Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (155): Sang Raja Pakubuwana berdamai lagi dengan Kumpeni

 Suasana medan perang di Semarang untuk beberapa saat terlihat tenang. Kedua pasukan hanya berhadap-hadapan tanpa ada yang berani mencoba menyerang lawan.

Sementara itu di kubu pasukan Kumpeni terjadi perbincangan di antara dua komisaris dan Kumendur Natanahil. Mereka membicarakan langkah selanjutnya setelah mendapat surat dari Betawi yang datang bersama dua gandek Sang Raja. Tiga pembesar Kumpeni sepakat untuk memulangkan gandek ke Kartasura dan disertai surat untuk Sang Raja. Mereka kemudian meminta seorang prajurit Makasar kepada Daeng Mabelah. Si prajurit ditugaskan membawa kedua gandek ke pondokan Tumenggung Demak Ki Wirasastra. Tiga orang kemudian berangkat pada malam hari menemui Ki Wirasastra. Surat dari Kumendur sudah diterima Ki Wirasatra dan dibaca dengan seksama. Sangat menyesal Ki Wirasastra ketika mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi. Dua gandek kemudian dikirim ke Kartasura bersama surat dari Kumendur Semarang.

Singkat cerita kedua gandek telah sampai di Kartasura. Kedua gandek dan utusan dari Semarang diterima oleh Ki Tirtawiguna. Oleh Tirtawiguna surat dari Kumendur segera dihaturkan kepada Sang Raja. Surat segera dibaca oleh Sang Raja dengan seksama.

Isi surat dari Kumendur: “Salam dari saya Kumendur dan Komisari. Abdi paduka dua gandek yang ditangkap Pangeran Madura saya kembalikan. Semua yang saya katakan dalam surat ini sudah sesuai dengan perintah Eyang paduka Tuan Gubernur Jenderal di Betawi. Saya diperintahkan untuk menjaga paduka Sang Raja. Tuan Gubernur Jenderal sangat bersedih ketika mendengar paduka telah melawan Kumpeni. Bukan karena Kumpeni takut perang, tetapi bila sampai perselisihan ini berkepanjangan, tak urung akan merusak tanah Jawa. Kalau benar terjadi demikian, siapa yang rugi? Kumpeni berada di tanah Jawa ini sungguh karena belas kasih para raja-raja yang terdahulu. Siang malam Kumpeni hanya ingin mengabdi. Sungguh Kumpeni tak ingin mengganggu para raja di tanah Jawa. Yang diinginkan Kumpeni hanya agar tanah Jawa sejahtera.”

Belum selesai membaca surat Sang Raja berhenti dan tertegun. Sampai beberapa lama Sang Raja tak mampu berkata-kata. Tirtawiguna kemudian disuruh keluar. Besok pagi disuruh kembali menghadap. Dua gandek diperintahkan untuk dibawa ke rumah mereka.

Sementara itu di Semarang, Raden Patih Natakusuma memanggil Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang. Kedua panglima pasukan Cina segera menghadap.

Ki Patih berkata, “Mengapa kalian lama tidak menghadap kepadaku. Janganlah kalian bersedih. Sudah jamak kalau orang berperang itu bisa menang atau kalah. Itu sudah kehendak Tuhan. Jangan kalian lalu berkecil hati.”

Singseh dan Sapanjang berkata, “Bagaimana kami tidak berkecil hati. Teman-teman pasukan Jawa tidak kompak sebagai teman. Mereka malah memusuhi dalam batin. Kalau tidak demikian mustahil pasukan Cina bisa diusir dari benteng.”

Ki Patih berkata, “Siapa yang berwatak seperti itu?”

Singseh-Sapanjang berkata, “Kami tak mau menunjuk. Mustahil paduka tak melihat. Orang Cina banyak melihat mereka mengirim tombak ke Loji. Itulah sebab kami hancur karena mereka memberi pintu kepada musuh.”

Raden Patih Natakusuma berkata, “Ya sudah, aku sudah tahu yang kau maksud. Baiklah, aku besok akan mengirim surat kepada Sang Raja untuk meminta perintah selanjutnya.”

Kapten Sapanjang dan Kapten Singseh mohon pamit kembali ke pondokannya. Ki Patih memberi uang koin masing-masing seratus lima puluh riyal. Keduanya sangat bersukacita. Sepulang kedua pembesar pasukan Cina Ki Patih menulis surat yang akan dikirim kepada Sang Raja di Kartasura. Singkat cerita, surat sudah dikirim dan diterima oleh Tirtawiguna. Tirtawiguna kemudian membuka surat dan membacanya. Isi surat menyatakan Ki Patih berserah hidup dan mati. Ki Patih juga bertanya apakah peristiwa ini akan dicukupkan sekian atau diperpanjang. Ki Tirtawiguna kaget. Segera bergegas Ki Tirawiguna ke istana. Surat dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja kemudian membaca surat tersebut. Setelah membaca surat Sang Raja tak mampu bicara untuk beberapa saat.

Setelah reda Sang Raja bertanya, “Bagaimana pendapatmu Tir?”

Tirtawiguna berkata, “Saya berserah pada kehendak paduka.”

Sang Raja berkata lagi, “Jangan ragu-ragu, katakan saja.”

Tirtawiguna menyembah dan berkata pelan, “Kalau menurut pendapat hamba, abdi paduka Paman Patih dengan semua sarannya yang dulu, sebaiknya diandalkan dalam tugasnya.”

Sang Raja berkata, “Segera keluarlah. Katakan kepada utusan Paman Patih, agar Paman lebih menjaga para prajurit. Besok pagi engkau menghadaplah ke sini.”

Ki Tirtawiguna menghaturkan sembah dan keluar dari istana. Sesampai di luar segera menemui utusan dari Semarang. Kepada utusan hanya diberi pesan-pesan sesuai perintah Sang Raja. Surat tidak diberi balasan. Si utusan segera kembali ke Semarang. Sesampai di Semarang semua yang terjadi telah dilaporkan kepada Ki Patih. Patih Natakusuma sangat bersedih karena suratnya tidak mendapat balasan.

Sementara itu Ki Tirtawiguna sudah menghadap kepada Kangjeng Ratu Ibu. Semua permasalahan sudah diceritakan kepada Ratu Ibu. Tirtawiguna barharap Ratu Ibu menyampaikan kepada Sang Raja karena Tirtawiguna takut jika mengatakan sendiri. Keesokan harinya Tirtawiguna kembali menghadap kepada Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Bagaimana dengan semua yang terjadi ini Tir. Mengapa seperti kain sobek atau gerabah yang pecah. Apa bisa keadaan dipulihkan. Pikirkan Tir.”

Tirtawiguna menyembah, “Menurut hamba, tidak akan bisa pulih, kecuali kalau paduka mau menghapus kesalahan.”

Sang Raja tersenyum, “Kalau begitu berilah balasan untuk surat Kumendur yang  dibawa oleh dua gandek dahulu. Katakan sebab keberanian para punggawaku karena tingkah si Kapten Pel yang angkuh dan melanggar adat terdahulu. Juga akibat bujukan orang Cina yang dianiaya oleh Kumpeni.”

Ki Tirtawiguna menyembah dan keluar dari istana. Setelah pulang Tirtawiguna menulis surat dan segera diberikan kepada gandek. Gandek diperintahkan untuk menuju markas Ki Wirasastra dengan cara sembunyi-sembunyi. Jangan sampai ada yang melihat. Gandek segera berangkat ke Semarang. Setelah bertemu Wirasastra surat segera dikirim kepada Daeng Mabelah lalu diteruskan kepada Kumendur dan dua komisaris. Kumendur memanggil juru bahasa untuk menerjemahkan surat. Setelah membaca surat Kumendur sangat bersukacita. Hati para pembesar Kumpeni pun tenang. Surat Sang Raja kemudian diberi balasan dan dititipkan kepada gandek. Setelah melapor kepada Tumenggung Wirasastra gandek langsung menuju Kartasura. Siang malam perjalanan mereka tidak berhenti agar segera sampai. Sesampai di Kartasura gandek menghadap Tumenggung Tirtawiguna dan menyerahkan surat dari Kumendur.

Pagi harinya Tirtawiguna menghadap ke istana untuk menghaturkan surat dari Kumendur. Setelah diterima surat segera dibaca dengan seksama oleh Sang Raja.

Sejenak kemudian Sang Raja berkata, “Tir, dalam surat ini disebutkan kalau Si Belanda sudah menghapus kesalahan orang Jawa dan Kumpeni. Mereka berharap hubungan kita pulih seperti sedia kala. Jangan ada lagi keragu-raguan. Kumpeni juga meminta kepadaku agar menyingkirkan semua pasukan Cina yang masih melakukan perlawanan. Kalau mereka tak menghentikan perang, kita yang harus memerangi mereka.”

Tirtawiguna berkata, “Kalau paduka berkenan, komisaris paduka minta berunding dengan si Natakusuma untuk menyerang pasukan Cina. Kalau komisaris sudah sepakat dengan Paman Patih, nanti semua masalah akan mudah.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, segera tulislah surat dan titipkan kepada utusan si Wirasastra. Si gandek tak usah ikut ke Semarang.”

Tirtawiguna menyembah dan segera keluar melaksanakan perintah. Setelah surat selesai segera dititipkan kepada utusan Ki Wirasastra. Utusan segera melesat kembali ke Semarang. Singkat cerita utusan telah menghadap Tumenggung Wirasastra. Utusan segera disuruh meneruskan surat ke Loji dan menemui Daeng Mabelah. Surat kemudian dihaturkan kepada Kumendur dan dua komisaris. Juru bahasa dipanggil untuk membacakan surat. Isi surat berupa permintaan Sang Raja agar Kumendur membicarakan segala sesuatunya dengan Ki Patih Natakusuma yang masih berada di Semarang. Kumendur dan dua komisaris sangat bersukacita.

Kumendur lalu memanggil seorang serdadu Kumpeni bernama si Dhanci. Kumendur menyuruh Dhanci membawa surat untuk Ki Patih Natakusuma. Si Dhanci keluar dengan membawa kain putih. Sambil mengibarkan kain si Dhanci menuju ke barisan prajurit Kartasura. Oleh para prajurit dikira Dhanci mengibarkan bendera putih tanda menyerah.

Ketika akan ditangkap si Dhanci berkata, “Aku ini utusan yang akan menghadap kepada Ki Patih untuk menghaturkan surat.”

Para prajurit berkata, “Mana suratnya?”

Si Dhanci berkata, “Kalau kalian minta tidak akan kuberikan. Antarkan saja saya ke pondokan Ki Patih.”

Para prajurit kemudian mengantarkan si Dhanci ke tempat Ki Patih dengan pengawalan ketat. Setelah bertemu Ki Patih, Dhanci segera menyerahkan surat dari Kumendur. Ki Patih membuka dan membacanya dengan seksama.

Isi suratnya: “Saya menghaturkan salam kepada paduka. Juga saya membawa perintah Sang Raja agar meminta bantuan kepada paduka untuk menghancurkan pasukan Cina yang masih melawan Kumpeni.”

Ki Patih sedikit bingung dan berkata, “Kalau benar seperti ini perintah Sang Raja, mengapa Sang Raja tidak memberi perintah yang sama kepadaku?”

Ki Surajaya berkata, “Barangkali ini hanya akal-akalan Kumpeni yang sedang memasang siasat, paduka.”

Ki Patih lalu berkata kepada Sutamenggala, “Engkau sendiri berangkatlah ke Kartasura. Haturkan surat ini kepada Sang Raja. Juga tanyakan mengapa surat dariku tidak mendapat balasan. Apa yang menjadi sebabnya.”

Yang ditunjuk segera menyembah dan melesat dari hadapan Ki Patih. Si Dhanci sudah diberi balasan dan hadiah dan sudah diizinkan kembali ke Loji. Sesampai di Loji si Dhanci menyerahkan surat dari Ki Patih kepada Komisaris Prisel Tilen. Setelah dibuka surat dibaca dengan seksama.

Isi suratnya, “Komisaris, perihal surat yang engkau kirim kepadaku, aku sudah membacanya dengan seksama. Namun harap engkau bersabar. Aku masih memikirkan jawabannya. Kalau besok sudah pasti aku akan mengirim utusan.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/14/babad-tanah-jawi-155-sang-raja-pakubuwana-berdamai-lagi-dengan-kumpeni/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...