Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (158): Raden Mas Garendi diangkat sebagai raja di Pati dengan gelar Prabu Kuning

Raden Martapura yang menggelar barisan di Grobogan sudah bergerak ke wilayah Demak. Martapura telah bergabung dengan pasukan Cina. Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang sangat bersukacita. Cik Etik kemudian mengatakan bahwa dirinya merawat anak Pangeran Tepasana yang seluruh keluarganya dulu ditumpas habis. Ketika Pangeran Wiramenggala dihukum bunuh, putra Pangeran Tepasana bersama putra Raden Jayakusuma yang masih kecil disingkirkan oleh Cik Etik. Putra Pangeran Tepasana bernama Raden Mas Garendi. Adapun putra Raden Jayakusuma bernama Raden Mas Srada.

Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang berkata, “Bagaimana kalau salah satu dari mereka diangkat sebagai raja?”

Raden Martapura berkata, “Bagus itu bapak. Andai Sang Raja tetap membuang orang Cina dan Kumpeni tetap mengejar kita, itu pantas kita lakukan. Kita ini kan hanya membela diri.”

Kapten Sapanjang bertanya lagi, “Raden Mas Garendi itu bagaimana hubungan kerabatnya dengan Sang Raja?”

Raden Martapura berkata, “Dia itu masih kerabat Sang Raja. Jadi masih punya hak untuk diangkat sebagai raja juga.”

Kapten Sapanjang berkata, “Kalau dia masih kerabat Raja Kartasura, jangan-jangan dia nanti juga bohong seperti kerabatnya itu?”

Martapura tertawa, “Tidak, jangan berpikir yang bukan-bukan. Saya yang menanggung. Kalau sampai dia menjadi raja buruk aku yang bertanggung jawab.”

Kapten Sapanjang berkata, “Pasti sama dengan saudaranya. Bagaimana kalau Anda saja yang saya angkat menjadi raja? Kan kalian sesama orang Jawa.”

Berkata Martapura sambil tertawa, “Jangan berkata seperti itu. Saya ini tidak punya darah raja. Sejak dulu leluhur saya hanya mengabdi kepada raja. Raden Garendi itu lebih pantas menjadi raja menguasai tanah Jawa. Karena para leluhurnya orang terpercaya. Mumpung sekarang keadaannya terpuruk, kalau diangkat sebagai raja pasti kelak membalas kebaikan. Orang Jawa itu kalau tidak punya bobot menjadi raja, lalu memaksakan diri sungguh hidupnya tak akan waras. Bisa celaka dipukuli orang desa. Ke manapun dia pergi takkan selamat. Siapa yang mau mengabdi kepada orang demikian?”

Kapten Sapanjang tersenyum dan berkata, “Baik, terserah padamu bagaimana baiknya.”

Raden Mas Garendi lalu dibawa ke pondokan. Kapten Sapanjang lalu mengumumkan kepada para pasukan untuk bersiap. Raden Martapura mengumumkan kepada para pasukan agar membuat tenda sementara. Para pasukan segera berkumpul. Suara bende dan beri ditabuh meriah. Raden Martapura lalu menabuh irama kodhokngorek pelan-pelan. Raden Mas Garendi lalu didudukkan di tahta. Kemudian Martapura mengumumkan bahwa Raden Mas Garendi diangkat sebagai raja dengan gelar susunan Amangkurat Prabu Kuning Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panata Agama. Para kawula Demak dan sekitarnya sudah mendengar kabar bahwa di Demak ada keturunan bangsawan telah diangkat menjadi raja. Orang Demak semua tunduk dan patuh.

Ganti cerita, Ki Mangunoneng setelah sampai di Pati lalu mendirikan barisan. Desa-desa di Pati semua sudah tunduk. Waktu itu yang menjadi bupati di Pati adalah Raden Megatsari. Oleh Mangunoneng sang bupati diberi pilihan, akan berhadapan dalam perang atau lari dari kota. Bila ingin berperang maka akan diserang. Bila ingin pergi maka akan diberi jalan dan kendaraan. Raden Arya Megatsari merasa sudah kehabisan pasukan karena banyak prajuritnya telah menyeberang ke kubu Mangunoneng. Pilihan yang tersisa tinggal meloloskan diri dari kota Pati. Mangunoneng kemudian memberikan pengawalan kepada Raden Megatsari berserta rombongan keluarganya. Mereka keluar dari kota Pati melalui Cengkalsewu. Setelah kepergian Raden Megatsari, kota Pati segera diduduki. Mangunoneng sudah mantap kedudukannya di Pati dan pasukannya semakin besar. Sementara itu Partawijaya yang semula mendapat tugas mendirikan barisan di Lasem sudah bergabung dengan Mangunoneng di Pati.

Di Pati Mangunoneng mendengar kalau Martapura mengangkat Raden Mas Garendi sebagai raja. Mangunoneng merasa kedahuluan langkah. Bersama seorang kerabatnya yang bernama Kartawirya, Ki Mangunoneng sepakat untuk membuat kebohongan. Mangunoneng lalu mengirim utusan ke markas Martapura di Wotan. Utusan sudah bertemu dengan Martapura dan menyerahkan surat dari Mangunoneng. Surat segera dibaca oleh Raden Martapura dengan seksama.

Isi surat Mangunoneng: “Salam dari saya, Dinda. Saya mendapat tugas dari Ki Patih untuk mencari Raden Mas Garendi. Kalau sudah ketemu saya disuruh mengangkatnya sebagai raja. Saya juga telah diberi peralatan upacara penobatan. Dan juga mendapat perintah untuk membawanya ke negeri Pati. Karena sekarang saya sudah kedahuluan Dinda, maka semua saya serahkan padamu. Yang seharusnya kedudukan raja berada di Pati. Bila Dinda berkenan, saya akan menjemput ke negeri Demak.”

Raden Martapura sangat gembira. Surat kemudian dibacakan di hadapan Singseh dan Sapanjang. Keduanya bersukacita karena langkahnya mendapat dukungan lahir-batin dari Ki Patih Natakusuma.

Kapten Sapanjang berkata, “Kalau demikian Raden, mari kita ke Pati. Karena sudah mendapat panggilan dari Ki Patih melalui si Mangunoneng. Peralatan upacara penobatan juga sudah dibawa. Lagipula negeri Pati juga bagus untuk persiapan berperang.”

Kapten Singseh mendukung usulan Sapanjang. Martapura pun menurut kepada kedua kapten Cina. Raden Martapura lalu menemui utusan dari Pati.

Berkata Raden Martapura, “Kalian segera pulanglah ke Pati. Katakan kepada Kanda Mangunoneng, kelak jemputlah Sang Raja kalau aku sudah bersiap membawanya ke Pati.”

Utusan segera kembali ke Pati dan melaporkan kepada Mangunoneng.

Utusan berkata, “Pesan adik paduka Raden Martapura, paduka dipersilakan menjemput ke Demak bila Sang Prabu Kuning sudah siap berangkat bersama pasukan Cina.”

Ki Mangunoneng sangat bersukacita. Segera Ki Mangunoneng menyiapkan pasukan yang akan menjemput Prabu Kuning ke Demak. Setelah semua siap pasukan Pati segera berangkat ke Demak dengan kekuatan penuh.

Sementara itu di negeri Demak, Raden Martapura sedang duduk sambil berpikir di markas Wotan. Dalam hati Martapura merasa ragu kepada Mangunoneng. Maka sebagai kewaspadaan Raden Martapura menggelar pasukan secara rahasia. Tidak lama kemudian pasukan Mangunoneng sampai di markas Wotan. Raden Martapura menyambut kedatangan Mangunoneng. Setelah bersalaman keduanya duduk berbincang di dalam markas. Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang ikut menemui di pondok Raden Martapura.

Ki Mangunoneng berkata, “Dinda, dahulu saya mendapat perintah untuk mempersiapkan pengangkatan raja baru ini disebabkan rasa kecewa Ki Patih terhadap peristiwa yang terjadi. Dahulu perintahnya, kalau si Garendi sudah diangkat menjadi raja beritahukan kepadaku agar bisa aku lanjutkan. Aku akan melawan orang Kartasura yang berbuat curang.”

Mendengar perkataan Mangunoneng Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang merasa gembira.

Raden Martapura berkata, “Kalau demikian, saya serahkan semua orang Jawa ini di bawah perintah Kakanda. Karena Kanda sebagai wakil Ki Patih, sebaiknya Kanda berpangkat adipati. Kalau sanggup maka sebaiknya menjadi adipati di Pati. Itu lebih baik. Adapun saya akan berganti nama Raden Tumenggung Sujanapura. Mari kita menghadap Sang Raja sekarang juga.”

Kedua punggawa segera menghadap Sang Raja muda. Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang tak ketinggalan. Sesampai di hadapan Sang Raja muda Ki Mangunoneng mencium kaki sambil menangis. Banyak yang dikatakan oleh Mangunoneng. Peralatan upacara lalu dihaturkan dan juga busana kerajaan. Sang Raja muda sangat bersukacita karena telah mendapat dukungan dari Ki Patih Natakusuma. Sang Raja merasa bahwa kekuasaan atas tanah Jawa sudah berada di tangannya. Mangunoneng sudah diizinkan memakai gelar Adipati Pati. Raden Martapura juga sudah diizinkan memakai nama Tumenggung Sujanapura.

Sementara itu dua Tumenggung dari Demak, Raden Tumenggung Padmanagara dan Raden Tumenggung Suranata sudah mendengar kalau Mas Garendi telah diangkat sebagai raja. Keduanya bermaksud datang menghadap ke markas Wotan. Setelah sampai di Wotan keduanya diterima oleh Adipati Pati dan Tumenggung Sujanapura. Mereka berbincang perihal pesan yang mereka terima dari Ki Patih Natakusuma. Ternyata semua cocok dan sesuai. Mereka sepakat untuk segera membawa Sang Raja ke Pati. Segera mereka mengumumkan kepada pasukan masing-masing untuk berangakat.

Pasukan besar segera berangkat dari markas Wotan menuju Pati. Sesampai di Pati Sang Raja dipersilakan masuk kedaton sementara, yakni di rumah Kademangan. Para punggawa kemudian mendirikan pondokan di kota Pati. Para prajurit meluber memenuhi kota.

Adipati Pati mengusulkan kepada para bupati untuk mengadakan upacara penobatan secara resmi sebagaimana yang berlaku bagi raja-raja di tanah Jawa. Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang sangat mendukung. Adipati Pati kemudian mengumpulkan para ulama dan menyembelih kerbau-sapi. Pada hari Senin pasukan berbaris rapi di alun-alun. Sang Raja tampil di hadapan para punggawa, duduk di singgasana beralas permadani. Para pelayan selalu menyertai di belakang. Di hadapan Sang Raja telah berjajar para punggawa, para mantri, para ulama dan para pimpinan pasukan Cina.

Adipati Pati berdiri dan mengumumkan kepada seluruh pasukan yang hadir, “Saksikanlah, aku mengangkat raja Sang Prabu Kuning Amangkurat.”

Para punggawa dan prajurit bersahutan menyatakan kesetiaan. Para ulama menyambut dengan doa-doa. Setelah doa dipanjatkan, gong-beri ditabuh sebagai perayaan. Suaranya meriah diselingi suara terompet, seruling dan irama kodokngorek. Para prajurit bersorak-sorai. Suaranya bergemuruh seolah meruntuhkan langit. Tidak lama kemudian nampan-nampan berisi makanan keluar mengalir tak henti-henti. Para yang hadir semua menikmati jamuan bersama.

Adipati Pati kemudian memerintahkan untuk memperluas wilayah.  Negeri-negeri sekitar satu per satu mulai ditaklukkan. Banyak yang secara sukarela menyerahkan diri dan bergabung. Adapun yang melawan segera dipukul perang.

Kita tinggalkan negeri Pati. Di Kartasura setelah Ki Patih pulang dari Semarang tersiar kabar bahwa pasukan Cina berada di Demak. Ki Patih menyuruh Ngabei Sutawijaya untuk mengunjungi pasukan Cina yang berada di Demak. Perjalanan Sutawijaya melalui Semarang. Sesampai di Semarang Ki Sutawijaya menemui Kumpeni, lalu terus menuju Demak.

Di saat yang sama Rangga Yudanagara dari Semarang dipanggil oleh Sang Raja agar menghadap ke Kartasura. Semua kerabatnya dibawa serta dari Semarang. Sesampai di Kartasura Rangga Yudanagara segera masuk ke istana dan mencium kaki Sang Raja. Setelah ditanya keselamatannya Mas Rangga diberi sebuah keris dan  dua ekor kuda. Juga akan diberi istri seorang anak Pangeran Balitar. Namun Mas Rangga tidak bersedia jika diberi istri. Mas Rangga berada di Kartasura selama tiga hari, lalu kembali pulang ke Semarang.

Tidak lama dari peristiwa itu Sang Raja berkenan memulangkan serdadu Kumpeni yang dulu menyerah. Yang ditunjuk untuk memulangkan mereka ke Semarang adalah Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Singaranu. Singkat cerita kedua Tumenggung sudah sampai di Semarang dan disambut oleh kumendur dan dua komisaris. Kedua tumenggung tidak lama berada di Semarang. Setelah serah terima selesai kedua tumenggung mohon diri untuk kembali ke Kartasura.

Beberapa waktu kemudian Sang Raja kembali mengirim utusan ke Semarang. Kali ini yang berangkat adalah Tumenggung Tirtawiguna dan Tumenggung Suradipura. Kedua tumenggung berangkat ke Semarang untuk membawa surat dari Sang Raja. Setelah sampai di Semarang keduanya segera menemui kumendur dan dua komisaris. Surat segera diserahkan dan diterima dengan penuh kehormatan oleh kumendur dan dua komisaris. Setelah surat dibaca terdengar bunyi meriam tanda kehormatan. Isi surat tidak ada yang penting, hanya sekedar menjalin kembali persahabatan dengan Kumpeni. Selama berada di Semarang kedua tumenggung ditempatkan di pondokan Gamulakan.

Kedua tumenggung belum pulang ke Kartasura ketika datang utusan susulan dari Sang Raja. Kedatangan utusan tersebut membawa tujuh tahanan Kumpeni yang melarikan diri dari Betawi. Mereka tertangkap oleh pasukan Kartasura di Banyumas. Ki Tirtawiguna yang masih berada di Semarang ditugaskan untuk menyerahkan kepada Kumpeni.

Tujuh hari berselang Kumpeni bermaksud mengirim perwira yang akan ditugaskan di Kartasura. Komandan yang ditunjuk adalah Hohendorff yang sudah naik pangkat menjadi kapten. Kapten Hohendorff berangkat ke Kartasura dengan membawa alperes Ohwis dan seorang juru tulis bernama Toutlemonde, seorang kopral bernama Kopral Aretman, dua orang upas untuk kapten dan alperes serta enam orang serdadu. Total ada dua belas Kumpeni yang berangkat. Mereka didampingi empat orang mantri dari Semarang. Singkat cerita perjalanan mereka sudah sampai di Kartasura. Sang Raja berkenan menerima mereka di istana. Kapten Hohendorff menghaturkan surat keputusan dari Komisari Prisel dan Komisaris Tilen. Sang Raja sudah merasa lega hatinya. Ki Patih kemudian diperintahkan untuk menempatkan Kapten Hohendorff. Oleh Ki Patih mereka diberi pondokan di sebelah barat Sitinggil.

Ketika itu Sang Raja juga mendapat surat dari komisaris. Segera Sang Raja memanggil Tirtawiguna dan Ki Patih. Setelah keduanya menghadap Sang Raja membicarakan perihal masalah yang menjadi perhatian komisaris.

Berkata Sang Raja, “Hai Paman, sekarang pasukan Cina sudah semakin berkembang dan menguasai pesisir. Segera pikirkan penyelesaiannya. Aku ingin Paman Patih sendiri yang berangkat menyelesaikan masalah orang Cina ini. Bersama Pringgalaya kalian menyerang dari dua arah. Paman, engkau menyerang lewat timur. Si Pringgalaya menyerang melalui Semarang. Sekarang Paman bagi siapa saja yang ikut Paman dan siapa yang ikut Pringgalaya.”

Ki Patih menyembah dan menyatakan kesanggupan. Sang Raja bersabda kembali, “Bawalah semua punggawa luar. Adapun yang menjagaku di kota para wadana dalam saja disertai si Rajaniti. Sekarang kalian berdua keluarlah dan segera laksanakan.”

Ki Patih dan Tirtawiguna menyembah dan segera keluar melaksanakan perintah. Sesampai di Kapatihan Raden Patih memanggil semua punggawa. Setelah semua terkumpul Ki Patih menyampaikan perintah Sang Raja. Raden Arya Pringgalaya sudah diperintahkan untuk menyiapkan pasukan. Ki Patih hanya meminta dua punggawa, Raden Wiryadiningrat dan Sutawijaya. Ki Sutawijaya sendiri sudah berangkat mendahului ke Demak. Setelah semua sepakat seluruh punggawa diminta agar bersiap. Keberangkatan pasukan Kartasura ke Demak hanya berselang sembilan hari sejak kedatangan komandan Kumpeni Kapten Hohendorff di Kartasura.

Pasukan Ki Patih berangkat dari negeri Kartasura melalui Semarang. Sang Raja berkenan memberikan Raden Sujanapura dan para prajurit pilihan dari Kadipaten untuk menyertai keberangkatan Ki Patih. Singkat cerita, perjalanan pasukan Ki Patih telah sampai di Lamper. Pari hari berikutnya Ki Patih singgah di Loji Semarang. Setelah bersalaman Ki Patih dibawa masuk dan duduk nyaman. Ki Patih menyerahkan surat dari Sang Raja kepada Komisaris Prisel-Tilen. Surat segera dibaca dengan seksama. Isi surat memberitahukan bahwa perjalanan Ki Patih untuk menyerang dan mengejar pasukan Cina di manapun tempatnya. Setelah pembacaan surat meriam Loji berdentum sebagai tanda penghormatan. Kedua komisaris sangat berterima kasih, demikian pula Kumendur Natanahil. Ki Patih kemudian mundur dan kembali ke markas Lamper di Paterongan. Pagi hari berikutnya pasukan Ki Patih berangkat menuju Demak.

Sementara itu di Kartasura, Raden Arya Pringgalaya sedang menyiapkan pasukan yang akan berangkat ke Demak. Misi Arya Pringgalaya adalah memukul pasukan Cina yang berada di gunung Kendeng. Para punggawa yang akan ikut barisan Arya Pringgalaya adalah Raden Mlayakusuma, Raden Singaranu, Tumenggung Mangunnagara, Tumenggung Wiraguna dan Raden Tumenggung Mangkuyuda. Yang akan bertindak sebagai panglima adalah Raden Arya Pringgalaya.

Setelah semua prajurit siap, pasukan segera berangkat. Perjalanan pasukan Pringgalaya melalui Kampak. Di Kampak pasukan berhenti selama tiga hari. Selama di Kampak ada utusan Sang Raja yang datang menyerahkan uang sejumlah dua ribu riyal untk dipakai sebagai hadiah bagi prajurit yang berkarya. Ki Patih pun ketika berangkat juga diberi bekal uang sejumlah empat ribu riyal.

Di Semarang, setelah Ki Patih berangkat ke Demak, Sang Raja mengirim utusan untuk menyerahkan puteri tariman. Adapun putri yang diserahkan adalah Raden Ayu Retnadiwati. Sedangkan yang diserahi adalah pembesar Kumpeni, yakni Komisaris Tilen.

Sementara itu perjalanan pasukan Ki Patih sudah sampai di desa Ngrangkudan. Pasukan kemudian membuat markas di desa itu. Banyak bupati pesisir yang diundang belum datang. Yang sudah datang baru dari Kendal dan Kaliwungu. Adapun bupati Demak Ki Wirasastra sudah kehabisan prajurit karena banyak yang menyeberang ke kubu Raden Martapura. Ki Patih kemudian menunjuk punggawa yang telah siap, yakni; Rangga Kaliwungu, Ngabei Kendal, Ki Wirasastra dan Ki Sutawijaya untuk menjadi pemimpin garis depan. Mereka memimpin mantri Panumping dan Panekar. Juga prajurit Kapatihan dari kesatuan Jayamenggala yang dipimpin lurah prajurit Raden Martataruna. Dan juga prajurit Tanpagembung. Pasukan garis depan Ki Patih kemudian bergerak menuju Layapan. Beberapa waktu kemudian pasukan garis depan terus maju menuju Talagaji. Ki Patih masih bermarkas di Layapan.

Lain cerita, di Pati Kangjeng Adipati Pati sedang berbincang dengan Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang.

Kapten Singseng dan Kapten Sapanjang berseru, “Ki Adipati, bagaimana sekarang? Raden Patih datang dengan membawa pasukan yang sangat besar. Kami belum tahu tatacara orang Jawa berperang. Bagaimana kita akan menghadapinya.”

Ki Adipati Pati berkata pelan, “Bapak, cara orang Jawa kalau sudah berhadapan di medan perang ya perang sungguhan. Tidak berhitung kepada prajurit kecil yang akan tewas. Kalian bertempurlah sungguh-sungguh. Selain Ki Patih boleh kalian bunuh. Besok hari Minggu kita serang pasukan Kartasura. Benteng mereka kita naiki. Pasukan Cina yang berada di Demak kita beri bantuan. Agar berani melawan pasukan Kartasura. Ngabei Ping Bulung perintahkan untuk selalu mengganggu pasukan Kartasura yang berbaris di Layapan.”

Kapten Sapanjang segera memberi perintah untuk membawa tiga ratus prajurit guna membantu Ping Bulung yang berada di Demak. Pasukan Cina berangkat dari Pati dengan membawa dua puluh bendera. Setelah sampai di Demak dan bergabung dengan pasukan Ping Bulung mereka diperintahkan untuk berbaris setiap pagi sambil menganggu pasukan Kartasura di Layapan. Ngabei Ping Bulung segera bersiap melaksanakan perintah. Pasukannya dibagi dua bagian. Sebagian lewat sungai dan sebagian lagi lewat darat. Di sepanjang perjalanan mereka bersorak-sorak. Sampai di Kedunguter mereka berhenti untuk menata pasukan.

Ping Bulung berkata, “Kalian beristirahatlah dulu, pasukan darat maupun yang naik perahu. Besok kita akan mengobrak-abrik benteng Layapan. Walau perintah Kapten Sapanjang dan Kapten Singseh kita hanya disuruh mengganggu. Apa gunanya kalau hanya seperti itu. Lebih baik kita hancurkan sekalian. Aku tidak takut melawan pasukan Kartasura.”

Pagi hari berikutnya pasukan Ping Bulung sudah siap bergerak ke Layapan. Pasukan Ping Bulung tetap dibagi dua melalui jalur darat dan sungai. Di Layapan pasukan Kartasura melihat ada pasukan Cina mendatangi mereka. Dengan gugup mereka segera bersiap. Ki Patih yang masih tidur terbangun oleh suara berisik pasukan Kartasura.

Ki Patih kaget dan bertanya, “Ada apa para prajurit ramai sekali.”

Seorang penjaga menjawab, “Ada pasukan Cina datang. Mereka datang melalui darat dan sungai.”

Ki Patih turun ke halaman menata pasukan. Pasukan Jayengsatra, Jayantaka, Nirmala, Tanparaga, Jayaparusa sudah bersiap. Juga pasukan dari Bagelen sudah bersiap di depan dengan senjata senapan. Pasukan Semawung berjumlah empat puluh orang berkata lancang dengan menyatakan sanggup menahan pasukan Cina dengan senapan.

Sementara itu pasukan Cina yang melalui sungai sudah mendarat dan bergabung dengan pasukan darat. Mereka kemudian menyerang benteng Layapan dengan kekuatan penuh. Pasukan Cina mengamuk menerjang benteng. Pasukan Kartasura terdesak dan berlarian. Pasukan Tanparaga dan Jayaparusa sudah menyingkir ke kiri-kanan. Yang masih bertahan di gerbang adalah pasukan Jayantaka dan Narantaka. Mereka masih menahan serbuan pasukan Cina dengan gigih.

Ki Patih lalu memerintahkan sisa pasukan yang sudah siap untuk segera membantu. Pasukan  segera keluar dari benteng dan bertempur dengan pasukan Cina. Namun amukan pasukan Cina semakin menjadi. Pasukan bantuan pun terdesak dan lari kembali masuk ke benteng. Yang tetap bertahan tinggal para lurah prajurit. Namun tak lama kemudian mereka juga lari masuk ke benteng.

Pasukan Cina terus merangsek maju. Dari luar mereka melempar petasan yang sudah disulut. Pasukan di dalam benteng geger tak karuan. Orang Cina sudah bersiap menjebol benteng.

Sementara itu, pasukan di markas Raden Sujanapura yang jaraknya satu persawahan sudah bersiap membantu. Mereka keluar dari arah kanan benteng Ki Patih dan langsung menerjang pasukan Cina. Pasukan Ki Patih yang semula lari kemudian bergabung kembali ke medan perang. Pasukan Cina tetap bertahan dan tak kendur. Mereka terus mengamuk berusaha merusak benteng.

Dari markas Raden Wiryadiningrat datang bantuan pasukan. Mereka langsung menerjang pasukan Cina yang mengepung benteng Ki Patih. Kali ini giliran pasukan Cina yang terdesak. Banyak prajurit Cina tewas karena musuh terlalu banyak. Para prajurit Ki Patih yang tadi lari masuk benteng serentak keluar. Pasukan Cina merasa takkan mampu melawan. Mereka lari mundur. Raden Sujanapura mengejar. Banyak prajurit Cina berhasil ditangkap. Kepala mereka kemudian dipenggal dan dihaturkan kepada Ki Patih. Ki Patih sangat bersukacita. Kepada mereka yang berhasil membawa kepala, Ki Patih memberi hadiah masing-masing sepuluh riyal. Adapun yang hanya membawa telinga, mereka diberi lima riyal.

Sementara itu pasukan Ping Bulung telah kembali ke Demak. Ping Bulung melapor kalau perangnya melawan pasukan Kartasura berakhir imbang. Tak ada yang kalah atau menang. Raden Martapura lalu berencana mengirim bantuan ke Demak lagi. Lima ratus prajurit telah dibawa ke Demak dan telah bertemu dengan Ngabei Ping Bulung.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/20/babad-tanah-jawi-158-raden-mas-garendi-diangkat-sebagai-raja-di-pati-dengan-gelar-prabu-kuning/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...