Pagi-pagi Ki Patih Danureja berangkat ke istana. Sesampai di pintu Sri Manganti melapor kepada penjaga. Ki Patih lalu dipanggil masuk ke dalam. Di hadapan Sang Raja, Ki Patih menyembah.
Berkata Ki Patih, “Paduka, kakak paduka Pangeran Arya Mangkunagara tadi malam datang ke rumah saya. Kakak paduka meminta agar kalau paduka tampil di hadapan para punggawa paduka duduk di singgasana. Sangat-sangat permintaan kakak paduka, sebaiknya diterima. Karena raja adalah khalifah dari Tuhan maka sepantasnya dimuliakan. Adapun kalau tidak berada di hadapan punggawa paduka tidak mengapa kalau hendak menghormati saudara tua. Kakak paduka tidak membatasi. Namun kalau di hadapan punggawa akan kelihatan kurang elok. Dan lagi, kakak paduka juga membicarakan perihal saudara-saudara paduka baik yang laki-laki atau perempuan. Segeralah mereka dinikahkan dan diberi jabatan ksatria. Juga bagi para saudara perempuan, sebaiknya segera dinikahkan dengan punggawa yang pantas.”
Sang Raja tersenyum dan berkata, “Wak Patih, aku besok akan berjalan-jalan ke rumah Kanda Pangeran Arya. Undanglah para bupati semua.”
Ki Patih segera keluar dari istana. Sesampai di luar segera mengirim utusan memberi tahu kepada Pangeran Arya bahwa Sang Raja besok akan berkunjung. Juga para bupati semua diundang untuk mengiringi Sang Raja besok. Pangeran Arya segera bersiap menyambut kedatangan Sang Raja. Para pekerja mempersiapkan tempat yang akan dipakai untuk pertemuan.
Pagi harinya Sang Raja turun dari istana menuju kediaman Pangeran Arya. Sang kakak menyambut dengan hangat. Ki Patih dan para punggawa mengiringi kedatangan Sang Raja. Para wadana semua juga ikut hadir. Sang kakak meyambut dengan penuh rasa hormat. Kedatangan Sang Raja ke kediaman Pangeran Arya diperingai dengan sengkalan tahun: rupa pandhawa kawayang janmi[1].
Pangeran Arya menyambut dengan sepenuh hati. Semua milik Pangeran Arya diperlihatkan. Peti-peti semua dibuka. Barangkali ada yang dikehendaki Sang Raja maka akan diserahkan segera. Sang Raja berkeliling melihat-lihat semua sudut rumah Pangeran Arya, tetapi Sang Raja tidak berkata sepatah pun. Sang Raja singgah di rumah Pangeran Arya sejak pukul delapan sampai pukul setengah empat. Setelah Sang Raja kembali ke istana semua barang-barang yang tadi diperhatikan Sang Raja kemudian dikirim ke istana. Ada kuda dan gamelan, serta senjata halus dan panah. Kuda anakan sembilan ekor dan tombak sejumlah delapan puluh bilah. Juga yang berada di dalam peti yang tadi dilihat Sang Raja dihaturkan semuanya.
Setelah beberapa hari berselang para saudara Sang Raja diberi kedudukan semua. Raden Mas Sandeya diberi kedudukan pangeran dengan nama Pangeran Ngabei. Raden Mas Regu diberi nama Pangeran Danupaya. Raden Ajeng Dewi diberikan kepada Adipati Suralaya dari Brebes. Raden Ajeng Aminah diberikan Kyai Rangga Kaliwungu. Pangeran Ngabei menikah dengan adik permaisuri, sesama putri Purubayan bernama Raden Ajeng Gelang. Pangeran Danupaya menikah dengan putri Adipasanan.
Raden Mas Utara diberi nama Pangeran Martasana, juga diberi istri adik permaisuri yang bernama Raden Ajeng Jemblem. Raden Ajeng Siti Sundari diberikan kepada Adipati Cakraningrat Madura. Raden Mas Subekti diberi nama Pangeran Arya Pamot, dan diberikan istri anak Natayuda wadana Bumija. Raden Ajeng Brangti menikah dengan sepupu, anak Mangkuyuda yang bernama Raden Sukrama. Raden Mas Sekti diberi nama Pangeran Buminata dan diberi istri putri Kabalitaran Raden Ajeng Tembelek adik dari Raden Ayu Sasi yang menjadi istri Pangeran Arya. Raden Mas Sujana diberi nama Pangeran Mangkubumi dan diberi isteri putri dari Madiun bernama Raden Ajeng Manik. Raden Ajeng Manik dahulu diboyong bersama dua saudaranya yang bernama Raden Sudarma dan Raden Sawaka. Keduanya kini tinggal di dalam puri. Selain yang disebut tadi saudara laki-laki Sang Raja ada yang belum menikah. Ada yang hanya mendapat selir. Ada pula yang dilangkahi, didahului menikah oleh adiknya. Karena kehendak Sang Raja saudara perempuan dinikahkan lebih dulu. Maka Raden Ajeng Tajem dinikahkan dengan Raden Ratmaja, keponakan Adipati Pati Raden Arya Megatsari. Raden Ajeng Umik diberikan kepada seorang keturunan Demak bernama Raden Hermaya yang lalu diangkat sebagai tumenggung di separuh negeri Demak dengan nama Tumenggung Suranata.
Sang Raja berkenan mengirim utusan ke Betawi dengan membawa banyak hadiah. Anak Ki Patih Danureja yang ditunjuk untuk berangkat. Lalu dikirim lagi utusan di belakangnya Rangga Wirakrama yang dulu bernama Cakrakerti. Namun kedua utusan lama tak datang sehingga dikirim utusan lagi dari mantri dalam, Ngabei Jayasupanta dan Raden Suraprameya.
Ketika itu Pangeran Cakraningrat dan Adipati Jayaningrat selalu meledek Ki Patih yang telah mengangkat raja yang masih anak-anak. Pasti mudah diatur oleh Ki Patih. Demikian gosip di antara para bupati.
Para saudara Sang Raja yang sudah diangkat kedudukan pangeran sudah diberi tanah garapan. Pangeran Ngabei dan Pangeran Buminata diberi tanah masing-masing seribu karya. Mereka belum diangkat sebagai wadana. Hanya Pangeran Arya yang menjadi tempat berlindung segenap kerabat.
Tak lama kemudian datang dari Betawi utusan yang telah dikirim, Rangga Wirakrama, Ngabei Jayasupanta dan Raden Suraprameya. Ketiganya mendapat tugas membawa jenazah Panembahan Purubaya serta keluarganya. Kedatangan para utusan bersamaan Adipati Danureja di Semarang. Mereka kemudian pulang bersama ke Kartasura. Sang Raja sangat menerima pekerjaan Rangga Wirakrama. Rangga Wirakrama lalu diangkat menjadi wadana macapat di gedong kiri. Sumabrata dicabut kedudukannya. Para wadana dalam kaget. Demang Urawan, Ngabei Wirajaya dan Mangunnagara tak ada yang diajak bicara soal pencopotan Sumabrata. Rangga Wirakrama kemudian diberi nama Tumenggung Nitinagara. Peristiwa wafatnya Panembahan Purubaya diperingati dengan sengkalan tahun: sêmbah tinata kawayang bumi[2]. Pada tahun yang sama juga wafat Pangeran Buminata. Yang menggantikan adalah saudara Sang Raja Raden Mas Karaton dan kemudian memakai nama Pangeran Buminata. Sang Raja juga berkenan memberi kedudukan kepada saudara yang belum punya kedudukan. Raden Mas Pamade diberi nama Pangeran Arya Mataram. Raden Mas Surata diberi nama Pangran Rangga. Raden Mas Yadi diberi nama Pangeran Silarong. Raden Mas Subrangta diberi nama Pangeran Balater. Raden Mas Sunaka diberi nama Pangeran Singasari. Raden Mas Langkir diberi nama Pangeran Prangwadana. Raden di Kurawanan, Raden Mas Sardin diberi nama Pangeran Dipasanta. Raden Mas Genter diberi nama Pangeran Arya Panular. Sudah habis saudara Sang Raja, semua sudah diberi kedudukan pangeran.
Mengulang cerita dahulu, ketika ibu Sang Raja baru mempunyai dua putra lalu diasingkan. Adik dari sang ratu kemudian diambil sebagai istri dan diberi nama Radu Kadipaten. Ratu Kadipaten kemudian melahirkan empat orang putra yang tampan. Yang tertua Raden Mas Sekti, yang kedua Raden Mas Karaton, adiknya lagi Raden Mas Pamade dan yang bungsu Raden Mas Sunaka.
Sementara itu dua putra Panembahan Purubaya yang lelaki masing-masing bernama Raden Mas Umbaran dan Raden Mas Ketug. Keduanya diberi kedudukan dan nama baru. Raden Mas Umbaran diberi nama Raden Purwakusuma. Raden Mas Ketug diberi nama Raden Purwawijaya. Keduanaya digolongkan bersama para kerabat. Semua sudah diberi tanah garapan. Setiap kerabat seluas tiga ratus karya. Pangeran Pamot mendapat empat ratus karya. Pangeran Danupaya empat ratus karya. Pangeran Martasana, Pangeran Arya Mataram, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singsari mendapat lima ratus karya.
Demikian Kartasura berkembang menjadi negeri yang makmur dan disegani. Para bupati pesisir dan mancanagara heran karena belum pernah mengalami zaman kemakmuran seperti ini. Mereka mendoakan agar Sang Raja lestari memimpin para kerabat. Tak urung semua tanah Jawa akan tunduk, termasuk Blambangan.
[1] Sengkalan: rupa pandhawa kawayang janmi(1651 J., 1726/1727 M.)
[2] Sengkalan: sêmbah tinata kawayang bumi (1652 J., 1727/1728 M)
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/04/babad-tanah-jawi-128-sang-raja-berkunjung-ke-kediaman-sang-kakak-pangeran-arya-mangkunagara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar