Translate

Selasa, 17 September 2024

Babad Tanah Jawi (134): Kerabat keturunan Raja Amangkurat kembali ke tanah Jawa

 Ki Patih Adipati Natakusuma ditunjuk untuk pergi ke Betawi. Punggawa yang mengiringi adalah Tumenggung Tirtawiguna, Ki Suralaya dan Ki Arya Kudus. Rombongan dari Kartasura disambut dengan hangat oleh para Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal. Penyambutan kepada mereka sungguh berbeda dengan penyambutan di waktu dulu karena patih yang sekarang menjabat masih kerabat Sang Raja. Setelah beberapa waktu di Betawi Ki Patih pun pulang. Kedatangan Patih Adipati Natakusuma dari Betawi bersamaan saat istri Sang Raja melahirkan.

Pada hari Sabtu Wage, wuku Mandasiya, tanggal dua puluh enam bulan Jumadilakhir, tahun Jimakir, Sang Ratu melahirkan seorang putri yang cantik dan diberi nama Raden Ajeng Kedaton. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: sarira  gumuling wayang janma[1]. Pada waktu itu juga lurah keraton Raden Martakusuma mendapat amarah Sang Raja dan dibuang ke hutan di Majenang. Istri Martakusuma yang bernama Rengganis juga mendapat hukuman dan dibunuh di Mageran.

Tahun berikutnya Patih Adipati Natakusuma mendapat tugas lagi ke Betawi untuk mengambil kerabat Kamangkuratan, yakni anak-anak Sunan Mangkurat Mas. Para anak Sunan Mangkurat Mas diminta didatangkan kembali ke tanah Jawa oleh Sang Raja. Maksud Sang Raja agar semua pusaka keraton yang dulu dibawa pergi dapat kembali. Dulu tombak, keris, baju dan bende Kyai Bicak dibawa ke Sri Lanka oleh Sunan Mangkurat Mas. Pada hari Senin, tanggal delapan bulan Rabiulakhir, tahun Alip, rombongan Ki Patih berangkat. Adapun punggawa yang mengiringi adalah para punggawa yang dulu pernah ikut ke Betawi, Ki Arya Kudus, Ki Suralaya dari Brebes dan Ki Tirtawiguna. Sesampai di Semarang perjalanan Ki Patih dilanjutkan dengan berlayar. Ki Patih mendapat angin kencang sehingga segera sampai di Betawi.

Di Betawi telah menunggu para kerabat Sunan Mangkurat Mas yang baru saja datang dari Sri Lanka. Pangeran Mangkunagara, Pangeran Mangkuningrat, Raden Jayakusuma, dan si bungsu Pangeran Mas. Mereka beserta keluarganya laki-laki dan perempuan, besar kecil, jumlahnya ada dua ratus orang. Mereka sudah bertemu dengan Ki Patih Natakusuma. Mereka sangat gembira, seperti orang mati yang hidup kembali.

Ki Patih segera mohon pamit kembali ke Kartasura. Setelah beberapa hari berlayar Ki Patih dan rombongan dari Sri Lanka sampai di Semarang. Utusan segera dikirim untuk memberi tahu Sang Raja. Sang Raja kemudian memerintahkan untuk menjemput para pangeran Sri Lanka. Dua wadana berangkat ke Semarang, Tumenggung Mangunnagara dan Tumenggung Mangkuyuda, dengan membawa kuda, tandu dan tukang pikul. Sesampai di Semarang dan bertemu dengan Ki Patih, rombongan segera melanjutkan perjalanan ke Kartasura. Perjalanan dipercepat agar segera sampai.

Sesampai di Kartasura orang-orang berbondong melihat tuan mereka yang lama. Mereka berjajar di sepanjang jalan ingin melihat yang baru datang. Para pangeran dari Sri Lanka segera dibawa menghadap Sang Raja di dalam puri. Para punggawa dipanggil untuk turut menyambut kedatangan para pangeran. Peristiwa ini diperingati dengan sengkalan tahun: janma kawayang  karêngèng bumi[2].

Para pangeran dari Sri Lanka masih terhitung saudara satu buyut dengan Sang Raja. Kepada para pangeran Sang Raja memanggil kakak. Maka Sang Raja pun sangat memuliakan para pangeran yang datang dari Sri Lanka. Sang Raja pun menerima mereka dengan hanya duduk di tikar, tidak bertahta di singgasana. Selama menerima mereka di istana tak henti-henti jamuan mengalir. Setelah selesai beramah tamah para pangeran kemudian di tempatkan di pondokan mereka. Yang dipakai untuk tempat tinggal sementara adalah rumah Ki Secapati. Para pangeran datang di hari Ahad, hari Rabu mereka mengadakan syukuran. Mereka kemudian ditempatkan di rumah Anjayaningratan yang lebih luas.

Sang Raja berkenan mengganti nama para pangeran dari Sri Lanka. Yang tertua Pangeran Mangkunagara diganti nama menjadi Pangeran Wiramenggala. Pangeran Mangkuningrat diganti nama Pangeran Tepasana. Yang lahir di Sri Lanka, Raden Jayakusuma tidak diganti nama. Juga saudara bungsu tetap memakai nama Pangeran Mas. Dalam kesempatan itu Sang Raja juga mengganti nama saudara ipar, Raden Demang Urawan diganti nama Pangeran Arya Purubaya. Para pangeran dari Sri Lanka ada yang diberikan pensiun, yakni yang tertua Pangeran Wiramenggala. Kepadanya diberi tanah garapan seluas dua ratus karya. Lalu sang adik Pangeran Tepasana masih bisa dikaryakan, maka diberi tanah garapan seluas seribu dua ratus. Raden Jayakusuma mendapat tanah empat ratus karya. Dan saudara bungsu Pangeran Mas mendapat seratus karya.

Pangeran Tepasana yang memegang kedudukan lalu diberi istri janda Pangeran Buminata yang bernama Raden Ayu Tembelek, putri Sultan Balitar. Pangeran Tepasana sangat patuh dan tidak pernah lowong dalam menghadap Sang Raja.

Pada waktu itu Sang Raja sangat mengasihi saudara iparnya, Pangeran Purubaya. Walau saudara ipar dapat melayani kehendak Sang Raja. Orang senegara sangat takut kepada Pangeran Purubaya karena semua perkataannya diturut Sang Raja. Para punggawa takut karena Pangeran Purubaya dikenal galak dan sulit memberi maaf. Wataknya keras dan suka menghukum. Pangeran Purubaya membuat pasukan Kajineman sejumlah empat puluh prajurit. Banyak mantri yang dicopot dan diangkat atas usulan Pangeran Purubaya. Sedikit kesalahan bisa membuat kehilangan jabatan. Pangeran Purubaya juga cekatan mengusulkan pengangkatan untuk abdi yang dianggap bekerja dengan baik. Sudah banyak mantri dan abdi yang dipecat dan diangkat oleh Pangeran Purubaya.

Beberapa lama kemudian ada kabar duka dari seberang. Gubernur Jenderal mengirim utusan dengan membawa jenazah Pangeran Ngabei Lorpasar, atau Raden Mas Sudira. Dahulu dibuang Sang Raja dan ditempatkan di pulau Kap bersama Pangeran Herucakra. Pangeran Ngabei meninggalkan istri dan anak. Semua sudah dihaturkan kepada Sang Raja. Dua putra bernama Raden Mas Gunung dan Raden Mas Guntur. Keduanya sudah dititipkan kepada Raden Adipati Natakusuma di Kapatihan.

Pangeran Tepasana yang baru saja diberi kedudukan oleh Sang Raja mempunyai lima orang putra. Dua lelaki dan tiga perempuan. Yang tertua Raden Wiratmeja, orangnya tampan dan cakap. Raden Wiratmeja hendak diambil menantu Sang Raja, dijodohkan dengan putri sulung Kangjeng Ratu Alit. Namun ada satu kendala yang mengganjal. Ratu Alit masih sangat muda, sedang Raden Wiratmeja sudah tua. Jadi Raden Wiratmeja harus menunggu Ratu Alit cukup umur. Raden Wiratmeja sudah mempunyai istri selir ketika di Sri Lanka dulu.

Putra kedua Pangeran Tepasana, adik Raden Wiratmeja seorang perempuan bernama Raden Ajeng Banowati. Sudah menikah ketika di Sri Lanka dulu. Raden Ajeng Banowati dinikahkan dengan anak seorang abdi kadipaten zaman sang kakek dahulu. Nama abdi itu Wirakabluk. Si Wirakabluk mempunyai seorang anak yang buruk rupa. Sangat jauh penampilannya dibanding Raden Ajeng Banowati, tetap sudah ikut menderita di pembuangan. Nama anak itu Bagus Gangsar dan sudah diangkat kedudukannya dan diberi nama Raden Anggakusuma. Mereka kemudian mempunyai seorang anak di Sri Lanka. Sekarang ada seorang mantri muda yang atas perintah Sang Raja hendak dijodohkan dengan Raden Ajeng Banowati. Si mantri namanya Bagus Puspadirja, anak Tumenggung Batang Puspanagara. Raden Ajeng Banowati lalu menceraikan suaminya yang buruk rupa. Setelah masa idah habis segera menikah dengan Puspadirja. Pangeran Tepasana mendukung sang putri menikah dengan suami yang tampan dan anak seorang bupati.

Raden Anggakusuma menjadi sakit hati. Setiap hari menangis melolong-lolong karena kehilangan istri cantik. Raden Anggakusuma lalu pergi ke pantai selatan untuk bertapa. Makan dan tidur sudah dilupakan, yang diingat hanya mantan istri dan lelaki yang menikahinya. Dalam hati selalu berdoa semoga mereka tak langgeng dalam berumah tangga dan mendapat celaka.

Putra ketiga Pangeran Tepasana seorang perempuan bernama Raden Ajeng Sumilah. Semula hendak diambil sebagai istri Sang Raja, tetapi batal. Kemudian dinikahkan dengan adik Sang Raja Pangeran Buminata.

Putra keempat Pangeran Tepasana seorang laki-laki bernama Raden Mas Garendi. Seorang yang tampan dan pernah diramal menjadi raja tetapi tak lama. Banyak orang Kartasura mengabdi kepadanya. Berita itu terdengar oleh Sang Raja, membuat Sang Raja sedikit curiga kepada sang kakak Pangeran Tepasana.

Pangeran dari Sri Lanka yang lain, Raden Jayakusuma mempunyai seorang putra bernama Raden Mas Surada. Adapun pangeran Sri Lanka yang tertua, Pangeran Wiramanggala tidak mempunyai putra. Hanya banyak mengambil keponakan untuk diasuh.

Ada lagi cerita, Raden Irmaya yang menikahi saudara perempuan Sang Raja dan diangkat menjadi bupati Demak dengan nama Tumenggung Suranata telah meninggal dunia. Sang istri Raden Ajeng Umik belum berputra. Lalu Raden Martakusuma yang dibuang di Majenang telah dibebaskan. Martakusuma kemudian diangkat menjadi bupati Demak dan dinikahkan dengan Raden Ajeng Umik. Namanya kemudian diganti menjadi Tumenggung Sujanapura. Tumenggung Sujanapura dan Raden Ajeng Umik sudah rukun dalam berumah tangga.


[1] Sengkalan: sarira gumuling wayang janma (1658 J.. 1733/1734 M.)

[2] Sengkalan: janma kawayang karêngèng bumi (1661 J., 1736/1737 M.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/10/11/babad-tanah-jawi-134-kerabat-keturunan-raja-amangkurat-kembali-ke-tanah-jawa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...