Ki Patih sudah disuruh keluar. Kapten Upag sangat menghormat kepada Ki Patih. Tak lama Ki Patih pun pulang ke kediamannya. Hati kawula Kartasura sudah nyaman. Ki Danureja kembali membangun kesejahteraan negeri.
Banyak tugas Ki Danureja yang tertunda akibat lama di Betawi. Ki Danureja bergerak cepat. Yang utama dilakukan adalah menikahkan para putri-putri saudara Sang Raja. Raden ajeng Salamah alias Raden Ajeng Jembem dinikahkan dengan Raden Tumenggung Natawijaya. Kedua pengantin sudah menjalani acara temu pengantin di rumah Ki Adipati Danureja. Masih di bulan yang sama Raden Ajeng Aminah diberikan kepada Arya Pringgalaya, juga temu pengantin di rumah Ki Danureja.
Ki Patih juga melakukan perombakan jabatan punggawa. Ki Tumenggung Nitinagara dicopot dari jabatan gedhong dan digantikan Ngabei Tirtawiguna. Setelah menjadi tumenggung Ngabei Tirtawiguna tetap memakai nama Tumenggung Tirtawiguna. Demang Urawan telah berpulang, tetapi anaknya si Sutawijaya tidak menggantikannya. Ki Sutawijaya hanya diangkat sebagai bupati luar. Pengasuh Sang Raja Ki Demang Candramenggala diangkat sebagai tumenggung dengan nama Tumenggung Candranagara. Seorang cucu Pangeran Arya Mataram, anak dari Raden Suryataruna namanya Mas Surata, diangkat sebaga wadana dengan nama Arya Mlayakusuma. Ketika sang kakek dulu ditumpas di Jeparan Mas Surata diboyong ke dalam istana. Ki Arya Mlayakusuma menjadi tandem bagi Arya Pringgalaya, yang dulu bernama Martakusuma.
Arya Pringgalaya segera punya anak, namanya Mas Giyota. Pringgalaya adalah cucu Wirapratignya. Wirapratignya adalah anak Raden Kuwangsan.
Sang Raja juga mengirim utusan ke Madura. Perintah Sang Raja saudara Sang Raja yang bernama Raden Ajeng Siti Sundari diberikan nama Ratu Maduretna. Pangeran Cakraningrat sangat bersukacita karena istrinya kini menyandang nama ratu. Pangeran Martasana namanya diganti menjadi Pangeran Arya Dipanagara dan diangkat sebagai wadana santana kiri. Adapun yang menjabat wadana santana kanan adalah Pangeran Buminata.
Pangeran Mangkubumi ditambah tanah garapannya seluas seratus karya. Diambil dari milik Pangeran Arya yang dirampas negara. Tanah Pangeran Arya yang seluas dua ribu karya dibagi-bagi ke beberapa pangeran. Pangeran Dipanagara juga mendapat tambahan seratus karya. Kesejahteraan negeri Kartasura sudah mulai tampak. Apa yang terjadi kemudian diperingati dengan sengkalan tahun: pandhawa sami angoyag bumi[1].
Sang Raja Pakubuwana punya kegemaran pada tari-tarian. Para punggawa dan para mantri pun sering menabuh gamelan. Merata seluruh negeri hidup nyaman. Sungguh tak mengira akan datangnya musibah.
Ki Tumenggung Cakranagara ketika dipecat dari kedudukannya digantikan Raden Purwakusuma, masih saudara ipar Sang Raja. Raden Purwakusuma lalu diberi nama Raden Demang Urawan.
Alkisah, Ratu Kancana melahirkan lagi seorang putra laki-laki. Pada hari Kamis Kliwon, tanggal sepuluh bulan Jumadilakhir, tahun Dal. Sangat tampan putra Sang Raja, sang ayah sangat bersukacita. Sang putra diberi nama Raden Mas Priyembada.
Raden Ajeng Tajem berpulang, istri dari Raden Wiratmeja. Bersamaan waktunya, Raden Ajeng Inten dinikahkan dengan Raden Demang Urawan. Acara temu pengantin dilaksanakan di rumah Ki Patih Danureja. Raden Wiratmeja yang baru saja menjadi duda lalu dinikahkan dengan Raden Ajeng Jumanten. Jadi Raden Ajeng Jumanten ngarang ulu suami sang kakak. Tak berapa lama Pangeran Dipasanta juga berpulang setelah sakit beberapa lama. Dan yang membuat sedih orang senegara putra Sang Raja Raden Mas Priyembada pun juga meninggal dunia. Seluruh penghuni istana dilanda kesedihan yang sangat. Ratu Kancana sangat berduka ditinggal sang anak yang tampan rupawan. Sang Raja pun sangat bersedih atas kepergian sang putra. Eyang buyut Ratu Pakubuwana tak kuasa menahan kesedihan.
Sang Raja lalu mupus bahwa semua sudah kehendak Tuhan. Namun belum lagi hatinya pulih ada musibah datang lagi. Raden Mas Umar yang kini menjadi tumpuan kasih sayang mendadak sakit panas. Sang Raja sangat khawatir melihat keadaan sang keponakan yang sudah dianggap sebagai anak sendiri. Bergegas Sang Raja memerintahkan mencari obat. Namun segala obat tak meredakan sakit Raden Mas Umar. Tidak lama kemudian Raden Mas Umar pun meninggal dunia. Raden Mas Umar mempunyai pengasuh dari luar, Mas Gerot namanya. Karena Raden Mas Umar sangat mengasihi pengasuhnya itu Sang Raja pun ikut mengasihinya. Ketika tahu Raden Mas Umar meninggal, Mas Gerot menangis keras. Sang Raja segera memegang tengkuknya dan membawanya ke tempat semedi. Sang Raja meneteskan air mata karena sangat sedihnya.
Kesedihan Sang Raja karena ditinggal beruntun oleh dua putra yang masih kecil membuatnya sangat bersedih. Sang Raja tak mau makan dan tidur, juga kadang pergi tanpa pamit. Hanya Mas Gerot yang diminta menemani. Bahkan karena kesedihan itu pula Sang Raja tak mau menemui para istri. Bahkan Ratu Kancana pun dilarang mendekat. Hanya seorang selir yang boleh menemui, Raden Ayu Gedong.
Patih Danureja menjadi sangat susah hati. Sang Raja tak mau tampil di hari pisowanan. Di dalam puri pun menjauhi Ratu Kancana. Para adipati pun ikut bersedih mendengar keadaan Sang Raja. Mereka berpikir jauh. Kalau Sang Raja tak mau berkumpul dengan para istri, dan kelak tak berputra lelaki maka bagaimana kelanjutan tahta di Kartasura. Karena istri yang dikumpuli hanya Mbok Gedong anak Wangsaprana para adipati menjadi khawatir. Kelak kalau Sang Raja mempunyai anak dari Mbok Gedong dan menjadi raja sungguh akan menurunkan kewibawaan tahta Kartasura. Maka mereka kemudian berpikir keras bagaimana agar Sang Raja mau berkumpul kembali dengan permaisuri Ratu Kancana.
Para adipati Kartasura sepakat untuk mencari ahli atau pertapa yang sanggup memberi syarat sarana agar Sang Raja akur kembali dengan permaisuri. Mereka pun berpencar mencari ke seluruh pelosok negeri. Maka segera didatangkan para pertapa dengan syarat sarana masing-masing.
Pada suatu malam Ratu Kancana tidak bisa tidur hingga larut malam. Sang Ratu kemudian menghibur diri dengan membaca serat Maljunah. Ketika itu sampai pupuh mijil. Sang Ratu membaca dengan suara yang terdengar samar-samar dari kejauhan. Pada saat itu Sang Raja sedang berjalan-jalan menghibur hati. Demikian itu setiap malam yang dilakukan Sang Raja. Ada tiga pembantu yang mengiringi. Salah satunya Mas Gerot. Sang Raja mendengar ada orang mendendangkan tembang mijil dari serat Maljunah. Cengkoknya sungguh mempesona. Sang Raja tampaknya belum pernah mendengarkan suara dari si pendendang tembang. Sang Raja penasaran dan menyuruh salah satu pembantunya untuk mengintip.
Berkata Sang Raja, “Intiplah siapa yang sedang berdendang tembang mijil itu.”
Yang disuruh segera melaksanakan perintah. Tak lama kemudian melapor, “Paduka, yang sedang membaca tembang mijil itu permaisuri.”
Sang Raja kemudian batuk-batuk di luar. Si pendendang tembang mendengar ada suara batuk di luar, lalu berhenti nembang.
Sang Raja membuka pintu sambil berkata, “Mengapa berhenti. Aku suka mendengarnya.”
Sang Ratu bersimpuh di dekat pintu. Sang Raja masuk ke dalam. Sang Ratu digandeng, dan kemudian digendong.
Berkata Sang Raja, “Ayo lanjutkan nembang di tempatku.”
Serat Maljunah sudah dibawa. Seorang pelayan disuruh membawanya ke dalem agung. Sang permaisuri lalu dibawa ke peraduan. Dan yang terjadi selanjutnya sungguh diharapkan oleh semua orang. Sang Raja rukun kembali dengan permaisuri Ratu Kancana. Tak lama kemudian Ratu Kancana mengandung. Ki Patih dan para adipati sangat bersukacita. Delapan bulan berlalu Eyang Buyut Ratu Pakubuwana wafat. Pada hari Sabtu, bulan Rajab, tahun Dal. Jenazah kemudian dimakamkan di Imogiri. Ratu Pakubuwana tak sempat menimang sang buyut.
Sebulan kemudian tiba hari perkiraan lahir kandungan Ratu Kancana. Pada hari Sabtu Wage, tanggal empat bulan Ruwah, wuku Mandasiya, tahun Dal, lahirlah putra laki-laki Sang Raja. Untuk menyambut kelahiran sang bayi meriam di Sitinggil dibunyikan. Berbunyi bersamaan Kyai Sagarawana, Kyai Subarat, Kyai Pamecut dan Kyai Kumbanikumba. Meriam di Loji pun ikut dibunyikan. Suaranya menggelegar seperti halilintar. Para gandek sibuk mengabarkan kelahiran sang putra Raja kepada para adipati dan kerabat. Semua orang senegeri bersukacita. Tahun meninggalnya Ratu Pakubuwana dan kelahiran sang buyut diperingati dengan sengkalan tahun: anunggil ing rasa buta winayang[2]. Sang putra sudah diberi nama Raden Mas Suryadi. Sang putra Raja sehat sampai besar. Kangjeng Ratu Ageng mempunyai nazar bila sang cucu selamat akan mengadakan upacara nyadran di Mataram. Pelaksanaan upacara di Pasar Gedhe Imogiri, Panitikan, Girilaya. Semua cucu dibawa pergi. Pada bulan Besar Ratu Ageng selama dua puluh hari berada di Mataram.
[1] pandhawa sami angoyag bumi (1655 A.J., 1730/1731 A.D.)
[2] Sengkalan tahun nunggil rasa buta winayang
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/07/babad-tanah-jawi-131-kangjeng-ratu-kancana-memakai-syarat-untuk-memikat-sang-raja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar