Di Japan Adipati Jayapuspita sudah bergabung bersama Murah Panji dan dua saudaranya. Pondokan Murah Panji agak jauh dari pondokan sang Adipati. Ketika itu mereka sedang berbincang tentang perang yang mereka lakukan. Pada saat itu si Murah Panji meminta kepada Jayapuspita agar mengganti nama Panji yang melekat pada nama dua adiknya. Kalau Sang Adipati tak mau mengabulkan permintaannya, Murah Panji lebih baik pulang ke Bali. Adipati Jayapuspita kemudian mengganti nama Panji Kartayuda menjadi Demang Kartayuda. Adapun nama Panji Surengrana sang Adipati tidak mau mengganti dengan alasan nama Panji milik Surengrana diberikan oleh Sang Raja Pakubuwana ketika berada di Semarang. Murah Panji pun menerima.
Demang Kartayuda kemudian diperintahkan untuk menyerang wilayah mancanagara, Ponorogo, Madiun, Jaragara, Kaduwang dan Kamagetan. Adapun Daha, Sarengat, Kartasana, Pace, Ngrawa dan Kalangbret sudah lama tunduk. Demang Kartayuda segera berangkat dari Japan dengan membawa delapan ratus prajurit. Singkat cerita mereka sudah sampai di Caruban. Para bupati dari Madiun, Ponorogo dan Kaduwang baru saja datang dari Surabaya. Mereka sudah bersiap perang dan berkumpul di Ponorogo. Demang Kartayuda segera berangkat cari Caruban. Sesampai di Madiun mereka berbaris di timur kota. Pasukan mancanagara segera menyerang. Pecahlah pertempuran antara pasukan Surabaya melawan pasukan mancanagara. Demang Kartayuda mengamuk menerjang prajurit mancanagara. Pasukan mancanagara hancur berantakan. Para bupati mancannagara menyerah dan bergabung. Tidak perlu waktu lama wilayah mancanagara sudah tunduk kepada Demang Kartayuda.
Demang Kartayuda kemudian berangkat dari Madiun ke Jagaraga. Adapun yang ditunjuk menyerang Kaduwang adalah dua matri, Tambakbaya dan Wirantanu. Mereka membawa empat ratus prajurit. Di Kaduwang mereka menggelar barisan. Wiratha sudah ditaklukkan.
Sementara itu Demang Kartayuda sudah sampai di Jagaraga. Kemudian meneruskan perjalanan sampai di Kiping, lalu terus bergerak menuju Kalimungkung.
Di Kartasura, Sang Raja sedang bingung karena mendapat laporan wilayah mancanagara sudah tunduk kepada musuh. Mereka bahkan sudah mendesak di perbatasan Kartasura, yakni wilayah Kalimungkung. Mereka sudah menaklukkan dan menjarah sebagian wilayah sepanjang Sukawati, Laroh dan Kaduwang. Selain masalah tersebut Sang Raja juga mendapat persoalan baru. Pangeran Purubaya sedang menjadi perbincangan karena kepemilikan meriamnya dikurangi atas permintaan Kumpeni. Juga pintu belakang kediamannya yang tembus ke istana diminta ditutup. Beberapa wilayahnya di Banyumas, Pamarden dan Dayahluhur juga dikurangi. Ini menimbulkan sakit hati pada Pangeran Purubaya, anak kesayangan Sang Raja.
Ketika itu Sang Raja menugaskan Pangeran Balitar berjaga di negeri Kaduwang untuk menahan laju pergerakan musuh. Pangeran Balitar membawa prajurit keparak. Di saat yang sama Pangeran Dipanagara juga ditugaskan untuk berjaga di Jagaraga, menahan musuh yang berada di Kiping. Peristiwa ini terjadi di tahun Jimakir, ditandai dengan sengkalan tahun: kuda adirasa putra[1]. Kedua pangeran berangkat bersamaan. Di bengawan Semanggi mereka bersimpang jalan. Pangeran Dipanagara ke utara di Grompol dan berhenti untuk bermarkas. Pangeran Balitar menuju Kepuhbuta dan bermarkas di sana. Barisan garis depan sudah sampai di Ngadiraja di bawah pimpinan Ki Garwakanda.
Dari pihak Surabaya, dua mantri Tambakbaya dan Wirantanu sudah mendengar kabar kedatangan pasukan Kartasura. Yang memimpin adalah putra Sang Raja Pangeran Balitar. Pasukan Surabaya kemudian mundur ke Ponorogo. Sementara pasukan Kartasura sudah bergerak dari Ngadiraja ke Kaduwang.
Di utara pasukan Pangeran Dipanagara juga sudah berhadapan dengan pasukan Surabaya. Mendadak datang utusan dari sang ayah membawa surat. Pesan dalam surat itu: “Jangan dibuka suratku ini wahai anakku. Kelak kalau engkau bertemu dengan Si Jayapuspita bukalah oleh kalian berdua.” Pangeran Dipanagara sudah menduga apa isi surat ini. Segera sang pangeran pasrah atas kejadian yang akan datang. Hatinya mantap dan bangkitlah keberaniannya. Pangeran Dipanagara lalu memanggil saudara iparnya yang bernama Ki Arya Wiradirja. Wiradirja sudah diberi pesan dan segera melesat ke Kiping. Arya Wiradirja kemudian menemui Demang Kartayuda. Pesan-pesan Pangeran Dipanagara disampaikan kepada Ki Kartayuda. Demang Kartayuda sangat bersukacita lalu mengundang prajuritnya untuk menjemput Pangeran Dipanagara.
Arya Wiradirja sudah kembali ke markas Pangeran Dipanagara. Sudah dilaporkan perihal pertemuannya dengan Demang Kartayuda. Pangeran lalu mengundang segenap pasukannya.
Pangeran berkata, “Wahai para mantriku, besok kalian menyusullah. Jangan berisik. Sekarang kalian bergabunglah dulu dengan pasukan Kartasura. Kalau sudah bubar kalian jangan saling berjauhan. Besok selang sehari kalian memisahkandiri. Adapun para istriku, tinggallah di dalam benteng.”
Sementara itu pasukan Surabaya di bawah pimpinan Demang Kartayuda sudah datang. Bende mereka terus ditabuh dan bersorak-sorai. Heboh pasukan Kartasura di dalam benteng. Pangeran
Dipanagara keluar dari gerbang, kemudian berkata kepada pasukan, “Hai bocah, jangan dulu bergerak. Aku ingin tahu siapa musuh kita.”
Pangeran lalu naik kuda dan memacu kudanya mendekati pasukan musuh. Sudah bertemu dengan Demang Kartayuda dan bergabung dengan pasukan musuh. Demang Kartayuda segera memberi perintah untuk menyerang benteng. Pasukan Kartasura yang melihat panglima mereka bergabung ke pihak musuh bubar berlarian. Di dalam benteng hanya tinggal para istri Pangeran Dipanagara. Para istri kemudian dibawa oleh pasukan Kartayuda. Bersama Pangeran Dipanagara pasukan Kartayuda kemudian menuju Madiun. Pasukan Kartayuda kemudian kembali berbaris di Kalimungkung. Dua komandan mereka bernama Kebokikili dan Rangga Macanlola.
Pangeran Dipanagara dan Demang Kartayuda kemudian meneruskan perjalanan menuju Kediri. Para istri masih ditinggal di Madiun. Setelah sampai di Kediri Demang Kartayuda mengirim utusan untuk memberitahukan sang kakak Adipati Jayapuspita. Utusan segera melesat ke Japan. Utusan kemudian melaporkan semua peristiwa bergabungnya Pangeran Dipanagara. Jayapuspita sangat bersukacita. Segera mengundang seluruh pasukan, termasuk Murah Panji, untuk menjemput Pangeran Dipanagara. Pasukan segera berangkat. Demang Kartayuda dan Pangeran Dipanagara sudah dibawa ke Japan dan bertemu dengan Jayapuspita. Mereka saling berangkulan.
Berkata Jayapuspita, “Duh, Nak Pangeran. Tak menyangka paduka sampai di sini. Rasa hati hamba seperti kebanjiran madu, tergenang samudera kilang seumpama. Si abdi ini mengalami kesakitan, sembuhnya oleh kedatangan paduka Nak Pangeran.”
Pangeran Dipanagara segera membuka surat dari Sang Raja. Setelah membacanya kemudian surat diserahkan kepada Adipati Jayapuspita. Sang Adipati segera membacanya. Tampak Adipati Jayapuspita dan Murah Panji sangat bersukacita. Pada hari Kamis, Pangeran Dipanagara kemudian diangkat sebagai raja dengan gelar Panembahan Herucakra Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Adipati Jayapuspita kemudian berganti nama Adipati Panatagama. Panji Surengrana berganti nama Adipati Natapura. Demang Kartayuda berganti nama Adipati Sasranagara. Jaka Tangkeban berganti nama Ngabei Jangrana. Segala perabot upacara Sang Raja sudah dilengkapi beserta busananya. Prajurit magersari disiapkan sejumlah tujuh ratus. Empat ratus berasal dari Bali, sangat gagah dan perkasa. Mereka bertugas mengawal sang Panembahan. Lurah prajurit bernama Ki Muna dan Ki Mulak. Tidak lama kemudian pembantu Murah Panji Baleleng datang dari Bali, namanya Gusti Agung. Prajuritnya sejumlah lima ratus.
Adipati Surabaya berkata kepada Sang Panembahan, “Bagaimana kehendak tuan perihal masalah perang ini? Kalau saran hamba, paduka silakan berkeraton di Daha dan duduk nyaman. Perkara perang biar adik-adik hamba yang melaksanakan.”
Panembahan Herucakra berkata, “Aku terima pengabdian kalian, tetapi aku hendak belajar maju perang sendiri, tak ingin duduk-duduk nyaman. Hanya si Adipati Sasranagara itu aku bawa sebagai pendamping dan para bupati mancanagara semuanya di sebelah timur gunung Lawu jangan ada yang berubah seperti sediakala. Kanda Adipati silakan maju ke Surabaya.”
Adipati Panatagama berserah kehendak Sang Panembahan. Setelah setengah bulan berada di Japan mereka kembali ke tempat masing-masing. Adipati Sasranagara menyertai Panembahan menuju Madiun untuk menemui para istri dan pasukannya yang ditinggalkan dahulu. Mereka telah berkumpul kembali. Adipati Sasranagara kemudian mengumumkan bahwa sekarang Pangeran Dipanagara sudah menjadi raja dengan wilayah sebelah timur gunung Lawu, sebelah selatan laut dan sebelah barat Blambangan dengan gelar Panembahan Herucakra Senapati Ing Ngalaga Abdurahman Sayidin Panatagama. Demang Kartayuda sudah menjadi adipati dengan nama Adipati Sasranagara. Semua bupati sudah sepakat dan tunduk. Sang Panembahan kemudian bertahta di balai agung di hadapan para punggawa. Setiap hari Sabtu Panembahan keluar meninjau latihan perang. Sebagai pembimbing para prajurit adalah Adipati Sasranagara, seorang yang mumpuni dalam perang.
Sementara itu Adipati Panatagama yang berbaris di Japan mengutus sang adik untuk menggantikannya ke Surabaya. Ki Adipati Natapura segera berangkat bersama Ngabei Jangrana untuk menyerang Surabaya. Sesampai di Sapanjang mereka bermarkas. Setiap hari selalu terlibat perang dengan prajurit Kartasura pimpinan Patih Cakrajaya.
Sementara itu Pangeran Balitar sudah mendengar kalau sang kakak Pangeran Dipanagara sekarang sudah menjadi raja dan berkedudukan di Madiun. Pangeran Balitar kemudian mengirim utusan untuk memberitahukan kepada sang ayah. Utusan sudah menghadap kepada Sang Raja di Kartasura. Surat Pangeran Balitar segera diserahkan kepada Sang Raja. Setelah membaca surat sang putra Sang Raja kaget. Lalu segera memerintahkan mengirim pasukan bantuan kepada Pangeran Balitar. Pasukan gedhong separuh segera dikirim untuk membantu sang pangeran. Perintah Sang Raja agar Pangeran Balitar mendesak musuh di Ponorogo. Pasukan bantuan sudah sampai dan bergabung dengan pasukan Pangeran Balitar.
Pangeran Balitar kumudian menggerakkan pasukan dari markas di Tirisan. Pimpinan pasukan dipegang oleh Ki Garwakanda, Secadirana, Kartabasa dan Panji Tohpati. Pasukan Kablitaran sudah sampai di Ponorogo. Panembahan Herucakra sudah mendengar kalau sang adik hendak menyerang, maka pasukan segera dikerahkan untuk menghadang. Pimpinan pasukan garis depan dipegang oleh Adipati Sasranagara dan Gusti Agung. Panembahan Herucakra berada di belakang. Sesampai di Gedheg kedua pasukan bertemu dan pertempuran pun pecah. Ki Garwakanda dan Secaradirana memimpin pasukan keparak dan Kablitaran. Mereka bertempur dengan semangat tinggi melawan pasukan Adipati Sasranagara. Kedua pasukan terlibat saling tembak. Mereka bertempur dengan gigih dan tak hendak mundur.
Panembahan Herucakra menyaksikan pertempuran dari belakang, tertutup desa. Panembahan agak malu kalau terlihat oleh sang adik. Hanya prajurit Surabaya dan prajurit Bali serta prajurit pesisir yang diadu perang. Adipati Sasranagara maju ke medan perang dengan naik kerbau bule yang diberi pelana mencolok. Si kerbau bisa menyambar selincah kuda. Si kerbau sangat tangguh, diberondong senapan dengan santai mengamuk menggambul ke kiri kanan menerjang pasukan Garwakanda. Pasukan Surabaya terus mendesak pasukan Ki Garwakanda. Pasukan Kablitaran segera menolong. Secadirana, Kartabasa dan Panji Tohpati maju bersamaan. Pasukan Surabaya terus mengamuk. Pasukan Ki Garwakanda banyak yang tewas.
Ki Garwakanda lalu memerintahkan pasukan keparak dan pasukan Kablitaran maju menyerang bersamaan. Mereka gantian mendesak pasukan Surabaya. Kedua pasukan saling desak. Banyak tewas di pihak kawan dan lawan. Namun datangnya malam membuat mereka sama-sama mundur. Malam harinya Panembahan Herucakra kembali ke negeri Madiun. Sementara pasukan Kartasura masih berada di Godheg untuk berjaga. Hanya Pangeran Balitar yang kembali ke Ponorogo.
[1] Sengkalan: kuda adirasa putra (1617 A.J., 1693/1694 A.D.).
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/19/babad-tanah-jawi-113-pangeran-dipanagara-diangkat-sebagai-raja-oleh-arya-jayapuspita-bergelar-panembahan-herucakra-dan-berkedudukan-di-madiun/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar