Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (150): Pasukan Kumpeni di Kartasura menyerah kepada Sang Raja

Raden Mlayakusuma sudah kembali ke Kartasura bersama pasukannya. Arya Pringgalaya juga sudah kembali dari Salatiga bersama Ki Arya Dikara. Bersamaan waktunya Tumenggung Secadiningrat dari Sidayu lolos dari Kartasura. Putra Adipati Cakraningrat itu sudah diberi pesan oleh ayahnya agar kalau Kartasura memusuhi Kumpeni, maka segeralah lolos dari keraton. Adapun kalau Kartasura berpihak kepada Kumpeni dalam perang melawan Cina, maka jangan sampai berpisah meski harus berperang habis-habisan. Kini telah nyata Kartasura lebih memilih membela orang Cina. Bahkan telah menyerang Loji Kartasura. Bupati Sidayu bersama pasukannya segera kembali ke Sidayu.

Pagi hari Raden Arya Pringgalaya, Arya Dikara dan Raden Mlayakusuma sudah menghadap Sang Raja dan melaporkan penugasan masing-masing. Pangeran Wiramenggala dan Raden Arya Wiratmeja sudah dihukum mati. Keduanya sudah dimakamkan di gunung Pragota. Semua keluarganya sejumlah enam puluh orang sudah diboyong ke Kartasura. Sang Raja sudah lega hatinya. Hanya yang masih menjadi ganjalan adalah sikap Secadiningrat yang telah menyeberang melawan Kartasura. Ini menjadi tanda kalau ayahnya, Adipati Madura pun juga berbalik menyeberang. Cakraningrat sakit hati karena tidak dilibatkan dalam rencana sejak awal.

Sang Raja memerintahkan ketiga punggawa keluar istana untuk bergabung dengan punggawa lain yang sedang mengepung benteng Loji Kumpeni. Siang malam teruslah dikepung jangan sampai lengah.

Ki Patih berunding bersama para punggawa untuk memikirkan pengganti dua punggawa yang tewas di Loji, Tumenggung Jayasudirga dan Tumenggung Mangunnagara. Tumenggung Jayasudirga meninggalkan tiga anak laki-laki yang belum berumur. Maka ada usulan agar Raden Singaranu menggantikan kedudukan Tumenggung Jayasudirga. Adapun Tumenggung Mangunnagara sudah mempunyai anak yang dewasa. Nanti akan segera diajukan kepada Sang Raja. Ki Patih dan para punggawa telah sepakat untuk mengusulkan kepada Sang Raja setelah pekerjaan mengepung Loji selesai.

Ki Patih meminta Kapten Singseh mengirim pasukan Cina untuk membantu mengepung Loji. Singseh menyanggupi dan segera mengirim lima ratus prajurit Cina dengan empat komandan. Mereka adalah Ping Bulung, Yang, Etik dan Po. Keempatnya sudah diterima oleh Ki Patih di Kapatihan dengan sambutan hangat.

Ki Patih berkata, “Bagaimana kabar peperangan di negeri Semarang?”

Ping Bulung berkata, “Perkara di Semarang tuan jangan khawatir. Ibarat ingin meremas, sudah pasti hancur di tangan. Kumpeni dan semua barang-barangnya sudah naik ke kapal. Tinggal menunggu perintah paduka Ki Patih. Komandan saya Kapten Singseh juga menanti perintah paduka dan Sang Raja.”

Ki Patih tertawa, sejenak  berkata pelan, “Bagaimana baiknya di sini? Sudah aku kepung benteng Kumpeni itu.”

Komandan pasukan Cina berkata, “Terserah paduka, saya menunggu perintah. Kalau paduka perintahkan kami mengamuk, siang ini juga kami laksanakan. Kami akan lakukan perintah paduka dan Sang Raja.”

Ki Patih suka mendengar kesanggupan pasukan Cina.

“Jangan seperti itu. Aku berharap kalian juga tetap selamat,” kata Ki Patih.

Pasukan Cina bersukacita, Ping bulung menyambung, “Bila berkenan, Anda persiapkan senjata meriam yang besar. Saya akan mengepung benteng agar mereka tak bergerak leluasa. Mereka harus ditembaki dari atas pagar benteng. Besok saya masuk dan saya amuk dengan pedang. Pasti tumpas tak bersisa.”

Ki Patih berkata, “Soal mengamuk gampang kalau sudah jebol. Yang penting seperti usulmu tadi. Aku kira bisa diterapkan.”

Pasukan Cina sudah diberikan pondokan.

Sementara itu para bupati terus mengepung benteng dan semakin mendekat. Para prajurit Cina meminta kepada Sang Raja agar mengizinkan meriam-meriam besar dipakai dalam perang. Sang Raja sudah mengizinkan. Pada hari Sabtu pasukan Cina dan Jawa mengepung benteng dengan membawa meriam-meriam besar. Lalu segera meriam tersebut dinyalakan. Suara dentuman meriam seolah merobek langit. Namun Loji Kumpeni tak bergerak sedikitpun. Meriam Kyai Kumbarawa, Kyai Kumbarawi dan Kumba Aswanikumba dinyalakan bersamaan. Pasukan Cina mendapat bagian meriam Kyai Gunturgeni, Kyai Subrastha dan Kyai Segarawana. Meriam Kyai Pamecut dipegang pasukan Sarageni.

Kyai Gunturgeni oleh prajurit Sarageni biasa diisi empat puluh kati bubuk mesiu. Namun meriam-meriam itu oleh pasukan Cina diberi bubuk mesiu sebanyak delapan puluh.

Prajurit Sarageni berkata, “Cik, itu terlalu banyak. Itu bukan takarannya. Bisa celaka nanti.”

Si prajurit Cina menjawab, “Diamlah, jangan katakan yang bukan-bukan.”

Memang orang Jawa tidak pernah memakai meriam seperti orang Cina yang sudah terbiasa mengoperasikan. Setelah diisi dengan bubuk mesiu tiga meriam yang dipegang pasukan Cina dinyalakan bersamaan. Suara menggelegar hebat. Peluru melesat kencang menghunjam pagar bata Loji. Serdadu Kumpeni kaget dan segera membalas dengan tembakan meriam pula. Suaranya menggelegar seolah meruntuhkan langit.

Prajurit Cina kembali menyalakan meriam Kumba Aswanikumba, Kumbarawa dan Kumbarawi. Lagi-lagi prajurit Cina mengisi dengan mesiu yang penuh. Kedua meriam meledak dan remuk. Kyai Gunturgeni pun segera dinyalakan, dan seketika lambung meriam juga terbelah. Dahsyatnya ledakan sampai membuat daun pohon beringin berjatuhan dan dahan-dahannya patah. Operator meriamnya sampai terbakar rambutnya dan sejumlah tujuh belas prajurit Cina dan Jawa terpental jatuh. Peristiwa ini segera dilaporkrn kepada Sang Raja. Sang Raja pun tertegun, dalam hati merasa jengkel. Namun disamarkan dalam perkataan yang manis. Sang Raja menyuruh para prajurit berhati-hati. Pihak Kumpeni tak tahu kalau pasukan Jawa dan Cina sudah karena kehilangan merian. Dari dalam Loji tembakan balasan tak henti-henti menerjang. Banyak prajurit Kartasura tewas tembakan meriam. Rumah-rumah penduduk dan bangunan keraton pun tertimpa. Para bupati Kartasura terus merangsek ke benteng Loji dan berusaha merebut pintu.

Sementara itu ada sepasukan Cina yang lari dari Betawi. Mereka dipimpin Kapten Sapanjang. Sesampai di Kartasura mereka bermaksud menghadap Sang Raja. Ada seribu prajurit yang dibawa Kapten Sapanjang. Mereka sudah menemui Ki Patih Natakusuma di Kapatihan.

Ki Patih bertanya kepada Sapanjang, “Bagaimana kabar di Betawi tempat Anda berperang melawan Kumpeni?”

Kapten Sapanjang berkata, “Masih terus terjadi peperangan. Belum ada yang kalah. Oleh karena itu saya datang ke sini hendak meminta izin Sang Raja dan tuan patih.”

Ki Patih berkata manis, “Soal izin kita bicarakan nanti. Di sini masih ada banyak halangan. Kalian bantu menyelesaikan dulu.”

Sapanjang berkata, “Kalau demikian paduka jangan khawatir. Pasukan Cina mati konyol di Betawi, maka lebih utama kalau mati membela Sang Raja. Namun saya minta perkenan Ki Patih, saya akan menemui teman sebangsa saya yang sudah lama berada di sini.”

Kapten Sapanjang mundur dari hadapan Ki Patih. Mereka akan ditempatkan ke pondokannya, berjajar di sebelah timur Kadipaten sampai di Gumpang. Sapanjang kemudian menemui Mudhaetik dan Ping Bulung. Sementara itu Ki Patih segera menghadap Sang Raja untuk melaporkan kedatangan Sapanjang. Juga untuk memintakan izin tinggal bagi Sapanjang dan pasukannya. Sang Raja sudah mengizinkan.

Ki Patih lalu menemui Sapanjang yang sedang berada di pintu Gerbang. Kepadanya disampaikan izin dari Sang Raja. Sapanjang sangat berterima kasih. Sapanjang mengatakan kalau pasukan Cina takkan bisa membalas kebaikan Sang Raja selain menyerahkan hidup dan mati. Mereka kemudian diantar ke pondokannya. Dari dalam istana jamuan segera dikirim untuk mereka. Juga berbagai hadiah seperti uang dan bahan pakaian. Semua sudah dibagi secara merata.

Pagi harinya Kapten Sapanjang kembali menghadap Ki Patih. Setelah bersalaman dan duduk nyaman, Sapanjang menyampaikan maksud kedatangannya. Mereka ingin dikaryakan dalam perang melawan Kumpeni.

Ki Patih berkata, “Bagaimana strategi yang akan kau terapkan.”

Sapanjang berkata, “Paduka siapkan bahan dari besi yang besar. Saya akan membuat semacam gerobak. Gerobak itu akan saya beri roda. Gerobak diisi prajurit Cina dan didorong mendekati benteng. Kalau sudah dekat mereka leluasa membobol tembok atau naik ke pagar.”

Kapten Sapanjang melanjutkan, “Dan saya juga mendengar kabar di Loji ada barikade dari pisau dan pangot. Saya minta kuda jantan dan betina serta kerbau. Nanti hewan-hewan itu ditempatkan di depan gerobak agar mereka merusak barikade itu.”

Ki Patih berkata, “Rancana itu bagus. Segera buatlah gerobaknya. Kalau sudah jadi segera melapor dan akan aku sediakan kuda jantan dan betina.”

Kapten Sapanjang mohon pamit dan kembali ke pondokannya. Ki Patih segera memerintahkan orang Kalang untuk mengirim bahan kayu ke pondokan pasukan Sapanjang. Kapten Sapanjang kemudian memimpin pasukannya membuat gerobak. Setelah siang malam bekerja rakitan gerobak yang mereka buat sudah jadi.

Sementara itu di Loji, Kumpeni mulai kehabisan bahan pangan. Keadaan para serdadu semakin hari semakin memprihatinkan. Kapten Langpel berembug dengan Letnan Sekretaris Kapil Pilem.

Berkata Kapten Langpel, “Bagaimana ini keadaan para pasukan sudah loyo. Kalau terus dikepung sampai lama, tak urung kita mati kurang makan. Kita hancur bukan karena tertimpa gunung, tapi karena tak bisa makan.”

Letnan Klas menjawab pelan, “Tak ada pilihan lain, hanya pilih hidup atau mati. Kalau pilih mati kita lawan sampai kekuatan kita habis. Kalau pilih hidup, kita menyerah saja.”

Para pembesar Kumpeni di Loji serba kebingungan mendengar usulan Letnan Klas.

Kapten Langpel berkata, “Aku akan mengirim surat kepada Sang Raja.”

Sudah sepakat antara para pembesar Kumpeni. Mereka akan mengirim surat kepada Sang Raja. Surat dikirim melalui kuli bayaran yang diupah dua puluh lima riyal. Mereka menyusup ke benteng orang Jawa secara rahasia. Setelah dekat benteng surat dilemparkan ke dalam dan mereka lari. Penjaga benteng melihat ada surat dilemparkan, diambil lalu dibaca alamat tujuan surat adalah Sang Raja. Surat segera dihaturkan kepada Ki Patih. Ki Patih kemudian mengitim surat ke dalam istana. Di pintu Sri Manganti utusan Ki Patih bertemu dengan Tumenggung Tirtawiguna. Surat diberikan kepada Tirtawiguna yang langsung membawanya kepada Sang Raja. Surat dibuka dan dibaca oleh Sang Raja.

Isi suratnya: “Saya Kapten Langpel memohon kepada paduka Sang Raja agar memerintahkan para bupati yang sedang mengepung benteng untuk mundur. Kami sangat takut dikepung dan ditembak setiap hari. Yang kedua, saya beritahukan kepada paduka bahwa abdi paduka para Kumpeni di dalam benteng sudah kehabisan bahan pangan. Maka saya memohon dikirim beras agar kami bertahan hidup.”

Sang Raja tersenyum setelah membaca surat Kapten Langpel. Surat diberikan kembali kepada Tirtawiguna untuk dibuatkan surat balasan. Tirtawiguna segera membuat surat balasan sesuai kehendak Sang Raja. Surat lalu dikirim ke Loji dengan cara dilemparkan. Kumpeni melihat ada surat yang diberi beban batu melesat ke dalam benteng. Mereka segera mengambilnya. Kapten memanggil juru bahasa untuk membaca surat itu.

Isi surat Sang Raja: “Kapten, engkau mengirim surat kepadaku. Suratmu sudah aku baca dan aku pahami maksudnya. Namun sekarang para bupati sudah sepakat untuk melawan Kumpeni. Semua sudah memberi cap di surat ini. Itu semua karena ulahmu sendiri yang berani kepada punggawaku.”

Kapten Langpel sangat bersedih. Airmatanya deras mengalir.

Letnan Klas berkata pelan, “Tuan jangan terlalu dipikirkan. Mari kita sekarang menyerah saja.”

Sudah sepakat para Kumpeni di dalam benteng mereka akan menyerahkan diri kepada Sang Raja. Kapten memanggil Salompret dan memerintahkan untuk memajang bendera putih di atas pagar benteng. Salompret segera melaksanakan perintah. Bendera putih sudah dipasang di atas pagar. Orang-orang Jawa yang melihat kaget. Mereka bersorak-sorak. Para serdadu Kumpeni heboh karena mengira penyerahan diri mereka tak diterima. Mereka kemudian kembali bersiap di depan meriam.

Kapten lalu menyuruh Salompret untuk keluar menemui orang Jawa. Setelah diberi pesan-pesan oleh Kapten Salompret keluar benteng dengan berurai air mata. Pikirnya dia takkan selamat. Pasukan Jawa yang mengepung benteng kaget ada seorang serdadu berani keluar menemui mereka. Salompret kemudian dikepung.

Berkata Salompret, “Saya ini utusan yang akan menemui Ki Patih. Antarkan aku ke Kapatihan.”

Para prajurit berkata, “Kami takut membawamu kalau engkau tidak diikat.”

Salompret berkata, “Baiklah ikatlah aku. Tapi tanganku jangan diikat di belakang. Ikatlah di depan agar aku tetap bisa menyembah.”

Tangan Salompret kemudian diikat di depan seperti permintaannya. Sudah dibawa menghadap si Salompret dengan pengawalan para prajurit Jawa.

Di hadapan Ki Patih Salompret berkata sambil menangis, “Saya diutus abdi paduka Kapten Langpel dan para Kumpeni untuk menghaturkan hidup-mati kepada Sang Raja dan kepada paduka Ki Patih.”

Ki Patih berkata, “Tunggulah sebentar. Aku melapor dulu ke istana.”

Ki Patih lalu mengirim utusan ke istana. Si utusan diterima Tirtawiguna di pintu Sri Manganti. Tirtawiguna kemudian melaporkan penyerahan si Kumpeni yang diwakili Salompret.

Sang Raja berkata, “Aku percayakan kepada Paman Patih bagaimana baiknya. Tapi ingatlah untuk selalu waspada. Barangkali saja Kumpeni hanya menerapkan siasat.”

Tirtawiguna segera memohon diri dan keluar dari istana. Utusan Ki Patih sudah diberi tahu perintah Sang Raja. Utusan lalu bergegas melapor kepada Ki Patih.

Ki Patih berkata kepada Salompret, “Salompret engkau kembalilah ke benteng. Kalau memang nyata-nyata Kumpeni mau menyerah, besok pagi kalian semua keluarlah dari benteng pada pukul tujuh. Semua senjata jangan disandang, tapi ikatlah menjadi satu.”

Salompret segera kembali ke benteng dengan pengawalan para prajurit. Sesampai di pintu benteng, penjaga membuka pintu dan segera menutupnya kembali.

Kapten berkata, “Salompret, engkau kembali dengan selamat.”

Salompret berkata, “Benar tuan. Ki Patih memerintahkan kepada tuan, kalau memang Kumpeni sungguh-sungguh menyerah, besok pagi semua serdadu disuruh keluar pada pukul tujuh. Semua senjata yang berupa pedang, senapan dibawa serta dengan diikat menjadi satu.”

Kapten Langpel meminta saran Letnan Klas. Yang ditanya menjawab, “Jangan lagi banyak pertimbangan. Kita sudah berniat mengabdi para Sang Raja.”

Kapten segera memberi perintah kepada para serdadu agar mengumpulkan senjata mereka yang berupa pedang, keris dan senapan. Semua senjata dikumpulkan dalam ikatan-ikatan lalu dimasukkan ke dalam peti.

Pada pukul tujuh hari berikutnya mereka keluar dari benteng. Sudah dua puluh lima hari mereka terkepung di dalam. Penyerahan diri Kumpeni di benteng Kartasura terjadi pada hari Rabu Legi. Ki Patih sudah memerintahkan Raden Arya Pringgalaya untuk menerima penyerahan diri pasukan Kumpeni. Raden Arya Pringgalaya kemudian memanggil para serdadu Kumpeni yang menyerah. Jumlah Kumpeni seluruhnya ada dua ratus lima puluh serdadu.

Kapten Langpel sudah bertemu dengan Arya Pringgalaya. Keduanya lalu bersalaman. Tampak raut wajah para serdadu Kumpeni pucat dan kumal. Mereka menyembah meminta belas kasih. Tak lagi berlagak seperti dulu-dulu.

Raden Arya Pringgalaya berkata, “Kalian tunggulah sebentar. Saya akan melapor kepada Ki Patih dan meminta perintah selanjutnya.”

Utusan Arya Pringgalaya kemudian menghadap Patih Natakusuma. Ki Patih memerintahkan agar para Kumpeni diperlakukan seperti tawanan yang menyerah. Mereka dikaryakan sebagai abdi sebagaimana yang berlaku terhadap para tawanan. Kapten Langpel diberikan kepada Arya Pringgalaya. Letnan Pel Klas diberikan kepada Tirtawiguna. Dan sekretaris Kumpeni diberikan kepada Tumenggung Rajaniti. Adapun para serdadu dibagi ke seluruh punggawa.

Kapten Langpel tidak menolak dengan perlakuan yang diterapkan oleh Ki Patih. Walau dibunuh pun mereka takkan melawan. Mereka sudah kalah dan tak merasa lagi memiliki badan sendiri. Seperti itulah yang berlaku jika kalah perang.

Raden Pringgalaya berkata,  “Anda berada di tangan saya sendiri. Bapak Letnan Pel di tempat Tirtawiguna. Sekretaris berada di tangan Paman Rajaniti. Itu perintah Ki Patih. Adapun para serdadu rendahan semua dibagi ke para punggawa yang ada.”

Kapten Langpel memanggil para pembantunya. Semua sudah berkumpul di hadapannya.

Sekretaris Kumpeni berkata, “Saya beritahukan, semua keris para punggawa dan mantri yang tewas di dalam Loji sudah dirawat.”

Raden Pringgalaya berkata, “Kalau demikian saya akan melapor kepada Ki Patih”

Arya Pringgalaya kemudian mengirim utusan untuk melapor kepada Ki Patih. Ki Patih meneruskan laporan ke dalam istana. Tirtawiguna yang berjaga di istana kemudian melaporkan kepada Sang Raja. Sang Raja memerintahkan Ki Arya Madura untuk membawa Sekretaris ke Loji dan mengambil keris para punggawa. Sesampai di Loji Arya Madura memeriksa barangkali Kumpeni memasang jebakan. Namun tidak ditemukan apapun  yang mencurigakan. Arya Madura lalu mengambil keris yang sudah dimasukkan ke dalam peti. Keris dalam peti kemudian dihaturkan kepada Sang Raja. Di Loji kemudian ditempatkan prajurit penjaga.

Tiga hari kemudian Sang Raja turun untuk memeriksa pasukan. Para prajurit Jawa dan Cima berkumpul memenuhi alun-alun. Pakaian para prajurit terlihat asri berwarna-warni laksana hamparan bunga. Sang Raja naik kuda memeriksa Loji. Semua sudut Loji sudah diperiksa. Sang Raja kemudian memerintahkan membongkar barikade yang ada. Juga parit-parit penghalang diperintahkan untuk ditimbun. Sang Raja kemudian pulang ke istana.

Hari berikutnya semua harta benda dari Loji dibawa ke istana. Ada emas, uang, perhiasan dan aneka barang berharga. Empat ratus tujuh belas senapan juga disita. Juga sejumlah meriam dan seratus enam puluh satu tong bubuk mesiu. Harta benda dari Loji kemudian dibagi merata kepada para punggawa. Hanya Raden Patih Natakusuma yang tidak mau menerima harta jarahan dari Loji, juga tidak mau ketempatan serdadu Kumpeni yang menyerah. Semua serdadu Kumpeni lalu diperintahkan untuk disunat. Juga diberi pelajaran agama dan berganti keyakinan.

Lain cerita, tiga anak peninggalan Pangeran Arya Mangkunagara dahulu kini menjadi abdi dalem punakawan, namanya Raden Mas Said, Raden Mas Ambiya dan Raden Mas Sabar. Mereka kini sudah beranjak dewasa dan diberi nama baru. Raden Mas Said diberi nama Raden Suryakusuma. Raden Mas Ambiya diberi nama Raden Martakusuma. Dan, Raden Mas Sabar diberi nama Raden Wiryakusuma. Kepada mereka diberi tanah garapan yang tak seberapa luasnya. Raden Mas Suryakusuma sebagai putra tertua diberi tanah lima puluh karya dan diberi jabatan mantri gandhek anom. Kedua adiknya masing-masing diberi dua puluh lima karya. Dengan tanah garapan yang hanya sedikit tersebut hidup mereka serba kekurangan. Mereka tak dapat makan enak dan memakai pakaian yang bagus. Keadaan mereka jauh tertinggal dari sesama cucu raja yang lain.

Sementara itu di Semarang, Kumendur Natanahil sudah mengirim surat laporan kepada Gubernur Jenderal di Betawi kalau Sang Raja Kartasura berbalik membantu pasukan Cina. Utusan sudah sampai di Betawi dan diterima Gubernur Jenderal. Setelah membaca surat Kumendur Natanahil Gubernur Jenderal mengumpulkan segenap anggota Dewan Hindia. Mereka melakukan rapat kilat dan segera memutuskan akan mengirim bantuan pasukan ke Semarang. Yang ditunjuk berangkat adalah Komisaris Johan Manteling dan seorang komisaris senior, yakni Komisaris Huguperisel. Keduanya berangkat ke Semarang dengan membawa lima ratus serdadu Kumpeni dan sejumlah seribu prajurit Kumpeni Islam dari Ambon, Makasar dan Ternate. Prajurit Kumpeni Islam dipimpin Daeng Mabelah, Daeng Kulalah dan Daeng Usman. Mereka akan berangkat melalui jalan laut.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/11/14/babad-tanah-jawi-150-pasukan-kumpeni-di-kartasura-menyerah-kepada-sang-raja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...