Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (161): Pasukan Kartasura kalah perang melawan pasukan Cina

Alkisah di negeri Pati, Adipati Pati dan Raden Martapura sudah mendengar kabar bahwa Ki Patih sudah ditangkap Kumpeni di Loji. Mereka berdua tertegun dan beberapa saat tak mampu bicara. Sudah kehendak Tuhan, takkan berubah ketetapanNya. Raden Natakusuma seorang ksatria utama seperti Wong Agung Menak Jayengrana, kalau diberi keburukan selalu membalas dengan kebaikan.

Kedua punggawa Pati berembug bagaimana baiknya setelah Ki Patih tak lagi bersama mereka. Apakah perlawanan akan dilanjutkan oleh mereka berdua? Ibarat pertunjukkan wayang yang sudah tergelar, tiba-tiba dalangnya berhalangan. Kalau hendak menggantikan si dalang itu lebih mudah karena pakeliran masih tergelar.

Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang yang mendengar nasib Ki Patih sangat bersedih. Singseh sampai membanting teko penyeduh tehnya. Dalam hati menyesalkan langkah Ki Patih yang mendatangi Loji. Mengapa tak sekalian melawan dan bergabung dengan pasukan Cina.

“Apakah Tuan Patih tidak percaya kepada kami. Orang Cina takkan ingkar janji. Walau hancur jadi debu orang Cina takkan lari,” ratap kedua Kapten sambil berurai air mata.

Kedua kapten lalu bersumpah, “Anda berdua saksikan, akan kami hancurkan Kartasura menjadi debu. Hancur dalam perang.”

Adipati Pati dan Raden Martapura mengimbangi. Keduanya membanting keris. Sepakat keempat orang akan memberi tahu kepada Sang Prabu Kuning. Utusan segera dikirim ke markas Gubug. Kepada Sang Prabu Kuning utusan memberitahukan bahwa sang kakek Patih Natakusuma yang selama ini mendukungnya telah ditangkap oleh Kumpeni. Sang Prabu Kuning sangat bersedih, seharian hanya tiduran karena sedihnya.

Sementara itu Adipati Pati, Raden Martapura dan kedua kapten Cina telah memberangkatkan pasukan dari Toyana menuju markas Gubug. Sesampai di Gubug keempat punggawa menghaturkan sembah kepada Prabu Kuning.

Raden Martapura dan Adipati Pati berkata, “Paduka, sekarang kita teruskan langkah kita sendirian. Eyang paduka sudah menjadi tumbal, maka paduka harus bisa hidup mulia di tanah Jawa. Hamba akan menyerang Kartasura mumpung Semarang sedang repot. Semua pasukan Cina sudah kami tanyai dan mereka akan menurut kepada kami.”

Prabu Kuning menyerahkan sepenuhnya kepada kedua punggawa. Adipati Pati dan Martapura segera mengumumkan kepada pasukan agar bersiaga. Kapten Singseh, Kapten Sapanjang, Cik Etik, Cik Macan dan Ping Bulung sudah siap. Pasukan Prabu Kuning segera berangkat meninggalkan negeri Demak. Ping Bulung, Cik Macan dan Cik Etik memimpin pasukan garis depan. Adapun punggawa Jawa yang berada di depan adalah Ki Kartawirya dan Ranggajanur. Semua pasukan Cina ikut  berangkat, kecuali seratus orang yang ditinggal di Demak untuk berjaga-jaga. Di barisan belakang Raden Martapura dan Adipati Pati memimpin, bersama Kapten Singseh dan Kapten Sapanjang.

Pasukan Prabu Kuning telah sampai di Salatiga. Pasukan berhenti untuk menata barisan. Sambil berhenti mereka menaklukkan wilayah sekitar. Penguasa di Salatiga, Ki Singajaya dan Singapatra telah melaporkan kedatangan pasukan Cina di Salatiga. Kepada Sang Raja mereka melaporkan bahwa pasukan Cina telah membuat markas di Kalicacing. Semua pasukan Cina dan Jawa telah bergabung menjadi satu. Raja mereka Prabu Kuning juga turut serta. Kapten Hohendoff beregegas memanggil Tumenggung Mangkuyuda, Tumenggung Rajaniti dan Tumenggung Mangkupraja untuk berkumpul di istana.

Sang Raja berkata kepada para punggawa, “Kalian hadapilah musuh di Salatiga.”

Ki Tumenggung Rajaniti menyembah dan berkata, “Abdi paduka si Dipayuda dari Pamreden, bila diizinkan biar ikut bersama saya.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, panggillah segera.”

Dipayuda lalu dipanggil menghadap.

Sang Raja berkata, “Dipayuda, ikutlah menghadapi musuh di Salatiga.”

Ki Dipayuda menyembah dan menyatakan kesiapan.

Arya Wirajaya menyambung, “Di Tengaran Jurang itu Dinda, tempat itu rebutlah dulu. Jangan sampai diseberangi musuh.”

Rajaniti menoleh ke belakang, tapi tidak menanggapi. Dalam hati timbul rasa curiga kepada Wirajaya. Ketiga punggawa lalu menyembah, keempat bersama Dipayuda mereka segera keluar dari istana. Sesampai di luar mereka menyiapkan pasukan. Setelah semua siap keempatnya segera berangkat. Singkat cerita perjalanan mereka sudah sampai di Tengaran. Di sana mereka berhenti satu malam, paginya kembali meneruskan perjalanan dan bermarkas di Kaligandu. Musuh sudah di depan mata. Pasukan garis depan musuh sudah sampai di Tingkir.

Di saat yang sama, Sang Raja sudah mengirim utusan untuk memanggil Arya Pringgalaya di markas Kampak. Mereka sudah diberi tahu kalau musuh lewat jalan barat dan telah sampai di Salatiga. Arya Pringgalaya, Tumenggung Mangunnagara dan Mlayakusuma segera membubarkan barisan. Tumenggung Singaranu telah digantikan putranya,  demikian pula Tumenggung Wiraguna. Setelah pasukan Arya Pringgalaya sampai di Kartasura, segera diperbantukan ke Salatiga. Arya Pringgalaya berangkat melalui Boyolali dan kemudian menggelar barisan di Ambuh.

Sementara itu di barisan Kalicacing, Raden Martapura sudah mendapat laporan dari prajurit sandi bahwa pasukan Kartasura sudah dikerahkan semua ke Salatiga. Barisan Kampak sudah ditarik dan diperbantukan ke pasukan yang berada di Salatiga. Raden Martapura tertawa terbahak-bahak kegirangan. Raden Martapura lalu menunjuk sepuluh orang mantrinya kembali ke timur dengan berpakaian ala Cina. Mereka berpatroli di bekas markas Kampak sambil menaklukkan desa-desa sekitar Kampak. Tujuan Martapura agar orang-orang menjadi bingung. Setelah beberapa desa ditaklukkan orang-orang Kampak mengirim utusan untuk memberitahu Sang Raja. Sang Raja segera memerintahkan sebagian pasukan yang berada di Ambuh untuk kembali ke Kampak. Yang ditunjuk adalah Tumenggung Mangunanagara dan Raden Mlayakusuma. Keduanya segera berangkat menuju Kampak. Mereka kemudian bermarkas di Tanawas untuk mengawasi wilayah Kampak dan sekitarnya.

Raden Martapura yang mendengar pergerakan pasukan Kartasura memukul paha karena geli.

Berkata Raden Martapura sambil tertawa, “Itu orang Kartasura mondar-mandir tak sempat berak.”

Raden Martapura dan Adipati Pati sepekat untuk menyerang pasukan Kartasura yang berbaris di Kaligandu.

“Ayo kita serang, kalau yang di depan itu sudah hancur, barisan Pringgalaya yang dibelakang tak berguna lagi. Si Pringgalaya ksatria licik, hanya bisa bertindak jail. Kalau mendengar akan kuserang pasti lari terbirit-birit.”

Para komandan pasukan Cina setuju usulan Martapura. Segenap pasukan Prabu Kuning segera berangkat memukul barisan Kartasura di Kaligandu. Ngabei Ping Bulung dan Cik Macan menjadi pasukan garis depan. Di belakangnya Raden Martapura menempati bagian dada. Kapten Sapanjang berada di sayap kanan dan Kapten Singseh berada di sayap kiri.

Sementara itu barisan Kaligandu sudah mendengar kalau mereka akan diserang. Para punggawa keluar menata barisan.

Ki Dipayuda berkata, ‘Kalau kekuatan kita cukup, saya akan menyerang dari sisi kanan barisan musuh. Kalau saya sudah masuk ke barisan Anda menyerang dari depan.”

Ki Tumenggung Mangkuyuda setuju. Namun Ki Rajaniti dan Ki Mangkupraja bersikeras agar pasukan tetap menjadi satu. Keempat punggawa masih berselisih dan belum satu kata. Mendadak barisan depan musuh sudah datang dan langsung memberondong dengan tembakan. Pasukan Ki Mangkuyuda menahan dengan balas menembak. Pasukan Cina merangsek dengan berani. Kedua kubu saling baku tembak. Pasukan Mangkuyuda yang berisi orang Kedu tak gentar. Namun pasukan Cina terus berdatangan dari belakang. Mereka mengamuk dengan pedang abir. Pasukan Kartasura tak kalah garang. Kedua pasukan terus bertempur dengan sengit.

Ngabei Ping Bulung melihat pasukan Cina kesulitan menembus pertahanan pasukan Kartasura. Ping Bulung lalu membawa seratus prajurit Cina bergerak melingkar dan menyerang dari sisi kiri. Tepat di tengah barisan Kartasura Ping Bulung dan pasukannya menerjang. Pasukan Kartasura terbelah dan bubar berlarian. Barisan mereka rusak. Pasukan Rajaniti terdesak. Tumenggung Mangkuyuda dan Dipayuda berusaha menutup lobang di tengah barisan. Kedua punggawa sudah terjun ke medan perang. Ki Mangkuyuda mengamuk menebas ke kiri dan kanan. Namun pasukan Ki Rajaniti terlanjur kacau balau. Ki Rajaniti lari bersama pasukannya.

Ping Bulung lalu mengarahkan pasukannya ke tempat Tumenggung Mangkuyuda. Pasukan Kedu pimpinan Mangkuyuda tangguh, tapi pasukan Pamreden pimpinan Dipayuda berhasil didesak mundur. Pasukan Bumija pimpinan Ki Mangkupraja pun berhasil dipukul.

Ki Mangkupraja berseru, “Ayo Kanda Mangkuyuda kita mundur dulu.”

Mangkuyuda dan Dipayuda mencoba tetap bertahan. Mereka berdua terus mengamuk mengobrak-abrik pasukan Cina.

Ki Mangkupraja berkata kepada mantri prajurit Bumijo, “Hai bocah, peganglah kuda si Kanda Mangkuyuda dan Paman Dipayuda. Arahkah ke selatan dan cambuklah.”

Mantri Bumija yang disuruh segera melaksanakan perintah. Kuda Ki Mangkuyuda dan Dipayuda dipegang kendalinya dan diarahkan ke belakang. Kuda segera dicambuk pelan dan berlari ke belakang. Mangkuyuda dan Dipayuda sudah mundur. Pasukan Cina terus mengejar, tetapi tak mendekat. Hanya terus mengikuti di belakang.

Pasukan Kartasura berhenti di selatan Jurang Tengaran. Ki Mangkuyuda dan Dipayuda menata barisan kembali. Adapun Ki Rajaniti dan Ki Mangkupraja terus berlari mengungsi ke barisan Pringgalaya di Ambuh. Pasukan Arya Pringgalaya yang melihat merasa ciut hatinya. Mereka menanyakan jalannya peperangan. Kabar kalahnya pasukan Kartasura di Kaligandu telah menyebar sampai ke kota. Kabar yang mereka terima pasukan Cina sangat kuat dan tangguh serta berani. Orang-orang di kota ketakutan, sebagian sudah mengungsi mengamankan diri.

 Pasukan Cina kemudian menduduki markas pasukan Kartasura di Kaligandu. Para punggawa Prabu Kuning berembug menentukan langkah berikutnya.

Berkata Singseh dan Sapanjang, “Tuan Adipati dan Raden Martapura, bagaimana langkah selanjutnya? Kalau orang Cina berpikir, jangan tanggung, sekalian kita pukul kotaraja.”

Raden Martapura berkata, “Sabarlah dulu, jangan tergesa-gesa dalam berperang. Agar mereka merasakan dulu bagaimana rasanya kalah perang. Karena orang Jawa itu kalau kepepet malah berani mati. Berat nanti kita melawannya. Biarkan mereka ketakuran dan lari. Adat kebiasaan orang Pajang, kalau hati mereka takut kekuatannya tak muncul lagi.”

Pasukan Cina pun menurut pada siasat Raden Martapura. Untuk sementara mereka tidak menyerang kota.

Di lain tempat, dari barisan Ambuh Ki Tumenggung Rajaniti memberi tahu kepada Sang Raja bahwa pasukan Kartasura kalah melawan pasukan Cina. Barisan Kaligandu hancur dan banyak prajurit tewas. Sang Raja sangat kaget. Segera Sang Raja memanggil para kerabat untuk membantu. Pangeran Angabei, Pangeran Buminata, Pangeran Dipanagara, Pangeran Singasari, Pangeran Rangga, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Arya Pamot, Pangeran Arya Mataram, Pangeran Panular, Pangeran Danupaya dan Pangeran Silarong telah mengerahkan pasukan. Mereka telah berbaris di sebelah barat Banyudana.

Raden Martapura mendengar bahwa para kerabat Sang Raja telah keluar ke medan perang. Martapura sangat bersukacita.

Berkata Raden Martapura kepada Adipati Pati, “Ki Adipati, kini pasukan Kartasura sudah tidak punya keberanian. Para bupati sudah seperti ayam dikebiri. Hanya tinggal di selatan Jurang Tengaran, pasukan Ki Mangkuyuda yang berat dilawan. Namun prajuritnya banyak yang minggat. Sebaiknya aku kirimi surat saja.”

Raden Martapura segera menulis surat dan mengirim utusan untuk menyerahkan kepada Ki Mangkuyuda di Jurang Tengaran. Surat sudah diterima Ki Mangkuyuda dan dibaca dengan seksama.

Isi suratnya: “Setelah saya sampaikan salam Kanda, saya beritahukan bahwa perjalanan saya ini membawa momongan saya. Kami hendak menagih sebagai ahli waris, untuk menggantikan Sang Raja. Karena itu Kanda jangan salah paham. Karena Anda orang kecil seperti halnya saya. Ingatlah bahwa leluhur Anda punya nama Mangkuyuda, itu siapa yang memberi? Tak lain kakek dari raja saya ini. Kalau Anda hendak berbela kepada raja Anda, silakan. Namun berbarislah di belakang Pringgalaya. Namanya orang kecil walau berbela mati yang kondang tetap kerabat raja. Namun kalau Kanda tak mau mundur, jangan mengadu pasukan. Ayo kita bertarung saja. Walau Kanda berupa raksasa, saya akan menandinginnya.”

Ki Mangkuyuda setelah membaca surat merasa gentar. Martapura tak menyia-nyiakan kesempatan. Pagi hari Ping Bulung dan Cik Macan dikirim bersama seratus prajurit Cina. Mereka bersorak sambil menabuh kentongan. Tumenggung Mangkuyuda sudah diberi laporan kedatangan pasukan Cina. Ki Mangkuyuda sudah bersiap, tetapi segera bergerak mundur bergabung ke barisan Arya Pringgalaya. Markas Tengaran sudah diduduki pasukan Cina. Namun pasukan Cina tidak berani mengejar karena belum mendapat perintah dari Adipati Pati maupun Raden Martapura. Mereka kemudian dengan sedikit kerepotan berhenti di selatan sungai.

Dari markas Ambuh, Raden Pringgalaya memberi tahu Pangeran Ngabei kalau musuh sudah sampai di Ampel. Mereka menjarah harta benda dan memboyong para wanita. Pangeran Angabei kaget, segera memanggil para adik. Semua telah hadir di hadapan Pangeran Ngabei.

Berkata Pangeran Ngabei, “Para adikku semua, bagaimana pendapat kalian perkara tempat yang akan dipakai untuk menghadapi pasukan yang akan datang. Kita cari tempat yang di depan terang dan di belakang gelap. Kalau kalian setuju lebih baik kita pindah ke Asem.”

Pangeran Mangkubumi berkata, “Saya tidak setuju karena tempatnya sempit. Lebih baik di sebelah barat Teras, tempatnya luas dan di belakang juga gelap serta di depan terang.”

Sang kakak berseru, “Tidak bagus itu Dinda, di kiri kanan terbuka dan rata. Jadi musuh bisa menyerang dari samping. Kita bisa terjepit. Lebih baik Asem. Kalaupun mau membuat benteng juga bisa.”

Para adik tak keberatan, mereka lalu bubar dan bersiap berangkat ke Asem.

Sementara itu Raden Martapura dan Adipati Pati sudah sepakat untuk memukul barisan Arya Pringgalaya di Ambuh. Para komandan pasukan Cina sudah ditanyai kemantapan mereka. Mereka semua sangat suka jika terus melanjutkan perang. Walau sampai mati pun tekad mereka tak reda sebelum Kartasura jatuh. Mereka sudah tak sabar berlama-lama di jalan dan ingin segera bertempur. Adipati Pati pun menurut. Segera tanda berangkat dibunyikan. Prajurit Cina berada di garis depan dengan menabuh kentongan. Ping Bulung membawa seratus prajurit Cina sebagai pembuka jalan. Kapten Sapanjang menyambung di belakangnya. Lalu di belakang lagi bersambung pasukan Raden Martapura. Sedangkan Adipati Pati dan Kapten Singseh menjaga Prabu Kuning di belakang.

Pasukan pembuka yang dipimpin Ping Bulung sudah sampai di Ampel. Mereka berhenti untuk menata barisan. Pasukan Kartasura sudah mendengar kalau musuh akan segera tiba. Raden Arya Pringgalaya mengundang pasukan untuk segera bertempur. Di desa Kentheng mereka bersiap menghadapi musuh. Pasukan Cina langsung menerjang. Ping Bulung menyerang sambil berteriak-teriak kegirangan. Pasukan Cina memberondong tembakan dengan gencar. Pasukan Kartasura terdesak dan bubar berlarian. Pasukan Arya Pringgalaya diterjang teman sendiri yang lari, mereka jadi ikutan lari. Belum juga melihat musuh pasukan Arya Pringgalaya lari terbirit-birit. Pasukan Cina terus mengejar. Mereka sampai di barisan belakang yang dipimpin Ki Dipayuda dari Pamreden. Ki Dipayuda berusaha menahan laju pasukan Cina di Majasanga. Hanya sebentar mereka berperang. Ki Dipayuda tak mampu menahan serangan Ping Bulung. Dipayuda lari menuju Teras.

Ada bantuan datang dari kesatuan Nirbaya dan Jagabaya serta Sarageni. Lurah prajurit Jagabaya bernama Puspakusuma, seorang keturunan Surabaya yang pemberani, anak dari Ki Arya Jayapuspita. Puspakusuma ketika sampai di Banyudana bertemu dengan pasukan Pringgalaya yang baru saja melarikan diri.

Puspakusuma berkata, “Bagaimana rencana tuan, saya disuruh untuk membantu.”

Arya Pringgalaya berkata, “Baik kita segera maju. Aku tunggu kalian.”

Puspakusuma dan pasukannya bergerak ke Teras dan bergabung dengan pasukan Dipayuda. Pasukan Cina yang mengejar sudah terlihat. Tidak lama kemudian pertempuran sengit kembali pecah. Pasukan Cina mengamuk membabi buta. Mereka memanggul kalantaka dan terus menembak. Pasukan Puspakusuma hancur berlarian. Puspakusuma masih mencoba menahan serangan bersama dua belas prajuritnya. Dengan menenteng tombak mereka menerjang ke kiri-kanan. Banyak prajurit Cina tewas terkena tombak. Pasukan Cina lalu menyingkir sambil menunggu bantuan dari belakang.

Sementara itu pasukan Nirbaya, Jagabaya dan Sarageni telah lari meninggalkan Puspakusuma yang mereka kira telah tewas. Raden Pringgalaya lari paling duluan menuju Banyudana. Sambil terus mencambuk kudanya menerjang barisan pasukan para kerabat di Asem. Pangeran Ngabei dan adik-adiknya pun ikut berlari menyelamatkan diri.

Di depan Puspakusuma bersama dua belas prajuritnya masih mengamuk. Pasukan Cina terus berdatangan dari belakang. Ping Bulung sudah sampai bersama Kapten Singseh. Pasukan Cina kembali menerjang Puspakusuma. Karena musuh terlalu banyak Puspakusuma perlahan mundur. Sambil mundur Puspakusuma memanggil-manggil pasukan Kartasura yang terlihat berlarian.

“Hai pasukan Kartasura, bantulah saya ini. Aku minta lima puluh orang saja. Kalian bersoraklah di belakangku. Aku sendiri yang akan mengembalikan orang Cina ke Salatiga. Kalau orang Cina tak bisa aku kembalikan, aku bukan anak Jayapuspita, aku bukan darah Surabaya.”

Para prajurit Kartasura yang mendengar menoleh, tapi tak ada yang berani kembali. Puspakusuma jengkel.

Sambil menangis Puspakusuma meratap, “Duhai Tuanku Sang Raja, apa semua abdi paduka sudah tak merasakan kewibawaan raja? Apakah dari sekian abdi tak ada yang dari keturunan orang mulia?”

Pasukan Cina terus merangsek maju sambil membakar-bakar rumah penduduk desa di sepanjang jalan Banyudana.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/25/babad-tanah-jawi-161-pasukan-kartasura-kalah-perang-melawan-pasukan-cina/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...