Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (160): Patih Natakusuma mendapat marah dari Sang Raja lalu ditangkap Kumpeni di Semarang

 Sementara itu Tumenggung Tirtawiguna yang ditugaskan ke Semarang untuk memperat kembali persahabatan dengan Kumpeni telah mengirim surat kepada Sang Raja di Kartasura. Utusan yang membawa surat sudah menghadap Sang Raja. Surat segera dibaca oleh Sang Raja dengan seksama.

Isi surat Tirtawiguna: “Paduka, tuanku Sang Raja. Abdi paduka si Tirtawiguna berserah hidup dan mati. Bahwa abdi paduka ditugaskan untuk mempererat persahabatan dengan Kumpeni telah berhasil. Tuan Kumendur, Tuan Komisaris tua dan Komisaris muda sudah menaruh kepercayaan kepada hamba. Hanya satu perkara masih menjadi ganjalan, yakni soal pengangkatan Mas Garendi menjadi raja. Kumpeni mendengar bahwa itu semua ulah Paman Natakusuma. Tuan Kumendur telah mengetaui hal itu sehingga membuat Kumpeni kembali meragukan iktikad baik kita. Hal itulah yang sedikit mengganggu tugas hamba. Maka hamba menghaturkan celaka dalam menjalankan tugas paduka. Karena hamba hanya abdi kecil, jalan keluar hamba serahkan kepada paduka.”

Setelah membaca surat dari Tirtawiguna seketika Sang Raja marah. Dada tersengal-sengal, muka memerah dan kedua mata melotot. Belum reda amarah Sang Raja mendadak masuk Tumenggung Wirajaya yang baru datang dari markas Arya Pringgalaya.

Sang Raja berkata, “Hai Wirajaya, si Tir baru saja mengirim surat. Ini lihatlah sendiri.”

Ki Wirajaya menyembah lalu menerima surat dari Sang Raja. Melihat kemarahan Sang Raja Ki Wirajaya gemetar. Belum membaca surat Sang Raja sudah memberitahu keburukan Patih Natakusuma. Ki Wirajaya membaca dengan gugup. Setelah membaca Ki Wirajaya berkata dengan terbata-bata.

“Hamba berserah kepada paduka, abdi paduka si Arya Pringgalaya juga menduga demikian,” kata Wirajaya.

Sang Raja berkata, “Sudah hilang rasa kasihku kepada Paman Patih. Aku bersih, jangan sampai terkena salah. Bagaimana upayaku?”

Ki Wirajaya berkata, “Jika demikian paduka harus merelakan si Paman. Kalau tak demikian pasti paduka ikut menanggung kesalahan.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, segera kirim surat ke Tirtawiguna. Katakan aku sudah merelakan Paman Patih. Semua terserah si Kumendur dan si Komisaris. Kalau bisa dibuang dari tanah Jawa. Jangan sampai membuat keburukan kepadaku.”

Ki Wirajaya menyembah dan mundur dari hadapan Sang Raja. Sesampai di luar segera mengirim utusan ke Semarang.

Sementara itu di barisan Gubug, Adipati Pati bersiap berangkat ke Toyana untuk menengok Raden Martapura. Sesampai di Toyana bertemu dengan Raden Martapura dan Kapten Singseh. Mereka kemudian membicarakan rencana mengirim surat kepada Ki Patih Natakusuma. Setelah sepakat mereka segera memberangkatkan utusan. Singkat cerita utusan sudah menghadap Ki Patih di markas Tlagaji.

Ketika itu Ki Patih sedang berbincang dengan para punggawa. Ada Raden Suralaya, Raden Jayaningrat, Tumenggung Batang, Tumenggung Pemalang dan Tumenggung Kendal. Juga hadir salah satu anak dari Rangga Kaliwungu, namanya Wangsaprana. Dialah yang akan dipromosikan menggantikan kedudukan ayahnya yang baru saja tewas. Di tengah perbincangan mendadak datang utusan dari Pati untuk menyerahkan surat. Para punggawa yang hadir kaget. Surat sudah diterima Ki Patih dan dibaca dengan seksama.

Isi suratnya, “Saya haturkan sembah dari Adipati Pati dan Martapura. Kami beritahukan tugas yang kami emban untuk mengangkat cucu paduka Raden Mas Garendi sebagai raja sudah kami laksanakan. Sekarang cucu paduka sudah bergelar Prabu Kuning. Selanjutnya kami serahkan kepada paduka. Bila paduka berkenan sudilah datang ke negeri Demak dan mendampingi cucu dalam menjadi raja. Bila paduka tak berkenan datang, para abdi meminta petunjuk selanjutnya.”

Ki Patih tertawa dan berkata, “Ini akal-akalan orang gila.”

Surat segera diberikan oleh Ki Patih kepada para punggawa. Namun di dalam surat tadi ada satu lipatan kertas bertulis yang tak diberikan. Para punggawa hanya membaca surat yang di luar.

Sementara itu utusan dari Kartasura sudah sampai di Semarang dan bertemu Tumenggung Tirtawiguna. Surat dari Sang Raja sudah dibaca oleh Tirtawiguna. Tirtawiguna lalu masuk ke Loji untuk menemui Tuan Kumendur dan dua komisaris. Tirtawiguna menyampaikan bahwa Sang Raja telah merelakan Patih Natakusuma. Sehubungan dengan ulahnya merekayasa pengangkatan Prabu Kuning, maka terserah kepada Kumpeni apa yang Kumpeni inginkan.

Tuan Kumendur dan dua komisaris lalu membuat surat balasan. Isinya, jika Sang Raja sudah merelakan Patih Natakusuma maka segeralah memanggil Ki Patih pulang. Sebelum pulang suruhlah mampir ke Loji dulu untuk bertemu Tuan Kumendur. Setelah selesai berembug dengan Tuan Kumendur dan dua komisaris, Tirtawiguna mohon diri. Surat dari Tuan Kumendur dan dua komisaris segera dikirimkan ke Kartasura. Singkat cerita utusan Ki Tirtawiguna sudah sampai di istana. Surat sudah dihaturkan kepada Sang Raja dan dibaca dengan seksama. Sang Raja kemudian memerintahkan untuk membuat surat panggilan bagi Patih Natakusuma. Utusan segera berangkat ke markas Ki Patih di Tlagaji. Surat segera dihaturkan kepada Ki Patih. Ki Patih menerima dan membacanya dengan seksama.

Ki Patih sangat heran karena surat itu berisi pemanggilan dirinya ke Kartasura. Dalam surat juga dikatakan kalau pasukan Cina sudah menduduki Salatiga. Ki Patih diperintahkan agar sebelum pulang mampir ke Loji Semarang untuk bertemu dengan kumendur dan dua komisaris. Ki Patih kaget dan merasa bingung mendengar pasukan Cina telah sampai di Salatiga. Ki Patih kemudian mengundang prajuritnya untuk bersiap pulang. Para prajurit Ki Patih yang tak diundang tapi mendengar pun ikut-ikutan pulang. Banyak bawaan mereka dibuang begitu saja agar perjalanannya ringan. Sebelum berangkat Ki Patih memanggil para punggawa. Kepada mereka diberi pesan-pesan.

Ki Patih berseru kepada Wiradigda, Reksapraja dan sang putra Adipati Jayaningrat, “Aku berangkat dulu. Kalian tinggal sebentar. Kibarkan bendera di benteng. Kalau aku sudah sejauh satu perjalanan kalian segera membubarkan diri. Kalau kalian pergi biarkan bendera tetap berkibar.”

Para punggawa menyembah dan menyatakan kesiapan. Ki Patih segera berangkat. Setelah sejauh satu perjalanan pasukan yang masih berada di benteng menyusul pergi. Bendera-bendera tetap berkibar di atas benteng.

Pasukan Cina mengetahui kalau Ki Patih meninggalkan benteng. Maksudnya mereka akan mengejar, tetapi batal karena mengira di dalam benteng masih banyak pasukan. Bendera-bendera masih berkibar. Sampai lama mereka tidak lagi melihat pergerakan pasukan dari dalam benteng. Mereka pun mendekati benteng dan mendapati benteng telah kosong. Pasukan Cina kemudian membakar benteng Tlagaji.

Sementara itu pasukan Kartasura sudah pergi jauh. Setelah beberapa lama berjalan mereka berhenti di desa Rangkudan. Ki Patih bermalam di desa itu bersama para punggawa. Hati Ki Patih tidak nyaman. Terlebih setelah mendengar kabar Sang Raja sangat marah. Ki patih dituduh merepotkan langkah Sang Raja karena menggandeng orang Cina. Ki Patih semalaman tidak bisa tidur. Hatinya penuh perasaan bimbang. Kalau aku meneruskan mendukung si Garendi akan nista kesudahannya. Karena sudah tersebar rahasia ini. Tak urung pasti mendapat celaka. Kalau si Garendi aku tangkap dan aku serahkan kepada Sang Raja, sungguh itu perbuatan aniaya. Bagaimana akan mempertanggungjawabkan di akhirat kelak. Aku harus bagaimana? Ki Patih semalaman gelisah.

Pagi menjelang Ki Patih memanggil pembantunya, Ki Surajaya dan juga para lurah prajurit.

Setelah Surajaya hadir bersama para lurah prajurit Ki Patih berkata, “Kalian aku tanya, rasa pengabdianmu kepadaku akan membuatmu ikut berbela mati atau tidak? Kalau tidak katakanlah yang sebenarnya.”

Para abdi menangis dan berkata, “Duhai tuan, walau sampai menitis kembali seribu kali, kami tak ingin mempunyai tuan yang lain. Kalau masih berada di tanah Jawa walau sampai hancur menjadi debu kami takkan menghindar. Kalaupun tuan harus ke seberang kami pun ikut serta.”

Para putra Ki Patih sudah hadir semua, Adipati Jayaningrat, Raden Natawijaya dan Raden Wiryadingrat. Para putra saat itu sedang menderita sakit. Ki Patih semakin bersedih karena sang putra sakit ketika sedang ada pekerjaan besar.

Ki Patih berkata, “Semua prajuritku. Besok di Ambarawa aku akan menjelaskan semuanya. Kalau perkataanku tak lagi dianggap aku rela menjalani pelarian. Aku akan menggagahi tanah Jawa. Kalau Sang Raja masih memakai perkataan orang dengki dan tak menurut saranku, pasti akan berakhir tak baik. Hai Surayuda Prembun, besok pulanglah segera bersama si Nilasraba dan si Sewabangsa. Orang Bagelen kuasailah. Bentuklan barisan rapat sampai bertemu dengan barisan si Jayaningrat Pekalongan.”

Para lurah bergiliran mengucapkan sumpah setia menyatakan kesanggupan atas perintah Ki Patih.

Raden Sujanapura berkata, “Lalu adik dan putra paduka yang masih berada di Kartasura bagaimana?”

Ki Patih berkata, “Itu mudah Paman. Anak-istri dan keluarga bila memang nanti yang terjadi seperti itu.”

Ki Patih kemudian mengumumkan kepada pasukan, besok pagi akan berangkat. Pagi hari pasukan Ki Patih sudah berangkat memasuki wilayah Semarang. Ki Patih sengaja tidak memberitahukan kedatangannya ke Loji. Ki Patih lalu bermalam di Lamper. Pasukan Kumpeni juga tidak mengganggu sama sekali walau mereka tahu kedatangan Ki Patih.

Kira-kira tiga hari berada di markas Lamper Ki Patih berbincang dengan lurah Jayantaka dan lurah Jayengastra.

Berkata Ki Patih, “Si Gareng, besok suruhlah ke pondokan Kanda Tirtawiguna. Kanda Tirtawiguna mintalah masuk ke Loji untuk memberi tahu bahwa aku ingin bertemu dengan komisaris.”

Kaget kedua lurah mendengar perkataan Ki Patih. Kemarin sudah memberi perintah agar para pasukan bersiap. Kemarin sudah bertekad walau menjadi pelarian akan dilakukan. Ada rahasia apa mengapa sekarang Ki Patih akan menemui komisaris. Kemarin sudah memberi perintah agar masing-masing punggawa mendirikan barisan, di Bagelen, Kedu, Mataram dan Pekalongan. Mengapa sekarang berniat masuk ke Loji?

Siang harinya si Gareng sudah diberi perintah ke pondokan Tirtawiguna untuk meminta agar Tirtawiguna melapor ke Loji bahwa Ki Patih akan bertemu komisaris. Si Gareng hanya tertegun. Ada rahasia apa sehingga Ki Patih berubah pikiran.

Ki Gareng bertanya, “Apakah paduka lupa dengan tekad yang kemarin?”

Ki Patih mendengus, “Sudah, segera laksanakan.”

Ki Gareng menyembah dan segera berangkat ke pondokan Ki Tirtawiguna. Sudah disampaikan perintah Ki Patih. Segera Ki Tirtawiguna membawa Ki Gareng berangkat ke Loji menemui dua komisaris. Tirtawiguna menyampaikan bahwa Ki Patih akan datang ke Loji menemui Kumendur Natanahil, Komisaris Prisel dan Komisaris Tilen.

Tuan Kumendur dan Tuan Komisaris berkata, “Itu lebih baik. Mana utusan Ki Patih?”

Tirtawiguna menoleh ke arah Ki Gareng. Ki Gareng segera maju ke hadapan Tuan Komisaris.

Ketiga pembesar Kumpeni berkata, “Katakan kepada tuanmu, kami sangat gembira dan sangat berharap Ki Patih segera datang.”

Ki Gareng menghormat dan segera keluar dari Loji. Bergegas Ki Gareng melapor kepada Ki Patih di markas Lamper.

Ki Patih berkata, “Mengapa begitu cepat perjalananmu?”

Ki Gareng berkata, “Benar paduka, Tuan Kumendur dan dua komisaris sangat mengharap kedatangan paduka.”

Ki Patih segera bersiap. Para pasukan sudah diberi tahu. Sudah kehendak Tuhan Ki Patih menuruti pikiran yang muncul tiba-tiba, bukan rencana yang telah diputuskan kemarin. Ki Patih berangkat tanpa disertai pasukan. Hanya beberapa pengiring saja. Sekeluar Ki Patih dari pondokan para prajurit disuruh tinggal di markas. Perjalanan Ki Patih sudah sampai di Pangambengan.

Kedua Tuan Komisaris sudah mengirim kereta untuk menjemput Ki Patih. Ki Patih dipersialakan naik ke kereta. Di dalam kereta Ki Patih ditemani dua kapten. Kusir sudah mencambuk kuda. Kereta segera berangkat. Banyak prajurit Ki Patih yang mencoba menyusul, mereka berceceran di sepanjang jalan.

Kereta sudah sampai di pintu timur Loji. Prajurit Ki Patih yang berhasil menyusul tinggal empat orang abdi punakawan. Ketika mencoba ikut masuk mereka dihalau dengan pukulan rotan. Ki Patih melihat kejadian tersebut.

Ki Patih berkata kepada kedua kapten, “Apakah saya tidak boleh ditemani seorang pun?”

Dua kapten menjawab, “Pasti boleh.”

Namun kereta dipercepat lajunya. Setelah sampai di pintu depan kereta berhenti. Ki Patih dipersilakan turun. Tiga pembesar Kumpeni turun menyambut. Setelah bersalaman Ki Patih dibawa duduk di dalam. Keris Ki Patih ditarik. Dengan sigap prajurit dragonder mendekat dan menghunus pedang. Ada pula yang membidik dengan senapan. Ki Patih jatuh terkulai di atas kursi, mengira akan ditebas pedang. Namun beberapa saat tak terjadi apapun.

Ki Patih kembali duduk dan berkata, “Apa saya diberi kesempatan bicara?”

Tuan Komisaris berkata, “Sudahlah Ki Patih. Tidak ada pembicaraan apapun. Kami di sini hanya sekedar menjalankan perintah Sang Raja. Kami takut melanggar perintah Raja.”

Ki Patih lalu ditempatkan dalam kurungan. Beberapa prajurit Ki Patih yang datang segera diusir kembali ke pondokan. Pasukan Tumenggung Tirtawiguna kemudian menjarah pondokan Ki Patih. Tumenggung Tirtawiguna kemudian mengirim surat kepada Sang Raja memberitahukan bahwa Ki Patih sudah ditangkap Kumpeni. Sekarang sudah dipenjara di dalam Loji. Sang Raja sangat bersukacita karena penghalang langkahnya sudah sirna.

Alkisah, ketika Arya Pringgalaya dikalahkan pasukan Martapura di Tremala segera dia melaporkan kekalahannya kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bersedih mendengar berita tersebut. Kepala Kumpeni Kartasura Kapten Hohendorff yang melihat Sang Raja bersedih lalu mengirim surat kepada Tuan Kumendur dan Komisaris. Hohendorff meminta bantuan pasukan dari Semarang untuk menghadapi pasukan Cina jika mereka menyerang Kartasura.

Kedua Komisaris sepakat mengabulkan permintaan Hohendorff. Kartasura patut dibantu agar mempunyai pasukan yang kuat. Kedua Komisaris bahkan telah meminta para punggawa Kartasura menyediakan kuda angkut untuk membawa bubuk mesiu. Juga para punggawa Kartasura diminta untuk kembali bersama pasukan bantuan yang akan segera berangkat. Namun ketika dua komisaris meminta persetujuan Kumendur, sang Kumendur menolak.

Kumendur berkata, “Biarkan saja kalau Kartasura akan ditaklukkan pasukan Cina. Sang Raja kalau belum mengalami sengsara tidak akan ingat budi baik Kumpeni. Kumpeni tidak rugi kalau Kartasura diserang pasukan Cina. Malah kelak kita akan mendapat untung yang berlipat tiga atau empat.”

Kedua Komisaris diam tak bisa membantah perkataan Kumendur. Sementara itu para punggawa yang telanjur dijanjikan pasukan bantuan selalu mengharap pelaksanaannya. Setelah sekian lama menunggu tak kunjung menjadi nyata Tumenggung Tirtawiguna menemui Tuan Komisaris.

Berkata Tirtawiguna, “Mengenai kesanggupan tuan untuk mengirim pasukan bantuan ke Kartasura, kapan akan dilaksanakan? Sekarang sudah tersiar kabar pasukan Cina semakin mendekati Kartasura. Sang Raja sangat bersedih hati.”

Komisaris menjawab, “Saya minta kepada Anda Kyai, agar tidak kecewa terhadap melesetnya janji-janji saya. Karena saya ini juga harus tunduk kepada perintah Kumpeni. Apa yang telah saya janjikan kemarin harus mendapat persetujuan Dewan Hindia terlebih dulu. Sekarang kami baru menunggu keputusan Dewan Hindia.”

Para tumenggung kemudian pasrah dan tak lagi berharap pertolongan Kumpeni. Semua yang akan terjadi diserahkan kepada Tuhan. Ki Tirtawiguna dan para punggawa kemudian minta pamit. Setelah bersalaman mereka keluar dari Loji dan kembali ke pondokannya. Setelah para punggawa Kartasura keluar Tuan Kumendur menemui Komisaris Prisel dan Komisaris Tilen.

Tuan Kumendur berkata, “Tuan ketahuilah, biarkan Sang Raja terusir dari istananya dulu. Kalau sampai itu terjadi baru kita memberi pertolongan. Itu akan semakin memperbesar rasa berhutang budi Sang Raja. Juga akan menambah rasa terimakasihnya atas semua bantuan yang kita berikan. Saya sendiri tak berniat menurunkan Sang Raja. Kelak pasti akan saya bantu.”

Sementara itu di Kartasura, Kapten Hohendorff telah diberi istri oleh Sang Raja. Puteri keraton yang diberikan bernama Mas Ayu Retna Asmara. Peristiwa itu terjadi pada bulan Rabiulakhir.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/22/babad-tanah-jawi-160-patih-natakusuma-mendapat-marah-dari-sang-raja-lalu-ditangkap-kumpeni-di-semarang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...