Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (148): Pangeran Wiramenggala lolos dari Kartasura dan bergabung dengan pasukan Cina

Pangeran Wiramenggala ketika mendengar sang adik telah tewas dicekik di dalam keraton seketika menangis hebat. Warga Kaselongan semua menangis menahan kesedihan yang sangat. Para putra dan keponakan Pangeran Tepasana menanyakan kepergian ayah dan uwak mereka. Pangeran Wiramenggala menyalahkan diri sendiri, tak mengira kejadian akan berakhir seperti ini.

Berkata Pangeran Wiramenggala, “Sudahlah kalian semua berhentilah menangis.”

Para abdi Kaselongan kemudian dikumpulkan seadanya. Hanya abdi lama dari Sri Lanka yang datang. Para abdi baru tak terlihat satu pun, mereka tak berani lagi datang. Demang among praja seorang kulit putih masih ada, bersama tiga anaknya yang telah dewasa. Yang tertua Anggatruna, putra kedua bernama Anggawirnya dan yang bungsu Sutawirya. Juga Kyai Rawan dengan tiga putranya, semua sudah dewasa. Juga hadir mantan kelasi dari Japenan, si Dhampak dan Galeyah. Sandinaya, Jendil dan si Monyet, semua menangis sambil membawa tombak dan pedang.

Para abdi berkata kepada Raden Wiratmeja, putra Pangeran Tepasana yang tua, “Ayo nak, kita mengamuk.”

Putra Pangeran Tepasana yang muda, Mas Garendi usianya hampir mencapai masa birahi. Juga putra Raden Jayakusuma, Raden Mas Surada. Keduanya menangis mengajak mengamuk. Sang uwak kemudian menenangkannya.

“Kalian ibarat masuk ke dalam api. Seberapa kuat kalian melawan satu negeri? Sudahlah, kalian bersiaplah. Ayo kita pergi dari sini. Barangkali ada pertolongan Tuhan karena kita orang tanpa dosa,” kata Pangeran Wiramenggala.

Segera mereka bersiap malam itu juga. Para lelaki yang membawa tombak hanya delapan belas orang. Enam orang membawa senapan. Dua belas orang lain membawa berbagai macam senjata, panah, lembing, dan lain-lain. Kedua raden putra Pangeran Tepasana membawa busur panah. Yang banyak adalah para wanita dan anak-anak. Semuanya berjumlah seratus lima puluh orang. Dari sejumlah itu hanya tujuh yang naik kuda. Perjalanan Pangeran Wiramenggala pelan-pelan saja karena hampir semuanya berjalan kaki.

Ada yang melapor kepada Ki Patih. Ki Patih segera melapor ke istana perihal lolosnya Pangeran Wiramenggala dari kota. Sang Raja memerintahkan agar mereka dikejar. Dua wadana mengerahkan para mantrinya untuk melacak kepergian Pangeran Wiramenggala. Raden Arya Mlayakusuma dan Tumenggung Mangkupraja. Mereka berdua memimpin pasukan yang terdiri dari dua ribu prajurit, dari prajurit Kapatihan dan prajurit mancanagara.

Sementara itu, rombongan Pangeran Wiramenggala yang sedang meloloskan diri bangun kesiangan di Sima karena kecapaian berjalan. Sudah capai, lapar dan mengantuk, mereka tak menemukan satu desa pun untuk disinggahi. Setiap menemukan sungai mereka berhenti untuk minum. Pada pukul tiga mereka mendengar suara pasukan bergemuruh di belakang, yakni pasukan pengejar yang naik kuda. Namun mereka berbelok ke timur, sehingga pengejarnya kehilangan lacak. Sebenarnya jaraknya tinggal satu pandangan, tetapi tak terlihat karena lebatnya hutan.

Rombongan Pangeran Wiramenggala lolos dari pengejaran. Namun mereka bingung hendak menuju ke mana. Mereka kemudian tidur berserakan di sekitar sungai. Tiba-tiba ada seekor kuda melompat dari balik semak-semak. Mereka semua kaget dan terbangun. Si penunggang kuda tampak lemas dan lesu. Ketika ditanya tak mampu menjawab. Dia lalu ditangkap dan dibawa ke tempat yang lapang. Ada seorang mantri Kaselongan yang memberi empat ketupat. Tiga ketupat lalu dimakan. Setelah itu dia mulai pulih dan bisa bicara. Lalu dituntun di depan sebagai penunjuk jalan. Oleh si penunggang kuda mereka dibawa berbelok ke timur, lalu berbelok ke barat menuju perbatasan tanah Pajang dan Demak. Di tempat itu beberapa pengejar hampir bisa menyusul, tetapi tak dapat menangkap karena terhalang jalan yang sulit. Banyak pohon rebah melintang jalan.

Warga Kaselongan kemudian bermaksud menghadang. Sambil melawan mereka mendahulukan para wanita dan anak-anak. Raden Wiratmeja berada di belakang untuk menahan para pengejar. Ada delapan belas orang dewasa dan enam orang anak yang menjelang remaja. Dengan senjata lembing mereka menghadapi para pengejar. Raden Wiratmeja menarik busur yang bernama Baleragas, warisan dari kakek buyutnya. Si Galeyah, Dhampak dan Sarilaya tiba-tiba merasa bugar dan siap melawan.

Dari pihak pengejar ada Ngabei Suralegawa dan Surantaka dan Raden Wirataruna kaliwon dari Mlayakusuman. Mereka membawa prajurit Sarageni. Dengan cepat mereka menerjang sambil menembak. Namun karena medan penuh pepohonan gerakan kuda mereka tidak leluasa. Lebih tangkas mereka yang berperang darat dapat menyusup di antara pepohonan. Raden Wiratmeja mengamuk bersama dua puluh empat orang pengikutnya. Pasukan pengejar kewalahan. Kuda-kuda mereka banyak yang mati. Raden Wirataruna tak sanggup menahan amukan Raden Wiratmeja. Pasukan pengejar pun lari. Banyak kuda mereka tinggalkan.

Raden Wiratmeja tidak mengejar. Mereka kemudian mengambil kuda-kuda yang ditinggalkan musuh. Sekarang setiap orang sudah naik kuda. Malah ada yang naik kuda sambil menuntun kuda lain. Raden Wiratmeja menyuruh agar kuda-kuda yang tersisa disusulkan sang uwak yang berjalan di depan. Agar bisa dipakai untuk membawa barang-barang yang berat. Mereka juga mendapat jarahan nasi. Segera dibawa dan dibagi ke seluruh rombongan. Semua sudah mendapat makanan. Perjalanan mereka menjadi lebih lancar karena mendapat kuda jarahan. Mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Setelah sampai di utara gunung Kendeng mereka berbelok ke barat.

Sementara itu para pengejar yang lari sudah bertemu dengan Raden Mlayakusuma. Mendengar mereka lari karena kalah bertempur Raden Mlayakusuma sangat marah. Yang lari dihadang dan dipukul dengan gagang tombak. Raden Mlayakusuma dan Raden Mangkupraja kemudian maju ke depan memimpin pengejaran. Yang dikejar sudah telanjur jauh. Sudah meninggalkan negeri Demak dan memasuki wilayah Semarang yang dikuasai pasukan Cina pimpinan Kapten Singseh.

Pangeran Wiramenggala kemudian sampai di markas Kapten Singseh. Mereka ditanyai oleh para prajurit Cina dan dibawa menghadap Kapten Singseh.

Bertanya Kapten Singseh, “Anda pembesar dari mana?”

Pangeran Wiramenggala menjawab pelan, “Saya dari Kartasura. Kami lari karena akan dianiaya. Kami ke sini untuk mengungsi kepada Anda.”

Kapten Singseh berkata, “Baik Pangeran jangan khawatir.”

Pangeran Wiramenggala dan rombongan lalu diberi tempat dan jamuan. Kapten Singseh lalu mengirim utusan kepada Raden Martapura untuk memberi tahu bawa ada pelarian dari Kartasura. Namanya Pangeran Wiramenggala dan Raden Wiratmeja. Utusan sudah sampai di pondokan Raden Martapura, tetapi tak mendapat jawaban. Raden Martapura menyuruh Singseh datang sendiri untuk membicarakan persoalan ini.

Singseh berkata kepada Pangeran Wiramenggala, “Anda istirahatlah dulu di sini. Saya akan mengumpulkan pasukan Cina. Barangkali ada pengejar tuan yang datang. Kami sudah siap menghadapi.”

Kapten Singseh segera menemui Raden Martapura. Singseh ditemui di pondokan belakang untuk bicara empat mata.

Kapten Singseh berkata, “Bagaimana pendapat tuan mengenai kedatangan Pangeran Wiramenggala dan Raden Wiratmeja yang ayahnya dibunuh. Jumlah mereka semua termasuk wanita dan anak-anak ada lebih dari seratus orang. Yang bersenjata dua puluh lima orang saja.”

Raden Martapura mengangguk-angguk, “Itu baik bagi Anda. Raden Wiramenggala mengungsi ke tempat saudara, itu satu keuntungan bagi saudara. Itu akan semakin mempercepat kejelasan masalah ini. Semua yang semula masih dirahasiakan akan segera diungkapkan. Saudara nanti temui Pangeran Wiramenggala, lalu katakan kepadanya seperti ini: Pangeran, saya ini sekarang ibarat orang buta-tuli karena berjalan tanpa bimbingan. Sekarang Anda datang menjadi tamu saya, para pasukan saya menjadi ragu-ragu karena saat ini sedang berhadapan dengan orang Jawa dan Kumpeni sekaligus. Kalau Anda hendak mengungsi kepada pasukan Cina, sungguh akan dilindungi. Namun syaratnya Anda semua meletakkan senjata. Tombak, senapan, pedang dan panah Anda serahkan. Kami yang akan merawatnya, agar pasukan Cina tenang hatinya.”

Raden Martapura menyambung, “Kalau senjata mereka sudah diserahkan, besok segera Anda mengirim surat kepada Raden Patih Natakusuma. Isi surat nanti akan saya buatkan. Pasti nanti akan dilaporkan kepada Sang Raja dan akan mengurai masalah yang masih dirahasiakan. Nanti akan jelas Sang Raja berpihak ke mana.”

Kapten Singseh ketika mendengar saran Martapura sangat gembira.

“Benar Raden, usulan Anda sangat tepat. Namun ada pasukan bersenjata yang masih mengejar mereka, dipimpin Tumenggung Mlayakusuma dan Tumenggung Mangkupraja. Barangkali mereka akan nekat merebut buronannya?” tanya Kapten Singseh.

Raden Martapura berkata, “Mustahil berani mereka. Kalau tidak ada saran dariku atau dari Adipati Jayaningrat mereka takkan berani. Aku ini paman, jenderal di laut. Adipati Jayaningrat jenderal di darat. Orang Kartasura takkan berani melangkahi. Pasti akan mengirim utusan kepadaku dan kepada Adipati Jayaningrat.”

Baru saja Martapura selesai bicara mendadak datang utusan bernama Sutasantana dari Arya Mlayakusuma dan Ngabei Wirapati dari Tumenggung Mangkupraja. Kedua utusan menyerahkan surat kepada Raden Martapura. Surat sudah dibaca. Isinya memberi tahu bahwa buronan mereka lari ke sini. Mereka meminta saran bagaimana sebaiknya. Surat sudah diberi balasan dan segera dibawa kembali oleh kedua utusan. Mereka kemudian meneruskan perjalanan ke Lamper untuk menemui Adipati Jayaningrat.

Setelah kepergian dua utusan tersebut Singseh tertawa.

“Benar kata Anda Raden. Sekarang saya tak khawatir lagi. Hanya tinggal membujuk Pangeran Wiramenggala,” kata Kapten Singseh.

Kapten Singseh minta pamit dan kembali ke pondokannya. Singseh menemui Pangeran Wiramenggala dan mengatakan semua yang telah diajarkan Raden Martapura. Pangeran Wiramenggala tanpa merasa berat segera menyerahkan senjatanya. Senjata sudah diterima oleh pasukan Singseh. Pangeran Wiramenggala sudah pasrah semuanya kepada sang kapten Cina. Kapten Singseh lalu mengirim surat kepada Ki Patih di Kartasura. Isi suratnya dibuat oleh Raden Martapura. Utusan yang ditugaskan mengirim seorang peranakan Cina.

Sementara itu di markas Lamper, utusan Raden Mlayakusuma dan Tumenggung Mangkupraja telah diterima Adipati Jayaningrat. Surat segera dibaca Ki Adipati. Seketika Ki Adipati tertegun. Isi surat menyatakan kalau Raden Mlayakusuma dan Raden Mangkupraja sedang mengejar buronan Pangeran Wiramenggala. Sang adik Pangeran Tepasana baru saja dihukum mati, sedang sang kakak melarikan diri di malam hari.

Ki Adipati Jayaningrat membuat surat balasan dan segera dibawa oleh utusan. Utusan segera kembali menemui wadana mereka, Raden Mlayakusuma dan Raden Mangkupraja. Mereka membawa dua surat, satu dari Raden Martapura dan satu surat dari Adipati Jayaningrat. Isi kedua surat hampir sama.

Surat dari Adipati Jayaningrat menyatakan: “Anda raden berdua tungguhlah sebentar. Pangeran Wiramenggala telah ditampung pasukan Cina. Akan membuat rencana berantakan kalau diambil. Nanti saya yang kena kesalahan dan juga Dinda Martapura. Raden tunggulah sambil bermarkas di Demak. Jangan kalian bergerak dulu bila kami belum memberi isyarat.”

Raden Mlayakusuma dan Raden Mangkupraja kemudian melaporkan kepada Ki Patih bahwa mereka atas saran Adipati Jayaningrat bermarkas dulu di Demak sambil menunggu isyarat lebih lanjut.

Sementara itu malam harinya Adipati Jayaningrat memanggil Raden Martapura dan Raden Suralaya. Keduanya segera datang menghadap. Ki Adipati menerima mereka di pondok belakang untuk bicara secara khusus.

Ki Adipati berkata, “Hai Martapura, mengapa jadi seperti ini kejadiannya. Belum satu perjalanan masalah berdatangan. Tak urung membuat kita bingung. Mau mundur sudah telanjur, mau maju banyak halangan.”

Ki Adipati meneteskan air mata, lalu menlanjutkan, “Aku kasihan pada raja kita. Tak urung tanah Jawa rusak. Yang aku salahkan adalah Ki Patih. Kehendaknya tak pernah dirundingkan, belum matang sudah dilaksanakan. Persoalan dengan orang Cina belum selesai, kok membuat masalah baru. Siapa yang mengadukan Pangeran Tepasana hingga sampai dihukum mati? Mana yang lebih baik antara kalau dia hidup dan dibunuh?”

Raden Martapura hanya menunduk, “Saya serahkan paduka. Saya tak mampu berpikir. Saya hanya orang kecil yang sekedar menjalankan perintah. Ki Patih yang seharusnya saya turut. Walau ada raja tetapi masih muda. Namun perkiraan saya, dari Ki Patih sendiri yang menjadi sebab Sang Raja marah. Saya ini sekalian melaporkan, jadi andai tak dipanggil pun saya datang ke sini. Menurut perkataan Singseh, Pangeran Wiramenggala sudah tunduk. Semua senjatanya sudah diserahkan kepada Singseh. Singseh juga sudah mengirim surat pemberitahuan kepada kakak Anda Ki Patih. Utusan sudah berangkat kemarin, seorang peranakan Cina yang diutus. Maka Anda jangan lagi bersusah hati.”

Berkata Adipati Jayaningrat, “Dik, ini perkara gaib. Orang itu jangan hanya melihat lahirnya saja, yang dalam batin juga perlu dikenali. Karena yang lahir hanya diperintah oleh batin. Seyogyanya mengikuti perilaku luhur dari para raja yang dulu-dulu, luhur secara lahir dan batin. Seperti Pangeran dari Sri Lanka dibunuh, itu hukum seperti apa yang dipakai? Hukuman yang membuat khawatir. Belum terbukti kesalahannya sudah dijatuhi hukuman berat. Trah Mataram kalau berlaku curang akan menemui celaka. Begitulah kalau pikiran orang urakan, tak mampu menirut teladan baik. Pikiran orang yang tak percaya kepada Tuhan Yang Maha Agung. Kok tidak meniru perilaku Prabu Ramawijaya. Ketika istrinya direbut orang Alengka, sudah pasti orang Alengka bersalah. Namun ketika ada yang menyatakan tunduk, yakni Raden Wibisana, dia tak dihukum mati. Itulah orang yang mampu menegakkan keadilan. Jangan hanya karena menuruti rasa khawatir kemudian membunuh orang yang belum melakukan kesalahan. Demikian juga orang Arab, andai Amir Ambyah membunuh Raden Maktal tentu takkan menjadi ksatria besar yang patut disembah.

Di zaman kita dulu ada teladan yang pantas ditiru. Ketika yang berkuasa Sunan Mangkurat II, mendiang uwak Anda, bapak saya ketika itu namanya masih Pusparaga. Kemudian diangkat sebagai bupati dengan nama Tumenggung Jayaningrat. Diberi tanah seribu karya dan sangat dikasihi Sang Raja. Malah diberi istri putri Sumedang, keponakan Ratu Kancana Mangkurat. Setelah Sunan Mangkurat II wafat, si bapak semakin mendapat kesempatan mengabdi kepada Sunan Mangkurat Mas. Mendiang uwak Anda sangat akrab, sampai tidak memakai bahasa halus dengan Sang Raja, sama dengan Raden Mas Sudira. Jadi antara bapakku dan Sang Raja sudah sangat akrab.

Ketika Sunan Mangkurat menang perang melawan Trunanaya, si Trunajaya mengungsi ke gunung. Trunajaya berhasil dibujuk agar menyerah. Semua utusan diminta menjadi jaminan hidupnya, sebab itu Trunajaya mau menyerah. Setelah sampai di hadapan Sang Raja ternyata masih diikat. Ada yang menyesalkan kejadian itu. Kapten Dungkur yang disalahkan. Mereka heran mengapa Trunajaya diperlakukan demikian. Dia itu pernah menjadi raja, jadi tak pantas dijadikan pesakitan. Itu tidak pantas dan membuang kesentausaan. Beda kalau tertangkap di medan perang. Kalau ada orang mau menyerah baik-baik kok masih diikat itu bukan tatakrama yang baik. Perbuatan seperti itu nista bagi seorang raja. Tidak patut bagi seorang raja membunuh tawanan yang menyerah secara sukarela. Andai saja Trunajaya tidak dibunuh dan dijadikan patih, maka negeri akan semakin sentausa.

Seperti halnya Pangeran Tepasana, kalau saja diampuni dan dijadikan panglima perang, pasti negeri akan semakin kuat. Kalau seperti ini, tak urung pasti menemui celaka. Lebih baik aku tidak menyaksikan rajaku celaka kelak. Aku lebih baik pensiun sebagai bupati. Aku akan kirim surat kepada Ki Patih untuk meminta putranya yang jadi menantuku, Raden Mas Supama, agar menggantikan kedudukanku. Aku merasa sudah tua dan banyak penyakit, lebih baik aku pensiun.”

Martapura mendengar perkataan Adipati Jayaningrat tertegun dan melotot.

Sejenak kemudian Martapura berkata, “Bagaimana dengan riwayat yang saya dengar, keturunan Mataram kelak ada yang memulai perang dan mempunyai bobot yang berat. Dia akan melawan para kafir dan memuliakan agama Nabi.”

Adipati Jayaningrat berkata, “Hai jangan keliru dalam berbuat. Hendak melarang anjing tapi sambil membawa kirik. Lebih baik si kafir Belanda hanya beda nabinya. Si Cina kafirnya menyembah berhala. Aku ini dulu dari kalangan bangsa Cina, itu pun aku tak mau bergabung dengan mereka.”

Raden Martapura berkata, “Bagaimana saya nanti, sudah diangkat sebagai kepala, Anda malah mau mundur.”

Adipati Jayaningrat berkata, “Adapun yang namanya baik dan buruk itu letaknya di hati. Kalau engkau suci di dalam hati, sungguh tak ikut terkena kutukan Tuhan Yang Maha Benar. Beda dengan si kakak ini. Baiklah Dik Martapura, kita sama-sama mendoakan selamat.”

Martapura sudah minta pamit. Setelah menyembah segera keluar dari pondokan Ki Adipati. Menjelang pagi sampai di pondokannya.

Sementara itu utusan Kapten Singseh yang menuju Kartasura sudah sampai. Yang pertama dituju adalah kediaman Ngabei Surajaya, patih dari Ki Patih Natakusuma. Surat sudah diterima dan dibawa menghadap Ki Patih. Setelah membaca surat Ki Patih kaget dan dengan bergegas melaporkan kepada Sang Raja di istana. Surat segera dihaturkan dan dibaca oleh Sang Raja.

Isi suratnya: “Salam untuk Tuan Raden Patih dari Kapten Muda Singseh. Setelah salam saya memberi tahu bahwa Kangjeng Pangeran Wiramenggala dan Raden Wiratmeja ketika mereka dikejar pasukan dari Kartasua mengungsi ke tempat saya. Setiap hari datang orang Jawa yang membujuk para orang-orang yang sakit tadi. Saya tidak bisa mencegahnya. Karena itu saya minta petunjuk Tuan Patih bagaimana kehendak paduka. Saya berharap Tuan Patih melaporkan hal ini kepada Sang Raja. Saya sangat menunggu kehendak Sang Raja dalam hal ini.”

Sang Raja sangat bersedih menanggapi keadaan ini.

Sejenak kemudian Sang Raja berkata, “Paman Adipati, bagaimana pekerjaan kita ini, sekarang kelihatan repot.”

Ki Patih berkata, “Saya serahkan kepada paduka. Kalau terlambat membahayakan. Akan ditunggu sampai kapan lagi. Si Cina sudah mempunyai pasukan. Kalau masih ragu siapa yang akan mendukung mereka, bisa saja mereka menobatkan kakak paduka.”

Sang Raja terpojok. Hatinya khawatir.

Ki Patih menyambung, “Kalau hanya akan menonton Cina dan Kumpeni berperang dulu dan membantu yang akan menang seperti rencana semula, maka keburu orang Cina sudah mempunyai raja baru.”

Sang Raja berkata, “Baik Paman, tidak usah ditunggu. Segera dimulai saja.”

Sang Raja menjadi lupa dengan rencana semula yang hendak melihat keadaan dulu baru bersikap setelah kelihatan pasti. Kini Sang Raja berkehendak untuk membantu Cina.

Berkata Sang Raja, “Loji utara paman, aku percayakan kepadamu untuk menyelesaikan. Adapun Loji selatan, bocah wadana dalam si Rajaniti saja yang menangani.”

Ki Patih menyembah dan mencium kaki Sang Raja, kemudian segera keluar istana. Sesampai di luar segera memerintahkan agar pasukan bersiap untuk menyerang Loji. Pasukan Kapatihan semua dipanggil dan diberi hadiah uang dan pakaian. Mereka sudah mendapat bagian secara merata. Sementara itu Kyai Rajaniti telah diperintahkan membobol pagar bata di selatan Loji dan dijatuhkan di belakang Loji. Tumenggung Natayuda dan Ki Wirajaya diperintahkan naik Sitinggil. Gebyok barat dirubuhkan dan dijatuhkan di sebelah timur Loji. Ki Wirareja dan Tumenggung Tirtawiguna menjaga di Kamandhungan. Pembagian tugas telah selesai.

Ki Patih lalu memanggil punggawa Numbakanyar dan Sewu serta Tumenggung Banyumas. Kepada mereka diperintahkan untuk membantu penyerangan ke Loji. Mereka dikesankan hendak berangkat membantu Arya Pringgalaya yang sedang menyerang pasukan Cina di Ambarawa. Ki Patih mempersiapkan prajurit pilihan untuk menyerang Loji. Mereka telah bersiapa di halaman sejumlah tujuh ratus orang. Semua adalah pasukan berani mati.

Tiga punggawa sudah datang, Tumenggung Jayasudirga, Mangunnagara dan Yudanagara. Dan juga seorang kaliwon Yudanagara yang bernama Ngabei Mangunyuda. Semua sudah menghadap Ki Patih. Kepada mereka diberikan tugas masing-masing. Mantri Gowong dan Mantri Kalang dipercayakan untuk membantu Arya Pringgalaya di Ambarawa. Ki Secayuda, Ki Sutayuda dan Ki Gunawangsa sudah diberi pesan-pesan. Belum selesai Ki Patih memberi pesan mendadak Ki Rajaniti masuk.

Ki Rajaniti berkata, “Kalau setuju paduka, sebaiknya hari penyerangan dimundurkan besok hari Kamis saja.”

Tiga punggawa sudah diizinkan keluar. Ki Patih kemudian mengajak bicara Ki Rajaniti secara pribadi.

Berkata Rajaniti, “Kalau setuju, tiga punggawa tadi suruh mengaku membantu perang di Salatiga. Mereka semua suruh memakai pakaian perang sebagai bentuk kehati-hatian. Dan abdi paduka suruh mengaku hendak ikut menyumbang pasukan.”

Ki Patih menyetujui saran Rajaniti. Kepada tiga tumenggung sudah diperintahkan untuk bersiap pada hari Kamis pagi. Ki Rajaniti semalaman berada di Kapatihan mematangkan rencana. Pada hari Kamis pagi semua prajurit sudah bersiap. Mereka berbaris di halaman.

Ki Patih kemudian berkata, “Perintah Sang Raja kalian diperintahkan untuk membantu Arya Pringgalaya ke Salatiga. Dan kalian saya sertakan para mantriku dari Kapatihan dan prajurit dalam.”

Tiga punggawa menyembah.

Ki Patih melanjutkan, “Dan aku tunjuk Mantri Kalang dan Mantri Gowong ikut serta, tapi tunggulah di Loji dulu. Karena mereka baru aku perintahkan tadi malam mungkin belum siap.”

Pasukan segera bersiap di sepanjang jalan depan Loji. Mereka sudah dibisiki, agar terkesan menanti orang Kalang dan Gowong. Nanti Ki Sutayuda akan keluar pura-pura memeriksa kedatangan orang Kalang dan orang Gowong.  Kalau Sutayuda sudah keluar Loji tiga kali, maka segeralah mengamuk di Loji. Kepada mereka dipesan agar berhati-hati menjalankan perintah Sang Raja. Para lurah prajurit menyatakan kesiapan. Mereka menyembah dan berebut mencium kaki Ki Patih untuk meminta berkah.

Ki Patih berkata, “Aku beri bekal doa agar selamat.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/11/09/babad-tanah-jawi-148-pangeran-wiramenggala-lolos-dari-kartasura-dan-bergabung-dengan-pasukan-cina/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...