Di Kartasura, Sang Raja menderita sakit parah. Sang putra Pangeran Balitar segera dipanggil pulang ke Kartasura. Dari Ponorogo Pangeran Balitar berangkat bergegas dengan beberapa prajurit pilihan agar cepat sampai. Sesampai di Kartasura segera masuk ke dalam istana dan menghadap Sang Raja. Sakit Sang Raja semakin parah dan merasa sudah saatnya menghadap kepada Sang Kuasa. Sang Raja segera memanggil Kapten Jaswa, perwira Kumpeni yang berjaga di Kartasura. Setelah Kapten Jaswa menghadap Sang Raja memberikan sebuah surat yang diperintahkan untuk diteruskan ke Betawi. Isi surat menyatakan pesan Sang Raja. Kelak sepeninggalnya, yang boleh menggantikan sebagai raja adalah tiga putra yang lahir dari permaisuri. Yang tertua adalah Pangeran Adipati Amangkunagara. Kalau berhalangan maka adiknya, Pangeran Purubaya yang menggantikan. Kalau berhalangan, maka adiknya Pangeran Balitar yang menggantikan. Di antara ketiga putra yang tertua adalah Pangeran Adipati Mangkunagara, maka dialah yang menjadi prioritas pertama. Surat sudah diterima Kapten Jaswa dan segera dikirimkan utusan untuk membawa surat ke Betawi.
Sang Raja kemudian juga memanggil kedua adik, Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Arya Panular. Setelah keduanya menghadap Sang Raja memberi mereka beberapa pesan.
Berkata Sang Raja, “Dua adikku, aku ini seperti sudah akan dipanggil Tuhan. Sepeninggalku kelak, aku titip anak-anakku. Pangeran Adipati Mangkunagara sebaiknya yang menggantikanku. Bila berhalangan maka Ki Adipati Purubaya yang menggantikan. Dan bila dia berhalangan juga, Ki Adipati Balitar yang menggantikan. Aku serahkan padamu untuk membimbing mereka.”
Para putra juga sudah dipanggil. Mereka semua berkumpul di bawah kaki Sang Raja. Permaisuri dan para istri juga sudah berkumpul. Dan juga para penghuni istana. Sang Raja kemudian meninggal dunia. Permaisuri Ratu Kancana sungkem, para putra semua menangis sambil memeluk jenazah sang ayah.
Ketika itu negeri Kartasura juga baru saja kehilangan sesepuh, Tuan Sayid meninggal pada tanggal tujuh bulan Rabiulawal. Sang Raja mangkat pada tanggal dua bulan Rabiulakhir. Sama-sama pada tahun Alip. Wafatnya Sang Raja diperingati dengan sengkalan tahun: warna toya rasa tunggil[1]. Para penghulu dan ketib segera dipanggil untuk acara pemakaman jenazah Sang Raja. Setelah dimandikan dan dikafani lalu diberangkatkan ke astana Imogiri. Para punggawa mengantarkan jenazah Sang Raja dipimpin Ki Garwakanda. Sementara Patih Cakrajaya tidak bisa hadir karena masih berjaga di Surabaya.
Setelah acara pemakaman Pangeran Adipati segera menduduki istana. Pada hari Senin para punggawa lengkap menghadap. Juga para ulama dan para haji, serta para pertapa. Pangeran Adipati bersiap keluar ke balai pertemuan. Kapten Jaswa telah hadir. Pangeran Arya Mataram masuk ke istana dan mempersilakan sang keponakan segera kelur di Panangkilan. Keluarnya Pangeran Adipati dengan bergandeng tangan dengan Kapten Jaswa di sebelah kiri. Sebelah kanan adalah Pangeran Arya Mataram.
Setelah sampai di balai Panangkilan Pangeran Arya Mataram berkata, “Hai segenap adipati dan para mantri, dengarkanlah. Anakku Adipati sekarang menggantikan sang ayah menjadi raja. Kalian semua patuhilah, dan juga para ulama saksikanlah penobatan ini.”
Semua yang hadir menyahut menyatakan kepatuhan. Kapten Jaswa kemudian mempersilakan Sang Raja untuk bertahta di singgasana. Segenap para bupati menyembah dan menyentuh kaki Sang Raja. Kemudian para penghulu membacakan doa-doa. Setelah itu dibacakan surat perjanjian dari Gubernur Jenderal. Pada bulan Jumadilawal penobatan Sang Raja baru. Kyai Gunturgeni dibunyikan sebagai tanda. Senapan dari Loji juga ditembakkan. Setelah acara penobatan selesai Sang Raja masuk ke istana. Para pembesar kemudian diundang untuk bersantap bersama. Kapten Jaswa dan para tumenggung kemudian bersantap sambil menikmati pertunjukkan tari badhaya.
Di Madiun, Panembahan Herucakra sudah mendengar kalau sang ayah wafat. Sangat heran Panembahan dengan berita yang datang tiba-tiba. Sang Panembahan mempunyai keinginan mengadakan acara selamatan. Kijang dan rusa disembelih sebagai jamuan.
Sementara itu di Kartasura, roda pemerintahan berjalan seperti sedia kala. Setiap hari Kamis dan Senin Sang Raja menggelar pisowanan. Pada hari Sabtu Sang Raja menghadiri latihan perang di alun-alun. Sang Raja sudah mengirim utusan ke Surabaya untuk memberitahu Patih Cakrajaya bahwa Raja Pakubuwana telah mangkat. Kepada Patih Cakrajaya diberikan perintah agar tetap berbaris di Surabaya. Jangan dulu pulang kalau tugasnya belum tuntas. Sang Raja juga mengangkat Ki Kartanagara sebagai patih untuk mendampingi Cakrajaya. Karena dahulu Ki Kartanagara sudah sering mendampingi Ki Patih Cakrajaya, sekarang diberikan kedudukan sebagai patih pendamping. Ki Martadita juga diangkat sebagai punggawa gedhong dengan nama Tumenggung Mangunnagara. Pangeran Pringgalaya yang sudah wafat juga digantikan oleh kerabat sang Raja dari Kablitaran, bernama Raden Martakusuma atau nama kecilnya dulu Mas Gale. Setelah diangkat diberi nama Raden Arya Pringgalaya. Sedangkan anak dari Pangeran Pringgalaya tidak menggantikan ayahnya, tetapi diangkat sebagai Tumenggung Natawijaya dan diberikan tanah garapan dari orang tuanya dulu. Ki Sumabrata juga sudah meninggal dunia. Kedudukannya digantikan sang anak bernama Ngabei Kartinala, dan diperbantukan kepada Patih Kartanagara. Carik Bajra diangkat dengan nama Ngabei Tirtawiguna.
Selain pengangkatan beberapa punggawa di atas Sang Raja melakukan beberapa perombakan jabatan. Pangeran Adipati Purubaya dan Pangeran Adipati Balitar diambil kelengkapan upacara sebagai adipati. Kini kedudukannya tinggal sebagai kerabat raja. Beberapa pasukannya dikurangi dan tanah garapannya pun jauh berkurang. Kedua adik raja tak menolak, tetapi merasa sakit hati.
Pangeran Balitar sangat terpukul dengan keadaannya sekarang. Ditambah provokasi dari Ki Garwakanda hati Pangeran Balitar menjadi semakin sakit. Ki Garwakanada selalu memanas-manasi hati Pangeran Balitar agar merebut tahta. Sebagai sesama putra yang diberi hak menggantikan Sang Raja, tidak pantas kalau Pangeran Balitar dipinggirkan.
“Apa bedanya dengan Sang Raja sekarang, paduka juga sama-sama memiliki tanah Jawa. Juga termasuk dalam tiga orang putra yang diizinkan menjadi raja. Sungguh perlakukan kepada paduka dengan mengambil sebagaian kekuasaan dan tanah yang paduka miliki merupakan perbuatan aniaya. Kalau paduka berkehendak merebut tahta, para tumenggung banyak yang akan berbalik membantu paduka,” tutur Ki Garwakanda.
Hati Pangeran Balitar lama-lama goyah. Pangeran Balitar lalu mengundang Pangeran Arya Mataram untuk dimintai dukungan. Pangeran Arya Mataram kemudian mendatangi Pangeran Balitar di tempat semedi.
Pangeran Balitar berkata, “Paman, bagaimana diriku ini. Selalu menahan sakit hati. Putra paduka Sang Raja itu sangat menyia-nyiakan saya. Saya sungguh sudah lupa dengan saudara, tak urung pasti akan melakukan perlawanan.”
Pangeran Arya Mataram mengelus dada. Sejenak kemudian berkata, “Duh, anakku. Jangan seperti itu dengan saudara tua. Sungguh saudara tua itu adalah pengganti ayah. Durhaka kalau sampai dilawan. Kalau berkenan, si paman ini menyarankan jangan sampai engkau berbuat nekad. Si paman akan menghalangi dengan segenap tenaga. Jangan membuat perpecahan lagi. Bahkan kakakmu si Arya Dipanagara itu, kalau bisa dirangkul kembali agar pulang ke keraton. Agar tanah Jawa kembali damai sejahtera. Itu akan menjadi berkah bagi para kawula. Kalau masing-masing hanya menuruti kehendak sendiri akan berkurang berkah bagi kawula. Bumi menjadi penuh huru-hara. Terlihat remeh bagi negeri lain.”
Pangeran Balitar berkata, “Benar Paman. Tapi kalau putra Anda Sang Raja itu telah membuat sakit hati saudara sendiri, siapa yang mau menganggapnya sebagai pengganti ayah? Sungguh dia telah berbuat aniaya kepada saya. Siapa yang kelak akan celaka, pasti kehendak Tuhan yang berlaku. Kalau Paman lebih berat kepada putra Anda yang sudah menjadi raja itu, silakan paduka tanggung sendiri. Ikutlah dengan kakak yang sudah menjadi raja itu. Memang dia yang kuat menjamu dan memuliakan Paman. Saya ini kan hanya orang kecil, miskin dan tanpa guna.”
Pangeran Arya mendengus, “Duh, Nak Pangeran. Terserah padamu kalau menganggapku begitu. Saya ini orang tua tidak berpihak, tapi berdiri di tengah-tengah. Aku tidak menyuruhmu, tapi sebelum bertindak jangan meninggalkan pendapat kakakmu Pangeran Purubaya. Pertama dia itu saudara tua, yang kedua dia perkasa dan mampu. Kalau dia mendukungmu pasti akan banyak yang mendukung pula.”
Pangeran Balitar berkata, “Benar Paman, mustahil beliau saya tinggalkan.”
Pangeran Balitar lalu mengajak Pangeran Arya Mataram untuk menemui Pangeran Purubaya. Malam itu juga keduanya berangkat ke Kapurubayan. Setelah bertemu ketiga pangeran kembali membicarakan keluh kesah Pangeran Adipati Balitar. Pangeran Purubaya sangat repot hatinya mendengar keluhan sang adik. Hatinya dipenuhi keraguan. Hendak mendukung Pangeran Balitar, berarti melawan Sang Raja. Pangeran Purubaya lalu ingat dengan pesan almarhum sang ayah, Raja Pakubuwana.
Mendiang Sang Raja pernah berpesan, “Hai Adipati Purubaya. Aku titip adikmu si Adipati Balitar. Jangan sampai dia sakit hatinya. Engkau sebagai saudara tua bisalah ngemong padanya.”
Pangeran Arya Mataram berkata, “Kalau menurutku, kalau yang tua salah, yang muda lebih salah lagi. Mengapa tidak nerimo saja.”
Pangeran Purubaya menjawab, “Awalnya saya sangat kerepotan. Namun saya kemudian ingat pesan kakak paduka mendiang Sang Raja kepada saya yang menitipkan adik-adik.”
Pangeran Balitar menyambung, “Paman, kalau masalah kedudukan adipati yang diambil saya tidak begitu kehilangan. Tapi kalau tanah saya juga diambil itu membuat susah. Saya punya prajurit seribu lebih, bagaimana saya memberi mereka makan. Sungguh saya merasa sangat malu sampai kekurangan pangan.”
Ketiga pangeran terus berbincang sampai akhirnya mereka bubar dan dua pangeran pulang dari Kapurubayan. Entah apa yang mereka bicarakan. Malam itu belum ada keputusan apapun.
Sementara itu Panembahan Herucakra yang sudah menguasai tanah di timur gunung Lawu, barisannya semakin besar. Panembahan sudah memberangkatkan pasukan dari Madiun dan mendekat ke Kartasura. Panembahan bersiap hendak menyerang Kartasura. Pasukan Panembahan Herucakra sudah bermarkas di wilayah Sukawati, tepatnya di desa Pandonan. Markasnya sudah dirakit seperti halnya keraton. Sekeliling sudah diberi benteng dan membuat balai Panangkilan. Alu-alun sudah diratakan dan para punggawa sudah ditempatkan di empat penjuru. Orang-orang Sukawati sudah tunduk dan mereka banyak yang diangkat sebagai punggawa. Adipati Sasranagara sudah memerintahkan para prajurit untuk memperluas wilayah dengan menaklukkan daerah sekitar. Pasukan Panembahan sudah ke barat sampai di desa Kampak. Yang ke selatan sudah sampai di Aribaya.
Sementara itu Pangeran Balitar terus didesak oleh Ki Garwakanda. Sebab Ki Garwakanda terus memanas-manasi adalah karena kepentingannya sendiri. Anak Ki Garwakanda saat itu sedang dipenjara oleh Sang Raja. Kesalahannya adalah berani masuk secara sembunyi-sembunyi ke istana. Karena itu Ki Garwakanda berharap kalau Pangeran Balitar mengobarkan perang dia bisa membebaskan anaknya. Pangeran Balitar lama-lama tak tahan dan menuruti desakan Ki Garwakanda. Pasukan sudah disiapkan berperang. Juga sudah mengirim utusan ke Loji untuk menjajaki sikap Kapten Jaswa.
Kapten Jaswa berkata, “Saya ini di sini mengabdi kepada raja yang bertahta. Persoalan perebutan tahta bukan urusan saya. Bagi Kumpeni, siapa yang bertahta itulah yang menjadi tuan. Kalau ada orang berebut kuasa, kemudian menang itulah yang akan kami junjung. Yang kalah akan menjadi musuh kami. Karena sudah komitmen Kumpeni di tanah Jawa ini tunduk kepada Sang Raja.”
[1] Sengkalan: warna toya rasa tunggil (2 Rabingulakir 1644 A. J., 12 Februari 1720 A.D.).
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/20/babad-tanah-jawi-114-sinuhun-pakubuwana-i-mangkat-digantikan-pangeran-adipati-amangkunagara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar