Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (157): Mantapnya tekad Raden Martapura melawan Kumpeni

Sementara itu Ki Patih siang malam pusing memikirkan perkara ini. Dalam hati Ki Patih kasihan kepada pasukan Cina. Pada malam harinya Ki Patih memanggil Raden Martapura. Ki Martapura datang sendirian tanpa teman.

Ki Patih berkata, “Bagaimana ini Raden, sangat gelap hatiku karena Sang Raja dan para punggawa di Kartasura kehendaknya tak menuju selamat dengan membatalkan rencana.”

Raden Martapura menyembah, “Kalau saja perintah ini benar dilaksanakan, saya tak dapat menjalani. Lebih baik saya mati di hutan. Kalaupun masih hidup tak urung pasti dihukum bunuh atau dibuang. Kalau ada hal yang buruk pasti ditumbalkan ke saya. Karena yang dulu paduka serahi tugas menghubungi pasukan Cina dan membuat kesepakatan adalah saya. Yang membuat orang Cina bersekutu dengan kita juga saya. Kalau paduka kan kerabat raja, mustahil dibuang. Sedang saya hanya abdi, pasti kepala saya dipanjar di alun-alun.”

Ki Patih tertawa, “Walau aku pun bisa saja seperti itu. Tak ada beda dengan kamu. Sang Raja tak pernah melihat kerabat atau bukan. Nah, besok malam engkau lakukan pertemuan pribadi dengan Sapanjang dan Singseh. Katakan kalau Sang Raja sudah membuang orang Cina. Hanya diriku yang masih merasa kasihan, tetapi aku takut kepada Sang Raja kalau tidak melaksanakan perintah. Besok kalau pasukan Cina sudah pergi dari Semarang, selanjutnya silakan kalau engkau mau berbuat sesukamu. Aku tidak akan mencegah atau menyuruhmu. Doaku selalu menyertaimu.”

Raden Martapura menyembah, sejenak kemudian berkata sambil berlinang air mata, “Doa restu paduka semoga saya dapatkan. Demi Allah dan Rasulullah, saya tak ingin berdamai dengan Kumpeni. Bila raja saya hendak merawat Kumpeni, saya tak ingin menurut. Saya mengabdi kepada Allah saja sendiri. Kalau Sang Raja masih ingin menegakkan kemuliaan, walau dunia ini tinggal selebar daun kelor saya takkan bergeser dalam menjalankan tugas Sang Raja. Kalau paduka dan Sang Raja hendak mengingkari kesepakatan dengan pasukan Cina saya tak akan ikut serta. Walau nanti saya mati dan terkubur dalam tanah. Bila besok pagi saya diserang dan diberondong senjata oleh Kumpeni, sampai keturunan keenambelas semoga anak saya tak ada yang berdamai dengan Kumpeni.”

Raden Martapura menyembah dan mohon diri dari hadapan Ki Patih. Malam berikutnya Raden Martapura ke pondokan pasukan Cina untuk menemui Singseh dan Sapanjang.

Kepada kedua kapten Cina Raden Martapura berkata, “Bapak, saya diutus oleh Ki Patih dan juga karena kehendak saya sendiri, untuk memberi tahu bahwa Sang Raja sudah membuang orang Cina. Pasukan Kumpeni yang sekarang diajak bergandeng tangan. Namun Raden Patih masih mengasihani pasukan Cina. Hanya saja takut melawan perintah Sang Raja. Maka Ki Patih menyerahkan kepada saya agar bicara dengan Anda berdua. Kalau besok pasukan Anda diserang, larilah ke arah timur.”

Singseh dan Sapanjang meneteskan air mata. Sejenak kemudian keduanya berkata, “Baik Raden saya ucapkan terima kasih. Namun engkau jangan lupa segera menyusul kami. Haturkan salam kami untuk Raden Patih Natakusuma.”

Tanpa banyak bicara lagi Raden Martapura minta pamit dan kembali ke pondokannya.

Sementara itu Ki Patih sudah mengumpulkan para punggawa Kartasura. Tumenggung Rajaniti, Raden Mlayakusuma, Raden Wiryadiningrat, Tumenggung Mangkuyuda, Tumenggung Wiraguna, Raden Singaranu, Raden Mangkupraja, Tumenggung Mangunnagara dan Raden Sujanapura telah lengkap menghadap.

Ki Patih berkata manis, “Perintah Sang Raja kita disuruh segera menyerang pasukan Cina. Aku berencana memulainya besok pagi. Kalian semua bersiaplah. Yang kalian tempati di sebelah barat, selatan dan timur. Sebelah utara kosongkanlah. Kalau ditanya oleh Kumpeni, katakan kalau takut mengarahkan meriam ke selatan. Syukur kalau nanti orang Cina sudah paham. Sudah kalian bubarlah, besok pagi bersiaplah.”

Pagi harinya para bupati sudah bersiap dengan prajurit bersenjata lengkap. Mereka telah mengepung pondok pasukan Cina dari arah barat, selatan dan timur. Hanya bagian utara sengaja mereka kosongkan. Pasukan Kumpeni paham dengan maksud orang Jawa. Pasukan Cina pun sudah tahu kalau mereka telah dikepung.

Pasukan Sarageni mendahului menyerang dengan berondongan tembakan. Pasukan Cina membalas dengan tembakan pula. Saling tembak terus terjadi dengan sengit. Kapten Sapanjang menerjang barisan di arah timur. Pasukan Jawa yang diterjang menghindar. Pasukan Cina leluasa bergerak ke timur. Pasukan Jawa terus mengejar pasukan Cina yang lari menuju Demak.

Kapten Singseh mencoba menerjang barisan di arah selatan bersama pembantunya Mudhaetik dan Ping Bulung. Ketiganya tak pernah terpisah. Prajurit Cina yang sedang sakit ditinggal di pondokan. Oleh pasukan Jawa mereka dibunuh dan dipenggal kepalanya. Kepala-kepala orang Cina kemudian ditaruh dalam keranjang dan dihaturkan kepada Ki Patih. Ki Patih lalu mengutus beberapa orang untuk menyerahkan kepala-kepala itu ke Loji. Para komisaris Loji menerima kepala-kepala dengan sukacita. Mereka mengucapkan terima kasih untuk kerja Ki Patih Natakusuma. Utusan Ki Patih mohon diri dan kembali ke medan perang.

Sementara itu Kapten Singseh yang berhasil lolos dari pengepungan terus bergerak ke selatan sampai di wilayah Ambarawa. Mereka kemudian berhenti di Pringapus. Raden Sujanapura disuruh untuk mengejar larinya pasukan Cina. Setelah berhasil dikejar Sujanapura menyerahkan titipan Ki Patih berupa lima ratus uang riyal dan dua puluh pucuk senapan. Kepada Kapten Sapanjang juga dikirimkan lima ratus riyal dan dua puluh lima pucuk senapan. Sapanjang berada di wilayah Demak, di desa Wotan. Di sana mereka membuat markas. Kapten Singseh setelah dikejar Sujanapura berbelok ke timur, lalu menuju Demak dan bergabung dengan pasukan Kapten Sapanjang.

Di pondokan pasukan Jawa Ki Patih memanggil Raden Martapura. Setelah menghadap Ki Patih berkata, “Bersiaplah, engkau aku utus ke negeri Kartasura. Serahkan surat ini kepada Sang Raja. Kalau engkau ditanya secara pribadi, katakan kalau pasukan Cina sudah bersih di Semarang. Mereka lari ke timur dan sekarang berada di Demak.”

Raden Martapura menyembah dan segera bersiap melaksanakan tugas. Dengan bergegas Raden Martapura berangkat ke Kartasura sehingga siang hari sudah sampai. Pagi hari berikutnya Raden Martapura menghadap ke istana. Setelah melapor kepada Tumenggung Tirtawiguna, Raden Martapura dibawa menghadap Sang Raja. Raden Martapura menghaturkan surat dari Ki Patih kepada Sang Raja. Surat diterima dan dibaca dengan seksama.

Berkata Sang Raja, “Hai Martapura, berapa prajurit Cina yang tertangkap?”

Raden Martapura menjawab, “Kira-kira delapan puluh orang yang tewas, paduka.”

Sang Raja berkata lagi, “Martapura, keluarlah dan beristirahatlah dulu. Besok menghadaplah lagi.”

Raden Martapura menyembah dan segera keluar dari istana. Sesampai di luar Martapura berpikir, kalau besok aku menghadap lagi bisa-bisa aku ditangkap dan diserahkan kepada Belanda. Lebih baik aku minggat saja.

Raden Martapura lalu berkata kepada para pengawalnya dari Grobogan, “Hai teman, bersiaplah. Kita nanti malam akan berangkat.”

Malam hari, di tengah malam Raden Martapura benar-benar minggat dari Kartasura. Setelah sampai di Grobogan Martapura menyiapkan pasukannya. Semua orang Grobogan tunduk dan patuh.

Sementara itu di Kartasura, Tumenggung Tirtawiguna melaporkan kepada Sang Raja kalau Martapura sudah minggat dari kota. Sang Raja sangat heran. Tirtawiguna kemudian disuruh membuat surat panggilan kepada Ki Patih. Setelah surat selesai utusan segera membawanya ke Semarang. Sampai di Semarang utusan segera menemui Ki Patih dan menyerahkan surat panggilan dari Sang Raja. Ki Patih menyatakan siap berangkat.

Ki Patih mengumumkan kepada pasukannya untuk bersiap kembali ke Kartasura. Sebelum pulang Ki Patih meminta sang putra Adipati Jayaningrat Pekalongan untuk menyerahkan Mangunoneng. Ki Patih meminta kembali abdinya itu, yang dulu diserahkan kepada Adipati Jayaningrat ketika sang putra diangkat sebagai bupati di Pekalongan. Setelah Mangunoneng menghadap Ki Patih memberinya pesan-pesan.

Berkata Ki Patih, “Hai Mangunoneng, aku meminta nyawamu. Orang Pati lindungilah. Aku mendengar kabar bahwa dahulu Si Etik, komandan Cina itu telah merawat si Garendi putra Pangeran Tepasana. Engkau carilah dia, kalau sudah ketemu si calon raja itu, bawalah pasukan Cina. Orang pesisir taklukkanlah. Kalau sudah berhasil engkau laporkan kepadaku. Bila Tuhan izinkan aku akan meneruskan sendiri pekerjaan itu.”

Ki Mangunoneng menyatakan kesiapan, “Baik tuan. Walau sampai hancur jadi debu akan saya laksanakan tugas dari paduka.”

Mangunoneng lalu diberi uang lima ratus riyal, karabin berbayonet sejumlah empat puluh buah dan empat puluh bilah tombak. Ki Mangunoneng berangkat pada malam hari dari Paterongan. Ki Patih kemudian memanggil seorang abdinya yang bernama Partawijaya. Setelah menghadap Ki Patih memberinya pesan-pesan.

Berkata Ki Patih, “Engkau lindungilah orang Lasem. Setelah aku pulang ke Kartasura, bila Mangunoneng mendirikan barisan engkau bergabunglah.”

Partawijaya menyembah. Ki Patih kemudian memberinya hadiah uang dan pakaian. Malam itu juga Partawijaya berangkat ke Lasem. Ki Patih lalu memanggil lagi dua punggawa dari Demak, Padmanagara dan Suranata. Setelah keduanya menghadap Ki Patih memberi pesan-pesan.

“Kalian pulanglah ke Demak. Kelak kalau ada orang mendirikan pasukan, kalian bergabunglah.”

Kedua punggawa menyembah dan menyatakan kesiapan. Pagi harinya Ki Patih memanggil Rangga Tiksnawijaya. Dari Loji Mas Rangga sudah datang menghadap.

Ki Patih berkata, “Engkau Rangga, saya undang agar engkau segera memberi tahu kepada kumendur dan komisaris kalau aku sudah dipanggil pulang ke Kartasura oleh Sang Raja. Barangkali masih ada pesan dari Kumpeni silakan disampaikan.”

Mas Rangga menyembah dan mohon diri kembali ke Loji. Sesampai di Loji Mas Rangga melaporkan kepada kumendur dan komisaris bahwa Ki Patih akan pulang ke Kartasura. Kumendur lalu memanggil Alperes Hohendorff untuk diutus ke Paterongan menemui Ki patih. Sesampai di Paterongan si Hohendorff diterima oleh Ki Patih.

Si Hohendorff berkata, “Saya diutus tiga saudara paduka untuk menyampaikan salam. Juga saya membawa pesan untuk paduka, agar paduka menyampaikan kepada Sang Raja. Kumpeni memohon agar para mantan serdadu yang dulu bertugas di Kartasura dikembalikan kepada Kumpeni. Saya juga memohon secara pribadi kepada paduka bila  Sang Raja berkenan dijaga kembali oleh Kumpeni di Kartasura, paduka minta agar saya yang ditugaskan.”

Ki Patih berkata, “Kalau ada keberuntungan bagimu. Saya akan menyampaikan kepada Sang Raja dahulu.”

Alperes Hohendorff menyatakan terima kasih, lalu memberikan senapan panjang halus.

Ki Patih berkata, “Ini siapa yang memberi? Apakah komisaris yang mengirim?”

Hohendorff berkata, “Bukan, dari saya pribadi.”

Ki Patih tersenyum, “Aku terima.”

Setelah selesai yang dibicarakan, Hohendorff mohon diri kembali ke Loji. Sesampai di Loji segera melapor kepada kumendur dan komisaris. Semua yang terjadi sudah diceritakan.

Ki Patih mengumpulkan kembali para punggawa. Mereka disuruh bersiap untuk berangkat besok pagi. Singkat cerita pasukan Kartasura sudah berangkat dari Semarang. Semua punggawa kecuali yang dari pesisir ikut pulang ke Kartasura. Setelah melakukan perjalanan selama beberapa hari pasukan Ki Patih tiba di Kartasura. Ki Patih melaporkan kedatangannya kepada penjaga. Tumenggung Tirtawiguna yang  berjaga di istana lalu melaporkan kedatangan pasukan Kartasura kepada Sang Raja. Sang Raja berkenan menerima Ki Patih di istana. Ki Patih segera masuk ke istana. Di hadapan Sang Raja Ki Patih menyembah dan mencium kaki.

Berkata Sang Raja, “Paman, selamat atas kedatanganmu.”

Ki Patih menyembah, “Salam untuk paduka dari kumendur dan komisaris. Paduka, Kumpeni meminta agar semua serdadu Kumpeni di Kartasura yang dulu telah menyerah, bila paduka berkenan mohon dikembalikan lagi kepada Kumpeni.”

Sang Raja mengangguk tanda setuju.

Ki Patih berkata lagi, “Si Kumpeni yang menemui hamba, namanya Hohendorff. Dia punya permintaan, bila paduka berkenan dijaga oleh Kumpeni dari Loji Kartasura, sudilah kiranya paduka minta agar Kumpeni di Kartasura dipimpin oleh Hohendorff ini. Dia seorang perwira muda yang tangkas. Dia telah memberi senjata halus satu rakit kepada saya.”

Sang Raja berkata, “Itu atas perintah atasannya atau keinginannya sendiri?”

Ki Patih berkata, “Saya serahkan kepada paduka untuk menilai sendiri.”

Sang Raja berkata, “Menurutmu bagaimana Tir?”

Tirtawiguna menyembah dan berkata, “Sepertinya itu atas perintah atasan. Namun dia berusaha menutupi siapa yang menyuruh.”

Sang Raja berkata, “Mungkin seperti itu. Hai Paman Patih, jangan putus engkau menyiapkan pasukanmu. Barangkali rentetan peristiwa ini masih panjang.”

Ki Patih menyembah, “Si Arya Pringgalaya dan tiga pangeran, Pangeran Rangga, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Dipanagara apakah tidak dipanggil pulang, paduka?”

Sang Raja berkata, “Benar, Tir segera engkau membuat surat panggilan kepada pasukan Arya Pringgalaya dan para adikku.”

Tirtawiguna menyembah dan segera keluar untuk melaksanakan tugas. Ki Patih pun mohon pamit untuk pulang ke rumah. Sesampai di rumah Ki Patih sudah disambut sang istri. Lama tidak berjumpa membuat mereka menumpahkan kerinduan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/17/babad-tanah-jawi-157-mantapnya-tekad-raden-martapura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...