Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (154): Patih Natakusuma memimpin pasukan Kartasura menyerang Kumpeni di Samarang

Sementara itu di Kartasura, Ki Patih sudah menyiapkan pasukan yang akan dibawa ke Semarang. Pasukan sudah berjajar di alun-alun dengan pakaian yang berwarna-warni. Sebagai panglima garis depan ditunjuk mantri dari Prembun Ki Surayuda, Ki Surabangsa dari Bubutan dan Ki Nilasaraba dan Rendhetan. Lalu di belakang pasukan garis depan, menyambung pasukan Ki Ngabei Surajaya. Kemudian disusul pasukan dalam dari kesatuan Jayamenggala, Tanpagembung, Jayantaka, Narantaka, Secanirbaya, Jayaparusa, Jayenglatri, Jayengastra, Kapetengan dan Nirmala. Para Magersari mengelilingi Ki Patih dengan peralatan upacara. Barisan para prajurit Kartasura berjajar mulai dari alun-alun sampai ke Geladak. Ki Patih sudah bersiap di Panangkilan.

Sementara itu pasukan Tumenggung Rajaniti datang dengan pasukan berkuda dua ribu prajurit dan pasukan darat tak terhitung banyaknya. Sang Raja sudah turun ke Panangkilan untuk melepas keberangkatan pasukan ke medan perang.

Berkata Sang Raja kepada Ki Patih, “Paman, Si Arya Madura aku tunjuk untuk memimpin pasukan Tegal dengan membawa prajurit Jagasura semuanya. Bawalah dia bersamamu sekalian.”

Ki Patih menyembah, “Siap paduka.”

Sang Raja berkata, “Segera berangkatkan pasukanmu, Paman. Aku ingin melihat mereka berangkat.”

Ki Patih menyembah dan memberi aba-aba berangkat. Suara pasukan bergemuruh. Sepanjang jalan mereka membaca shalawat. Di sepanjang perjalanan mereka tak boleh bercampur, harus berbaris di kesatuan masing-masing. Ki Patih berpamitan dan menyentuh kaki Sang Raja. Demikian pula Tumenggung Rajaniti. Kedua punggawa kemudian lengser dari hadapan Sang Raja dan memimpin pasukan Kartasura. Pasukan Kartasura jumlahnya banyak sekali, para haji dan ulama pun turut berangkat menyertai. Sudah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, karena jumlahnya yang banyak tersebut mereka takabur. Merasa sudah yakin akan menang.

Singkat cerita, pasukan Kartasura sudah sampai di Ungaran. Pasukan Kartasura bermarkas selama lima malam. Raden Patih Natakusuma memanggil seorang haji dari Mataram. Setelah Ki Haji datang Ki Patih mengutarakan kegalauan hatinya.

Berkata Ki Patih, “Kanda Haji, saya bermimpi. Semua orang Cina saya lihat menjadi perempuan. Apa arti mimpi itu?”

Berkata Haji Mataram, “Watak dari perempuan itu selamat, artinya Anda akan selamat.”

Raden Patih merasa tenang hatinya. Namun Tuan Sayid Mahbud kemudian juga mengutarakan mimpinya kepada Ki Patih.

Berkata Tuan Sayid Mahbud, “Saya juga mimpi tadi malam. Terlihat ada api. Anda bapak Patih dan saya, dikejar api itu. Setiap kita pergi si api mengejar. Pedang saya sampai jatuh. Lalu keris saya pemberian Anda ini juga jatuh. Lalu semua kelihatan menjadi api.”

Tergetar hati Ki Patih mendengar mimpi Tuan Sayid Mahbud. Ki Patih lalu berkata, “Sebaiknya mimpi tuan ini jangan dikatakan kepada siapapun.”

Sementara itu pasukan Arya Pringgalaya sudah bersiap berangkat bersama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipanagara dan Pangeran Rangga. Mereka sudah bersiap di alun-alun dengan sejumlah kesatuan prajurit. Tampak pakaian mereka warna-warni seperti gunung terbakar. Pasukan pimpinan Pringgalaya segera berangkat menuju wilayah timur. Setelah tujuh hari perjalanan mereka sampai di Jipang.

Pasukan Madura sudah mendengar kalau pasukan Kartasura mendatangi mereka. Jumlah pasukan yang datang tak terhitung. Pemimpin pasukan adalah Arya Pringgalaya dengan didampingi tiga pangeran adik Sang Raja. Pasukan Madura merasa bahwa musuh mereka terlalu berat dilawan. Mereka pun mundur ke Sidayu. Pasukan Kartasura leluasa memasuki kota Jipang tanpa perlawanan.

Arya Pringgalaya kemudian mengangkat anak dari Ki Mataun sebagai pejabat di Jipang. Adapun di Lamongan yang juga sudah ditinggalkan pasukan Madura, ditunjuk Ngabei Tohjaya untuk kembali menjabat bupati. Suasana di mancanagara sudah tenang untuk sementara waktu.

Pangeran Mangkubumi berkata kepada Pringgalaya, “Bagaimana Kanda, kita lanjutkan menyerang ke Sidayu? Di sana tempat musuh berada. Mari kita serang. Namanya berperang itu pasti menuju ke tempat musuh berada.”

Arya Pringgalaya berkata, “Besok saja Pangeran. Bersabarlah. Kita laporkan dulu kepada kakak paduka Sang Raja. Barangkali itu tidak dikehendakinya. Karena dulu hanya menyebut negeri Jipang. Kalau sudah ada perintah, kita baru ke Sidayu. Kita di sini hanya sekedar menjalankan perintah Sang Raja. Kalau sampai mendahului saya takut mendapat marah kakak paduka.”

Sementara itu pasukan Ki Patih yang menuju Semarang sudah bergerak dari Ungaran. Tidak lama mereka sudah sampai di Paterongan. Di Paterongan mereka bermarkas dan menata pasukan. Ki Rajaniti menempatkan pasukannya di gunung. Pasukan dari pesisir banyak yang datang menghadap Ki Patih. Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang juga turut menghadap.

Ki Patih berkata, “Besok ganggulah pasukan Kumpeni agar mereka terpancing keluar benteng. Kalian bersoraklah agar mereka panas hati. Lalu kalian bertahanlah jangan ada yang mundur bila diserang.”

Pagi hari berkutnya, para bupati Kartasura menjalankan perintah Ki Patih. Mereka mengerahkan pasukan Jawa dan Cina untuk menggempur benteng. Pasukan Kumpeni bersiap keluar menghadapi. Ngabei Trabaya menerjang beserta pasukannya. Kedua pasukan saling tembak dengan sengit. Pasukan Cina di bawah pimpinan Raden Martapura memberi bantuan Ngabei Trabaya. Dengan pedang mereka mengamuk menerjang pasukan Kumpeni. Seharian mereka berperang sampai malam tiba. Dalam percobaan serangan ke benteng pada hari itu banyak serdadu Kumpeni berhasil dibunuh.

Malam harinya para bupati menghadap Ki Patih untuk melaporkan jalannya perang. Ki Patih merasa bersukacita karena tampaknya akan segera meraih kemenangan. Ki Patih memerintahkan agar kepala serdadu yang tewas dipanjar di luar benteng. Ki Patih lalu mengambil uang empat ratus riyal dan memberikan kepada Raden Martapura.

Ki Patih berkata, “Raden, uang dari Sang Raja ini bagikan kepada prajurit yang telah bertempur hari ini.”

Raden Martapura menyatakan kesiapan. Ki Patih lalu mengambil lagi uang tiga ratus riyal dan memberikan kepada Ngabei Trabaya.

Berkata Ki Patih, “Ini terimalah, hadiah dari Sang Raja.”

Ngabei Trabaya menerima dan menyatakan kesiapan.

Ki Patih berkata, “Bagilah uang itu kepada prajurit yang telah berjasa pada perang hari ini. Kalau negeri kita terjaga sampai anak-cucumu nanti akan ikut hidup mulia. Dan kalian hendaknya punya kesadaran bahwa apa yang kalian makan dan pakai adalah berkah dari Sang Raja.”

Ngabei Trabaya berkata sambil meneteskan air mata, “Abdi paduka tak punya hidup, semua milik Sang Raja. Terhadap semua kasih sayang yang kami terima, kami takkan sanggup membalasnya.”

Kedua punggawa telah diizinkan keluar dari pondokan Ki Patih. Tiga hari kemudian pasukan Kumpeni terlihat bergerak ke barat. Yang dituju adalah markas Sabukalu. Tak lama kemudian terjadi pertempuran sengit. Tumenggung Mangkuyuda dan Tumenggung Wiraguna menolong pasukan Sabukalu. Sabukalu memberikan perlawanan dengan gigih. Pasukan Kumpeni pun tangguh dan tak mau mundur. Kedua pasukan sudah banyak kehilangan prajurit. Sabukalu mengamuk makin garang. Akhirnya pasukan Kumpeni berhasil didesak mundur. Sambil mundur pasukan Kumpeni terus menembak. Sabukali terkena tembakan di pinggang dan pelurunya bersarang di badan. Pasukan Cina membawanya mundur ke pondokan.

Ki Patih segera diberi tahu kalau Sabukalu terluka. Ki Patih lalu mengirim uang dua ratus riyal dan tabib untuk memeriksa. Setelah memeriksa utusan kembali melapor kepada Ki Patih keadaan Sabukalu yang luka cukup parah. Punggawa Kartasura bersedih karena diantara perwira Cina tidak ada yang keberaniannya seperti Sabukalu. Malam itu rupaya perang belum berakhir. Markas pasukan Sabukalu dan pasukan Jawa yang berdekatan, yakni markas Ki Mangkuyuda dan Ki Wiraguna dihujani tembakan. Kumpeni malam itu menyerang dengan senapan dan meriam. Pasukan Cina dan Jawa membalas dengan tembakan pula. Semalaman mereka saling tembak.

Pukul lima pagi Ki Patih keluar ke pelataran pondok. Ki Patih mendengar suara-suara tembakan. Ki Patih lalu memanggil seorang lurah prajurit Jayantaka.

Ki Patih bertanya, “Semalaman terdengar suara tembakan, dari mana asalnya? Mengapa tidak ada yang melapor kepadaku? Periksalah segera!”

Ki Surajaya segera melesat ke arah suara tembakan. Setelah mengetahui letak tembakan Ki Surajaya mengirim utusan untuk melapor kepada Ki Patih.

Berkata Ki Surajaya kepada utusan, “Katakan kepada Ki Patih, suara tembakan dari pondokan Mangkuyuda dan Wiraguna.”

Si utusan bergegas ke pondokan Ki Patih dan melaporkan apa yang terjadi.

Ki Patih berkata, “Undanglah teman-temanmu segera. Ayo berangkat duluan bersamaku.”

Ki Patih keluar bersama empat prajurit dengan busana perang. Ki Patih lalu berdiri di bawah pohon asem dan memerintahkan kepada prajurit untuk menabuh bendhe. Suara bende mengema ke angkasa, membuat para prajurit gugup. Dengan terburu-buru mereka menyiapkan diri.

Matahari sudah terbit, belum lagi pasukan Kartasura bersiap dari arah benteng pasukan Kumpeni telah keluar. Di arah barat masih terdengar suara tembakan. Namun pasukan Kumpeni yang baru saja keluar benteng malah menuju ke timur, ke arah markas Kapten Singseh, Raden Martapura dan Ngabei Trabaya. Kedua pasukan pun segera terlibat pertempuran sengit. Raden Martapura memimpin pasukan Cina. Bersama Ngabei Trabaya kedua punggawa Kartasura itu mengamuk seperti banteng terluka.

Pasukan Kumpeni tangguh dan terus menembak. Dari arah belakang pasukan Kumpeni terus berdatangan prajurit Bugis-Ambon-Makasar. Pasukan Kumpeni berhasil mendesak pasukan Cina. Banyak prajurit Cina tewas. Perlahan pasukan Cina pimpinan Martapura mundur. Ngabei Trabaya masih melakukan perlawanan dengan gigih. Banyak serdadu Kumpeni berhasil ditewaskan. Namun karena kalah jumlah akhirnya Ngabei Trabaya mundur.

Pasukan Kumpeni terus merangsek. Sasaran berikutnya adalan benteng pasukan Demak yang dipimpin Tumenggung Wirasastra. Markas pasukan Wirasastra dihujani tembakan bertubi-tubi. Tumenggung Wirasastra kewalahan dan meninggalkan benteng. Oleh Kumpeni benteng Wirasastra dibakar.

Pasukan Kumpeni tak berhenti. Setelah berhasil memporak-porandakan markas pasukan Demak mereka bergerak ke barat menuju markas Raden Mlayakusuma. Ki Mlayakusuma mempunyai meriam pinjaman Sang Raja bernama Kyai Sisik. Mlayakusuma segera memerintahkan prajurit Sarageni untuk menyalakan meriam. Ketika menyalakan meriam tiga prajurit Sarageni terlempar keluar benteng. Pasukan Kumpeni memanfaatkan kerepotan mereka. Dengan cepat pasukan Kumpeni menerjang. Meriam belum sempat menyalak, pasuka Kumpeni sudah mengobrak-abrik markas Mlayakusuma. Prajurit Mlayakusuman banyak yang tewas. Demang Sawakul ditemukan telah tewas. Raden Sutasantana juga terluka. Raden Mlayakusuma ciut hatinya, segera lari meninggalkan markas. Oleh pasukan Kumpeni markas Mlayakusuman pun dibakar habis.

Sementara itu Ki Patih yang melihat musuh datang segera menyuruh tukang kuda untuk mengambil kudanya. Ki Reksapada bergegas mengambil kuda bernama si Kidung. Si Kidung ini adalah kuda Ki Patih yang diharapkan tangguh di medan perang. Ki Patih berangkat bersama kesatuan prajurit Jayamenggala, Jayenglatri, Secanirmala, Jayaparusa, Tanpagembung dan Tanparaga. Berbagai kesatuan prajurit tadi ditempatkan di depan. Adapun Ki patih berada di belakang dengan pengawalan para prajurit Jayengastra, Jayantaka, Narantama, Nirmala dan Kapetengan.

Di tempat lain, pasukan Kumpeni yang telah berhasil membumihanguskan pondokan Raden Mlayakusuma terus bergerak maju. Pasukan Kumpeni terus mengejar pasukan Raden Mlayakusuma yang lari menuju pondokan Ki Patih. Baru saja Ki Patih bersiap maju dari depan telah datang pasukan Mlayakusuma yang lari dikejar Kumpeni. Keadaan menjadi carut-marut tak karuan. Kuda si Kidung mogok. Berungkali Ki Patih mencambuk, si kuda bergeming. Ki Patih turun dari kuda dan memukulnya dengan gagang tombak. Namun si kuda tak bergerak.

Ki Patih marah-marah, “Kuda keparat! Tak bisa diandalkan. Pulangkan kuda ini. Ambil si Rondhon.”

Ki Reksapada segera menuntun kuda si Kidung ke pondokan untuk menukarnya dengan si Rondhon. Sementara itu pasukan Ki Patih yang berada di depan tak tahu kalau tuan mereka berhenti menunggu kuda pengganti. Karena tak kunjung mendapat komando barisan depan menjadi kacau.

Ki Patih sudah mendapat kuda pengganti. Segera Ki Patih naik si Rondhon dan mencambuknya. Si Rondhon melesat mengejar rombongan. Namun sebelum pasukan depan terkejar pasukan Kumpeni sudah menghadang. Hanya bersama prajurit Jayengastra, Narantaka dan Jayantaka, Ki Patih menerjang pasukan Kumpeni. Karena kalah jumlah pasukan Ki Patih terdesak. Ki Patih memaksa pasukannya untuk terus bertahan. Pasukan Ki Patih semakin berkurang karena tewas dan lari. Ki Patih tinggal dikawal oleh dua puluh prajurit saja. Salah satunya Ki Martayuda.

Seorang lurah prajurit Jayantaka bernama si Tirta mendekati pohon pandan agar tak terlihat musuh. Tak disangka di balik pohon pandan muncul seorang serdadu Kumpeni. Si Kumpeni berhasil membidik si Tirta di bagian pelipis. Si Tirta tewas seketika. Prajurit Nirmala bernama Baud hendak menolong bersama seorang temannya. Lagi-lagi serdadu Kumpeni berhasil membidiknya. Keduanya tewas di tempat.

Melihat tiga prajuritnya tewas Ki Patih sangat marah. Pasukannya disuruh terus maju. Serdadu Kumpeni begitu melihat Ki Patih langsung mengobral tembakan. Payung Ki Patih patah terkena peluru. Kuda Ki Patih si Rondhon pun terkena terjangan peluru Kumpeni. Namun Ki Patih selamat atas kehendak Tuhan. Ki Patih tak mau mundur. Salah seorang putra Ki Patih yang bernama Sutawijaya berusaha memanggil agar ayahnya tak terus maju. Namun Ki Patih tak peduli. Sekali lagi Ki Sutawijaya memanggil sambil menangis.

Berkata Ki Sutawijaya, “Ayo mundur Kyai. Pasukan paduka sudah hancur. Kita berlindung dulu, besok kita maju lagi.”

Ki Patih tetap nekad ke depan, sang putra kembali memanggil.

“Kuda paduka si Rondhon sudah terluka Kyai,” teriak Sutawijaya.

Ki Patih milihat si kuda, terlihat olehnya si Rondhon sudah berlumur darah. Pinggang kirinya tertembus peluru. Ki Patih kaget dan segera mundur.

“Ayo Martayuda, kita mundur dulu. Aku akan ganti kuda. Nanti kita maju lagi.”

Pasukan Ki Patih yang tersisa segera mundur. Serdadu Kumpeni tak mengejar. Ki Patih dan beberapa prajurit berhenti di bawah pohon asem. Ki Patih turun dari kuda si Rondhon. Kuda kemudian dibawa ke pondokan. Sesampai di kandang segera dilucuti pelananya. Tak lama si kuda terlihat lemas dan jatuh, lalu tewas. Ki Patih yang mendapat laporan kematian si Rondhon hanya tertegun.

Tidak lama kemudian Sayid Mahbub menyusul ke medan perang dan bertemu Ki Patih. Sayid Mahbub bermaksud maju menerjang musuh, tetapi Ki Patih mencegahnya.

“Sabar dulu, kita kumpulkan pasukan yang tercecer,” kata Ki Patih.

 Sementara itu pasukan Kumpeni berbaris di depan benteng. Mereka tak bergerak sama sekali dan hanya berjaga kalau-kalau pasukan Jawa menerjang. Dari pukul satu mereka terus berjaga. Ketika waktu ashar tiba mereka masuk ke benteng. Pasukan Ki Patih pun mundur dan tak kembali lagi ke pondokan lama yang sudah dibakar Kumpeni.

Sampai lima hari berikutnya tidak terjadi pertempuran. Karena markasnya hancur Kapten Singseh menghadap Ki Patih untuk meminta perintah di mana akan membuat benteng pertahanan. Seketika Ki Patih ingat mimpinya kemarin, yang melihat pasukan Cina seluruhnya menjadi perempuan. Ki Patih kemudian menyuruh Kapten Singseh agar bergabung ke markas Kapten Sapanjang.

Ki Patih lalu mengirim surat kepada Sang Raja untuk melaporkan bahwa pasukan Kartasura tidak kalah tetapi juga belum menang. Posisi kedua kubu masih berimbang. Utusan segera berangkat ke Kartasura. Sesampai di Kartasura surat segera dihaturkan kepada Sang Raja. Ketika membaca surat Ki Patih Sang Raja merasa heran karena Ki Patih sampai kehabisan prajurit sehingga sampai turun sendiri ke medan perang.

Sang Raja berkata, “Si Paman membahayakan. Belum berapa lama berperang kok sudah kehabisan pasukan. Mana ada panglima besar sampai turun berperang. Bagaima kelak jadinya.”

Tirtawiguna berkata, “Benar, abdi paduka si Natakusuma kalau bertindak seperti itu akan membuat malu. Dia berada di medan perang sebagai wakil paduka. Akan sangat memalukan kalau sampai terlihat di medan perang.”

Sang Raja berkata, “Tir, engkau keluarlah sana. Katakan kepada si utusan agar Paman Patih tidak melakukan itu lagi. Jangan sampai maju berperang kalau pasukan belum siap.”

Tirtawiguna segera keluar dan menemui utusan Ki Patih Natakusuma. Ki Patih memberi pesan kepada utusan agar mengatakan apa yang telah Sang Raja perintahkan.

Berkata Tirtawiguna, “Katakan perintah Sang Raja tadi. Aku tidak mau membalas surat Ki Patih karena Sang Raja tidak berkenan. Saya takut melampaui wewenang.”

Si utusan segera kembali ke Semarang. Keesokan harinya si utusan menghadap Ki Patih. Semua yang didengar sudah dilaporkan.

Si utusan berkata, “Di Kartasura semua orang susah, Raden.”

Ki Patih bertanya, “Apa yang membuat susah?”

Si utusan berkata, “Beritanya paduka ikut perang dan kehabisan pasukan. Maka ketika surat Anda datang Sang Raja langsung mengumumkan agar para kawula tenang hatinya.”

Ki Patih tersenyum.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/11/babad-tanah-jawi-154-patih-natakusuma-menjadi-panglima-pasukan-kartasura-yang-menyerang-negeri-samarang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...