Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (151): Adipati Jayaningrat lengser, digantikan sang menantu Raden Supama

Dari Kartasura datang perintah Ki Patih kepada para punggawa pesisir agar mengepung Loji Semarang. Juga diperintahkan untuk mengepung Loji lain di sepanjang pesisir, Tegal, Batang, Pekalongan, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Pajangkungan dan Juwana. Punggawa Surabaya dibubarkan dan disuruh pulang untuk menggempur Loji Surabaya dan Gresik. Adapun Sidayu sudah berbalik ikut Madura, karena bupati Sidayu Secanagara adalah anak Adipati Madura. Di Semarang setiap hari terjadi jual-beli tembakan antara pasukan Kumpeni dan pasukan Cina-Jawa. Kumpeni sudah kewalahan dan hanya berlindung di dalam Loji.

Di Kartasura, Ki Patih sudah melaporkan keinginan Adipati Jayaningrat untuk pensiun. Yang dimintakan untuk menggantikan kedudukan sebagai bupati Pekalongan adalah sang menantu Raden Sumadiwirya yang tak lain adalah putra Ki Patih Natakusuma sendiri. Sang Raja mengabulkan permintaan Adipati Jayaningrat. Pada kesempatan itu Ki Patih mengusulkan agar Kapten Langpel dan Sekretaris yang sudah menyerah dibunuh saja. Keduanya berpotensi untuk menggalang kekuatan kembali dan melawan Sang Raja kelak. Sang Raja mengabulkan permintaan Ki Patih.

Ki Patih keluar dari istana dan segera melaksanakan perintah Sang Raja. Kapten Langpel dan Sekretaris segera dieksekusi. Hanya Letnan Klas yang dibiarkan hidup. Arya Pringgalaya yang menjadi pelaksana. Kapten Langpel dibunuh di sungai Pepe. Adapun Sekretaris Kumpeni, yang membunuh adalah Rajaniti. Keadaan kedua pembesar Kumpeni itu sungguh mengenaskan.

Sementara itu Kapten Sapanjang dipanggil menghadap oleh Ki Patih. Sapanjang diperintahkan untuk mengerahkan pasukan Cina membantu mengepung Loji Semarang. Tujuh punggawa Kartasura diperintahkan untuk berangkat bersama pasukan Cina. Kapten Sapanjang menyatakan kesanggupan.

Semua bupati Kartasura yang akan berangkat sudah diberi tahu agar menyiapkan pasukan. Pada hari Senin Sang Raja keluar istana untuk melepas pasukan yang akan berangkat. Semua punggawa sudah berjajar menghadap di Pancaniti. Sejumlah seribu lima ratus prajurit sudah berbaris di alun-alun. Sebelum berangkat para punggawa dan komandan pasukan Cina naik ke Sitinggil untuk sungkem kepada Sang Raja.

Para punggawa Jawa yang berangkat adalah Tumenggung Mangkuyuda, Raden Mangkupraja, Tumenggung Mangunnagara, Raden Singaranu, Tumenggung Wiraguna dan Raden Wiryadiningrat serta Raden Mlayakusuma. Raden Wiryadiningrat adalah putra Ki Patih yang menggantikan kedudukan Tumenggung Kartanagara. Selain tujuh punggawa tersebut Sang Raja menyertakan pula Raden Sujanapura sebagai pengawas. Putra Raden Patih yang bernama Raden Mas Supama atau Raden Sumadiwirya juga ikut serta. Dia akan langsung menuju Pekalongan untuk menggantikan sang mertua sebagai Adipati Pekalongan dan juga akan memakai gelar Adipati Jayaningrat. Keberangkatan Raden Sumadiwirya disertai abdi dari Kapatihan bernama Mangunoneng.

Pasukan dari Kartasura segera berangkat. Para punggawa Jawa berada di barisan depan. Kapten Sapanjang dan pasukan Cina berada di belakang. Sesampai di Semarang pasukan Kartasura bergabung dengan pasukan para adipati yang sudah mengepung Loji. Raden Tumenggung Mangkupraja, Raden Arya Mlayakusuma dan Raden Sumadiwirya segera menemui Adipati Jayaningrat. Sang adipati sedang menderita sakit. Setelah duduk nyaman, Raden Mlayakusuma menyampaikan perintah Sang Raja.

Berkata Raden Mlayakusuma, “Hai Paman Adipati, permintaan Anda untuk pensiun sudah diterima oleh Sang Raja. Putra Anda yang akan menggantikan. Ini surat keputusannya.”

Adipati Jayaningrat tertegun, sejenak kemudian berkata, “Benar Raden, saya ini merasa sudah tua. Sudah sering sakit-sakitan.”

Surat keputusan kemudian dibacakan. Sudah sah Raden Sumadiwirya menggantikan kedudukan sang mertua dan diberi gelar Adipati Jayaningrat. Selain jabatan bupati juga mengambil alih tugas yang selama ini diemban sang mertua sebagai panglima bupati pesisir kiri. Raden Sumadiwirya alias Raden Supama alias Adipati Jayaningrat kemudian mengambil alih komando pasukan Pekalongan. Pasukan Pekalongan mempunyai seribu empat ratus prajurit di bawah delapan komandan, sepuluh mantri dan seorang patih bernama Rangga Puspawijaya. Susunan pasukan tetap seperti sediakala. Semua orang Pekalongan sudah tunduk dan patuh kepada adipati baru mereka. Abdi bawaan dari Kartasura si Mangunoneng beserta tujuh puluh prajuritnya sudah diberi tempat dan nama baru Ranggapramana. Patih Pekalongan Ki Rangga Puspawijaya adalah abdi dari Kartasura dahulu, masih saudara sepupu dengan Ki Mantan Adipati.

Pada suatu malam Ki Mantan Adipati memberi nasihat kepada sang menantu. Malam itu yang menemani mereka hanya si Mangunoneng alias Ranggapramana.

Berkata Ki Mantan Adipati, “Duhai anakku, jangan sampai sembrono dalam melaksanakan tugas. Berat peristiwa yang akan menimpa tanah Jawa. Aku sudah mendengar ayahandamu Ki Patih berkata kalau orang Jawa itu suka saling tikung. Anakku, engkau berhati-hatilah. Aku serahkan semua saudaramu, jadilah pelindung bagi mereka. Sudah termaktub dalam kitab dan hadits bahwa takkan ada orang menang perang jika diawali dari menganiaya musuh. Belum ada kesalahan pihak Kumpeni mengapa mereka diperangi. Sedangkan orang Cina dirawat padahal belum mempunyai jasa. Si Cina itu kafir penyembah berhala, sedang Kumpeni itu kafir tapi teman. Belum ada bibit permusuhan tetapi berani memulai perang, sungguh akan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Suci. Ada lagi yang menambah dosa, pembunuhan terhadap pangeran dari Sri Lanka. Mereka belum terbukti bersalah tetapi sudah dihukum mati. Orang Jawa kelak akan kalah karena setiap orang yang berbuat aniaya akan menjadi musuh Tuhan. Kalau sekarang terlihat menang, ini hanya sebentar saja. Kelak ayahandamu aku duga akan celaka. Engkau saja aku harap berhati-hati.”

Ki Mantan Adipati berkata sambil berkaca-kaca. Air matanya hampir tumpah karena sangat bersedih. Ki Mantan merasa kasihan kepada Sang Raja. Sudah sebelas kali Sang Raja menjatuhkan hukuman kepada orang tanpa dosa. Banyak nasihat yang disampaikan Ki Mantan kepada sang menantu. Tak terasa mereka berbincang, waktu sudah larut malam.

Pagi harinya Ki Mantan bersiap pulang ke Pekalongan untuk menjalani masa-masa purna tugas. Ki Adipati Jayaningrat memberikan pengawalan sampai ke Karanganyar, tempat yang akan dipilih untuk menikmati masa pensiun. Namun sepanjang perjalanan Ki Mantan tak henti memikirkan negeri. Rasa-rasanya dia takkan sanggup kalau melihat tanah Jawa rusak kelak. Berat terasa di hati, lebih baik jika tak menyaksikan saja. Pada malam hari Ki Mantan minum racun dan tewas seketika. Adipati Jayaningrat segera diberi tahu. Malam itu juga Adipati Jayaningrat berangkat ke tempat Ki Mantan berpulang. Sesampai di tempat Ki Adipati sangat heran dan menangis. Setelah selesai dirawat jenazah diperintahkan segera dibawa ke Pekalongan untuk dimakamlan. Ki Adipati Jayaningrat kembali ke barisan di Semarang.

Di Semarang, pasukan Kartasura dan pasukan Cina sudah mengepung rapat kota. Kapten Singseh berbaris di Tarbaya bersama Martapura, Sapanjang, Sabukalu. Ki Mangkuyuda memimpin pasukan Jawa bersama Raden Arya Mlayakusuma dan Wiryadiningrat di Pangambengan.

Sementara itu bantuan pasukan Kumpeni dari Betawi sudah mendarat di Semarang. Komisaris Johan Manteling dan Komisaris Huguperisel membawa lima ratus Kumpeni putih dan lima ratus Kumpeni Islam dari Ambon, Bugis dan Makasar. Kumendur Natanahil sangat gembira. Tiga hari kemudian pasukan Kumpeni sudah berani keluar menghadapi musuh. Kumpeni dari Betawi sudah berpengalaman melawan Sapanjang ketika di Betawi. Mereka sudah paham kekuatan lawan. Maka dengan percaya diri mereka berani bertempur habis-habisan. Pasukan Cina dan Jawa menghadapi serangan Kumpeni dengan gigih. Komandan pasukan Cina si Sabukalu dan panglima pasukan Jawa Ki Mangkuyuda menahan serangan Kumpeni dengan mengerahkan meriam dan kalantaka. Banyak serdadu Kumpeni tewas oleh tembakan meriam. Sabukalu segera turun dari kuda bersama prajuritnya dan mengamuk dengan pedang abir[1]. Pasukan Kumpeni hancur berlarian. Mereka tak dapat lari karena mentok sungai. Prajurit Cina terus mengejar. Pasukan Kumpeni dibantai prajurit Cina. Sejumlah sembilan puluh serdadu tewas. Sisanya segera mengungsi ke dalam Loji. Meriam Loji kemudian dinyalakan untuk mengusir pasukan Cina yang masih terus mengejar. Sabukalu terpaksa mundur untuk menghindari jatuhnya korban. Sesampai di pondokannya Sabukalu bersuka-suka semalaman.

Sejak percobaan penyerangan yang berakhir kekalahan bagi Kumpeni, untuk beberapa hari pasukan Kumpeni tak keluar. Satu minggu kemudian mereka mencoba lagi menyerang ke markas Kapten Singseh dan Raden Martapura. Kedua kubu sudah saling menembak. Raden Martapura dan Ngabei Tarbaya memimpin pasukan gabungan Cina-Jawa. Lagi-lagi pasukan Kumpeni terdesak dan lari ke Loji. Banyak dari mereka tertangkap dan tewas. Namun lagi-lagi mereka tertolong oleh meriam di Loji. Pertahanan Loji Semarang sangat kuat. Pasukan Martapura terpaksa mundur. Setelah dua kali melakukan upaya penyerangan yang berakhir dengan kekalahan tampaknya Kumpeni kapok. Mereka kini hanya berdiam di dalam Loji saja.

Sementara itu Martayuda, anak angkat Adipati Semarang Suraadimanggala yang dulu dibuang ke Betawi telah dikembalikan oleh Kumpeni. Martayuda datang ke Semarang bersama lima anak lelakinya. Mereka diberitakan sebagai kerabat Sang Raja yang datang dari pulau Kap. Martayuda ikut berperang di pihak Kumpeni. Kalau keluar ke medan perang memakai payung kuning sehingga membuat prajurit Jawa bingung.

Pada suatu hari, kira-kira pukul empat pagi Kumpeni kembali melakukan percobaan penyerangan. Kali ini yang diserang markas Raden Mlayakusuma di Pangambengan. Saat itu mereka masih tertidur. Pasukan Kumpeni yang datang di pagi buta langsung menembak. Para prajurit gugup dan berlarian. Mereka meninggalkan meriam pemberian Sang Raja. Oleh Kumpeni meriam diambil dan dibawa ke Loji. Meriam itu kini menjadi senjata Kumpeni setiap kali mereka keluar menyerang. Pasukan Jawa dan Cina seringkali terdesak karena mereka kehilangan meriam.

Raden Arya Mlayakusuma dan Raden Wiryadiningrat sepakat untuk melaporkan kehilangan meriam kepada Ki Patih. Mereka juga melaporkan bahwa sekarang pasukan Cina tampak hanya membantu prajurit Jawa. Seperti yang berperang bukan mereka. Utusan sudah berangkat ke Kartasura. Singkat cerita surat sudah diterima Ki Patih. Setelah membaca surat Ki Patih tampak sedikit marah. Segera surat diberi balasan dan disuruh membawa si utusan. Si utusan bergegas kembali ke Semarang. Sesampai di Semaran surat balasan Ki Patih diserahkan kepada Raden Mlayakusuma dan Raden Wiryadiningrat.

Dalam surat Ki Patih menyatakan: “Engkau berdua memberi tahu bahwa meriam pemberian Sang Raja direbut Kumpeni? Segera kalian rebut kembali. Akan menimbulkan kemarahan Sang Raja bila aku laporkan. Maka sebelum Sang Raja tahu meriam harus kalian rebut segera. Siapa yang berhasil merebut akan aku beri hadiah lima ratus riyal. Juga kalian melaporkan kalau orang Cina berperang seperti hanya membantu orang Jawa, ketahuilah, kalian berperang atas perintah Sang Raja. Jangan terlalu melihat orang Cina. Bukan seperti itu orang melaksanakan pekerjaan. Seperti bukan punggawa saja kalian ini.”

Kedua Raden sangat ketakutan. Lalu memberi perintah kepada pasukan untuk menyerang Loji untuk merebut meriam. Raden Sujanapura memimpin pasukan bersama  dua orang kaliwon Raden Wiryadiningrat yang bernama Ngabei Wiradigda dan Ngabei Wreksapraja. Baru mendekati benteng Loji mereka sudah ditembak dengan meriam. Namun pasukan Jawa tak gentar dan terus merangsek benteng. Pasukan Kumpeni tidak keluar menghadang, mereka hanya menembak dari dalam benteng.


[1] Pedang bergagang panjang, senjata orang Cina.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/05/babad-tanah-jawi-151-adipati-jayaningrat-lengser-digantikan-sang-menantu-raden-supama/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...