perjalanan ke Kartasura. Mereka berdua hendak menyerang Kartasura. Sang Raja mengizinkan. Dengan pengawalan punggawa Kartasura Sang Raja kemudian meneruskan perjalanan melalui Ponorogo.

Pasukan Pasuruan di bawah pimpinan Ngabei Kidul dan Ngabei Lor terus mendekati Kartasura. Sepanjang jalan mereka menjarah desa-desa. Orang-orang desa banyak yang mengungsi ke kota mencari perlindungan. Mereka kemudian melapor kepada Panembahan Madura dan Adipati Surabaya. Kedua pembesar itu masih berada di Kartasura beserta pasukan pesisir. Panembahan Madura kemudian memanggil para putra untuk bersiap menghadapi pasukan Pasuruan. Lagi-lagi tiga ksatria dari wilayah timur tampil, Ki Arya Jaya Puspita, Panji Surengrana dan Raden Suradiningrat. Ketiganya berangkat membawa pasukan Madura dan Surabaya.

Di lain tempat, Raja Amangkurat sudah sampai di Ponorogo. Sang Raja berkehendak untuk bercengkerama di hutan. Para selir yang berjumlah empat puluh orang dibawa semua. Sepanjang jalan Sang Raja hanya berkasih mesra. Tak peduli sedang berada di pelarian. Penguasa Ponorogo Raden Martawangsa menyambut kedatangan Sang Raja  dengan hangat. Sang Raja berkenan mengadakan acara berburu. Raden Martawangsa lalu menyediakan banteng dan kijang di arena perburuan yang berpagar bambu. Bersama para selir Sang Raja membidik hewan buruan dengan panah. Satu kali Sang Raja berhasil membidik seekor kijang dengan anak panah. Raden Martawangsa dengan sigap masuk ke arena perburuan untuk mengambil si kijang dan membawanya keluar untuk disembelih. Masuknya Raden Martawangsa membuat Sang Raja marah. Sang Raja memerintahkan agar Raden Martawangsa ditangkap dan dikebiri di tempat itu juga. Raden Martawangsa sampai jatuh pingsan. Para putra Ponorogo menangis melihat ayah dan kerabat mereka diperlakukan secara kejam. Para punggawa Ponorogo sakit hati atas perlakuan Sang Raja terhadap pemimpin mereka. Hanya sepele kesalahan yang dilakukan, mengapa hukumannya begitu kejam. Mereka sepakat untuk melawan Sang Raja Amangkurat. Apalagi mereka sudah mendengar kabar bahwa di Kartasura telah berdiri raja baru yang jauh lebih welas asih, suka berderma dan pemaaf. Bukan seperti raja yang ini, raja berwatak Iblis. Para punggawa kemudian berkumpul di hutan untuk merencanakan penyerangan.

Patih Ki Sumabrata rupanya sudah mengetahui rencana para punggawa Ponorogo. Ki Patih segera memberitahukan kepada Raja Amangkurat. Sang Raja sangat kaget dan dengan gugup buru-buru pergi dari Ponorogo. Banyak pasukan pengawalnya berceceran sepanjang jalan. Sebagian dari mereka berhasil ditangkap pasukan Ponorogo dan dibunuh. Pengawal Raja Amangkurat banyak berkurang.

Sang Raja Amangkurat kemudian menuju Madiun. Penguasa Madiun kemudian mengerahkan pasukan untuk melindungi Sang Raja. Pasukan Madiun dan Ponorogo kini saling berhadapan di hutan Gegelang. Kedua pasukan bertempur dan banyak korban berjatuhan.

Sementara itu pasukan Pasuruan pimpinan dua patih Ngabei Lor dan Ngabei Kidul sudah melakukan kontak senjata dengan pasukan Madura dan Surabaya di desa Waluyu. Kedua patih Pasuruan sangat berani, tapi bukan tandingan tiga ksatria dari timur. Pasukan Pasuruan terdesak. Ngabei Lor dan Ngabei Kidul melarikan diri ke Samedhangan. Mereka mendengar kalau Sang Raja Amangkurat telah berada di Madiun. Kedua patih Pasuruan kemudian menuju Jagaraga. Pasukan Madura mengejar mereka sampai di Galathik.

Kedua patih Pasuruan berhasil bergabung dengan Raja Amangkurat di Madiun. Pasukan Madura dan Surabaya bergabung dengan pasukan Ponorogo lalu menyerang Madiun. Raja Amangkurat lari ke Daha, Kediri. Pasukan Madura dan Surabaya berhenti mengejar dan kembali ke Kartasura.

Kabar berlindungnya Raja Amangkurat ke Pasuruan telah terdengar sampai Betawi. Gubernur Jenderal mengirim surat kepada Raja Pakubuwana. Isi suratnya meminta agar Raja Amangkurat Mas terus diburu ke manapun perginya. Bila perlu Surapati sekalian dihancurkan. Bila Sang Raja setuju Kumpeni akan mengirim bantuan sejumlah delapan ratus serdadu. Yang akan bertindak sebagai komandan pasukan Kumpeni adalah komisaris Kartasura. Sang Raja setuju dengan usulan Gubernur Jenderal.

Pada haris pisowanan, Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa. Adipati Surabaya dan Panembahan Madura berada di depan. Telah hadir para pembesar Mataram seperti Tumenggung Kartanagara, Patih Cakrajaya, Adipati Sujanapura dan tak ketinggalan Ki Wirancana.

Sang Raja berkata, “Dinda Madura, engkau seranglah negeri Pasuruan. Segera berngkatlah melalui jalan utara menuju Surabaya. Sebab engkau aku suruh melalui jalan utara karena si Komisaris juga berangkat. Bertemulah kalian di Surabaya. Pasukan pesisir kanan bawalah semua, jangan ada yang ketinggalan. Adapun Adipati Surabaya dan Pangeran Adipati Purubaya, kalian berangkatlah lewat selatan dan menuju Ponorogo. Pasukan pesisir kiri bawalah semua. Bawalah juga separuh pasukan Kartasura. Segera berangkatlah.”

Sang putra tak menolak kehendak sang ayahanda Raja. Panembahan Madura sudah sepakat dengan Pangeran Purubaya, bahwa kelak tidak akan saling bantu. Pangeran Purubaya segera lengser dari hadapan Sang Raja. Paginya Pangeran Purubaya mendahului berangkat melalui Jagaraga. Madiun yang akan dituju. Peristiwa ini diperingati dengan sengkalan tahun; sirna guna rasaningrat[1].

Sementara itu, Panembahan Madura juga sudah berangkat. Juga Adipati Surabaya Jangrana beserta pasukan pesisir kanan. Setelah mereka sampai di Surabaya pasukan Kumpeni pun bergabung. Kemudian bersama-sama mereka berangkat ke Pasuruan. Panembahan Madura sudah bertekad tak hendak mundur dalam perang.

Di Pasuruan, Adipati Wiranagara sudah mendengar berita kalau Surabaya dan Madura serta Kumpeni datang dari utara akan menyerang Pasuruan. Sang Adipati sangat marah. Segera menabuh tanda perang. Para mantri segera berkumpul bersama para putra dan kerabat. Prajurit Bali berada di depan dengan menyandang bersenjata lengkap. Pasukan Pasuruan seperti singa lapar yang menakutkan. Jumlahnya sekitar sepuluh ribu dan mereka mendapat gaji yang pantas. Segera berangkat Sang Adipati diiringi para mantri Pasuruan. Singkat cerita mereka telah sampai di Bangil dan segera menata barisan.

Di saat yang sama Komisaris, Panembahan Madura dan Adipati Surabaya juga sudah sampai di Bangil. Komisaris melihat pasukan Pasuruan sudah berbaris, sangatlah senang hatinya. Pasukan gabungan Kumpeni dan Madura-Surabaya segera ditata. Komisaris Kenol menempati bagian dada. Adipati Surabaya menempati sayap kanan dan Panembahan Madura menempati sayap kiri. Adapun para prajurit pesisir di bagi di kedua sayap. Tidak lama kemudian pertempuran pun pecah. Kedua pasukan bertempur dengan sengit. Medan perang menjadi gelap oleh asap mesiu. Pasukan Pasuruan mengamuk ke tengah, pasukan Kumpeni menembaki. Banyak prajurit Pasuruan tewas.

Adipati Wiranagara yang melihat banyak prajuritnya tewas dan terluka menjadi sangat marah. Segera maju ke depan bersama para putra dan para mantri. Raden Surapati hendak maju sendiri ke medan perang melawan Kumpeni. Pasukan Bali dan Pasuruan kembali bersemangat. Mereka menerjang berondongan serdadu Belanda yang seolah hendak menimbun mereka dengan peluru. Pasukan Pasuruan kukuh, tak peduli oleh berondongan tembakan.

Adipati Wiranagara tak luput dari berondongan peluru. Sama sekali tak gentar dan semakin jadi mengamuknya. Terus maju ke depan bersama prajurit Bali andalannya. Adipati Wiranagara seperti raksasa mengamuk. Semua yang dilaluinya habis. Serdadu Belanda banyak yang tewas diterjangnya. Panembahan Madura menolong para serdadu Belanda. Pasukan berani mati dari Madura dikerahkan. Pasukan Bali pimpinan Surapati tak gentar. Mereka segera terlibat pertarungan jarak pendek dengan tombak dan keris. Ada pula yang bertarung tangan kosong. Medan perang sudah tak karuan, antara musuh dan teman sudah saling bercampur. Pasukan Madura dan Bali sama-sama berani dan sama-sama bergaji tinggi. Mereka tak kenal takut. Denting senjata terus terdengar, ditingkah suara mengaduh kesakitan. Pasukan berani mati dari Madura banyak yang tewas oleh prajurit Bali.

Sementara itu Adipati Wiranagara terpisah dari pengawalnya. Wiranagara terus merangsek ke arah pasukan Belanda dan terus ditembaki, Wiranagara tidak mempan peluru. Amukannya semakin menjadi. Tombak Sang Adipati sudah patah, kemudian berganti memakai keris. Ditikam dengan pedang pun tak mempan dan semakin ganas memangsa serdadu Kumpeni. Banyak serdadu Kumpeni bergelimpangan mayatnya.

Ada seorang kapten Kumpeni dari seberang bernama Pambeber. Si Pambeber melihat teman-temannya banyak yang mati. Kemudian Pambeber maju menghadapi Adipati Wiranagara.

Si kapten bertanya, “Hai perwira, siapa namamu?”

Sang Adipati menjawab, “Hai kafir, ketahuilah namaku Surapati, yang menjadi Adipati Wiranagara. Aku prajurit sakti yang merusak Jakarta. Ayo engkau majulah.”

Pambeber menerjang segera, Adipati Pasuruan ditembak berkali-kali, tetapi tidak mempan. Pelurunya malah habis. Raden Surapati membalas dengan tombak, si Pambeber pun tidak lecet sedikit pun. Surapati ganti menarik keris dan Pambeber menghadapinya dengan pedang. Surapati ditikam pedang, tak lecet. Pambeber ditikam keris, tak mempan. Keduanya kehabisan senjata dan melanjutkan dengan tangan kosong. Pada satu kesempatan Adipati Surapati berhasil dipegang lehernya oleh Pambeber dan siap dieksekusi. Sang adipati ingat masih menyimpan satu keris kecil di saku. Segera diambil dan dtikamkan ke dada Pambeber, tembus ke punggung. Pambeber jatuh seketika dan tewas.

Hari sudah menjelang senja. Panembahan Madura banyak kehilangan pasukan berani mati. Panembahan lalu perlahan membawa pasukannya mundur. Adipati Surabaya masih terus berperang ramai.

Komisaris Kenol mencurigai bahwa Adipati Surabaya hanya berperang pura-pura. Pasukan Panembahan Madura banyak yang tewas, juga serdadu Kumpeni tinggal sedikit yang hidup. Namun pasukan Adipati Surabaya masih utuh.

Sementara itu Adipati Wiranagara sudah mengambil kudanya dan bersiap mundur karena hari sudah malam. Si kuda bernama Pakeling segera dinaiki. Tiba-tiba sang adipati ditembaki dengan senapan oleh serdadu Belanda. Salah satu peluru emas mengenai belikat kiri sang adipati. Kaget sang adipati. Meski tidak mengalami luka, tetapi bagian dalam terasa sakit. Adipati Wiranagara marah, Pakeling diputar arah dan hendak kembali mengamuk. Para kerabat segera merangkul Pakeling dan memegang kendalinya. Sambil menangis mereka memohon kepada sang adipati untuk mundur. Hari sudah malam, sebaiknya kembali besok saja. Adipati Wiranagara menuruti saran para kerabatnya, lalu segera mundur dari medang perang.

Di kubu pasukan Kumpeni, hati Komisaris Kenol dan Panembahan Madura diliputi rasa was-was. Karena menderita banyak korban mereka memutuskan mundur. Mereka juga mengirim utusan untuk memberi tahu kepada Pangeran Purubaya yang berbaris di Ponorogo agar mundur ke Kartasura. Pasukan Kumpeni dan Madura sudah kalah. Jadi sebaiknya Pangeran Purubaya juga mundur saja.

Di Ponorogo, Pangeran Purubaya sudah sampai di Gulathik. Sang Raja Amangkurat Mas yang berbaris di Katawengan Kediri bersiap menghadapi serangan sang adik Pangeran Purubaya. Tumenggung Katawengan berangkat menuju Gulathik dan pasukannya telah berhadap-hadapan dengan pasukan Pangeran Purubaya. Mendadak ada utusan datang dari Kartasura, dari sang ayahanda yang menyuruh membujuk Patih Sumabrata supaya mau pulang ke Kartasura. Pangeran Purubaya lalu membuat surat untuk Patih Sumabrata dan segera dikirimkan ke Katawengan Kediri.

Isi surat Pangeran Purubaya menyatakan: “Wahai Wak Sumabrata, Anda dipanggil ayahanda Raja agar pulang ke Kartasura segera. Ayahanda hendak membalas jasa Anda di Kartasura. Ketika berada di kurungan istana Andalah yang mengolok-olok. Ayahanda lalu berdoa meminta petunjuk Tuhan. Sekarang jalan itu sudah ditunjukkan sehingga beliau menjadi raja di Kartasura.”

Patih Sumabrata setelah membaca surat meneteskan air mata. Merasa mendapat belas kasih yang sangat besar. Pada malam hari dia memutuskan untuk minggat beserta anak istrinya. Singkat cerita Sumabrata sudah berhasil bertemu dengan Pangeran Purubaya. Selanjutnya segera dipulangkan ke Kartasura. Beberapa mantri diperintahkan untuk mengawal perjalanannya. Setelah sampai di Kartasura segera menghadap kepada Sang Raja Pakubuwana. Sang Raja Pakubuwana kemudian memanggil Patih Cakrajaya.

Berkata Sang Raja, “Hai Cakrajaya, aku perintahkan Si Sumabrata berbagi tugas denganmu. Aku beri dia tanah seribu karya.”

Ki Patih Cakrajaya menyembah dan tidak menolak kehendak Sang Raja. Segera Patih Sumabrata dibawa keluar dan ditempatkan sesuai perintah Sang Raja.

Sementara itu di Gulathik Kediri, pasukan Pangeran Purubaya sedang bertempur dengan pasukan Tumenggung Katawengan. Semua punggawa Kartasura dan pesisir sangat berani dan perkasa. Pasukan Kediri terdesak dan banyak yang tewas. Tumenggung Katawengan sudah lari ke Kediri dan melapor kepada Sang Raja Amangkurat Mas bahwa pasukannya kalah. Sunan Mas sangat gugup hatinya, lalu bergegas lari ke selatan diiringi para prajuritnya. Pangeran Purubaya telah sampai di barat bengawan dan bersiap menduduki Kediri. Mendadak ada utusan datang dari Panembahan Madura.

Setelah diterima si utusan berkata, “Saya diutus ayah paduka Panembahan Cakraningrat, memberitahukan bahwa beliau telah kalah perang melawan Surapati. Pasukan berani mati Madura dan serdadu Kumpeni tak berdaya melawan pasukan Surapati. Banyak yang tewas oleh pasukan Bali si Surapati. Paman paduka dari Madura meminta paduka pulang saja ke Kartasura. Akan sangat berbahaya bila meneruskan perang.”

Pangeran Purubaya menuruti saran Panembahan Madura. Segera pasukannya dibawa pulang ke Kartasura.


[1] Sengkalan: sirna guna rasaningrat (1630 A.J., 1706/1707 A.D.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/13/babad-tanah-jawi-107-sunan-amangkurat-mas-meminta-bantuan-ke-pasuruan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...