Beberapa waktu setelah wafatnya Sultan Ibnu Mustapa alias Pangeran Balitar, Sang Raja kemudian menata kembali para punggawa. Karena Adipati Mangkupraja telah wafat jabatan patih kembali disatukan di bawah Patih Danureja. Ada anak laki-laki Patih Mangkupraja yang masih muda, kemudian diangkat sebagai wadana mantri Panekar dan diberi nama seperti nama ayahnya dulu, Tumenggung Kartanagara.
Masih di tahun yang sama Adipati Semarang Sura Adimanggala juga wafat. Ki Adipati tidak mempunyai putra, tetapi mempunyai keponakan yang sudah diangkat sebagai anak. Dahulu sewaktu Sunan Pakubuwana berada di Semarang sudah diperkenalkan kepada Sunan. Oleh Sunan Pakuwana si anak angkat sudah diberi kedudukan dengan nama Ngabei Martayuda. Setelah Adipati Semarang meninggal si Martayuda ingin mewarisi jabatan ayah angkatnya. Namun dia hanya memintanya kepada Komisaris Dulkup, tanpa melapor kepada Sang Raja di Kartasura. Kejadian ini kemudian sampai beritanya kepada Patih Danureja. Ki Patih sangat marah karena Martayuda menggampangkan urusan pergantian jabatan. Ki Patih kemudian mengirim utusan memanggil Martayuda ke Kartasura. Martayuda dibawa ke Kartasura dan untuk sementara disuruh menginap di Kapatihan.Ki Danureja lalu mengirim surat keberatan kepada Komisaris Dulkup. Surat sudah diterima oleh Komisaris dan dibaca dengan seksama.
Isi suratnya: “Yang pertama, salam untuk Anda. Kedua, perkara Martayuda yang menjadi bupati. Apakah Anda yang mengangkatnya menjadi bupati? Karena raja saya belum memberi perintah kepada Martayuda untuk menggantikan bapaknya. Ketahuilah saudara, sesungguhnya pekerjaan adipati di Semarang adalah menjaga Anda. Melayani Anda selama di Semarang. Kalau ada perbuatannya yang tidak pantas seharusnya Anda melapor kepada saya. Saya akan melaporkan semua kepada Sang Raja. Anda sungguh tidak punya wewenang mengurangi dan menambah pekerjaan adipati. Anda tak berwenang memberi hadiah atau menghukum. Memberi hadiah dan menghukum adalah wewenang raja. Anda tak perlu ikut campur.”
Komisari Dulkup tertegun setelah membaca surat Patih Danureja. Setelah beberapa saat kebingungan Dulkup membalas surat Danureja dengan meminta maaf. Dulkup juga mengirim hadiah bermacam-macam agar kemarahan Danureja reda. Juga agar jangan sampai Patih Danureja melapor ke Betawi. Utusan segera melesat menuju Kartasura. Surat dari Komisaris Dulkup sudah diserahkan kepada Patih Danureja.
Ki Patih menanggapi surat Komisaris Dulkup dengan suka cita karena Komisaris ternyata menyesali perbuatannya dan mau tunduk dengan aturan yang ada. Ki Patih lalu melapor kepada Sang Raja segala seuatu yang telah terjadi di Semarang. Sang Raja menanggapi dengan suka langkah Komisaris Dulkup.
Berkata Sang Raja, “Nah sekarang tinggal urusan dengan Martayuda. Engkau selesaikan Wak. Dan segera laksanakan hukuman untuk Martayuda. Namun jangan sampai hukuman mati karena dulu mendiang ayahanda sudah berjanji kepada Paman Adipati Sura Adimanggala, kalau ada keluarganya yang bersalah akan terhindar dari hukuman mati. Ingatlah perjanjian itu. Adapun sebagai ganti adipati di Semarang, terserah padamu.”
Ki Patih menyembah dan berkata, “Kalau paduka berkenan si Ngabei Gamuluk si Sastrawijaya saja yang diangkat. Sepertinya tidak akan membuat celaka kalau dia diserahi Semarang. Dan dia sangat patuh kepada raja, si Sastrawijaya itu.”
Berkata Sang Raja, “Aku serahkan padamu.”
Ki Patih segera keluar istana untuk melaksanakan perintah Sang Raja. Sesampai di Pagelaran Ki Ngabei Martayuda diambil kerisnya dan dikurung di Kapatihan. Ki Patih segera mengirim utusan untuk membawa Ki Martayuda ke Semarang untuk diserahkan kepada Komisaris. Sesampai di Semarang Martayuda diterima oleh Komisaris dan langsung dikirim ke Jakarta bersama anak istrinya. Komisaris lalu melaporkan bahwa Martayuda sudah dibuang ke Jakarta. Patih Damureja dan Sang Raja sangat bersukacita.
Mengulang cerita lama, ketika Sang Raja Pakubuwana dinobatkan menjadi raja di Semarang, Pangeran Ngabei pergi ke Tegal. Kumpeni berhasil membujuknya dan membawanya ke Jakarta. Setelah tahta sang ayah digantikan sang adik, Pangeran Ngabei diminta agar dibuang ke tanah Kap. Maka Kumpeni mengirim surat kepada Sang Raja yang berisi permintaan untuk biaya hidup Pangeran dan biaya hidup Martayuda di pembuangan. Patih Danureja kemudian diperintahkan ke Semarang untuk membicarakan besarnya biaya tersebut. Juga sekalian membicarakan kesanggupan pemberian beras seribu koyan per tahun kepada Kumpeni dahulu.
Ki Patih Danureja segera berangkat ke Semarang. Sesampai di Semarang Ki Patih menemui Komisaris Dulkup. Ngabei Gumulak lalu diangkat sebagai adipati Semarang dan diberi nama Adipati Sastrawijaya. Adapun mengenai permintaan biaya hidup Pangeran Ngabei dan Martayuda, Kumpeni meminta empat ratus riyal. Ki Patih hanya sanggup memberi dua ratus riyal setiap tahun. Kalau Kumpeni tak mau menjaga Pangeran Ngabei di pembuangan dengan biaya sebesar itu, lebih baik dipulangkan saja. Kumpeni sepakat dengan biaya dua ratus riyal tersebut. Setelah sepakat mereka kemudian membicarakan persoalan lain, yakni mengejar Panembahan Purubaya.
Komisaris dan Adipati Semarang kemudian berangkat ke Kartasura bersama kepulangan Ki Patih Danureja. Setelah sampai di Kartasura mereka menghadap Sang Raja. Sang Raja sangat mendukung rencana Komisaris Dulkup untuk menangkap Panembahan Purubaya. Sang Raja kemudian menunjuk Pangeran Cakraningrat sebagai panglima. Pangeran Cakraningrat diberi pesan kalau bisa menangkap Panembahan Purubaya akan diberi tanah Madura sepenuhnya. Kalau tak berhasil menemukan Panembahan, Cakraningrat tak diizinkan pulang. Setelah semua sepakat para punggawa kemudian keluar dari istana dan menyiapkan pasukan. Komisaris dan Cakraningrat berangkat dari Kartasura dengan membawa pasukan mancanagara dan pesisir. Pasukan Kartasura berangkat melewati Jipang. Singkat cerita mereka telah sampai di Surabaya. Ngabei Tohjaya menyusul dari Lamongan dengan membawa delapan ratus prajurit pilihan yang tangguh dalam perang. Perjalanan pasukan Kartasura sudah sampai di Muaragembong.
Ganti cerita, Pangeran Dipasanta meloloskan diri dari kota dan sudah sampai di Lowanu. Pangeran lalu ditangkap oleh Ki Gagakpranala dan diwadahi dalam keranjang. Sebab ditangkap karena ingin menjadi raja. Pangeran Dipasanta lalu diserahkan ke Kartasura dan dipenjara di gedong kanan. Tak lama kemudian dibunuh dengan cara dijerat tambang.
Sementara itu, Panembahan Purubaya sedang bersedih di negeri Lumajang. Adapun punggawa yang menjaga Panembahan selama di Lumajang adalah Raden Suradilaga dengan dua ratus prajuritnya. Mereka berbaris di sebelah barat kota, di sebuah desa bernama Sarebed. Ki Natapura juga membawa dua ratus prajurit. Raden Surapati selama di Lumajang tak pernah berpisah dengan Panembahan dan Pangeran Arya. Juga dengan Raden Mas Lindu. Panembahan berkehendak meminta bantuan dari Nusakambangan di pulau Bali. Utusan segera dikirim ke Bali. Namun utusan tampaknya hanya diberi alasan basa-basi. Mereka mengatakan akan membantu tiga ribu prajurit dan baru dipilih. Panembahan Purubaya sudah banyak memberi kepada raja di Bali berupa uang, emas dan perhiasan. Namun kesanggupan itu Raja Bali tak pernah terwujud.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/30/babad-tanah-jawi-124-ki-martayuda-dibuang-ke-jakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar