Translate

Kamis, 19 September 2024

Babad Tanah Jawi (125): Panembahan Purubaya diperdaya Kumpeni lalu ditempatkan di Jakarta

 Ganti cerita, Komisaris Dulkup sedang berunding dengan Pangeran Cakraningrat dan para bupati. Mereka berencana membujuk Panembahan Purubaya, tetapi belum menemukan sosok yang tepat untuk diutus ke Lumajang serta siapa yang akan ditemui.

Adipati Citrasoma berkata pelan, “Dik Ngabei Tohjaya, bagaimana saranmu, siapa yang akan membawa surat dan siapa yang harus ditemui di Lumajang?”

Ki Tohjaya menjawab, “Tidak ada lagi yang patut ditemui selain Suradilaga dan Ki Surapati. Menurut yang saya dengar tak ada selain kedua orang itu yang dipercaya Panembahan Purubaya. Semua perkataannya dituruti. Keduanya juga masih mempunyai banyak prajurit. Sebab Panembahan lari ke Lumajang juga atas saran Ki Surapati dan Ki Suradilaga itu.”

Pangeran Cakraningrat menyambung, “Benar yang dikatakan Ki Tohjaya ini. Seperti itu juga yang aku dengar.”

Komisaris Dulkup berkata, “Hai Ngabei Tohjaya, aku setuju kalau yang dipakai sebagai perantara adalah Surapati dan Suradilaga. Tapi siapa yang akan membawa suratnya agar sampai ke Surapati dan dihaturkan kepada Panembahan? Karena suratku ini berisi semua perintah dari Raja. Hai para bupati, tanyalah para mantri kalian yang bisa membawa surat ini. Sebaiknya yang berani mati.”

Para punggawa segera bertanya kepada para mantrinya, siapa yang sanggup membawa surat kepada Surapati. Namun dari semua mantri tak ada yang sanggup. Komisaris Dulkup jengkel.

Berkata Komisaris Dulkup, “Lhah bagaimana ini? Ini bukan pekerjaanku sendiri. Ini perintah Raja yang aku bawa. Bagaimana kalau seperti ini. Sebaiknya kita perang habis-habisan saja. Tapi pasti tak sama dengan kalau memakai siasat.”

Ki Tohjaya mendengar perkataan Dulkup matanya berkaca-kaca. Dalam hati berkata, ini para punggawa mengapa seperti ini. Kalau mendapat tugas berat tidak berani. Padahal menjadi andalan Sang Raja. Apakah mereka sengaja memojokkan aku agar berangkat? Mentang-mentang dulu saya orang kecil yang kemudian diangkat menjadi bupati. Apakah demikian pikiran para bupati ini?

Ki Tohjaya segera berdiri dari kursinya dan berkata, “Tuan, yang akan membawa surat itu saya sendiri. Tak usah membawa punggawa.”

Komisaris sangat gembira. Ki Tohjaya diajak ke kantornya dan dibisiki pesan-pesan.

“Jangan khawatir. Biasanya juga tidak ada utusan yang mati. Sesampai di sana, siapa yang akan kau tuju?” tanya Komisaris Dulkup.

Ki Tohjaya berkata, “Suradilaga yang akan saya temui. Nanti Suradilaga akan memberitahu kakaknya Ki Surapati. Kalau Surapati berkenan maka dia akan menyarankan kepada Panembahan. Semua perkataannya akan dituruti.”

Komisaris berkata, “Benar itu. Ini surat dan barang-barang yang akan dikirim kepada Panembahan Purubaya.”

Segera Ki Tohjaya menerima surat dan semua barang yang akan dikirim.

Komisaris kembali berpesan, “Hai Ngabei, ketahuilah. Kalau Panembahan mau menyentuh barang kiriman ini, pasti mudah diambil hatinya.”

Ki Tohjaya suka mendengar ucapan Komisaris. Segera berangkat Ki Tohjaya dengan membawa dua pembantu. Adipati Semarang juga memberi seorang mantri, Demang Kaligawe. Adipati Citrasoma menyertakan kebayan Ki Pariwana dan seorang tukang pikul. Jadi mereka yang berangkat sejumlah enam orang. Perjalanan mereka lancar dan sudah sampai di Sarebed. Sudah dilaporkan kedatangan mereka kepada Raden Suradilaga. Suradilaga sangat heran mereka bisa selamat di jalan. Barang kiriman dari Komisaris sudah diterima. Ada yang diperuntukkan bagi Suradilaga dan Ki Surapati.

Berkata Suradilaga, “Kalian tunggu di sini, saya akan melapor Kanda Surapati dulu. Nanti kalau sudah diizinkan Anda semua akan saya bawa menghadap.”

Suradilaga segera melesat ke tempat Ki Surapati. Ngabei Tohjaya dan rombongan ditinggalkan di desa Sarebed. Mereka dijaga oleh orang Bali yang kumisnya satu kepal. Tingkahnya menakutkan seperti rakasasa. Mantri dari Jepara ketakutan dan seketika sakit panas.

Berkata Demang Pariwana, “Ayo kita minggat Kyai. Tak enak rasanya. Anda ditinggalkan di sini oleh Suradilaga. Lama dia tak datang. Orang yang menunggui kita itu saling berbisik. Tak enak rasanya. Ayo kita pergi Kyai.”

Ki Tohjaya menghardik, “Bukan anak manusia engkau ini. Diutus belum mendapat hasil sudah mikir mau minggat.”

Si Kabayan juga berkata, “Ayo dipercepat kita pergi Kyai. Orang yang menunggu itu menakutkan. Aku duga mereka sudah disuruh oleh Suradilaga.”

Ki Tohjaya tak menggubris ucapan kedua orang pengiringnya.

Mantri Jepara berkata, “Saya akan pergi sendiri.”

Ki Tohjaya berkata, “Nah segera pergilah. Juga engkau Demang Pariwana, engkau jangan membuat repot. Kalau harus luluh lantak diriku ini, akan aku lakukan sendiri. Aku tidak seperti dirimu yang menjijikkan itu.”

Berkata Ki Pariwana, “Benar Kyai, saya ini hanya pembantu, sedangkan Anda punggawa raja yang diberi hadiah negeri. Pantas kalau bertaruh nyawa. Sedangkan saya di Jepara hanya ikut makan nasi sekepal dari bagian adipati Jepara Ki Citrasoma.”

Sangat marah Ki Tohjaya. Mantri dari Jepara itu akan ditabok, tapi keburu lari. Mantri Semarang yang masih tertinggal.

Ki Tohjaya berkata, “Kalau kamu mau ikut sekalian minggat silakan.”

Demang Kaligawe berkata, “Saya tidak ikut. Tapi mohon saya jangan disebut mantri, katakan saja saya ini tukang pikul.”

Sementara itu Ki Surapati setelah kedatangan sang adik membawa surat Komisaris dan barang-barang kiriman, segera surat dibaca dengan seksama. Isi suratnya menyatakan kalau Raden Surapati bisa membujuk Panembahan Purubaya menyerah maka akan diberi hadiah negeri oleh Sang Raja, di manapun yang dikehendaki. Dan Kumpeni akan memberi keuntungan sejumlah dua ribu riyal setiap tahun. Serta dosa-dosa ayahnya dulu akan diampuni oleh Kumpeni. Juga dibebaskan dari kewajiban menghadap ke Kartasura. Silakan duduk nyaman di negerinya sendiri.

Sudah kehendak Tuhan kalau Surapati harus tergiur oleh tawaran yang sangat menjanjikan itu. Surapati lupa kalau Kumpeni sangat ahli dalam membuat janji-janji kosong. Surapati segera menghadap Panembahan Purubaya, memberitahukan bahwa dirinya baru saja mendapat surat dari Komisaris Dulkup dan Sang Raja. Isi suratnya meminta agar Surapati memberi masukan kepada Panembahan Purubaya bahwa Panembahan tidak berdosa kepada Sang Raja. Panembahan hanya menuruti kehendak sang adik Pangeran Balitar. Kini Pangeran Balitar sudah wafat, maka Panembahan diminta pulang ke Kartasura. Panembahan akan diberikan tanah dua puluh ribu kalau berkenan pulang ke Kartasura. Kumpeni yang akan menanggung karena dalam catatan Kumpeni Panembahan Purubaya termasuk ahli waris yang ditunjuk mendiang Sang Raja Pakubuwana.

Panembahan berkata pelan, “Siapa utusan yang membawa surat ke sini?”

Surapati berkata pelan, “Utusan yang datang namanya Tohjaya, bupati di Lamongan. Sekarang masih berada di belakang.”

Berkata Sang Panembahan, “Kalau demikian Surapati, temuilah sendiri si Komisaris Dulkup. Engkau buatlah perjanjian kalau aku pulang semua prajuritku yang mempunyai kesalahan diampuni semua. Dan si Martapura, juga engkau sendiri, Kanda Herucakra, si Jimat Cakranagara dan semua saudaramu juga diampuni. Kalau tidak, aku tak mau pulang. Lebih baik hancur di hutan ini.”

Surapati menyembah, “Baiklah hamba segera laksanakan.”

Surapati segera melesat menuju Sarebed, tempat Tohjaya masih menunggu. Setelah bertemu dengan Tohjaya Surapati menturkan semua kehendak Panembahan Purubaya. Tohjaya yang mendengar penuturan Surapati merasa sangat gembira.

Berkata Ngabei Tohjaya, “Syukurlah Raden bila demikian. Sekarang mari kita segera berangkat.”

Surapati dan Tohjaya segera berangkat menemui Komisari Dulkup. Suradilaga dan Tirtanata beserta pasukannya ditinggal di Sarebed. Surapati dan Tohjaya sampai di Gembong dan bertemu Komisaris Dulkup. Komisaris sangat gembira dan menyambut Surapati dengan sangat hormat. Tohjaya ditanya perihal perjalanannya. Tohjaya melaporkan bahwa mantri Jepara mendahului minggat karena takut. Komisaris sangat marah. Ki Citrasoma atasan mantri Jepara yang kena getahnya. Dianggap tak becus membina bawahan, Ki Citrasoma didenda seribu riyal.

Sudah tercapai kesepakatan antara Komisaris Dulkup dan Surapati. Yang diminta Surapati adalah negeri Pasuruan dan menjadi wadana bagi wilayah sebelah timur gunung Wilis. Kumpeni menyanggupi permintaan Surapati. Raden Surapati pun sanggup membuat Panembahan Purubaya menyerahkan diri, karena dirinya sekarang sedang dipercaya Sang Panembahan. Semua perkataannya akan dituruti Panembahan. Setelah sepakat Ngabei Tohjaya mendapat tugas mengawal Surapati kembali. Sebuah surat disertakan untuk Panembahan dan adik-adik Surapati, Raden Suradilaga dan Tirtanata. Tohjaya berangkat dengan meminta tukang pikul dari pesisir. Ki Tohjaya berpendapat agar Panembahan tidak kerepotan kelak ketika berangkat, sebaiknya diberi tumpangan dan tukang pikul untuk membawa barang bawaan.

Tohjaya dan Surapati sudah sampai di desa Sarebed dan bertemu dengan Suradilaga dan Tirtanata. Surat untuk Suradilaga diserahkan dan segera dibaca.

Setelah membaca surat Raden Suradilaga berkata, “Kalau demikian Dik, mari kita segera menghadap Panembahan.”

Raden Surapati lalu membuat surat ditujukan kepada Panembahan. Raden Suradilaga yang disuruh mengantarkan. Tohjaya dan Suradilaga segera berangkat ke Lumajang menghadap Panembahan Purubaya. Sepanjang jalan mereka terus berbincang.

Ki Tohjaya berkata, “Kanda, nanti semua perkataan saya Anda benarkan saja. Kalau Anda ditanya oleh Panembahan, turutilah semua yang saya katakan. Agar perang segera selesai dan bumi Jawa ini segera sejahtera.”

Keduanya sudah sampai di Lumajang dan melapor kepada penjaga. Setelah mendapat izin keduanya menghadap kepada Panembahan Purubaya. Raden Suradilaga membawa Ngabei Tohjaya ke depan. Tohjaya menyerahkan surat dari Komisaris dan surat dari Surapati. Surat sudah diterima oleh Panembahan dan dibaca dengan seksama. Tampak Panembahan sangat lega hatinya.

Panembahan berkata, “Engkau yang bernama Tohjaya?”

Yang ditanya menyembah, “Benar paduka.”

Panembahan berkata pelan, “Aku hanya pernah mendengar namamu saja. Teringat ketika ayahanda masih memerintah, engkau yang dikirim ke Surabaya. Anak siapa engkau? Aku lihat engkau berpenampilan baik dan cakap dalam bekerja. Berani berperang dan tak menolak sembarang pekerjaan. Katakan siapa engkau ini.”

Ngabei Tohjaya berkata, “Hamba hanya anak orang rendahan.”

Panembahan berkata, “Engkau yang memulai menjadi benih orang mulia bagi anak cucumu.”

Panembahan sangat terkesan dengan Ngabei Tohjaya. Semua perkataannya dipercaya. Apalagi Suradilaga juga selalu membenarkan. Juga surat dari Komisari Dulkup dan surat dari Surapati memakai kata-kata yang manis. Sudah kehendak Tuhan hati Pangeran Purubaya luluh oleh bujukan.

Panembahan berkata manis kepada Tohjaya, “Baik aku turuti semua perkataanmu Tohjaya. Namun aku sedang sakit. Bagaimana saranmu?”

Tohjaya berkata sambil menyembah, “Saya sudah persiapkan paduka. Saya bawa tandu dan tukang pikulnya karena mendengar paduka sedang sakit.”

Panembahan berkata, “Baiklah. Besok hari Rabu aku berangkat dari Lumajang.”

Ngabei Tohjaya segera memberi tahu kepada Komisaris Dulkup. Singkat cerita utusan Ngabei Tohjaya sudah sampai di Gembong dan bertemu Komisaris. Semua sudah dilaporkan urut dari awal sampai akhir. Komisaris sangat bersukacita. Komisaris lalu memerintahkan kepada tiga punggawa untuk menjemput. Adipati Semarang, Arya Kudus dan Arya Tuban. Empat perwira Kumpeni juga ikut menjemput, Mayor Lender, Kapten Tonar, Kapten Pambayi dan Kapten Bonggol. Mereka segera berangkat. Setelah tiga hari perjalanan mereka sampai di hutan Basuki.

Sementara itu, Panembahan juga sudah berangkat dari Lumajang beserta pasukannya. Bergemuruh suara para prajurit yang jumlahnya tinggal seribu orang. Sudah termasuk pasukan dari Panembahan Herucakra dan Adipati Natapura. Juga pasukan Surapati dan Pangeran Cakranagara dari Madura. Pasukan Suradilaga dan Tirtanata tak ketinggalan. Semua adik-adik Surapati ikut serta ke manapun sang kakak pergi. Hanya seorang yang tidak ikut, namanya Raden Brahim. Dia sedang sakit dan berdiam di Dumpul. Sepanjang perjalanan Ngabei Tohjaya tak berpisah dari Panembahan. Panembahan sungguh sangat terkesan dengan Ngabei Tohjaya.

Sampailah perjalanan rombongan Panembahan di hutan Basuki. Para punggawa Kartasura dan Kumpeni telah menyambut. Namun Panembahan Purubaya waspada dan selalu menempatkan barang bawaan di belakang. Yang disuruh menjaga adalah sang putra Raden Mas Umbaran. Para istri dan selir semua berada di belakang. Setelah dua hari bermalam, pagi hari mereka berangkat dari hutan Basuki. Adipati Semarang mengirim utusan kepada Komisaris untuk memberi tahu posisi mereka. Komisaris Dulkup sangat gembira. Lalu menyuruh satu brigade serdadu Kumpeni untuk menyambut di alun-alun Pasuruan. Komisaris tak ikut menyambut karena masih berada di Gembong. Hanya Raden Surapati yang menyambut bersama pasukan Kumpeni.

Rombongan Panembahan Purubaya sudah sampai di Pasuruan. Mereka berhenti di luar menata barisan. Pasukan Kumpeni menunggu di depan masjid Pasuruan. Terlihat mereka telah berbaris rapi. Panembahan Purubaya agak marah karena tak melihat Komisaris Dulkup. Panembahan lalu memanggil Raden Surapati. Raden Surapati menyerahkan keputusan kepada Panembahan. Ngabei Tohjaya dipanggil menghadap. Diminta untuk menanyakan kesungguhan Komisaris. Mengapa Komisari tidak datang menyambutku, kata Panembahan. Apakah tidak bersungguh-sungguh ingin damai?

Ngabei Tohjaya segera bergegas menuju Gembong. Sesampai di Gembong dan bertemu Komisaris Ngabei Tohjaya melaporkan semua perkataan Panembahan. Komisaris Dulkup bergetar hatinya. Segera mengambil kuda dan memacunya. Seorang opsir menyertainya. Ki Tohjaya pun mengikuti. Segenap bupati pesisir segera menyusul. Juga Pangeran Sampang bergegas memacu kudanya.

Komisaris sudah sampai di Pasusuran bersama para bupati pesisir semua. Komisaris bermaksud menyalami Panembahan, namun pasukan Panembahan mengawal rapat. Komisaris lalu berbelok menuju barisan serdadu Kumpeni yang berada di depan masjid. Komisaris menunggu para bupati dan Pangeran Madura masuk. Tak lama mereka datang.

Komisaris maju menghadap Panembahan bersama para bupati pesisir. Setelah mendekat pasukan pengawal Panembahan menyingkir memberi jalan. Panembahan turun dan bersalaman dengan Komisaris. Mereka saling berangkulan. Para bupati lalu sungkem kepada Panembahan Purubaya. Pangeran Madura tak ketinggalan. Semua punggawa Kartasura menangis seperti tangisan perempuan. Adipati Citrasoma dan Adipati Semarang menangis seperti orang kehilangan istri. Setelah reda tangis para punggawa Kartasura, Panembahan dipersilakan ke Loji Gembong. Sudah sepakat antara Komisaris Dulkup dan Panembahan, Panembahan akan langsung dibawa melalui laut ke Semarang. Lalu akan diteruskan ke Kartasura. Mendadak datang utusan dari Sang Raja meminta Raden Jimat atau Pangeran Cakranagara. Raden Jimat diminta segera datang melalui jalan darat. Yang lain diperintahkan melalui laut dan turun di Semarang. Raden Jimat lalu kembali ke Kartasura bersama utusan Sang Raja.

Komisaris Dulkup segera bertolak ke Semarang bersama Panembahan Purubaya. Panembahan Herucakra tidak ketinggalan. Juga Adipati Natapura, Raden Surapati dan Raden Suradilaga. Keberangkatan mereka diperingati dengang sengkalan tahun: sarira sagara karasa rupanirèki[1]. Para punggawa Kartasura merasa teriris hatinya karena tahu benar Panembahan Purubaya terkena tipudaya.

Singkat cerita perjalanan Panembahan dan rombongan telah sampai di Semarang. Sepanjang perjalanan Pangeran Arya dan Raden Mas Lindu tak pernah berpisah dengan Panembahan. Setelah sampai di Semarang Komisari segera mengirim utusan ke Kartasura untuk memberi tahu kepada Sang Raja. Sang Raja lalu mengirim kain mori sejumlah satu gulung dan tambang dari benang lawe. Maksudnya agar Panembahan dan rombongan dibunuh saja. Komisaris dan Admiral sangat menyayangkan keinginan Sang Raja yang hendak membunuh sang adik Panembahan Purubaya. Bagaimanapun Panembahan Purubaya tak pernah menyatakan diri ingin menjadi raja. Dia hanya diminta tolong oleh sang adik Pangeran Balitar. Komisaris dan Admiral sepakat untuk membawa Panembahan Purubaya ke Betawi. Komisaris lalu mengirim utusan untuk memberitahu Sang Raja.

Sang Raja menanggapi, “Kalau kehendak Komisaris dan Admiral seperti itu, baiklah aku dukung. Namun aku minta anakku si Arya dan si Lindu agar dipisahkan. Bawalah dia ke Kartasura.”

Admiral menyanggupi perintah Sang Raja. Sementara itu Ratu Mas yang mendengar sang ayah Panembahan Purubaya hendak dibawa ke Betawi sangat bersedih. Ratu Mas ingin menyertai ke Betawi, tetapi Sang Raja sangat mencegahnya.

Di Semarang Panembahan dijamu dengan penuh hormat oleh Komisaris. Lalu datang utusan dari Betawi mengatakan dengan perkataan manis kepada Panembahan Purubaya. Mereka katakan Gubernur Jenderal ingin bertemu dengan Panembahan Purubaya di Betawi. Bersamaan waktunya datang utusan dari Kartasura meminta Pangeran Arya bersiap. Pangeran Arya berangkat ke Kartasura bersamaan dengan keberangkatan Panembahan Purubaya ke Betawi. Para istri menangis karena sudah merasa bahwa Panembahan telah terkena tipudaya. Para punggawa Panembahan merasa telah dibohongi Kumpeni. Mereka hendak mengamuk, tetapi segera mengurungkan diri karena sadar takkan sanggup melawan lagi. Panembahan berangkat ke Betawi bersama Raden Mas Lindu yang tak mau ditinggal. Putra-putra Panembahan yang perempuan ditinggal di Semarang. Keberangkatkan Panembahan dari Semarang pada tanggal dua puluh lima bulan Jumadilakhir.

Pangeran Arya sudah dibawa ke Kartasura dan dihaturkan kepada Sang Raja. Perwira Kumpeni yang mengawal perjalanan Pangeran Arya adalah Letnan Simun. Sangat rindu Sang Raja kepada sang putra. Namun Pangeran Arya menanggapi dingin. Rasa kasihnya lebih besar kepada sang paman Panembahan Purubaya. Pangeran lalu diberi kediaman dan dipertemukan dengan keluarganya. Pangeran Arya telah diberi kedudukan dan tanah garapan sejumlah seribu. Nama Pangeran dikembalikan seperti dulu, yakni Pangeran Arya Mangkunagara.

Sementara itu yang sedang berlayar, Panembahan Purubaya beserta rombongan telah sampai di Betawi. Panembahan Herucakra langsung dibuang ke tanah Kap. Panembahan Herucakra sebagai saudara tua dinilai memberi contoh buruk. Adapun Adipati Natapura, Raden Surapati, Raden Suradilaga dan Jaka Tangkeban sudah dibuang ke Sri Lanka. Panembahan Purubaya tetap di Betawi dan ditempatkan di benteng Alang-Alang bersama anak istrinya.

Di Kartasura, Raden Jimat sudah sampai. Bersama kerabatnya yang bernama Sewanagara mereka dipenjara. Di dalam penjara Raden Jimat memilih mati dengan cara menggantung diri. Raden Sewanagara kemudian dibebaskan dan diberikan kepada Pangeran Cakraningrat untuk dibawa pulang ke Madura.


[1] Sengkalan: sarira sagara karasa rupa (1648 J).


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/01/babad-tanah-jawi-125-panembahan-purubaya-diperdaya-kumpeni-lalu-ditempatkan-di-jakarta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...