Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (152): Pasukan Kartasura bertempur melawan pasukan Madura

Bupati Jipang Ki Tumenggung Mataun mengirim utusan ke Kartasura untuk memberi kabar bahwa pasukan Madura sudah menyeberang ke Gresik. Negeri Tuban sudah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Madura. Bupati Tuban Suraadiningrat ditumpas habis pada malam hari. Sebagai bupati pengganti diangkat Dipasana. Pasukan Madura kemudian menggelar barisan di Sidayu. Kiri kanan Sidayu satu persatu ditaklukkan. Kini pasukan Madura sudah bergerak menuju Jipang. Utusan dari Jipang sudah diterima Ki Patih. Surat Tumenggung Mataun sudah dibaca dan diteruskan kepada Sang Raja.

Berkata Sang Raja, “Paman, bagaimana mengatasi keadaan ini?”

Ki Patih berkata, “Benar-benar berat musuh dari timur. Si Madura ini sangat merepotkan. Di Semarang abdi paduka sering menderita kekalahan. Si Cina benar-benar sialan.”

Sang Raja berkata, “Soal musuh dari timur, ulah si Cakraningrat jangan terlalu dipikirkan. Aku bisa menyelesaikan. Engkau pikirkan saja musuh di utara. Berundinglah dengan Tirtawiguna dan Pringgalaya.”

Ki Patih sudah diizinkan keluar istana. Sesampai di rumah Ki Patih memanggil Pringgalaya dan Tirtawiguna. Dua punggawa segera menghadap ke Kapatihan.

Ki Patih berkata, “Kak Tirtawiguna dan Nak Pringgalaya, Sang Raja memberi perintah agar kita memikirkan jalan keluar. Ibarat orang sedang shalat, makmun harus bilang amin. Tapi si Madura ini tak berkata amin. Sekarang dia merepotkan. Bagaimana pendapat kalian?”

Tirtawiguna berkata, “Saya serahkan paduka, saya tak punya saran.”

Arya Pringgalaya pun sama saja. Hanya bisa diam membisu. Ki Patih berkata, “Kalian pulanglah. Tak ada guna berada di sini.”

Keduanya hanya tertegun dan membisu. Lalu mundur dengan sedikit jengkel. Ki Patih pun merasa kaku hatinya kepada mereka berdua. Ki Patih lalu memanggil para bupati mancanagara. Para bupati yang dipanggil segera menghadap ke Kapatihan. Ki Patih memerintahkan Raden Surabrata untuk membantu pasukan Jipang menghadapi serangan pasukan Madura. Ki Surabrata menyatakan kesanggupan. Namun harus pulang dulu ke Ponorogo untuk mengerahkan semua pasukan.

Sementara itu di Jipang,  pasukan Tumenggung Mataun belum semuanya bersiap, tetapi pasukan Madura keburu datang. Pasukan Jipang sepakat untuk menghindar karena merasa takkan mampu melawan pasukan Madura. Mereka kemudian mengungsi ke Blora untuk menata pasukan. Tumenggung Blora diminta untuk mengerahkan pasukan Cina di pesisir timur. Semua sudah datang ke Blora. Pasukan Cina dipimpin para komandan mereka, Cik Mas, Cik Co, Cik Sika dan Cik Putih. Jumlah pasukan bantuan ada sejumlah sembilan ratus prajurit. Dari Blora pasukan Jipang bersiap kembali ke Jipang. Pasukan Jipang sudah masuk ke wilayah Jipang dan bermarkas di luar kota, di desa Pamelaran.

Sementara itu di Jipang, pasukan Madura sudah menduduki kota. Mereka mendengar kalau Tumenggung Mataun mengerahkan bantuan dari Blora. Mereka kini bersiap merebut kota Jipang kembali. Pasukan Madura membuat benteng pertahanan di Jipang. Pasukan Madura dipimpin tiga punggawa mereka, Raden Kartayuda, Lembusegara dan Raden Giri. Semua pasukan bersiap di dalam benteng.

Tumenggung Mataun sudah bergerak ke Pakacangan. Pasukan Cina meminta izin untuk menyerang kota pada malam hari. Mereka meminta seorang mantri sebagai penunjuk jalan. Belum juga terlaksana mendadak datang utusan dari Kartasura. Ki Patih memerintahkan agar Ki Mataun sekalian menyerang Sidayu. Seorang punggawa Kartasura yang berasal dari Sidayu sudah disuruh bergabung ke pasukan Mataun, namanya Ngabei Surawikrama. Kalau Sidayu bisa direbut Surawikrama yang akan diangkat sebagai pejabat pengganti bupati. Tumenggung Mataun juga diperintahkan menaklukkan Tuban dan Lamongan sekalian. Ki Mataun menyatakan kesanggupan. Utusan segera kembali ke Kartasura.

Ki Ngabeli Tohjaya dari Lamongan meminta izin Ki Mataun untuk merebut kembali Lamongan dari tangan pasukan Madura dengan memakai siasat. Ketika diserang pasukan Madura dulu, pasukan Lamongan belum bersiap. Mereka juga menahan anak dan istri Ngabei Tohjaya. Mereka berharap agar Ki Tohjaya mau bergabung. Oleh karena itu Ki Tohjaya bermaksud pura-pura menyerahkan diri ke Lamongan. Ki Mataun mengizinkan. Ngabei Tohjaya segera berangkat.

Di saat yang sama, pasukan Cina dari Blora sudah diberi penunjuk jalan seorang mantri Jipang. Surawikrama, Ngabei Tohjaya dan pasukan Cina kemudian berangkat bersama dari Jipang ke tempat penugasan masing-masing. Sembilan ratus pasukan bantuan dari Blora terdiri pasukan Cina dan para mantri Blora. Mereka sudah bergerak mendekati Jipang. Di tengah jalan pasukan Blora berpisah dengan pasukan Ngabei Tohjaya dan pasukan Surawikrama. Pasukan dari Blora segera mengepung benteng Jipang. Pecah pertempuran sengit antara kedua pasukan. Pasukan Madura sejumlah dua ribu prajurit keluar menghadang. Pasukan Cina diberondong dengan senapan, tapi mereka tak gentar. Dengan senjata pedang abir mereka mengamuk. Pasukan Madura menerjang kepulan asap dan mendesak pasukan Cina-Blora. Pasukan Madura dan Cina sama-sama tangguh. Perang sengit masih terus berlangsung.

Di markas Ki Mataun terdengar suara-suara tembakan dari medan perang. Ki Mataun bermaksud segera berangkat untuk membantu. Di medan perang pasukan Cina kehilangan banyak prajurit. Dari tiga ratus prajurit Cina yang dua ratus sudah tewas. Pasukan Cina-Blora perlahan mundur. Pasukan Madura terus mendesak. Dari belakang datang bantuan pasukan Ki Mataun. Pasukan Madura berhasil didesak mundur. Mereka lalu masuk ke benteng. Pasukan Cina dan Jipang terus merangsek benteng. Pasukan Madura tak mampu menahan serangan. Mereka kemudian meninggalkan benteng dan bermaksud bergabung dengan pasukan Madura di Lamongan.

Sementara itu di Lamongan, Ngabei Tohjaya sudah menyerah dengan membawa senjata yang telah diikat. Mereka sudah diterima oleh pasukan Madura dan dipersilakan masuk. Sesampai di dalam Ngabei Tohjaya dan para kerabatnya menarik keris dan menikam orang Madura di pendapa kabupaten. Tohjaya dan para kerabatnya mengamuk hebat. Orang Madura kewalahan tak mampu menahan. Mereka pun bubar berlarian.

Tak lama kemudian Lamongan kedatangan pasukan Madura yang lari dari Jipang. Mereka sudah sampai di alun-alun. Bermaksud mengungsi di Lamongan mereka malah bertemu dengan Ngabei Tohjaya. Karena sudah kecapaian dikejar pasukan Cina dan Jipang, pasukan Madura kelabakan. Ngabei Tohjaya seolah berburu anak tikus. Pasukan Madura dibantai sampai tumpas. Ki Mataun yang memimpin pasukan Jipang sampai keheranan melihat sepak terjang Ngabei Tohjaya yang cekatan. Pasukan Jipang dan Cina-Blora kemudian bermalam di Lamongan. sedangkan pasukan Madura yang baru saja terusir dari Lamongan berhenti di sebelah barat Giri, di sebuah desa bernama Tumapel.

Sementara itu para punggawa mancanagara di bawah pimpinan Ki Tumenggung Surabrata dari Ponorogo sudah sampai di tanah Surabaya. Mereka berbaris di Janggala. Pasukan dari Madura yang akan menyerang Surabaya menjadi sedikit berpikir akan bahaya. Ki Matahun dari Lamongan juga akan segera menyerang Sidayu. Bersama pasukan Cina Ki Mataun segera berangkat. Pasukan Madura yang berada di Tumapel heboh. Pada malam hari mereka kemudian bergerak membantu ke Sidayu. Mereka sampai di selatan kota dan berbaris di desa Prijagan.

Ki Tumenggung Mataun dan pasukan juga sudah memasuki Sidayu. Hanya dipisahkan sungai antara pasukan Madura yang baru datang dari Tumapel dan pasukan Ki Mataun. Sepanjang hari mereka saling menembak. Pada malam hari pasukan Cina menyelinap dan menyeberang melalui arah hulu sungai. Orang-orang dari Blora, Warung, Sela dan beberapa prajurit Sidayu yang sudah menyerah disuruh menjadi penunjuk jalan. Adapun Ki Mataun tetap berada di tempatnya agar tak musuh tidak waspada. Pasukan Ki Mataun tampak sedang menyiapkan perahu untuk menyeberang. Pasukan Madura tidak tahu kalau pasukan Cina sudah menyerang dari hulu. Tiba-tiba pasukan Cina datang dan menerjang barisan pasukan Madura. Pasukan Madura gugup dan mencoba menahan serangan mendadak itu. Di tengah mereka bertempur pasukan Ki Mataun dengan leluasa menyeberang sungai. Setelah mendarat pasukan Ki Mataun segera menyerang pasukan Madura. Mendapat serangan beruntun pasukan Madura kocar-kacir. Raden Kartayuda bersama lima punggawa lain tewas. Tanpa komandan mereka, prajurit kecil bubar berlarian mengungsi ke dalam kota Sidayu. Pasukan Cina dan Jipang terus mengejar tanpa ampun.

Bupati Sidayu Tumenggung Secadiningrat hendak berperang habis-habisan. Namun sebelum bersiap keburu prajurit Madura yang dikejar pasukan Cina datang menerjang kota tanpa bisa dikendalikan. Kota Sidayu sudah porak-poranda. Pasukan Cina berhasil menduduki Sidayu. Orang-orang yang ditemui dibunuh, para wanitanya dijamah. Tumenggung Mataun dan pasukan Cina kemudian bermarkas di dalam kota Sidayu.

Bupati Dipasana dari Tuban belum mengetahui kalau Sidayu sudah takluk oleh Kartasura. Mereka terlanjur bergerak ke Sidayu untuk memberi bantuan. Pasukan mereka sudah masuk kota. Pasukan Jipang melihat kedatangan pasukan Sidayu, segera diserang dengan kekuatan penuh. Pasukan Tuban kocar-kacir. Banyak prajurit mereka tewas. Arya Dipasana sampai menceburkan diri ke laut, dan lari ke Ujung Pangkah.

Sementara itu Raden Secadiningrat yang lari dari Sidayu tengah berlayar di lautan. Setelah pontang-panting di tengah laut mereka berhasil mendarat di pulau Mangare. Secadiningrat lalu mengirim utusan ke Madura untuk memberi tahu sang ayah bahwa dirinya kalah perang. Ketika mendengar berita anaknya kalah, Pangeran Cakraningrat bangkit amarahnya. Patih Raden Mangundara segera dipanggil.

Pangeran Cakraningrat berseru, “Hai Mangundara, segera engkau bersiap. Si Kacung kalah perang. Bawalah pasukan pengawal ke medan perang.”

Patih Mangundara segera keluar puri dan melaksanakan perintah. Tiga ribu prajurit dibawa serta. Malam hari mereka berangkat berlayar dengan perahu-perahu kecil. Pasukan Madura menyambangi pulau Mangare untuk menjemput Secadiningrat. Pasukan lalu meneruskan perjalanan dan mendarat di Ujung Pangkah.

Ki Tumenggung Mataun sudah diberi laporan oleh bupati Sidayu Surawikrama kalau musuh datang melalu Ujung Pangkah. Mereka datang dengan banyak perahu kecil. Ki Mataun segera mengundang pasukan para bupati mancanagara dan pasukan Cina untuk bersiap. Pasukan mancanagara dibagi tiga bagian. Bagian kanan ditempati Adipati Madiun, bagian kiri ditempati bupati Blora, Warung dan Sela. Adapun bupati Japan bersama Ki Mataun menempati bagian dada. Prajurit Cina ditempatkan di depan bagian dada. Mereka semua sudah bersiap.

Pasukan Madura sudah mendarat penuh. Tak menunggu lama kedua pasukan sudah terlibat pertempuran sengit. Pasukan Ki Mataun menabuh tanda perang. Bende dan beri bersahutan. Dari pasukan Madura terdengar tabuhan carabalen dan galaganjur. Kedua pasukan bersiap perang habis-habisan. Seorang punggawa Madura bernama Lembu Sangara membawa pasukannya mengamuk. Semua yang diterjang bubar berlarian. Mereka tak takut mati, terus menerjang pasukan Cina. Pasukan Cina menahan serangan dengan gigih.

Lembu Sangara berhadapan dengan Cik Rangga Elik. Cik Elik ditombak dadanya, terluka. Sebelum tewas masih sempat membabatkan pedangnya mengenai leher Lembu Sangara. Kedua perwira mati bersamaan. Melihat Cik Elik tewas pasukan Cina gentar. Mereka bubar berlarian tak bersisa.

Ki Tumenggung Mataun masih bertahan bersama pasukan mancanagara. Tujuh ratus prajurit Jipang dikepung oleh ribuan pasukan Madura. Tidak perlu waktu lama, pasukan Jipang bubar berlarian. Mereka terus dikejar tanpa bisa berbalik membalas. Tumenggung Jipang tewas di medan perang. Seorang putranya, Ngabei Kramawijaya dari Japan mengamuk berusaha membalas. Namun amukan Kramawijaya ditahan pasukan Madura. Kramawijaya pun tewas bersama seluruh pasukannya.

Setelah kematian Tumenggun Mataun, pasukan sayap kanan-kiri berusaha membalas. Adipati Madiun sudah bersiap perang habis-habisan. Namun pasukannya merasa ngeri melihat sepak terjang prajurit Madura. Mereka berlari meninggalkan pemimpinnya. Adipati Madiun kehabisan pasukan. Pasukan mancanagara lalu mundur. Mereka berhasil menyelamatkan jenazah Ki Mataun dan Ngabei Japan. Jenazah sudah diserahkan kepada keluarganya.

Sementara itu pasukan Madura yang mengepung Surabaya sudah berhadapan dengan pasukan mancanagara yang dipimpin Ki Surabrata Ponorogo. Berita kematian Tumenggung Jipang sudah sampai ke telinga Ki Surabrata. Hati Ki Surabrata ciut. Bersama para bupati mancanagara yang menyertainya Ki Surabrata sepakat untuk mundur ke Ponorogo. Mereka meninggalkan pasukan Surabaya sendirian melawan pasukan Madura yang bersekutu dengan Kumpeni Surabaya.

Setelah Tumenggung Jipang tewas, Secadiningrat kembali menguasai Sidayu. Arya Dipasana juga berhasil menduduki Tuban kembali. Lamongan dan Gresik juga berhasil mereka rebut. Raden Mangundara kemudian mengerahkan pasukannya membantu menyerang Surabaya.

Kota Surabaya geger. Para punggawa bersiap menghadapi serangan pasukan Madura. Patih Sawunggaling memimpin pasukan Surabaya keluar kota. Sawunggaling adalah perwira muda yang pemberani. Setiap hari terjadi kontak senjata antara pasukan Surabaya dan Madura. Sepak terjang pasukan Sawunggaling ganas seperti banteng terluka. Pasukan Madura terdesak dan banyak yang tewas. Mereka kemudian mengungsi ke dalam Loji Kumpeni sambil menunggu bantuan datang.

Sementara itu di Warung, Raden Martapura dan seorang putra Ki Mataun yang bernama Raden Kartasari sepakat mengirim utusan ke Kartasura untuk memberi tahu tewasnya Tumenggung Jipang dan seorang putranya. Utusan sudah berangkat dan menghadap Ki Patih. Raden Patih Natakusuma sangat keheranan mendengar berita yang tak terduga ini. Ki Patih segera menghadap Sang Raja untuk melaporkan peristiwa ini.

Berkata Ki Patih, “Hamba beritahukan, abdi paduka si Mataun dari Jipang dan seorang anaknya telah tewas di medan perang. Pasukan Jipang banyak yang gugur. Juga para prajurit Cina. Orang Madura sangat tangguh dalam perang. Sidayu sudah berhasil direbut kembali. Abdi paduka dari mancanagara sudah lari ke Majaranu. Pasukan Madura terus menjarah wilayah timur.”

Sang Raja sangat heran, lalu bersabda, “Bagaimana sekarang, si Madura ini merepotkan.”

Ki Patih berkata, “Hamba berserah kepada paduka.”

Sang Raja berkata, “Paman aku ingin engkau sendiri yang maju ke medan perang di Semarang. Kalau tak demikian prajurit kita takkan mampu bekerja dengan baik. Juga perintahkan agar pasukan Cina segera menyerang Loji Semarang. Kalau engkau sendiri yang memimpin pasti mereka lebih berani. Adapun musuh di wilayah timur, aku serahkan kepada Pringgalaya untuk mengatasi. Bawalah pasukan mancanagara untuk merebut kembali negeri Jipang. Aku sertakan Dinda Pangeran Dipanagara dan Dinda Pangeran Mangkubumi, juga Dinda Pangeran Rangga. Agar para prajurit bersemangat.”

Ki Patih menyembah, “Benar kehendak paduka.”

Segera dipanggil semua punggawa yang akan berangkat. Arya Pringgalaya dan para kerabat sudah datang menghadap. Pangeran Ngabei dan Pangeran Buminata sebagai wadana kanan dan kiri sudah hadir. Di hadapan Sang Raja semua menyembah dan bersiap sedia menjalankan perintah.

Sang Raja berkata, “Hai Kanda Pangeran Ngabei, aku perintahkan kepada Arya Pringgalaya untuk memimpin pasukan mancanagara bersama Dinda Dipanagara dan Dinda Mangkubumi, serta Dinda Rangga. Ketiga pangeran aku suruh berangkat agar mengetahui derita para prajurit. Dan Paman Natakusuma, aku perintahkan memimpin pasukan Cina dan Jawa untuk menyerang Loji Semarang. Adapun yang berjaga di Kartasura, Anda sendiri sebagai wadana bersama para adik.”

Pangeran Ngabei berkata, “Sudah benar perintah paduka. Kalau tidak demikian perang ini tidak akan segera berakhir. Negeri menjadi kacau dan para kawula menderita.”

Sang Raja berkata kepada Pringgalaya, “Engkau aku tugaskan memimpin pasukan mancanagara. Adapun adik-adikku bawalah sebagai jimat keberuntungan kalian.”

Arya Pringgalaya menyembah dan meminta doa restu kepada Sang Raja.

Sang Raja berkata kepada para adik, “Pangeran Dipanagara, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Rangga, kalian berhati-hatilah. Jangan seperti anak kecil. Sungguh sulit keadaan di medan perang.”

Semua adik sudah diberi bekal, uang dan pakaian bekas Sang Raja berupa kain jarit masing-masing satu lembar. Para prajurit juga sudah diberi pakaian dan uang sejumlah lima ratus riyal untuk dibagi rata.

Sang Raja berkata kepada Ki Patih, “Paman, engkau berangkatlah besok pagi dari alun-alun. Aku ingin melihat pasukanku berangkat.”

Semua punggawa sudah diizinkan keluar istana. Ki Patih dan Raden Pringgalaya sudah diberi bekal uang untuk memberi hadiah kepada prajurit yang sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas. Pagi harinya pasukan Kartasura sudah bersiap di alun-alun. 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/07/babad-tanah-jawi-152-pasukan-kartasura-bertempur-dengan-pasukan-madura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...