Translate

Kamis, 19 September 2024

Babad Tanah Jawi (127): Sinuhun Mangkurat Jawi wafat, digantikan Pangeran Adipati dan bergelar Sinuhun Pakubuwana II

 Sang Raja Amangkurat Jawi mempunyai banyak putra. Delapan di antara mereka perempuan dan dua puluh adalah laki-laki. Yang sudah dewasa baru dua, Pangeran Arya Mangkunagara dan Raden Mas Sandeya. Keduanya lahir dari istri selir.  Yang lahir dari permaisuri Ratu Sepuh ada dua orang anak. Yang tertua bernama Raden Prabayasa, seorang laki-laki yang tampan. Saat itu masih muda dan sudah diberi nama Pangeran Adipati. Digadang-gadang sebagai pengganti sang ayah kelak. Adapun sang adik seorang perempuan cantik. Setelah melahirkan dua putra Ratu Sepuh diasingkan oleh Sang Raja. Adik dari permaisuri yang bernama Ratu Kencana kemudian diambil istri dan diberi nama Ratu Kadipaten. Jadi Ratu Kadipaten ngarang ulu atau menikah dengan mantan suami kakaknya. Ratu Kadipaten sudah mempunyai empat putra semuanya laki-laki.

Sang Raja mempunyai kehendak agar Pangeran Arya menikah dengan putra Panembahan Purubaya yang ditinggal di Kartasura, bernama Ratu Mas. Namun Sang Raja ingin agar Pangeran Arya menceraikan istri tuanya yang dari Kabalitaran, yang bernama Raden Ayu Sasi. Ketika Ratu Sepuh diminta tanggapan sangat berkeberatan kalau harus menceraikan istri tua. Apalagi dulu Ratu Mas sudah dijodohkan dengan Raden Mas Sandeya. Sang Raja sendiri yang waktu itu telah memberi paningset. Hanya tinggal menunggu waktu untuk dipertemukan.

Belum lagi persoalan menikahkan anak selesai Sang Raja menderita sakit parah. Ki Patih Danureja segera dipanggil menghadap. Sesampai di hadapan Sang Raja Patih Danureja diberi pesan-pesan.

Berkata Sang Raja, “Hai Patih, kalau aku sampai pada ajalku, anakku si Prabayasa engkau angkat menjadi raja menggantikanku.”

Ki Patih menyembah. Sang Raja kemudian wafat. Para istri dan wanita di dalam puri menangis. Jenazah segera dimandikan dan dikafani. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: sirna tata obah janmi[1]. Pangeran Arya dan Patih Danureja sudah memerintahkan agar para ketib serta abdi Suranata melaksanakan pemakaman di Mataram. Jenazah Sang Raja kemudian dimakamkan di astana Imogiri.

Ki Patih Danureja merasa khawatir kalau tak bisa melaksanakan pesan mendiang Sang Raja. Maka segera Ki Patih mengumpulkan pasukan dan bersiap secara diam-diam. Ki Patih lalu menemui putra tertua Pangeran Arya Mangkunagara.

Berkata Ki Patih, “Kalau berkenan, Nak Pangeran keluarlah dari istana. Kalau paduka hendak menjadi raja menggantikan ayah paduka, segeralah keluar dari istana. Saya belum berunding dengan para punggawa perihal pengganti ayah paduka dan juga belum mendapat perintah dari Gubernur Jenderal di Betawi.”

Pangeran Arya tak menolak usulan Ki Patih. Segera Pangeran Arya keluar dari istana. Ki Patih lalu mengunci pintu dari dalam. Ki Patih lalu memanggil para punggawa secara diam-diam. Pangeran Madura juga dipanggil masuk ke istana.

Setelah semua berkumpul di dalam istana Ki Patih berbicara, “Para kerabatku semua. Saya minta pendapat kalian yang sebenarnya. Semua katakan jangan pakai pura-pura.”

Para punggawa menyahut, “Semua tidak ada yang punya pendapat. Terserah Ki Patih saja. Karena paduka yang telah mendapat pesan dari mendiang Sang Raja.”

Kyai Danureja berkata, “Benar tebakan kalian. Tapi aku perlu mendengar pendapat kalian.”

Pangeran Madura berkata, “Kalau diterima, sebaiknya anak tertua yang menggantikan sebagai Raja. Pangeran Aryalah yang pantas mewarisi kedudukan raja. Kalau paduka angkat para putra yang masih muda, perkiraan saya tak urung nanti menimbulkan perpecahan negeri. Bisa tidak tepat dalam memerintah karena masih bocah, belum tahu buruk dan baik. Kalau perintah Raja tak dilaksanakan artinya membangkang. Kalau dilaksanakan juga menimbulkan masalah. Kehendak raja yang masih bocah sering tidak kukuh. Bisa membuat negeri terpecah belah.”

Ki Jayaningrat menanggapi, “Pangeran Arya kalau menjadi raja kurang pantas. Citranya kurang gagah dan kelahiran orang desa. Lebih mendingan Raden Mas Sandeya, tampan rupawan. Walau sesama anak selir tapi ibunya putri Adipati Sindupraja. Dan juga usianya sudah mencukupi. Nah mari kita angkat Raden Mas Sandeya menjadi raja. Pangeran Adipati walau lahir dari permaisuri dan diharapkan menjadi raja oleh sang ayah, tetapi masih bocah. Belum pantas duduk di singgasana karena masih sangat muda.”

Ki Patih tak sepakat dengan kedua usulan tadi. Perundingan menjadi tanpa guna. Para punggawa lalu bubar. Semalam berselang para punggawa Kartasura diminta membubuhkan stempel di atas surat yang dibawa Ki Patih. Nama Ki Patih berada di atas, di bawahnya nama para wadana. Surat lalu dikirim ke Betawi untuk meminta persetujuan Gubernur Jenderal.

Ki Patih berkata, “Jangan kalian setuju dengan usulan Panembahan Cakraningrat dan Adipati Jayaningrat. Itu sama dengan membantah Sang Raja.”

Pangeran Adipati lalu dipersilakan masuk ke dalam istana dan menunggu surat ketetapan dari Betawi. Kumendur Semarang Rektopdiansah sudah berangkat dari Semarang membawa surat ketetapan dari Betawi. Sudah sampai di Kartasura dan bertemu Ki Patih.

Pada hari Senin para punggawa lengkap hadir di bangsal pisowanan. Orang dari tanah perdikan juga sudah hadir. Para haji dan ulama semua dikerahkan untuk menyaksikan penobatan Sang Raja. Raden Ngabei Tirtawiguna lalu membacakan surat dari Betawi yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal. Setelah selesai pembacaan Ki Patih maju dan sungkem kepada Sang Raja. Setelah Ki Patih selesai giliran para punggawa melakukan sungkem. Para opsir Kumpeni kemudian memberi hormat dan membunyikan meriam. Bunyi meriam dan tembakan senapan seperti halilintar membelah langit. Penobatan Pangeran Adipati masih di tahun yang sama dengan wafatnya Sang Raja. Ditandai dengan sengkalan tahun: sirna tata angrasani nabi[2].

Pangeran Adipati Prabayasa sudah sah menggantikan kedudukan sang ayah dengan gelar: Susunan Pakubuwana Senapati Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama[3]. Saat itu yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Betawi adalah Jenderal Mattheus De Haan. Direktur Kumpeni dijabat Tuan Pakenir, seorang ideler sepuh. Adapun yang berkuasa di Semarang adalah Kumendur Rektop Diansah. Pejabat Kumpeni di Kartasara adalah Kapten Koster, seorang serdadu tua. Semua punggawa Kartasura tunduk dan patuh kepada raja baru mereka. Tak ada yang merasa khawatir walau Sang Raja masih muda. Sang Raja sudah mempunyai permaisuri dari putri Kapurubayan. Masih saudara sepupu dengan Sang Raja. Tampak Sang Raja dan permaisuri serasi dan sama-sama rupawan.

Di antara para saudara Sang Raja, yang sudah mempunyai kedudukan ketika sang ayah masih berkuasa hanyalah Pangeran Arya Mangkunagara. Sedang saudara yang lain masih muda. Pangeran Arya dengan Sang Raja berjarak empat saudara. Pangeran Arya mempunyai adik perempuan bernama Raden Ajeng Dewi, lalu adiknya Raden Ajeng Aminah, lalu saudara laki-laki bernama Raden Mas Sandeya, adiknya lagi laki-laki bernama Raden Mas Regu, lalu baru Sang Raja. Adapun Sang Raja mempunyai adik laki-laki bernama Raden Mas Utara. Adiknya lagi perempuan satu ibu dengan Sang Raja bernama Raden Ajeng Siti Sundari. Lalu adiknya perempuan bernama Raden Ajeng Brangti, lalu adiknya laki-laki bernama Raden Mas Lindu, lalu Raden Mas Subekti, lalu Raden Mas Subrangta, dan adiknya laki-laki lagi bernama Raden Mas Sekti. Adik Raden Mas Sekti adalah Raden Mas Sujana. Semua yang disebut di atas adalah urutan lahirnya. Adapun usianya hampir sama karena lahir dari ibu yang berlainan.

Raden Mas Sujana masih mempunyai adik laki-laki bernama Raden Mas Karaton, lalu Raden Mas Pamade, lalu seorang perempuan bernama Raden Ajeng Tajem, lalu Raden Ajeng Inten, lalu adiknya laki-laki bernama Raden Mas Surata, Raden Mas Yadi, Raden Mas Langkir. Adik Raden Mas Langkir seorang perempuan bernama Raden Ajeng Umik, lalu adiknya laki-laki bernama Raden Mas Genter, lalu Raden Mas Sunaka, lalu perempuan lagi bernama Raden Ajeng Jumanten Endah, dan yang terakhir laki-laki bernama Raden Mas Sardin. Lengkap dua puluh enam saudara Sang Raja. Delapan perempuan dan dan delapan belas laki-laki.

Sang Raja sudah setahun menggantikan kedudukan sang ayah. Namun setiap kali tampil di hadapan punggawa Sang Raja tidak berkenan duduk di singgasana. Hanya mau duduk di lantai beralas kasur. Ki Patih sudah mempersilakan, tapi tak pernah dituruti. Kalaupun mau duduk di kursi,  masih di kursi bawah.

Ki Patih lalu berpikir bahwa Sang Raja mungkin merasa tidak enak hati dengan sang kakak yang sudah dewasa, Pangeran Arya Mangkunagara. Ki Patih setelah menghadap Sang Raja lalu bertamu kepada Pangeran Arya Mangkunagara. Sang Pangeran menyambut kedatangan Ki Patih dengan tergopoh-gopoh. Setelah duduk nyaman Ki Patih memulai perbicangan.

Berkata Ki Patih, “Nak, sebab Sang Raja tidak berkenan duduk di singgasana dan hanya berkenan duduk di lantai, sebenarnya hanya kurang nyaman kepada paduka Pangeran. Sebaiknya paduka datang ke rumah uwak Patih untuk membicarakan ini.”

Pangeran Arya berkata, “Baiklah Wak, nanti malam saya datang ke rumah Uwak.”

Ki Patih segera mohon pamit. Malamnya Pangeran Arya benar datang ke Kapatihan. Patih Danureja menyambut di gerbang dan mempersilakan Pangeran Arya masuk ke dalam.

Setelah duduk nyaman Ki Patih berkata, “Nak, besok pagi saya menghadap Sang Raja untuk menghaturkan kehendak paduka. Perkara adik-adik paduka, yang laki-laki sebaiknya segera dinikahkan dan diberi kedudukan. Dan yang wanita segera diberikan sebagai istri kepada bupati yang pantas dan ikut menjaga negeri. Syukur kalau masih kerabat sendiri, itu lebih baik.”

Pangeran Arya tersenyum dan berkata, “Uwak, sangat setuju saya dengan usulan Anda. Harus dicari jodoh yang baik agar tidak menjadi kekhawatiran.”

Pangeran Arya kemudian pulang.


[1] Sengkalan: sirna tata obah janmi (1650 A.J.)

[2] Sengkalan: sirna tata ngrasani nabi (1650 J)

[3] Sering disebut dengan nama Pakubuwana II.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/03/babad-tanah-jawi-127-sinuhun-mangkurat-jawi-wafat-digantikan-pangeran-adipati-dan-bergelar-sinuhun-pakubuwana-ii/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...