Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (115): Pangeran Balitar menjadi raja di Kartasari bergelar Sultan Ibnu Mustapa

 Pangeran Balitar merasa tenang mendengar sikap Kapten Jaswa yang terdengar netral. Bersama Ki Garwakanda, Pangeran Balitar kemudian bersiap-siap. Para punggawa dan para kaum serta haji sudah ditanya kesanggupannya. Mereka semua sudah sepakat. Pada bulan Ruwah, hari Sabtu tanggal lima, pada pukul tiga pagi mereka memulai perlawanan. Pangeran sudah memakai baju keprajuritan. Tombak sudah dibagikan kepada para lurah prajurit. Keris juga sudah dibagi merata. Pangeran berangkat dari kediamannya dan bertekad takkan mundur. Ki Garwakanda menjadi pemimpin pasukan di garis depan. Di belakangnya menyambung para lurah prajurit, Ki Anggandara, Jaladara, Maudara, Subala, Subali, Banendra, Sudira, Nirada, Pretipa, Sumitra, Kricak, Laksamana, Secawiragagapati, Urawan dan Bethokjenggot. Di belakang pasukan dipimpin Patih Secadirana, Panji Tohpati, Kartabasa dan Pantrabasa. Pasukan Kabalitaran bergerak tidak melewati Loji, tetapi melalui sebelah barat masjid. Mereka sudah sampai di alun-alun.

Ki Garwakanda menuju gedhong. Seorang prajurit penjaga ditombak. Prajurit Kabalitaran bersorak dan menyerbu. Mantri gedhong Ki Ardiguna tewas. Pasukan penjaga gedhong bubar berlarian masuk ke istana.

Sementara itu Sang Raja yang mendengar suara bersorak di luar menjadi gugup. Penghuni istana heboh. Para wanita saling menjerit. Pasukan Kabalitaran terus menembaki para penjaga. Separuh prajurit jaga sudah keluar di pelataran mencoba menghadang pasukan penyerang. Wadana prajurit jaga yang bernama Mangunnagara diperintahkan untuk melapor ke Loji Kumpeni.

Pasukan Kabalitaran terus merangsek. Mereka takabur memastikan akan menang malam itu. Besok segera bersuka-suka menggelar tarian badaya, pikir mereka. Ki Garwakanda menuju penjara dan menjebolnya. Si anak yang bernama Ragum segera dikeluarkan.

Garwakanda menangis, “Duh anakku. Tak kusangka aku bisa melepaskanmu.”

Sementara itu Tumenggung Mangunnagara sudah sampai di Loji Kumpeni. Di Loji Ki Tumenggung bertemu dengan seorang letnan.

Berkata Ki Tumenggung, “Aku diutus Sang Raja untuk menemui kalian. Mengapa kalian lama tak segera membantu. Mereka mencarimu, bukan Sang Raja. Sang Raja sangat mencegah keinginan mereka, dan sekarang mereka menyerang istana.”

Para serdadu Kumpeni sangat kaget. Mereka segera berangkat ke Pamengkang. Di sana mereka bertemu dengan prajurit Kabalitaran. Kumpeni langsung menembak dengan senapan. Barisan mereka bubar berlarian. Secadirana mengamuk menerjang serdadu Kumpeni. Diberondong senjata dadanya terluka, lalu jatuh dan tewas. Panji Tohpati terluka, kedua tangannya terkena peluru. Kartabasa menerjang dan tertembak, tewas. Berondongan senapan Kumpeni disusul lemparan granat dari belakang. Pasukan Kabalitaran tak mampu membalas.

Pangeran Balitar sudah sampai di sebelah timur Sitinggil. Di sana Pangeran melihat prajurit andalannya banyak tewas. Hatinya menjadi bingung. Para prajurit menangisinya agar kembali.

“Duh Pangeran, kita kembali saja. Pasukan paduka sudah rusak. Mari kita minta bantuan Pangeran Purubaya. Mari kita masuki rumahnya dari belakang,” bujuk para prajurit.

Di dalam puri, Ratu Pakubuwana sudah mendengar keributan antara kedua putranya. Seketika menangis sambil memanggil-manggil mendiang Sang Raja.

“Duh paduka, tak bisa hamba melihat putra paduka saling bertikai. Lebih baik saya ikut mati menyusul paduka,” ratap Ratu Pakubuwana.

Ratu Pakubuwana bermaksud naik ke gunung Kunci. Ketika melihat Pangeran Balitar menuju ke selatan Ratu Pakubuwana memanggilnya. Tangan kanan melambai, tangan kiri mengusap air mata.

“Duh anakku, mengungsilah ke tempat kakakmu Purubaya. Cepatlah!” teriak Ratu Pakubuwana.

Pasukan Kumpeni tidak mengejar larinya pasukan Kabalitaran. Mereka hanya naik ke Sitinggil dan memasang meriam. Setelah siap meriam segera ditembakkan ke arah pasukan Kabalitaran yang sedang lari. Mereka kalang kabut dan ketakutan. Dengan bergegas mereka lari menuju Kapurubayan. Sesampai di Kapurubayan Pangeran Balitar langsung masuk ke dalam.

Pangeran Purubaya ketika itu masih tidur. Begitu terdengar suara ribut di luar, Pangeran terbangun. Kaget sang Pangeran karena pasukan Kabalitaran sudah mengepung rumahnya. Pangeran Balitar segera memeluk kaki sang kakak. Sambil menangis Pangeran Balitar tak hendak melepaskan pelukannya. Pangeran Purubaya tertegun. Untuk sesaat tak mampu bicara.

Sejenak kemudian Pangeran Purubaya berkata, “Sudahlah Dinda jangan menangis. Aku akan bela kamu. Namun jangan kita tinggal di sini. Kita pergi ke Mataram saja. Kalau kita di Mataram pasukan Kartasura takkan mengejar.”

Pangeran Purubaya berkata kepada para mantrinya, “Ayo bocah, kita segera berangkat ke Mataram.”

Tanda perang Kapurbayan segera dipukul. Pasukan Kapurbayan sudah berkumpul. Pangeran Purubaya sudah berganti busana perang. Para anak istri segera diberitahu agar bersiap. Pangeran Balitar juga segera meminta pasukannya membawa keluarga sang pangeran. Tak lama kemudian psukan Kapurbayan dan Kabalitaran segera berangkat. Mereka berjalan melalui pintu selatan. Penjaga pintu sudah tunduk. Pintu dikampak agar terbuka. Belum lagi berangkat pasukan Kumpeni datang dan menembaki. Pasukan Kapurbayan mundur pelan-pelan dan kedua pangeran meneruskan perjalanan.

Ada seorang abdi Kapurbayan yang bernama Mangunoneng. Dia  sedang sakit panas dan meminta izin untuk tidak ikut ke Mataram. Pamitnya akan kembali ke Pati. Di Pati akan berusaha menaklukkan wilayah di sana. Kelak kalau Pati sudah dikuasai si Mangunoneng akan menghadap ke Mataram. Pangeran Purubaya memberinya izin. Pasukan Mangunoneng segera menuju ke utara.

Perjalanan dua pangeran sudah sampai di Dresanan. Di Dresanan mereka bermalam, paginya langsung berangkat menuju Mataram. Sesampai di tanah Mataram yang dituju adalah bekas keraton Sultan Agung di Kartawinata. Tempat itu akan dijadikan keraton. Namanya lalu diganti menjadi Kartasari.

Dua Pangeran lalu memanggil para pemilik tanah perdikan, para haji dan para ulama di Mataram. Mereka sudah datang menghadap dan menyatakan tunduk. Salah satu tokoh ulama itu adalah Kyai Wanagiri. Sang kyai datang bersama para sahabatnya ke Kartasari. Pasukan Kartasari sudah besar. Kota Kartasari sudah dirakit menyerupai keraton. Bekas bangunan keraton yang dulu dipakai mendiang Sultan Agung masih kokoh berdiri. Tempat itu yang kemudian akan dipakai sebagai kediaman raja baru. Pada hari Senin dua pangeran tampil di hadapan para punggawa. Pangeran Purubaya segera mengumumkan kepada yang hadir.

Berkata Pangeran Purubaya, “Saksikan, Dinda Pangeran Balitar aku angkat sebagai raja di Mataram dengan gelar Sultan Ibnu Mustapa Pakubuwana Senapati Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.”

Sang adik kemudian dipersilakan duduk di singgasana emas. Kyai Wanagiri berdiri untuk membaca doa. Segenap pasukan menghadiri. Pangeran Purubaya kemudian diangkat sebagai Panembahan Purubaya Senapati Madyeng Payudan. Para pasukan semua menyahut menyatakan persetujuan. Ki Garwakanda sudah diangkat sebagai patih dengan nama Tumenggung Jayabrata. Punggawa Kabalitaran banyak yang diangkat sebagai mantri. Patih Kapurubayan Ki Wangsadirja diangkat sebagai tumenggung dengan nama Tumenggung Wiranagara. Salah seorang putra raja yang bernama Pangeran Arya sejak kecil sudah diambil anak angkat oleh Pangeran Purubaya. Ketika Pangeran Purubaya ke Mataram, Pangeran Arya ikut serta. Pangeran Arya lalu dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mustapa  yang bernama Raden Ayu Wulan. Pangeran Arya yang lebih suka ikut sang paman kemudian diberi nama Pangeran Adipati Anom. Para punggawa Kapurubayan juga banyak yang naik jabatan. Raden Wangsakusuma sudah diangkat sebagai adipati dengan nama Adipati Urawan. Bangsapatra diangkat sebagai Adipati Lumarap. Ki Wirayuda atau Subud diberi nama baru Tumenggung Martasana. Rajamenggala, putra dari Ki Rajaniti diberi nama baru Tumenggung Sindusastra. Seorang anak dari Ki Wanagiri diberi nama Arya Panangsang. Banendra diberi nama Tumenggung Singabarong. Seorang lurah Kapurubayan bernama Prayawangsa kini diangkat dengan nama Rangga Warcitra. Sebagai pendamping diangkat Suradita dengan nama Rangga Wanengjiwa. Prayanangga diangkat sebagai Tumenggung Mangunnagara. Gadhingan diberi nama baru Malangsumirang. Gendaradesa diberi nama Arya Tambakbaya. Ada seorang abdi mendiang Sang Raja dari kesatuan Nirbaya, asalnya dari Wanglu bernama Raden Wiradipa. Sekarang diangkat sebagai punggawa dengan nama Raden Danupaya. Secayuda diberi nama baru Tumenggung Nirantaka. Raden Suranggara menjadi Tumenggung Mataram. Kyai Wanagiri sekarang diberi kedudukan boleh duduk berjajar dengan Panembahan Purubaya dan diberi nama baru Kyai Gedhe Wanadadi. Semua punggawa sudah sepakat dan mematuhi titah Sultan Ibnu Mustapa .

Pangeran Purubaya sebagai panglima kemudian memerintahkan kepada para punggawa untuk memperluas wilayah. Ki Sindureja atau nama kecilnya Raden Mas Garit, ditunjuk untuk menyerang wilayah Parimana di Kedu. Sesampai di Kedu kawula di sana tunduk dan patuh. Ki Tumenggung Martasura ditunjuk menyerang ke Banyumas. Ketika berangkat melalui Wanakarta dan menaklukkan wilayah sepanjang jalan. Sesampai di Banyumas lalu terlibat peperangan dengan pasukan Pamarden, Banjar dan Sagaluh. Pasukan Banyumas sudah kalah dan kotanya diduduki Ki Martasura. Tumenggung Banyumas lari mengungsi ke Tegal. Pasukan Kapurbayan yang menyerang Urutpanjang sudah sampai di Kadresanan di bawah pimpinan Adipati Lumarap. Pasukannya sudah besar.

Sementara itu di Kartasura, banyak punggawa yang berbalik menyeberang ke Mataram. Hal ini membuat beberapa jabatan di Kartasura menjadi kosong. Hanya para abdi lama Sang Raja dari kadipaten yang masih tetap setia. Mereka kemudian diangkat untuk mengisi jabatan yang kosong. Dirayuda diangkat sebagai lurah keparak kanan dan diberi nama Ki Demang Urawan. Adapun lurah keparak kiri dijabat Diramenggala dengan nama baru Ngabei Wirajaya. Ki Patih Kartanagara diangkat sebagai Adipati Mangkupraja. Ada seorang kerabat senior bernama Raden Santareja, diangkat dengan nama Pangeran Mangkubumi. Asalnya dari Sanggung, masih keturunan Kasutakaran. Kemudian diberi tanah di Sanggung. Putra Pangeran Arya Panular yang bernama Raden Suradiningrat diberi tanah di timur gunung Merapi dan diangkat sebagai panglima untuk memimpin barisan di Sepal. Mereka mengerahkan orang di timur gunung dengan pimpinan Demang Prekul, seorang dari desa yang pemberani.

Ada saudagar bernama Ki Pranasuta, seorang kaya yang punya banyak pasukan bayaran ala Kumpeni. Sudah diangkat sebagai tumenggung dengan nama Tumenggung Sumabrata. Putranya yang bernama Sumadinala setiap hari berpatroli ke luar kota. Pada waktu itu juga banyak pasukan Kumpeni datang dari Semarang untuk menjaga Sang Raja. Mereka berasal dari Makasar, Ambon, Sumbawa dan Bugis.

Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk memanggil Patih Cakrajaya dan Admiral Britman yang sedang berada di Surabaya. Utusan sudah sampai di Surabaya dan menyerahkan surat kepada Ki Patih serta Tuan Admiral. Setelah membaca surat Ki Patih sangat kaget. Dalam hati menangis menyesalkan keadaan negeri Kartasura. Para bupati kemudian dipanggil. Setelah mereka berkumpul kemudian diberi tahu yang terjadi di Kartasura. Mereka semua kaget dan heran.

Patih Cakrajaya berkata, “Sudah kehendak Tuhan kalau tanah Mataram terpecah karena perebutan jabatan.”

Para bupati dan pasukan Kumpeni sudah diberi perintah agar pulang ke Kartasura. Satu brigade pasukan Kumpeni tetap berjaga di Surabaya di bawah pimpinan Kapten Bongseng. Sedangkan semua bupati dari Tuban, Gresik, Lamongan, Sidayu dan Madura serta Ngabei Tohjaya akan dibawa ke Kartasura. Namun Kapten Bongseng dan para bupati meminta agar Ki Ngabei Tohjaya ditinggal di Surabaya. Ki Patih akhirnya meninggalkan Ngabei Tohjaya untuk menemani Kapten Bongseng berjaga di Surabaya. Segenap pasukan Kartasura kemudian berangkat melalui Semarang. Di Semarang Kumendur Gobyo telah dicopot kedudukannya. Sebagai pengganti ditunjuk Komisaris Dulkup.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/21/babad-tanah-jawi-115-pangeran-balitar-menjadi-raja-di-kartasari-bergelar-sultan-ibnu-mustapa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...