Sementara itu Adipati Jayaningrat berpulang. Yang menggantikan kedudukannya anak tertua, menantu Ki Patih yang bernama Jayanagara. Ada saudara muda Jayanagara nama kecilnya Mas Kutha, dulu tinggal di Ambarawa. Setelah dewasa bernama Jayakusuma dan diangkat sebagai bupati di Tegal dengan nama Tumenggung Tirtanata. Nanum Tirtanata hanya setahun berada di Tegal. Orang Tegal mengamuk dan mengusirnya. Bupati Tegal kemudian dijabat oleh orang Tegal sendiri. Tirtanata lalu magang di kediaman Ki Wirajaya dan Ki Tirtawiguna.
Oleh kedua tumenggung itu Tirtanata dimintakan jabatan kepada Sang Raja. Tirtanata lalu diambilkan tanah di Pekalongan seribu karya dan sudah diangkat sebagai bupati dengan nama baru Suradiningrat. Namun Sang Raja lupa pada aturan negara bahwa pengangkatan bupati harus atas usulan Ki Patih. Hari Kamis Suradiningrat diangkat, hari Senin baru Ki Patih mengetahui. Ki Patih menjadi sangat marah. Ki Patih mengukuhi aturan yang sudah baku, lupa kalau Sang Raja yang dibimbingnya masih muda. Dalam pikiran Ki Patih menganggap Sang Raja seperti sang ayah dulu yang harus selalu menepati aturan negara. Ki Patih lalu membatalkan pengangkatan Suradiningrat. Semua peralatan upacara sebagai bupati sudah diambil.
Sang Raja yang hendak tampil di balai pisowanan begitu mendengar Suradiningrat dicopot menjadi urung keluar. Dua bupati yang mengusulkan pengangkatan Suradiningrat lalu mengadu kepada Sang Raja. Sang Raja menjadi sangat marah dan hilang rasa kasihnya kepada Ki Patih Danureja.
Sang Raja berkata, “Tirtawiguna, tulislah surat kepada Gubernur Jenderal. Sudah hilang rasa kasihku kepada Wak Danureja. Kalau masih menjadi halangan bagiku, buang saja dari Jawa. Aku titipkan kepada Kumpeni agar ditempatkan ke pulau seberang.”
Tirtawiguna segera membuat surat seperti yang dikehendaki Sang Raja. Setelah selesai surat dihaturkan kepada Sang Raja.
Berkata Sang Raja, “Ini sudah bagus, nanti sore engkau beri cap. Besok segera kirim.”
Kedua punggawa segera keluar dari istana untuk melaksanakan tugas. Sementara itu Ratu Ageng mendatangi Sang Raja untuk membicarakan persoalan Ki Danureja.
Berkata Ratu Ageng, “Apa yang menjadi sebab kemarahanmu kepada uwakmu si Danureja janganlah diperpanjang. Banyak kebaikan Ki Patih dan sudah takdir Danureja menjadi patih di keraton Jawa.”
Sang Raja berseru, “Benar ibu, kalau seumpama Wak Danureja sudah ditakdirkan menjadi patih bagi raja di tanah Jawa, biar dia mencari raja selain diriku. Kalau aku masih menjadi raja Wak Danureja jangan berada di tanah Jawa.”
Ratu Ageng segera pulang dengan menahan tangis karena tak mampu menasihati sang putra.
Sore hari Tirtawiguna datang ke istana membawa surat yang sudah jadi untuk diberi cap. Setelah dicap surat dibawa ke Loji. Tirtawiguna meminta seorang opsir Belanda membawa surat Sang Raja ke Semarang untuk diteruskan ke Betawi. Opsir segera berangkat ke Semarang untuk menyampaikan surat Sang Raja kepada Kumendur. Surat Sang Raja lalu diteruskan ke Betawi. Sesampai di Betawi langsung dibawa ke kantor Gubernur Jenderal Ardiaan Valckenier. Surat dari Raja Mataram dibaca dengan seksama. Gubernur Jenderal Valckenier lalu memanggil para pembesar Kumpeni. Telah datang Direktur Baron Van Imhoff dan Ideler Jacob Mossel. Juga hadir Ideler Johan Istedheng Alpisis, Ideler Pandher Palaran, Ideler Joharman, Ideler Jacob Indarpal, Ideler Baron Yoharsim, Ideler Pamtilan Ardha dan Ideler Konyit yang merupakan pejabat baru. Setelah bersidang dua belas ideler kompak menyetujui permintaan Sang Raja. Yang ditunjuk untuk melaksanakan penangkapan terhadap Danureja adalah Ideler Konyit. Ideler Konyit segera melaksanakan tugas. Dengan pengawalan lima puluh serdadu Bugis Ideler Konyit berlayar ke Semarang.
Sementara itu, Ki Patih setiap bulan Sura selalu pergi ke Semarang untuk menerima pembayaran uang sewa tanah pesisir dari Kumpeni. Pada hari Kamis, tanggal dua belas bulan Sura, tahun Jimakir, Ki Patih berangkat dari Kartasura. Setelah lima hari perjalanan Ki Patih sampai di Semarang. Hari Selasa, tanggal tujuh belas bulan Sura, Ki Patih tiba di Semarang. Ideler Konyit menangkap Ki Patih pada hari Kamis Legi, tanggal dua puluh tujuh Sura.
Semua orang heran dengan peristiwa itu. Banyak orang menyayangkan penangkapan Ki Patih. Ki Danureja sejak bocah sampai mempunyai cucu belum pernah cacat dalam pengabdian. Sejak ayah dan kakek Sang Raja masih bertahta tidak ada yang pernah menghukum Ki Patih. Apakah peristiwa ini merupakan balasan atas ulah Ki Patih ketika menyingkirkan Pangeran Arya Mangkunagara dahulu? Mengapa Ki Patih sampai tersandung masalah sehingga terpeleset dalam membimbing Sang Raja. Andai kemarin Ki Patih bersikap gagah dengan meletakkan keris, pasti Sang Raja tidak terbakar amarah. Ki Patih yang membuat panas hati Sang Raja sehingga ketagihan membuang orang. Tak urung negeri rusak karenanya.
Sementara itu utusan dari Semarang sudah sampai di Kartasura. Utusan membawa surat pemberitahuan dari Kumendur Semarang bahwa Ki Patih telah ditangkap oleh Ideler Konyit. Sang Raja segera memerintahkan menjarah kediaman Ki Patih. Semua wanita yang berada di rumah Ki Patih sudah diboyong ke istana. Semua hartanya juga sudah diambil dan dimasukkan ke dalam gedhong. Hati Sang Raja sudah lega.
Dari Semarang datang surat Ideler Konyit yang menyatakan ingin berkunjung ke Kartasura untuk menemui Sang Raja. Tiga punggawa kemudian diperintahkan untuk menjemput, wadana lebet Kyai Wirajaya, Tumenggung Kartanagara dan wadana ageng Raden Mlayakusuma. Ketiganya berangkat membawa pasukan yang berbusana indah. Sesampai di Semarang mereka menghadap Kumendur Ekrul Rektop Diansah dan Ideler Konyit. Surat dari Sang Raja sudah dihaturkan dan dibaca. Segera berangkat tiga punggawa mengawal Ideler Konyit dan Kumendur Rektop Diansah menuju Kartasura.
Sesampai di Banyudana telah menyambut Sang Raja beserta seluruh punggawa Kartasura. Ketika bertemu kedua pembesar negeri itu saling berangkulan. Sang Raja menyambut dengan penuh hormat karena sangat puas dengan pekerjaan Ideler Konyit yang telah menyingkirkan penghalang Sang Raja. Ideler Konyit dan Kumendur Rektop kemudian dibawa menuju keraton Kartasura. Sesampai di alun-alun meriam dibunyikan untuk menyambut sang tamu. Ideler Konyit dan para pembesar Kumpeni dari Semarang kemudian dipersilakan masuk ke dalam puri. Kedatangan Ideler Konyit pada hari Jum’at, bulan Sapar tanggal delapan belas, tahun Jimakhir, mangsa Dhukut. Peristiwa ini diperingati dengan sengkalan tahun: naga lima ngoyagkên bumi[1].
Kumendur dan Ideler Konyit menginap di Loji Kumpeni. Sehari kemudian, pada hari Sabtu Sang Raja menyaksikan latihan keprajuritan. Ada rencana bahwa Raden Natawijaya akan menggantikan kedudukan Patih Danureja.
Pada pisowanan hari Senin Sang Raja bertahta di singgasana. Para punggawa lenghap hadir. Kapten, Kumendur dan Ideler Konyit turut hadir pula. Pada kesempatan itu Sang Raja berkenan mengangkat Raden Tumenggung Natawijaya sebagai patih dengan nama Adipati Natakusuma. Peristiwa ini terjadi pada tanggal dua puluh dua Sapar, tahun Jimakhir, wuku Watugunung. Para adipati tunduk dan patuh kepada keputusan Sang Raja. Tuan Kumendur dan segenap Kumpeni pun merestui.
Masih di bulan yang sama, tiga saudara Patih Danureja kemudian dipecat dari kedudukannya. Mereka adalah bupati di Tuban, Surabaya dan Kediri. Mereka digantikan orang daerah setempat. Di Kediri yang diangkat adalah keturunan Ki Angga Katawengan, namanya Tumenggung Katawengan. Di Surabaya yang diangkat Raden Surengrana. Di Tuban yang diangkat adalah Tumenggung Suradiningrat, adik dari Adipati Jayaningrat.
Sementara itu mantan Patih Danureja masih dipenjara di Semarang. Perintah Gubernur Jenderal, kalau kehendak Sang Raja sudah pasti segeralah dibawa ke Betawi. Gubernur Jenderal tak peduli dosa besar atau kecil, kalau Sang Raja menghendaki itulah yang dilaksanakan. Dari Betawi datang Komisaris Menir Patras menemui Ki Danureja. Setelah bertemu Menir Patras menangisi nasib Ki Danureja.
Berkata Menir Patras, “Apa kataku. Engkau celaka karena khilaf yang hanya sedikit. Jangan sampai ikut-ikut bicara, kalau sampai terkena marah raja akan celaka. Entah bagaimana adat orang Jawa ini. Kalau raja marah kepada kerabatnya, takkan ada lagi yang bisa menghalangi.”
Ki Patih tertunduk, menangis dalam batin. Dalam hati meminta ampun kepada Pangeran Arya yang telah dia upayakan untuk disingkirkan. “Maafkan uwak, Nak. Sangat bersalah Wak kepadamu.”
Menir Patras meminta kepada Gubernur agar Ki Danureja diberi bekal seribu riyal. Menir Patras sendiri merasa kasihan lalu memberi tujuh ratus riyal. Pesannya, kalau sampai di seberang segera sewa kebun dan mencari rumah yang bagus. Patras juga mengatakan kalau Ideler Konyit ke Kartasura untuk memintakan ampunan kepada Sang Raja. Kalau Sang Raja tak berkenan memberi ampun maka Ideler Konyit yang akan membawa ke Betawi. Sekarang sudah empat bulan Ideler Konyit berada di Kartasura. Hampir kembali lagi ke Semarang. Menir Patras kemudian berpamitan kepada Ki Danureja.
Sementara itu Ideler Konyit sudah bersiap kembali ke Semarang. Tiga punggawa yang disuruh mengawal adalah Raden Pringgalaya, Tumenggung Mangunnagara dan Tumenggung Mangkuyuda. Pada hari Jum’at, tanggal lima bulan Jumadilakir, masih di tahun yang sama dengan kedatangannya. Sesampai di Semarang Ideler Konyit memerintahkan kepada Kumendur untuk membawa Ki Danureja ke Sri Lanka.
Kembali ke nasib Pangeran Arya yang berada di Betawi. Sudah tujuh tahun Pangeran Arya di Betawi. Malah di Betawi Pangeran Arya mempunyai anak dari selirnya. Sebulan yang lalu Pangeran telah dilayarkan ke seberang. Dalam perjalanan kapalnya membuang jangkar di tengah laut.
Sementara itu kapal dari Semarang yang membawa Ki Danureja mengalami musibah. Tiang layarnya patah. Sudah kehendak Tuhan bahwa Ki Danureja akan bertemu Pangeran Arya. Kapal Ki Danureja karena tak dapat dikemudikan menabrak kapal Pangeran Arya. Kapal Ki Danureja pecah dan penumpangnya tercebur ke laut. Mereka berteriak-teriak minta tolong. Penumpang kapal Pangeran Arya berhamburan keluar. Pangeran Arya juga turut keluar melihat. Mereka melempar sampan agar para penumpang kapal yang pecah terselamatkan. Seketika Pangeran Arya kaget melihat Ki Danureja di antara para penumpang kapal yang diselamatkan itu. Ki Danureja segera berlari dan bersimpuh di kaki Pangeran Arya sambil menangis.
Pangeran Arya berkata, “Mengapa uwak menyusulku? Ada apa denganmu wak?”
Sambil menangis tersedu-sedu Ki Danureja berkata, “Aduh Nak, wak ini durhaka kepada paduka. Sekarang wak minta maaf.”
Kapten kapal sangat heran melihat tingkah kedua orang itu. Semakin heran ketika mendengar bahwa orang yang baru saja diselamatkan adalah orang yang telah membuat Pangeran Arya sengsara. Ki Danureja dan Pangeran Arya kemudian melanjutkan pelayaran. Sudah hilang rasa benci di hati mereka. Kini mereka sama-sama menjadi orang buangan. Di sepanjang pelayaran Kumpeni berusaha agar Pangeran Arya merasa nyaman. Selalu diadakan acara bersuka-suka. Kalau malam hari semua berkumpul di geladak kapal.
Pada suatu kesempatan Pangeran Arya, sang putra Raden Mas Ngali dan Ki Danureja berbincang di geladak kapal.
Ki Danureja berkata, “Duh Pangeran, ini ada sedikit bahan cerita. Kelak di pulau Jawa akan diliputi huru-hara. Uwak diberitahu oleh seorang ahli ramal yang keras bertapa. Yang akan unggul di pulau Jawa kelak ada dua orang. Salah satunya adalah putra paduka Raden Mas Said. Kelak akan menjadi panglima perang yang tangguh dan menentukan sejarah di pulau Jawa. Satu lagi yang masuk dalam ramalan adalah adik paduka Raden Mas Sujana. Kelak juga akan menjadi ksatria unggul panitan di tanah Jawa.”
Pangeran Arya hanya tersenyum mendengar perkataan Ki Danureja. Tidak lama kemudian kapal sudah sampai di Sri Lanka. Para orang buangan sudah naik ke daratan dan ditempatkan bersama keluarganya. Mereka diberi rumah berjajar-jajar.
[1] Sengkalan: naga lima ngoyagkên bumi (1658 A.J., 1733/1734 A.D.)
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/10/babad-tanah-jawi-133-patih-danureja-dibuang-ke-negeri-seberang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar