Seorang bupati mancanagara Ki Tandamantri dari Kalangbret berkata kepada Ki Mataun, kalau ada seorang pertapa yang meramalkan kelak akan ada kerabat di negeri Kartasura yang piawai dalam perang, bahkan bisa menjadi raja. Lalu ada lagi seorang yang akan menjadi prajurit pilihan.
Ki Mataun cekatan, si pertapa yang meramal tadi dipanggil. Ketika ditanya dia menjawab bahwa namanya Ki Seh Wangsawana. Ki Mataun lalu membawa orang tersebut ke Kartasura. Yang dituju adalah kediaman Ki Patih Danureja. Malam-malam mereka menghadap Ki Patih secara diam-diam. Ki Patih menemui di bagian belakang rumah.
Ki Patih Danureja berkata, “Hai kawan, Kakak Seh Wangsawana, bagaimana penglihatanmu di negeri Kartasura ini. Apakah ada diantara para bupati ini yang akan membangkang kepadaku? Perasaanku sekarang walau di Kartasura berisi macan dan banteng kalau masih ada Danureja semua bisa digenggam.”
Seh Wangsawana berkat, “Ki Lurah, di alam dunia ini saya kira kalau sudah waktunya, meski ditimbun akan keluar sendiri. Kalau sudah sampai pada janjinya takkan berubah.”
Danureja berkata pelan, “Kanda, katakan siapa ksatria yang akan membangkang itu. Akan aku tumpas sebelum dia bertindak.”
Ki Seh Wangsawana berkata, “Kyai, menurut penglihatan saya orang itu seorang kerabat bernama Raden Mas Sujana. Satu lagi masih kecil, namanya Raden Mas Saksi. Kelak siapa yang tahu akan menjadi panglima perang di tanah Jawa yang tangguh dan masyhur dalam perang. Adapun Raden Mas Sujana bisa mengubah arah negeri. Sangat berat jika dilawan.”
Belum selesai Ki Patih dan Seh Wangsawana berbincang, mendadak datang Mbok Secawati. Kedatangannya diutus Ratu Ageng. Ki Patih segera menemuinya. Seh Wangsawana dan Ki Mataun ditinggal di rumah belakang.
Setelah duduk nyaman Mbok Secawati berbisik kepada Adipati Danureja, “Ki Patih, malam Jum’at kemarin Kangjeng Ratu Ageng bermimpi. Bulan beralih dari tempatnya. Orang banyak berteriak, bulan itu melayang jatuh tersangkut di pohon duku. Lalu terlihat Pangeran Arya Mangkubumi datang membawa galah. Bulan disogok jatuh ke pangkuan. Diambil lalu dimakan. Setelah habis setengah, setengahnya lagi dibuang. Bulan kembali ke tempatnya lagi. Orang-orang mengatakan bulan itu masih banyak. Lalu bulan itu kembali dimakan oleh Raden Mas Sujana. Kangjeng Ratu lalu bangun.”
Ki Patih ketika mendengar tertegun. Hatinya bingung dan sedih.
Mbok Secawati melihat Ki Patih bersedih, lalu bertanya, “Pesan ibu Sang Raja, terserah kepada Patih Danureja. Si Mangkubumi akan diapakan, mumpung belum terjadi.”
Ki Patih berkata pelan, “Hai Mbok Secawati, sungguh durhaka menghukum orang berdasar mimpi. Akan terkena kutukan Tuhan Yang Maha Agung. Kelak siapa yang tahu gaibnya kehendak Tuhan. Tidak boleh membuat siasat hanya karena menuruti mimpi. Aku serahkan hidup mati kepada Kangjeng Ratu bila aku keliru.”
Mbok Secawati minta pamit. Di halaman Ki Patih menyuruhnya naik tandu. Sesudah Mbok Secawati pulang Ki Patih kembali menemui Seh Wangsawana di rumah belakang. Ki Patih masih tampak pucat.
Berkata Ki Patih Danureja, “Hai Kanda Wangsawana, apakah diriku ini juga menyaksikan terjadinya ramalan itu?”
Seh Wangsawana berkata sambil menggenggam tangan, “Tuan tebak, yang saya genggam apa?”
Ki Patih menjawab, “Kanda, tidak tahu.”
Seh Wangsawana menjawab sambil merentangkan tangan, “Ini biji gadung, paduka tak bisa menebak. Kyai Patih takkan menyaksikan peristiwa yang membuat geger itu.”
Ki Patih tertunduk, airmatanya deras mengalir. Lalu ingat dan kembali bersikap tenang. Sudah disuruh pulang Seh Wangsawana dan Ki Mataun ke pondokan. Ki Patih berpesan agar Ki Mataun menjaga Seh Wangsawana. Setiap tahun supaya diajak menghadap ke Kartasura.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/08/babad-tanah-jawi-132-seh-wangsawana-meramal-bakal-kejadiannya-raden-mas-sujana-lan-raden-mas-said/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar