Kakak tertua Sang Raja, Pangeran Arya Mangkunagara sudah mempunyai banyak putra. Ada tujuh putra sang pangeran. Putra dari istri Raden Ayu Sasi ada tiga orang. Yang sulung bernama Raden Mas Umar, diambil sebagai putra angkat Sang Raja sebagai lanjaran atau pancingan agar Sang Raja cepat mendapat momongan. Putra kedua bernama Raden Mas Said, lahir ketika sang kakek Raja Amangkurat sedang sakit parah. Ketika itu Pangeran Arya sedang berjaga bersama para bupati dan kerabat. Lahirnya di hari Ahad Legi, bulan Ruwah tanggal empat, tahun Jimakhir, wuku Warigagung. Hari lahir sang putra ini disebut sengganing praba. Disebut demikian karena saat itu Sang Raja sedang sakit sehingga tak bisa memberikan perintah. Ada yang meramal bahwa si anak kelak akan menjadi prajurit unggul. Pangeran Arya ketika mendengar ramalan itu merasa sangat bersukacita.
Kembali ke putra Pangeran Arya Mangkunagara. Pangeran dengan istri dari Madura Raden Ayu Ragasmara, putri Cakrangingrat yang tewas di kapal, mempunyai dua putra. Yang tua bernama Raden Mas Ali, yang muda perempuan bernama Raden Ajeng Doplang. Dengan istri selir Pangeran mempunyai anak bernama Raden Mas Ambiya dan Raden Mas Sabar. Lalu dari istri utama Raden Ayu Wulan Pangeran mempunyai putra bernama Raden Mas Sakardi.
Istri utama Raden Ayu Wulan wafat ketika melahirkan, hati Pangeran Arya terguncang. Jenazah sang istri dikebumikan di Imogiri. Yang mengantar kaliwon keparak kiri Ngabei Asmaradana dan Demang Jayasamodra. Para punggawa semua kaget dengan kepergian Raden Ayu Wulan. Sang nenek Ratu Pakubuwana menangis. Sang putra yang sedang disapih, Raden Mas Peksi kemudian dibawa istana disatukan dengan sang kakak yang telah berusia tiga tahun, Raden Mas Umar yang telah lebih dulu diambil sebagai putra angkat Sang Raja. Yang membawa Raden Mas Peksi ke istana adalah Nyai Buratwangi. Saat itu Sang Raja sedang duduk bersantai dengan sang nenek Kanjeng Ratu Pakubuwana. Sang Ratu sedang memangku Raden Mas Umar. Permaisuri duduk di sebelah kiri Sang Raja.
Ketika Nyai Buratwangi masuk Sang Raja bertanya, “Bagaimana keadaan Kanda Pangeran Arya?”
Nyai Buratwangi tak mampu menjawab, hanya air mata terus mengalir.
Sang Raja kembali berkata, “Bawa ke sini, saya bandingkan keponakanku, mana yang lebih tampan.”
Sang nenek meraihnya sambil berkata, “Nak Raja engkau bawa yang tua, aku bawa yang muda.”
Sang Raja tertegun lalu menjawab, “Silakan nenek.”
Sang nenek menjawab, “Yang muda biar aku bawa. Yang tua kan sudah diasuh Nak Raja.”
Sang nenek lalu mengendong si buyut dan meletakkan di pangkuan. Sudah dibawa pulang ke kediamannya. Sang Raja tergopoh-gopoh menyusul. Para istri dan pengasuh mengiringi. Setelah sang nenek tabah hatinya, Sang Raja kembali ke dalam puri.
Sementara itu Pangeran Arya Mangkunagara yang sedang bersedih, hatinya seakan runtuh. Merasa hidupnya kini sepi setelah ditinggal dua istri menghadap Yang Kuasa. Hatinya selalu gelisah. Istri meninggal, putra tak disanding. Pangeran Arya Mangkunagara merasa hidupnya kosong. Namun segera ingat bahwa sebagai makhluk hanya sekedar menjalani hidup. Tak ada yang lolos dari kematian. Berdosa kalau sampai sakit hati ketika mendapat ujian. Pangeran ingat sebagai saudara raja, ksatria negeri yang menjadi sandaran hidup banyak orang. Hidup dan mati sungguh milik Tuhan Yang Maha Kuasa.
Genap empat puluh hari Pangeran Arya berkabung. Pangeran mulai menghadap ke istana di hari Senin-Kamis dan menyaksikan latihan keprajuritan di hari Sabtu. Pangeran yang kini duda hendak menikah lagi, tetapi belum ada wanita yang berkenan di hati.
Pada saat itu ada seorang wanita yang menarik perhatian Pangeran Arya. Sayang sekali wanita itu berada di istana. Bekas selir Sang Raja yang telah lama tak dipanggil. Asalnya dari Semarang, dari desa Karang. Anak dari Demang Kramayuda. Konon ibunya peranakan Cina, jadi kulitnya bersih kuning langsat. Dahulu adalah selir kesayangan Sang Raja, kini telah diasingkan. Wanita itulah yang akan diminta kepada Sang Raja.
Namun ada peristiwa yang membuat salah paham. Beredar kabar bahwa Pangeran Arya dan si wanita sudah saling berkirim kain jarit dan minyak wangi. Yang sebenarnya terjadi, dahulu ketika Panembahan Purubaya masih hidup dan tinggal di Jakarta pernah mengirim kain jarit lurik Banten ke Kartasura. Satu lembar dikirimkan kepada Ratu Kencana adapun yang satu lembar dikirimkan kepada Pangeran Arya. Ketika si Mbok Semarang sedang menjadi selir kesayangan Sang Raja Ratu kencana merasa terkesan hatinya lalu memberikan kain jarit lurik itu kepada si Mbok Semarang. Orang di dalam keraton tidak ada yang tahu.
Lalu ada telik sandi Sang Raja yang mengetahui kalau Pangeran Arya juga memakai kain yang sama. Dia menyimpulkan bahwa mereka telah berkirim kain dan sudah kenal lama. Hal itu kemudian dilaporkan kepada Sang Raja. Suatu ketika Pangeran Arya menghadap dengan memakai kain lurik seperti yang dimiliki Mbok Semarang. Sang Raja yang melihat meyakini bahwa laporan telik sandi benar adanya. Seketika Sang Raja marah namun disamarkan. Tak lama kemudian Pangeran Arya benar-benar meminta bekas selir itu. Permintaan itu membangkitkan kemarahan Sang Raja. Sangat marah Sang Raja sampai-sampai wajahnya tampak seperti dibasuh darah. Dada serasa pecah dan bibir begetar. Hati Sang Raja terbakar. Namun Sang Raja segera ingat bahwa sedang didatangi saudara tua. Juga saat itu istri Sang Raja sedang mengandung sehingga kemarahannya ditahan saja. Patih Danureja mengetahui kalau Sang Raja sangat marah. Ki Patih sangat prihatin. Ki Patih lalu memanggil Adipati Cakraningrat.
Berkata Ki Patih, “Pangeran, hari Kamis nanti Anda dampingi Pangeran Arya. Lalu mintalah kerisnya.”
Raden Natawijaya sudah diberi pesan agar menyiapkan segala sesuatu di malam harinya. Paginya Pangeran Arya masuk ke Loji Kumpeni. Pasukannya diusir dan Pangeran Arya ditangkap. Kediaman Pangeran Arya lalu dijarah. Semua wanita diboyong ke dalam istana. Semua orang kaget mendengar kejadian ini. Untuk sesaat timbul gara-gara di keraton Kartasura.
Si Mbok dari Semarang sudah dibunuh. Pangeran Arya lalu diperintahkan untuk dibuang ke seberang. Pangeran Arya sudah dibawa ke Semarang. Dua bupati yang mengantar, Raden Natawijaya dan Tumenggung Nitinagara. Pangeran hanya dibawakan dua selir dan satu pembantu lelaki, satu anak dan pesuruh yang masih kecil-kecil, tiga pesuruh dewasa dan patih sang Pangeran yang bernama Ki Mas Sumawijaya. Setelah sampai di Semarang langsung diteruskan ke Betawi.
Kumpeni di Betawi merasa sungkan. Meski perintahnya untuk membawa ke seberang tetapi Kumpeni masih berharap Sang Raja reda amarahnya. Barangkali sekarang sedang terbakar emosinya sehingga mengambil keputusan untuk membuang sang kakak. Nanti kalau sudah reda barangkali berkenan memanggil lagi. Karena alasan tersebut Kumpeni masih menahan Pangeran Arya di Betawi.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/05/babad-tanah-jawi-129-pangeran-arya-mangkunagara-disingkirkan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar