Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (159): Pasukan Kartasura bertempur melawan pasukan Cina di Demak

Alkisah, pasukan Raden Arya Pringgalaya sudah sampai di Grobogan. Pasukan dari Kartasura kemudian menggelar barisan di Termala dengan pimpinan Tumenggung Mangunnagara, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Singaranu. Adapun Raden Arya Pringgalaya sebagai panglima besar menggelar barisan di Bicak. Kedatangan pasukan Kartasura membuat kawula Grobogan kebingungan. Seseorang kemudian melapor kepada Raden Martapura yang saat itu masih berada di Demak. Ketika menerima laporan itu Raden Martapura marah karena wilayahnya telah diduduki pasukan Kartasura. Raden Martapura kemudian memanggil Raden Suranata, Raden Padmanagara dan Ping Bulung.

Berkata Raden Martapura, “Kalian tinggallah di sini. Aku mendengar kalau Grobogan diduduki pasukan Kartasura yang dipimpin Arya Pringgalaya, Mlayakusuma dan lima punggawa lain. Kalian ganggu saja barisan Kartasura di Layapan. Aku akan mencoba kekuatan Arya Pringgalaya dulu.”

Raden Martapura lalu bersiap kembali ke markas Gubug. Setelah sampai di Gubug Martapura menemui Adipati Pati, Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang.

Berkata Raden Martapura, “Hai kalian berhati-hatilah menjaga Sang Raja. Aku akan berangkat memukul pasukan Kartasura yang bermarkas di Bicak. Akan aku hadapi pasukan pimpinan Arya Pringgalaya itu. Kabarnya jumlahnya sepuluh ribu. Aku tidak akan membawa punggawa lain, aku coba sendiri bersama prajurit Cina seratus orang saja.”

Adipati Pati berkata, “Jangan sembrono. Aku ikut serta. Musuh Anda banyak, siapa tahu Anda kalah.”

Martapura berkata, “Walau banyak tapi rajanya curang. Orang kecil sekedar menjalani. Kalau seorang raja curang pasukannya takkan selamat. Aku beri tiga ratus orang saja. Kalau pasukan Kartasura besok aku tawan, akan aku suruh berenang di lumpur.”

Raden Martapura berkata sambil memukul-mukul paha karena rasa jengkelnya. Pasukan Martapura berangkat bersama Mudhaetik dan Cik Macan dengan seratus pasukan Cina. Mereka bergegas dan sebentar kemudian sampai di markas Wotan. Setelah menata pasukan Raden Martapura kemudian mengirim surat kepada Raden Pringgalaya. Setelah surat jadi kemudian diserahkan kepada prajurit Kajineman bernama Lesksajaya dan Sewujaya. Keduanya kemudian mengirim surat ke barisan Raden Pringgalaya. Setelah sampai di markas mereka bermaksud menemui Raden Pringgalaya.

Ketika itu Raden Pringgalaya sedang berbincang dengan para punggawa Kartasura. Ketika diberi tahu ada utusan Raden Martapura, Arya Pringgalaya kaget. Kedua utusan segera dipanggil menghadap. Surat dari Martapura sudah diterima dan dibaca dengan seksama.

Isi suratnya: “Salam untuk Raden Arya Pringgalaya. Raden, mengapa pasukan Anda sampai menginjak wilayah utara Kendeng. Apakah sebelumnya tidak mencari berita kalau semua perbuatan saya ada yang mendukung. Mengapa Anda lancang sampai ke sini. Apakah tidak tahu kalau di utara Kendeng ada banteng galak yang hendak menggambul gajah putih? Dan lagi Raden Pringgalaya, harap tidak dekat-dekat dengan tempat saya mendalang. Bisa-bisa terlempar cempala. Yang jauh kalau mau menari, jangan mengganggu saya.”

Arya Pringgalaya marah dan merobek-robek surat dari Martapura lalu menyerahkan kembali kepada si utusan. Surat sudah dibalas dan utusan segera disuruh pergi. Dua utusan telah sampai di markas tuannya dan menyerahkan surat dari Pringgalaya. Raden Martapura mengambil surat dan segera membacanya.

Isi surat dari Pringgalaya: “Hai Martapura. Engkau mengirim surat kepadaku, sudah aku terima dan aku baca. Sudah aku pahami isi suratmu, bahwa di utara Kendeng sekarang isinya hanya kambing dan sapi yang sangat enak kalau dipanggang. Walau berisi raksasa sepuluh ribu dan banaspati, aku takkan menghentikan langkah. Karena tanah pesisir sampai lautan adalah milik rajaku.”

Sangat marah Raden Martapura setelah membaca surat dari Arya Pringgalaya. Tampak wajahnya memerah dan matanya melotot. Berkali-kali jenggotnya dipuntir-puntir. Sambil mendengus Raden Martapura mengundang pasukan Grobogan. Martapura lalu menyuruh orang-orang desa dikerahkan dan diberi senjata tombak bergagang bambu yang dibersihkan. Kalau dari jauh terlihat seperti gagang tombak putih.

Kepada orang-orang desa tadi Raden Martapura berpesan, “Kalian jangan ada yang ikut perang. Bersorak-sorak saja dari kanan-kiri.”

Pasukan Martapura segera berangkat. Yang berada di depan adalah seratus prajurit Cina, kemudian menyambung empat ratus prajurit Grobogan. Para orang desa ditempatkan di kiri-kanan. Tugas mereka hanya bersorak agar musuh gentar. Raden Martapura berada di belakang dengan dikelilingi para magersari. Dengan payung putih Martapura dikawal para kerabatnya. Irama kodokngorek bergema di sepanjang jalan. Perjalanan mereka dipercepat agar segera sampai di Bicak, tempat Arya Pringgalaya bermarkas.

Ketika pasukan Martapura sampai di Bicak, pasukan Kartasura gugup. Mereka tak mengira ada pasukan musuh yang datang. Dengan tergesa-gesa mereka menata barisan. Raden Tumenggung Singaranu, Raden Mlayakusuma dan Tumenggung Mangunnagara bersiap menahan serangan Martapura. Raden Martapura tak banyak memberi kesempatan pasukan Kartasura untuk bersiap. Bersama pasukannya Martapura langsung menerjang. Pasukan Kartasura menahan serangan dengan berondongan tembakan. Kedua kubu segera terlibat baku tembak yang sengit. Pasukan Cina mengamuk dan merangsek. Pasukan Kartasura banyak yang tewas.

Raden Singaranu melihat pasukan Kartasura banyak yang tewas, segera naik kuda melompat ke depan. Pasukan dari Grobogan yang diterjang menghindar ke kiri-kanan. Pasukan Cina menghadang Singaranu dengan tembakan kalantaka. Raden Singaranu terkena tembakan dan jatuh dari kuda. Para kerabatnya segera mengamankan tubuh Singaranu dan menaikkannya ke atas kuda. Ki Tumenggung Wiraguna yang melihat bermaksud menolong. Bersama pasukannya Ki Wiraguna balas menyerang ke pasukan Cina. Pasukan Cina gigih bertahan.

Raden Martapura berteriak, menyuruh semua pasukannya maju kembali. Dari kiri-kanan mereka yang semula lari berbalik menyerang. Pasukan Cina menerjang dengan berani. Pasukan Kartasura hancur berantakan. Ki Wiraguna kehabisan prajurit. Setelah dikepung dari kiri dan kanan, Wiraguna lalu diberondong tembakan. Ki Wiraguna mundur dan masuk ke benteng. Tekad Ki Wiraguna akan tetap bertahan di benteng, walau mati sekalipun. Namun ketika masuk benteng dan menutup gerbang, putra tertua Ki Tumenggung Wiraguna yang bernama Suramanggala masih tertinggal di luar. Dia menahan serangan pasukan Jawa agar sang ayah leluasa masuk benteng. Akibatnya dia tercecer di luar benteng. Belum sempat masuk keburu pasukan Cina mengamuk. Suramenggala tak sempat lari, tewas di tempat.

Ki Tumenggung Wiraguna yang mendapat laporan sang putra tewas sangat marah. Segera Ki Tumenggung mengambil tombak dan keluar hendak berbela sang putra. Ki Wiraguna mengamuk ke arah pasukan Cina. Karena kebanyakan lawan Ki Wiraguna kecapaian. Dengan mudah pasukan Cina menyerangnya. Ki Wiraguna tewas. Dua punggawa Kartasura telah tewas. Hati para prajurit ciut. Tak ada lagi keberaniannya. Mereka memilih lari dari medan perang. Pasukan Cina dan Grobogan terus mengejar. Banyak prajurit Kartasura tertangkap dan dibunuh di tempat. Raden Mlayakusuma dan Mangunnagara telah lari mengungsi ke benteng Arya Pringgalaya.

Raden Arya Pringgalaya heran melihat pasukan Cina dan Grobogan yang begitu tangguh. Para punggawa sepakat akan mundur ke Kampak. Hati mereka sudah ciut. Para prajurit yang mendengar para punggawa akan mundur ke Kampak segera mendahului. Tanpa komando mereka berebut lari. Kocar-kacir mereka lari. Semua barang dibuang begitu saja. Berserakan menghalangi jalan.

Raden Arya Pringgalaya gugup karena prajuritnya telah meninggalkan markas. Pringgalaya marah lalu menutup gerbang. Lalu diumumkan semua tidak boleh keluar. Harus mundur bersama-sama nanti malam. Sementara mereka tetap bertahan di dalam benteng menunggu datangnya malam. Sembari menunggu mereka mempersiapkan semua barang yang akan dibawa.

Sementara itu pasukan Cina dan Grobogan telah berhenti mengejar. Mereka kemudian membuat markas. Raden Martapura memerintahkan agar mengambil jenazah Tumenggung Wiraguna. Setelah dikafani lalu disegera dimakamkan dengan iringan lantunan shalawat.

Cik Etik berkata kepada Raden Martapura, “Bagaimana kalau Si Arya Pringgalaya saya serang sekalian? Kalan Anda setuju nanti malam akan saya ringkus.”

Raden Martapura berkata, “Tidak perlu repot-repot kalau hanya mengusir si Pringgalaya. Nanti saya cari akal agar dia lari sendiri. Tidak harus manusia, cukup kodokngorekku yang akan mengusirnya. Para pecatan mantri Panumping, kalian carilah pohon besar yang tinggi. Buatlah balai-balai di atasnya. Gamelan kodokngorek naikkan ke balai-balai itu. Nanti malam gamelan itu tabuhlah agar terdengar si Pringgalaya. Pasti dia akan minggat mendengar kodokngorekku. Dia kira aku sendiri yang maju perang.”

Para pasukan kemudian mengerjakan siasat Raden Martapura. Mereka menemukan pohon asem yang tinggi. Lalu diberi balai-balai. Gamelan kodokngorek dinaikkan dan ditabuh di waktu malam. Letak pohon asem itu tidak jauh dari pondokan Arya Pringgalaya. Semula Raden Pringgalaya memang akan meloloskan diri dari benteng di tengah malam. Namun ketika mendengar bunyi kodokngorek seketika Pringgalaya gugup. Dia mengira musuh datang sebelum dirinya bersiap pergi. Dengan tergesa-gesa Arya Pringgalaya melompat ke atas kuda dan ngacir. Para prajurit berlarian pontang-panting mengejar tuannya. Semua punggawa tak ada yang tertinggal, mereka lari menyusul Pringgalaya.

Ada seorang mantan mantri Panumping bernama Ki Kartadipa. Asalnya dari desa Andong. Ki Saradipa mengingatkan Arya Pringgalaya bahwa meriam pinjaman Sang Raja masih tertinggal di dalam markas Bicak. Kalau besok ditanyai Sang Raja tentang meriam itu bagaimana akan menjawab.

“Paduka bisa kena marah Sang Raja kalau meriam itu sampai hilang. Perang belum sampai lecet kulit, kok meriam sudah hilang,” kata Kartadipa.

Arya Pringgalaya mendengus, “Benar, kalau begitu kau ambil sana.”

Ki Kartadipa menyembah dan segera berbalik kembali ke benteng Bicak bersama para tukang pikul. Sesampai di benteng Kartadipa menemukan bentang dalam keadaan sepi. Tak ada seorang pun tampak di situ. Bunyi kodokngorek masih terdengar, tetapi masih jauh. Meriam segera diambil. Lama-lama Kartadipa tahu bahwa bunyi kodokngorek berasal dari sebuah pohon asem. Kartadipa tertawa geli. Namun dia segera berlalu membawa meriam. Meriam sudah dibawa ke markas di Kampak. Raden Arya Pringgalaya sangat suka melihat karya Ki Kartadipa. Akibat keberaniannya itu Kartadipa mendapat kepercayaan dari Raden Arya Pringgalaya. Ketika pagi tiba Raden Martapura dan Cik Macan berangkat dari pondokan menuju markas Bicak. Markas Bicak sudah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Raden Martapura.

Sementara itu Ki Patih Natakusuma sudah bergerak meninggalkan markas Layapan. Ki Patih kemudian menduduki Talgaji. Pasukan garis depan yang semula di Talgaji sudah bergerak maju sampai di Toyana. Pada saat itu pasukan dari pesisir barat sudah tiba dibawah pimpinan Adipati Jayaningrat dan Raden Suralaya. Pasukan pesisir barat sudah ditempatkan ke pondokan mereka. Raden Jayaningrat dan Raden Suralaya bergabung bersama Ki Patih Natakusuma. Yang ditunjuk sebagai pimpinan pasukan garis depan adalah Rangga Kaliwungu dan Ngabei Kendal. Yang ditunjuk memimpin pasukan dari negeri Kartasura adalah Ki Sutawijaya, Ngabei Wiradigda dan Ngabei Reksapraja.

Di markas Bicak, setelah Arya Pringgalaya pergi, Raden Martapura kembali ke Demak. Negeri Grobogan hanya dijaga para mantri dan pasukan Cina sejumlah tiga puluh orang. Raden Martapura sudah sampai di markas Gubug dan menghadap Sang Prabu Kuning. Di hadapan Sang Raja telah hadir Adipati Pati, Kapten Sapanjang dan Kapten Singseh. Mereka sangat gembira mendengar Martapura berhasil mengusir pasukan Arya Pringgalaya dan menewaskan dua punggawa Kartasura, Singaranu dan Wiraguna. Para punggawa Prabu Kuning kemudian merayakan kemenangan dengan makan bersama dan bersuka-suka.

Tidak berapa lama datang utusan Ngabei Ping Bulung yang berada di garis depan. Utusan mengabarkan kalau pasukan Patih Natakusuma sudah bergerak sampai di Toyana. Yang memimpin pasukan garis depan adalah Ki Rangga Kaliwungu dan Ki Rangga Kendal.  Di belakang mereka Ki Sutawijaya memimpin pasukan dari negeri Kartasura yang jumlahnya tak terhitung. Adapun Ki Patih sekarang telah berada di Tlagaji. Adipati Pati, Raden Martapura, Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang kemudian membicarakan siasat yang akan mereka terapkan.

Berkata Raden Martapura, “Kalau setuju, saya akan memukul dulu pasukan musuh di Toyana. Barangkali akan mendapat kemenangan karena para punggawa Pajang sedang tenggelam pada perbuatan sesat. Seperti yang terjadi di Tremala kemarin. Barisan depan patah dan di belakang tak jelas pekerjaannya. Raden Arya Pringgalaya panglima perang Kartasura lari terbirit-birit tanpa berperang.”

Semua punggawa Prabu Kuning sepakat dengan usulan Raden Martapura. Kapten Sapanjang dan Kapten Singseh segera mengundang pasukan untuk bersiap berangkat. Setelah siap pasukan Raden Martapura berangkat dari markas Gubug. Yang berjaga di markas hanya beberapa prajurit Cina dan pasukan Adipati Pati.

Perjalanan pasukan Raden Martapura dipercepat sehingga tak berapa lama sudah sampai di timur Toyana. Pukul dua malam mereka berhenti untuk menata barisan. Pukul empat pagi buta pasukan Martapura mulai menyerang benteng musuh. Prajurit Cina memasang kalantaka. Gong beri ditabuh untuk memberi tanda perang dimulai. Kapten Singseh memimpin pasukan sambil bersorak-sorak. Orang-orang di dalam benteng kaget dan dengan tergesa-gesa menyiapkan diri. Tidak lama kemudian pasukan Cina sudah menerjang benteng. Tiga punggawa Kartasura, Ngabei Sutawijaya, Ngabei Reksapraja dan Ngabei Wiradigda naik ke pelataran benteng dan membidik pasukan Cina. Banyak prajurit Cina tewas terkena tembakan.

Raden Martapura berseru agar pasukannya terus maju. Pertahanan benteng tangguh, mereka terus menembak dari pelataran. Sejak perang dimulai pukul empat malam sampai menjelang siang, benteng belum berhasil ditaklukkan. Pasukan Kartasura sengaja tetap berada di dalam benteng dan tak mau keluar. Mereka berharap pasukan Cina kelelahan dan mundur. Namun pasukan Cina tak jua mundur. Sampai pukul dua belas perang baru berhenti untuk istirahat dan makan siang. Setelah matahari tergelincir pasukan Cina kembali menyerang benteng. Dari segala penjuru benteng telah dikepung. Raden Martapura dan Kapten Singseh memimpin dari belakang. Pasukan Cina mengamuk seperti raksasa lapar. Mereka tak berhenti oleh tembakan senapan prajurit Kartasura. Prajurit Cina melempar petasan yang sudah disulut ke dalam benteng. Seketika api menyala-nyala di dalam benteng. Pasukan Kartasura geger. Banyak dari mereka sibuk memadamkan api sehingga pertahanan mereka kendur.

Pasukan Cina mengambil kesempatan dengan memaksimalkan serangan. Akhirnya benteng pasukan Kartasura berhasil dijebol. Suasana di alam benteng kacau balau. Ki Rangga Kaliwungu hendak menahan serangan pasukan Cina. Para prajurit Cina mengeroyok Ki Rangga hingga tewas. Kepalanya lalu dipenggal. Ngabei Sutawijaya, Ngabei Wiradigda dan Ngabei Reksapraja bergabung. Pasukan mereka banyak yang tewas. Mereka sepakat untuk lari. Namun pasukan Cina terus mengepung dan memojokkan mereka. Ketika pasukan Cina sibuk menjarah ketiga punggawa berhasil meloloskan diri. Ketiganya lalu mengungsi ke benteng Ki Patih. Sampai di markas Ki Patih ketiga punggawa sudah berlepotan lumpur, tak berujud manusia lagi. Ketiga punggawa lalu menghadap Ki Patih. Para punggawa di markas Tlagaji merasa miris melihatnya. Mereka melaporkan kekalahan mereka. Juga gugurnya Ki Rangga Kaliwungu. Markas di Toyana sudah diduduki musuh, si Paridan dan Singseh.

Ki Patih berkata, “Sudah, jangan diperpanjang. Sudah lazin orang berperang menang atau kalah. Jangan bersedih hati. Berapa milikmu yang hilang, nanti aku ganti. Sekarang kalian bergabunglah dengan si Jombla.”

Ketiga punggawa mohon diri. Sesampai di pondokan mereka diberi uang dan pakaian. Hati mereka sudah tenang.

Sementara itu Raden Pringgalaya sudah mengirim surat untuk memberi tahu Sang Raja bahwa dirinya kalah perang. Dua punggawa telah tewas, Singaranu dan Wiraguna. Surat sudah dibawa ke Kartasura dan dihaturkan kepada Sang Raja. Semua yang terjadi sudah diceritakan. Musuh mereka sekarang kuat dan tangguh, si Mangunoneng dan Martapura.

“Si Paridan mengirim surat kepada hamba, memberi tahu bahwa dia hanya menjalankan perintah untuk mendirikan negara baru. Mereka katakan hanya sekedar menjalankan dari seseorang yang hamba takut mengatakan. Maka hamba mundur karena sangat khawatir. Sekarang yang seperti teman ternyata bukan teman, musuh ternyata bukan musuh. Hamba sangat takut karena ada yang secara lahir teman, tetapi batin memusuhi.” Demikian tulis Arya Pringgalaya dalam suratnya.

Sang Raja sangat heran membaca surat Pringgalaya. Bangkit amarah Sang Raja. Wajahnya memerah seperti berbasuh darah. Sang Raja kemudian memanggil Wirajaya. Yang dipanggil pun segera menghadap.

Berkata Sang Raja, “Wirajaya, si Pringgalaya mengirim surat perihal musuh yang sekarang penuh rahasia. Sekarang sudah terbongkar bahwa ada yang punya akal-akalan dari sesama teman. Si Garendi menjadi raja ada yang membekingi. Karena itu Si Pringgalaya mundur ke Kampak. Yang mereka duga sebagai dalangnya adalah mereka yang berbaris di Layapan. Sepertinya si panglima makan tuan. Sekarang engkau segera berangkatlah ke barisan Kampak. Engkau bertemulah sendiri dengan Pringgalaya. Berhati-hatilah.”

Wirajaya menyembah dan segera keluar dari istana. Sesampai di luar segera bergegas berangkat ke Kampak. Sesampai di Kampak Wirajaya menemui Raden Arya Pringgalaya. Sudah dipastikan kabar yang beredar. Ki Wirajaya geleng-geleng kepala. Wirajaya kemudian menanyakan meriam pinjaman Sang Raja apakah masih ada. Dijawab oleh Pringgalaya bahwa meriam masih dia bawa. Setelah mendapat informasi yang sahih Tumenggung Wirajaya mohon diri dari markas Kampak.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/21/babad-tanah-jawi-159-pasukan-kartasura-bertempur-melawan-pasukan-cina-di-demak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...