Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (156): Patih Natakusuma merasa kerepotan melayani kehendak Sang Raja

Alkisah di Kartasura, utusan Ki Patih sudah bertemu dengan Tumenggung Tirtawiguna. Surat dari Ki Patih sudah diterima dan dibaca dengan seksama.

Ki Tirtawiguna berkata kepada Sutamenggala, “Inilah Dik yang aku tunggu-tunggu. Sebab saya menunggu-nunggu karena sudah dua kali utusan Kumpeni meminta tolong kepada Sang Raja tetapi belum diberi balasan.”

Tirtawiguna lalu menghadap Sang Raja dan menghaturkan surat dari Ki Patih Natakusuma.

Setelah surat dibaca Sang Raja berkata, “Segera kirimlah surat kepada Paman Patih. Apa yang menjadi permintaan Belanda turutilah sepantasnya. Dan buatlah agar hubungan dengan orang Belanda kembali dekat seperti dulu. Terserah kepada Paman Natakusuma bagaimana caranya memperbaiki hubungan yang sempat renggang. Namun jangan terlalu menurut, agak sedikit menjaga harga diri. Jangan sampai kalah dalam menjaga martabat. Sekarang engkau keluarlah dan secepatnya membuat surat balasan.”

Tumenggung Tirtawiguna segera keluar dari istana untuk melaksanakan perintah Sang Raja.  Setelah surat balasan selesai segera dititipkan kepada utusan Ki Patih. Utusan bergegas kembali ke Semarang. Sesampai di Semarang surat dihaturkan kepada Ki Patih. Dengan tergopoh-gopoh Ki Patih membacanya.

Pada waktu setelah shalat Isya’ Ki Patih memanggil Tumenggung Rajaniti. Yang dipanggil segera menghadap kepada Ki Patih.

Berkata Ki Patih, “Kanda Tumenggung, bagaimana situasi sekarang ini? Aku merasa tak sanggup menjalani.”

Ki Rajaniti berkata, “Siapa yang kuat menjalani seperti ini. Ibarat kita ini ayam jago, tapi paruh kita diputus oleh pemiliknya sendiri.”

Ki Patih Natakusuma berkata, “Kalau seperti ini, sampai turunanku yang ke tujuh jangan sampai ada yang mengalami.”

Ki Rajaniti berkata, “Walau turun kesembilan, keturunan saya dan keturunan Anda jangan sampai ada yang mengalami seperti yang Anda alami ini. Allahuma ba’id. Jauhkan kami dari nasib seperti ini. Dekatkan kami ke nasib yang mujur. Yang terang dan jelas. Tidak gelap seperti ini.”

Ki Patih tertegun, untuk beberapa saat tak mampu berkata-kata. Ki Patih menoleh Ki Nayamenggala dan berkata pelan memecah keheningan.

“Hai Gobes, engkau dulu pernah lama di Betawi dan mengenal si Rangga.”

Ki Gobes Nayamenggala berkata, “Benar dulu kenal, tapi sekarang entahlah.”

Ki Patih berkata, “Aku mengutusmu menemui si Rangga. Namun kalau ditanya jangan engkau berkata kalau aku yang mengutus. Katakan engkau datang atas kehendakmu sendiri.”

Ki Nayamenggala menyembah dan segera melesat dengan sembunyi-sembunyi menuju pondokan Mas Rangga Tiksnawijaya. Mas Rangga kaget ketika melihat Ki Nayamenggala datang.

Berkata Mas Rangga, “Saya hampir tak mengenalimu Dinda. Ada perlu apa engkau datang.”

Ki Nayamenggala berkata, “Saya datang karena urusan pribadi. Sudah lama tak bertemu Kakanda.”

Mas Rangga berkata, “Kalau engkau diutus, katakan saja terus terang. Memang kenapa?”

Ki Nayamenggala tersipu dan berkata, “Memang benar saya sebenarnya diutus tuan saya untuk menemui Kakanda.”

Tiksnawijaya tertawa, “Apa aku bilang. Aku lihat gerak-gerikmu sudah kelihatan kalau engkau datang bukan karena urusan pribadi. Nah, katakan engkau diutus untuk apa oleh tuan kita.”

Ki Nayamenggala berkata, “Saya diutus untuk memanggil Kakanda.”

Rangga Tiksnawijaya berkata, “Ini waktunya tanggung Dinda. Sebentar lagi malam. Dan juga aku belum melapor kepada Tuan Komisaris. Nanti pukul sembilan aku melapor dulu kepada Komisaris Tilen. Sekarang engkau pulanglah dulu. Besok engkau ke sini lagi.”

Ki Nayamenggala minta pamit dan kembali ke pondokan Ki Patih. Semua yang dikatakan Tiksnawijaya telah disampaikan kepada Ki Patih. Singkat cerita pagi hari berikutnya Ki Nayamenggala kembali ke tempat Tisnawijaya bersama Suradaksana seorang mantri Kamlayakusuman. Oleh Mas Rangga mereka diantar ke Loji. Mas Rangga kemudian melapor kepada Komisaris Prisel Tilen. Komisaris telah mengizinkan Tiksnawijaya menemui Ki Patih karena semua masalah dengan orang Jawa telah dihapuskan. Tiksnawijaya segera menemui dua utusan, Nayamenggala dan Suradaksana.

Berkata Tiksnawijaya, “Ayo Dinda kita segera berangkat. Saya sudah diizinkan dan diberi pesan-pesan oleh Tuan Komisaris.”

Ketiga orang segera keluar dari benteng Kumpeni menuju pondokan Ki Patih Natakusuma. Mas Rangga menghadap dan mencium kaki Ki Patih.

Mas Rangga berkata, “Tuan, saya diutus menghaturkan salam dari saudara tuan bertiga.”

Ki Patih mengangguk dan berkata, “Aku terima salamnya.”

Mas Rangga melanjutkan, “Tiga orang saudara tuan adalah kumendur dan dua orang komisaris. Yang sekarang menjadi kumendur adalah tuan Natanahil. Dia adalah pejabat kumendur yang ketiga. Dulu ketika di Kartasura dijabat Kapten Pelser yang menjadi kumendur adalah tuan Baklomeh Uspeser. Ketika Loji Kartasura hancur kumendur diganti tuan Kumendur Rus. Lalu ketika tak lama kemudian diganti lagi tuan Kumendur Natahanil Tilmes. Sekarang di Semarang sedang kedatangan dua komisaris dari Betawi. Namanya yang tua Komisaris Prisel dan yang muda Komisaris Tilen. Itulah ketiga saudara paduka yang sekarang menjadi pembesar Kumpeni di  Semarang. Ketiga pembesar sudah berpesan kepada saya, bahwa Kumpeni telah menghapus segala perselisihan dan berharap melanjutkan kembali persahabatan seperti dulu lagi.”

Ki Patih berkata, “Oleh sebab itu juga engkau aku undang ke sini. Aku telah mendapat perintah dari Sang Raja untuk memulihkan hubungan dengan Kumpeni.”

Mas Rangga menyembah dan berkata, “Kalau demikian kita sudah satu kehendak. Saya mohon pamit. Barangkali saya sudah ditunggu-tunggu oleh para tuan Kumpeni.”

Rangga Tiksnawijaya segera melesat menuju Loji. Sesampai di Loji segera melapor kepada tiga pembesar Kumpeni. Semua yang terjadi di pondok Ki Patih telah diceritakan. Kumendur Natanahil dan dua komisaris sangat bersukacita.

Kedua komisaris berkata, “Kalau demikian, engkau sekarang kembalilah ke pondokan Ki Patih. Katakan kepada Raden Patih kalau beliau sudah menerima perintah dari Sang Raja untuk berunding dengan saya, segera saja kita matangkan rencana perihal pasukan Cina. Sang Raja sudah mengizinkan saya menghancurkan pasukan Cina. Pasti demikian pula perintahnya kepada Raden Patih.”

Mas Rangga kembali lagi ke pondokan Ki Patih di Paterongan. Setelah bertemu dengan Ki Patih Mas Rangga menyampaikan pesan dari tuan Komisaris.

Berkata Mas Rangga, “Saudara tuan menyampaikan salam. Tiga saudara tuan meminta kita untuk saling memundurkan pasukan. Juga tiga saudara tuan sudah mendapat izin dari Sang Raja untuk menyerang pasukan Cina. Pasti demikian juga perintah Sang Raja kepada paduka Ki Patih. Maka tiga saudara tuan meminta untuk segera berembug.”

Ki Patih menjawab, “Perihal memundurkan pasukan aku sudah mendapat perintah dari Sang Raja. Namun soal menyerang pasukan Cina aku belum mendapat perintah itu.”

Mas Rangga menyembah dan kembali ke Loji. Mas Rangga melaporkan semua perkataan Ki Patih kepada kumendur dan komisaris. Ki Patih sudah menyanggupi memundurkan pasukan. Namun soal memukul pasukan Cina, Ki Patih masih meminta tempo karena belum mendapat perintah dari Sang Raja.

Dua komisaris berkata, “Kalau hanya soal itu gampang. Nanti aku akan mengirim surat kepada Sang Raja.”

Sementara itu Ki Patih telah memerintahkan kepada para bupati untuk memundurkan pasukan sampai di belakang pondokan Ki Patih di Paterongan. Di markas pasukan Cina Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang telah mendengar berita bahwa Ki Patih sudah saling berkirim utusan dengan komisaris Kumpeni. Kedua panglima pasukan Cina hendak memastikan berita tersebut kepada Ki Patih sendiri. Keduanya lalu menghadap Ki Patih di pondokannya. Ki Patih berkenan menemui kedua kapten Cina tersebut.

Berkara Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang, “Kami berdua ini Raden, hidup dan mati kami berada di tangan paduka.”

Ki Patih berkata, “Mengapa kalian berkata demikian. Kalian melihat atau mendengar berita apa?”

Keduanya menjawab, “Tidak melihat sendiri, hanya kami beritahukan bahwa orang Cina sangat bergantung kepada paduka. Orang Cina tak mengenal Sang Raja. Yang mereka kenal hanyalah wujud paduka. Walau mereka hancur menjadi tanah seribu kali, yang mereka pertuan hanya paduka.”

Ki Patih tertegun dan bingung mendengar perkataan kedua kapten Cina.

Setelah tenang Ki Patih berkata, “Mengapa kalian percaya berita yang beredar. Sekarang kalian pulanglah.”

Keduanya telah diberi masing-masing tiga ratus riyal dan sejumlah bubuk mesiu. Setelah bersalaman keduanya lengser dari hadapan Ki Patih dan kembali ke pondokannya.

Sementara itu kumendur dan dua komisaris telah mendengar pasukan Jawa memundurkan benteng. Mereka bertiga sangat gembira. Segera diperintahkan pasukan Kumpeni untuk bersiap menyerang Tegal dan Jepara. Dengan melalui jalan laut pasukan Kumpeni telah sampai di Tegal dan Jepara.

Di Tegal pasukan Kumpeni segera terlibat pertempuran dengan pasukan Jawa pimpinan Tumenggung Wiranagara dan Reksanagara. Tidak lama kemudian pasukan Kumpeni berhasil memukul mundur pasukan Tegal. Raden Suralaya dari Brebes dan Raden Cakranagara dari Pemalang hendak memberi bantuan ke Tegal. Juga punggawa dari Kartasura bernama Arya Mandura maju menghadapi Kumpeni. Kedua kubu kembali terlibat pertempuran sengit. Arya Mandura terkena peluru di bagian bahu. Pasukan Kumpeni terus mendesak. Arya Mandura semakin lemah tak berdaya. Dengan sisa tenaga masih berniat melawan. Ki Arya Mandura kecapaian dan bersandar di bibir pintu dengan memegang tombak pendek. Ki Arya hendak dibawa mundur oleh anak cucunya, tapi tak mau. Aku baru akan mundur kalau si Belanda sudah pergi. Sambil menunggu Ki Mandura berzikir. Ki Arya Mandura terus diberondong senjata. Tumenggung Wirangara dan Reksanagara yang melihat semangat Ki Arya Mandura seketika bangkit keberaniannya.

Ki Wiranagara berseru, “Ayo, orang Tegal kita mengamuk. Abdi kesayangan Sang Raja telah terluka. Kalau kalian tak menolong pasti akan dibunuh Kumpeni. Bagaiaman kalian akan menerima kemarahan Sang Raja?”

Pasukan Tegal kembali maju berperang sambil mengamuk. Mereka menerobos kepulan asap mesiu dan menerjang pasukan Kumpeni. Delapan puluh serdadu berhasil mereka tewaskan. Sepak terjang pasukan Tegal seperti banteng terluka. Pasukan Kumpeni Bugis, Ambon, Sumbawa dan Makasar banyak yang tewas diamuk pasukan Tegal. Kumpeni terdesak dan mundur ke dalam Loji. Pasukan Tegal terus mengejar. Namun mereka dihalau oleh meriam dari dalam benteng. Pasukan Tegal lalu mundur sambil membawa Ki Arya Mandura. Sesampai di pondokan Ki Arya Mandura semakin parah. Tak lama kemudian tewas. Pasukan Kumpeni merasa ciut. Mereka kemudian mundur kembali ke Semarang dan melapor kalau kalah perang di Tegal.

Komisari segera menyuruh Rangga Tiksnawijaya untuk menemui Ki Patih. Setelah diberi pesan-pesan Mas Rangga berangkat. Sesampai di pondokan Ki Patih Rangga menyampaikan keberatan kepada Ki Patih.

Berkata Mas Rangga, “Saya menghaturkan salam dari tiga saudara paduka. Juga saya diberi pesan untuk menyampaikan bahwa di Tegal terjadi pertempuran antara pasukan Kumpeni dan pasukan Tegal. Paduka dan Kumpeni sudah sepakat untuk saling mundur, mengapa di Tegal dan juga di Jepara terjadi perlawanan terhadap pasukan Kumpeni?”

Ki Patih berseru, “Aku ini tak mengerti perkembangan yang baru saja terjadi. Kalau aku memberi perintah kepada Kumpeni sudah pasti tak diindahkan. Adapun terhadap pasukan Jawa semua sudah aku beritahukan untuk mundur. Dan lagi, pertempuran di Tegal itu siapa yang memulai? Apakah pasukan Kumpeni yang menyerang duluan, atau pasukan Jawa yang menerjang?”

Mas Rangga berkata, “Saya tidak tahu.”

Ki Patih berkata, “Kalau orang Jawa yang menerjang duluan, pasti aku ini yang bersalah. Kalau Kumpeni yang menyerang duluan, terserahlah. Aku minta pasukan Kumpeni diperiksa. Juga sampaikan salam dariku untuk komisaris.”

Mas Rangga menyembah lalu mohon diri. Sesampai di Loji segera melapor semua yang dikatakan Ki Patih Natakusuma. Kumendur dan dua komisaris terdiam karena menyadari pasukan Kumpeni yang mulai perang duluan.

Sementara itu di Tegal, Tumenggung Wiranagara telah mengirim utusan untuk memberi tahu Raden Patih Natakusuma kalau Arya Mandura tewas di medan perang. Mendengar berita ini Ki Patih keheranan. Lalu utusan ditanyai siapa yang memulai perang duluan. Apakah Kumpeni yang menyerang atau pasukan Jawa.

Utusan berkata, “Kumpeni yang menyerang benteng kami sampai terjadi perang habis-habisan. Paman paduka Ki Arya Mandura sampai tewas. Semula orang Tegal mengamuk karena tak ingin paman paduka tewas sehingga orang Tegal mendapat marah Sang Raja.”

Ki Patih berkata, “Katakan pada tuanmu, besok kalau Kumpeni menyerang tahan saja. Jangan dilayani. Sekarang kalian pulanglah ke Tegal.”

Ki Patih kemudian membuat laporan kepada Sang Raja perihal kematian Arya Mandura di Tegal. Semua yang terjadi di medan perang telah diceritakan. Sang Raja sangat heran mendengarnya.

Sementara itu di Semarang, Komisaris telah mengutus Mas Rangga menemui Ki Patih. Sesampai di markas Paterongan Mas Rangga menyampaikan salam dari kedua komisaris.

Mas Rangga berkata, “Saya diutus tuan komisaris untuk memberi tahu paduka bahwa Sang Raja telah mengizinkan Kumpeni menumpas orang Cina.”

Ki Patih berkata, “Benar, aku juga sudah mendapat perintah agar mengikuti rencana Kumpeni untuk menumpas orang Cina. Rangga, aku ingin memulai besok pada hari Minggu. Kalau tidak bisa hari Minggu, ya hari Senin. Katakan kepada kedua tuan komisaris.”

Mas Rangga kemudian diberi pakaian dan seekor kuda. Mas Rangga menyembah dan menghaturkan terima kasih.

Berkata Mas Rangga, “Paduka, bila berkenan kuda ini saya ganti namanya menjadi Kyai Bedhami. Karena ketika paduka memberikan kuda ini bertepatan dengan tercapainya perdamaian dengan Kumpeni.”

Ki Patih tertawa, “Terserah padamu karena sekarang engkau yang punya.”

Mas Rangga menyembah dan segera kembali. Sesampai di Loji Mas Rangga melapor kepada tiga pembesar Kumpeni perihal rencana Ki Patih yang akan menggempur pasukan Cina pada hari Minggu atau Senin. Komisaris sangat bersukacita mendengar kesanggupan Ki Patih.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/16/babad-tanah-jawi-156-patih-natakusuma-merasa-kerepotan-melayani-kehendak-sang-raja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...