Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (163): Raja Pakubuwana meninggalkan keraton Kartasura bermaksud ke Magetan

Kapten Hohendorff berbisik kepada Sang Raja, “Kalau ke barat bisa celaka Tuan. Lebih baik ke arah timur. Nanti bila tidak beruntung masih bisa masuk ke Loji Kumpeni di Surabaya, lalu kelak bisa kembali ke Semarang untuk membangun kembali pasukan. Kelak bisa menyerang Kartasura dari Semarang.”

Semua kuda sudah siap di istana. Seekor kuda bernama Wijayacapa membawa pusaka yang sudah dibungkus kain, Kyai Giwang dan Kyai Macanguguh. Juga ada lagi pusaka bernama Kyai Remeng, juga sudah dinaikkan ke atas kuda bernama Endracapa. Ada kuda lagi bernama Gandaprana, juga sudah siap dipakai. Jumlah kuda Sang Raja semua ada enam ekor yang sudah siap.

Sang Raja berseru, “Hai, ayo segera berangkatkan bocah-bocah yang berada di depan. Kita lewat jalan selatan, jangan sampai lengah. Pintu utara gemboklah segera.”

Sang Raja kemudian memberi perintah kepada Pangeran Adipati dan putri Sang Raja, “Nak, engkau berangkatlah bersama kakak-kakakmu.”

Pangeran Adipati kemudian naik kuda bernama Gandaprana. Adik Sang Raja Ratu Maduretna dan para istri masing-masing telah naik kuda. Raden Ayu Kilen naik kuda warna biru, namanya Anila. Ratu Maduretna selalu melorot dari kudanya. Adapun para istri yang tidak bisa naik kuda, mereka hanya berjalan kaki di belakang Sang Raja. Sang Raja naik kuda Wijayacapa, kuda warna dhawuk putih. Sang Raja dan rombongan segera berangkat meninggalkan istana. Para penghuni istana menangisi kepergian Sang Raja.

Raden Ayu Kilen sudah di atas kuda, berjalan di depan Pangeran Adipati. Sang Raja sudah keluar dari gerbang. Tiba-tiba kuda yang dinaiki salah satu istri Sang Raja terlepas. Penunggangnya jatuh. Si kuda lalu mengamuk menerjang para prajurit. Amukan si kuda membuat rombongan kesulitan bergerak. Sang Raja memerintahkan agar si kuda ditombak. Dua puluh orang maju ke depan menghadang si kuda. Si kuda menerjang dengan berani. Tombak-tombak patah, tetapi si kuda tidak mati. Lalu para prajurit mengejar lagi. Si kuda akhirnya bisa dibunuh. Rombongan Sang Raja meneruskan perjalanan.

Rombongan sudah keluar dari pintu istana. Pangeran Adipati berada di depan Sang Raja. Adapun yang berada di depan Pangeran Adipati adalah Raden Ayu Kilen. Sebagai penunjuk jalan Emban Sutayuda yang berada di barisan paling depan.

Setelah keluar dari keraton rombongan dicegat pasukan Cina, tetapi jumlahnya tidak banyak. Pasukan Cina menembak sehingga rombongan sang Raja yang berada di depan berlari. Sedangkan yang berada di belakang kembali masuk istana. Pangeran Adipati dan Raden Ayu Kilen sudah berlari ke selatan. Lalu berhenti menunggu Sang Raja yang masih berada di belakang. Ki Sutayuda menderita luka-luka. Rombongan Raden Ayu Kilen hendak mundur masuk kembali ke istana, tapi pasukan Cina masih mengepung. Mereka lalu terus berlari ke timur. Pangeran Adipati berhenti di depan pintu masuk dan mencoba mengusir pasukan Cina yang berada di luar pintu. Pangeran Adipati bertempur tak kenal takut. Para prajurit segera memegang kuda sang pangeran, Pangeran Adipati lalu dipersilakan turun. Seorang tukang kuda bernama Saratruna lalu menggendong Pangeran dan membawanya masuk ke istana.

Sang Raja kemudian turun memimpin sisa pasukan yang masih berani berperang. Empat orang prajurit Sawojajar lalu naik ke pagar bersama Ki Bangsantaka dan Bangsapatra. Keenam orang tersebut menembaki pasukan Cina yang berada di luar pagar. Namun pasukan Cina balas memberondong dengan tembakan. Keenamnya tak mampu menghadapi, lalu kembali turun.

Pasukan Sang Raja yang tinggal sedikit masih melakukan perlawanan dengan menembak dari sela-sela pagar. Ada seorang serdadu Kumpeni pengawal raja mencoba naik ke pelataran sambil menembak pasukan Cina. Ketika sampai di atas pasukan Cina balas memberondong dengan tembakan. Si Kumpeni takut dan turun lagi. Paukan Cina terus menembak dari luar. Sesekali mereka melempar petasan yang sudah disulut. Juga menembak dengan kalantaka.

Kapten Hohendorff menjadi ciut hatinya. Pengawal Sang Raja tinggal beberapa orang saja. Selain dirinya, yang masih tersisa adalah Bangsantaka, Bangsapatra dan Wirareja. Juga ada beberapa mantri, seperti Galempo, Martajiwa, si tukang kuda Suranagara, seorang punakawan bernama Jaya, juga beberapa prajurit Besar, Timus, Tajang dan Sutagati. Beberapa prajurit kaparak masih menyertai, Wirataka, Ragisuta, Wangsamenggala, Trunawangsa dan beberapa orang lagi.

Melihat pengawal Sang Raja tinggal sedikit Kapten Hohendorff segera bertindak cepat. Tangan Sang Raja dipegang dan dinaikkan kuda. Hohendorff membawa Sang Raja ke arah timur laut. Pasukan  Cina keburu masuk ke dalam pagar. Karena tergesa-gesa Sang Raja sampai lupa keberadaan Pangeran Adipati. Sang Raja mengira Pangeran Adipati telah berada di depan rombongan. Pasukan Cina yang baru masuk mendapati di dalam kompleks istana telah kosong. Ada kerumuman orang yang tampak berlari ke arah timur. Pasukan Cina kemudian menembaki mereka dari jauh. Hanya agar supaya mereka kapok saja.

Sang Raja dan rombongan telah keluar melalui kebun. Di depan tampak pintu kecil yang sudah ditutup. Sang Raja menyuruh untuk membongkar pintu itu. Bangsantaka menyarankan agar rombongan terus bergerak ke timur. Akan terlalu lama kalau harus membongkar bekas pintu yang telah ditutup. Di timur ada tembok yang telah roboh. Lebih mudah untuk dilewati.

Sementara itu Pangeran Adipati ternyata masih tertinggal di belakang. Karena tidak mendapat kunci maka beberapa orang pengawalnya menjebol pintu. Pangeran terus lari ke timur menyusul Sang Raja.

Sang Raja telah sampai di tembok yang roboh. Tampak Ki Wirareja telah keluar untuk melihat situasi. Setelah dirasa aman Ki Wirareja memberi tanda agar Sang Raja melompati pagar. Sang Raja melompati pagar dengan naik kuda. Tiga kali kuda digertak, baru mau bergerak. Ketika melangkah di tengah-tengah pagar si kuda tak bisa maju lagi. Si kuda tiba-tiba mati. Sang Raja lalu turun dari kuda. Kapten Hohendorff selalu menjaga di samping Sang Raja bersama beberapa perwira Kumpeni, Juru tulis Toutlemonde dan Letnan Nugu. Letnan Nugu kehilangan topi, lalu mengambil topi prajurit Sarageni. Ki Jaya, Bangsapatra dan Bangsantaka menjaga Sang Raja di belakang.

Sang Raja sudah berada di luar pagar. Segera berangkat dengan berjalan kaki. Sesampai di jalan besar terlihat pasukan Cina di arah barat. Sang Raja menuju ke timur dan setelah beberapa lama berjalan kemudian beristirahat di Wirakancanan. Di Wirakancanan Sang Raja bertemu melihat pengasuh istana bernama Nyai Garon sedang naik tandu. 

Berkata Sang Raja, “Bibi, engkau turunlah. Tandumu aku pakai.”

Nyai Garon kaget melihat Sang Raja berada di dekatnya. Dengan tergopoh-gopoh Nyai Garon turun dari tandu. Salah seorang keponakan Nyai Garon tingkahnya berlagak di hadapan Sang Raja, agak marah dan bersikap kasar. Dia tidak tahu kalau orang yang baru saja menyuruh Nyai Garon turun adalah Sang Raja.

Nyai Garon memarahinya, “Mengapa engkau bersikap kasar kepada Sang Raja. Dia adalah tuanku yang mengabdikanmu.”

Si keponakan terkejut dan ketakutan. Dengan tertunduk dia pergi menyingkir. Nyai Garon menyiapkan tandu untuk Sang Raja, tetapi tidak jadi dipakai. Kapten Hohendorff telah mendapat kuda pengganti. Kuda yang bagus berwarna dhawuk putih. Sang Raja segera menaiki si kuda dan meneruskan perjalanan. Sebelum pergi Sang Raja sempat berkata kepada Nyai Garon.

“Hai bibi, engkau ikut aku,” seru Sang Raja.

Nyai Garon menyatakan kesiapan, tetapi tidak jadi ikut karena rombongan Sang Raja segera berlalu. Tidak berapa lama rombongan Sang Raja telah sampai di Makamdawa.

Di saat yang bersamaan Pangeran Adipati telah sampai di pagar bata yang roboh. Di situ terlihat kuda Sang Raja yang mati. Pangeran keluar mengikuti jejak rombongan Sang Raja. Sesampai di jalan besar Pangeran melepas pakaiannya. Hanya celana yang masih dipakai. Sebab Pangeran melepas pakaian agar bisa menyamar berbaur dengan para kawula. Pangeran hanya dikawal oleh lima orang prajurit. Si Anggayuda, Nartawangsa, Patradita, Setratruna dan Wirasuta. Ada seorang lagi yang tadinya ikut rombongan Sang Raja. Ketika dia tak mendapati Pangeran Adipati dia kemudian menjemput Pangeran, namanya Singapada. Jadi sekarang Pangeran kemudian dikawal oleh enam orang tersebut.

Ketika rombongan Pangeran melewati sebuah gang, mereka kepergok prajurit Cina. Jumlahnya kira-kira dua puluh orang. Mereka sedang duduk beristirahat. Tiga orang kemudian mendekat ke arah pangeran. Dua orang diantaranya membawa senapan. Segera mereka menembak dan mengenai leher Pangeran Adipati. Rambut Pangeran terpangkas, tetapi Pangeran selamat. Rombongan Pangeran lalu masuk ke perumahan dan bersembunyi. Pangeran kemudian menghunus keris Kyai Baruwang. Pangeran khawatir kalau para abdi mengkianatinya. Rombongan Pangeran terus menyelinap di antara perumahan warga. Setelah menjebol tembok mereka berhasil lolos. Si pemilik rumah yang temboknya dijebol bernama Suradiwangsa. Setelah berada di dalam rumah Ki Suradiwangsa memohon agar Pangeran menyarungkan kerisnya.

Berkata Ki Suradiwangsa, “Sebab paduka saya mohon menyarungkan senjata, karena akan merepotkan kalau berjalan sambil menghunus keris. Para abdi paduka ini tidak ada yang akan meninggalkan paduka. Umpama nanti mendapat celaka, lebih baik para abdi ini tewas daripada berkianat.”

Pangeran Adipati tenang hatinya, lalu segera menyarungkan keris Kyai Baruwang. Rombongan Pangeran Adipati melanjutkan perjalanan melalui gang-rang dan terus menuju ke timur. Dalam perjalanan Pangeran selalu digendong bergantian. Ki Karawangsa mengendong sampai di Makamdawa. Lalu diganti Ki Anggayuda. Perjalanan Pangeran dipercepat agar segera menyusul Sang Raja.

Peristiwa hengkangnya Sang Raja dari istana ini terjadi pada hari Sabtu Wage, waktu matahari tergelincir, tanggal dua puluh tujuh bulan Rabiulakhir, tahun alip. Sengkalan tahunnya: gunung obah rêtuning wong sri narendra[1]

Sementara itu Sang Raja telah meninggalkan Makamdawa dan sampai di sebuah tanah lapang. Nama desanya Karangasem. Letaknya di sebelah selatan Pasadhakan. Sang Raja beristirahat di bawah pohon asem. Baru mereka sadari bahwa Pangeran Adipati tidak bersama mereka.

Sang Raja bertanya, “Di mana Pangeran Adipati berada?”

Para pengawal kebingungan. Salah seorang mengatakan kalau Pangeran Adipati masih tertinggal di belakang. Bergetar hati Sang Raja. Serta merta membalik kuda ke arah belakang.

Berkata Sang Raja, “Ayo kita kembali untuk merebut putraku. Hohendorff engkau jangan ketinggalan. Bagaimana aku nanti kalau putraku kesayanganku sampai tertangkap musuh.”

Ki Wirareja tiba-tiba datang dari belakang. Semula Ki Wirareja ketinggalan rombongan Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Bapak, bagaimana ini putraku tertinggal. Aku ini meninggalkan istana tidak lain adalah untuk menyelamatkan putraku. Sekarang putraku malah tertinggal. Ayo kita kembali untuk merebutnya. Apa guna kita lari kalau putraku tak selamat. Lebih baik kita berempur sampai mati mempertahankan istana.”

Kapten Hohendorff membujuk Sang Raja, “Tuan, sabarlah dulu. Jangan tergesa-gesa untuk marah. Andai tuanku kembali, itu ibarat masuk ke dalam api. Adapun putra paduka, saya yang akan mencari.”

Tidak lama kemudian Pangeran Adipati muncul dari sela-sela perumahan penduduk. Dia tampak digendong oleh seorang abdi. Ketika sang putra terlihat hati Sang Raja tenang. Seperti orang sakit mendapat obat. Sang Raja memanggil sang putra untuk segera mendekat. Sang putra turun dari gendongan dan berlari memeluk sang ayah. Sang Raja menggendongnya dan mencium sang putra berkali-kali.

Berkata sang Raja, “Bagaimana engkau bisa terpisah dari ayah, anakku.”

Sang putra berkata pelan, “Saya tadi keluar dari istana, orang Cina menembak saya di gang. Pelurunya menyerempet leher dan membuat rambut saya putus. Saya salah mengira yang menembak abdi sendiri. Lalu saya menarik keris Kyai Baruwang. Pikir saya, kalau sampai para abdi meninggalkan saya, akan saya tikam sekalian. Saya akan mengamuk. Jangan sampai semuanya hidup. Namun ayah, setelah kami masuk perumahan hati saya tenang. Keris saya sarungkan kembali.”

Sang Raja berkata, “Lalu di mana kakak perempuan dan adik-adikmu?”

Pangeran Adipati menjawab, “Saya tidak tahu ayah.”

Hati Sang Raja tercabik-cabik, lalu berkata kepada Ki Wirareja, “Bapak, bagaimana ini. Putra-putra perempuanku, istri dan ibuku masih berada di dalam istana. Ayo sekarang kita rebut. Dengan pasukan kita yang seadanya, biar dipimpin oleh Hohendorff dengan serdadu Kumpeni seadanya.”

Tak lama dari arah istana tampak asap membubung tinggi. Istana telah dibakar.

Ki Wirareja berkata, “Paduka, hamba menghaturkan hidup dan mati. Bila paduka ingin menyerang ke istana, maka sia-sia saja. Pasukan paduka tak seberapa. Ibarat lebah masuk ke api. Akan hancur seketika. Hamba kita ibu, istri dan putri-putri paduka akan selamat. Lebih baik paduka mengamankan diri dulu agar dapat mengumpulkan para prajurit. Besok istana dapat kita serang lagi bila kekuatan kita sudah terkumpul.”

Mendengar saran Ki Wirareja, hati Sang Raja reda. Bergegas rombongan melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan Sang Raja merasa sangat bersedih. Teringat ibu, istri dan anak-anak perempuan yang tidak jelas nasibnya. Apakah ini hukuman dari Tuhan kepadaku? Bagaimana hendak menghindar kalau sudah takdir aku harus menemui kehinaan. Seperti diiris-iris hati Sang Raja, merasakan kepedihan hati yang sangat. Sepanjang jalan Sang Raja menahan airmata kesedihan.

Perjalanan rombongan Sang Raja terus menuju arah timur laut. Sebentar lagi masuk ke jalan besar yang menuju Pakudusan. Rombongan sudah sampai di desa Windan. Ki Wirareja selalu berjaga-jaga di belakang rombongan. Adapun yang berjalan di depan sebagai penunjuk jalan adalah Ki Bangsantaka dan sang adik Ki Bangsapatra. Lalu di belakang mereka Ki Sutamenggala Galempo, tukang kuda Suranagara, Ki Purbajaya saudara ipar Raden Wiratmeja Pati, dan lagi Tarunajaya serta Naladirja Gresik. Juga Ki Kartatruna, punakawan si Jaya, Tajang, Besar dan Jimus. Si pelatih kuda Sutagati, Wangsapati dari Garembyang dan tak ketinggalan Ki Wirantaka. Juga tak ketinggalan pengasuh Pangeran Adipati, si Emban Semangka. Lalu di belakang, yang menemani Ki Wirareja adalah Nayamenggala alias Gobes.

Sang Raja berkata, “Abdi macapat berada di mana, seperti Wirajaya, Natayuda dan Surawiguna?”

Ki Wirareja berkata, “Abdi paduka macapat semua, kalau paduka nanti kembali ke istana mereka tak layak diabdikan lagi. Si Wirajaya dulu sewaktu paduka akan keluar istana kesanggupannya besar, tapi ketika bahaya datang lari terbirit-birit bersama teman-temannya. Orang seperti itu layak dihukum tikam oleh orang banyak.”

Ki Wirareja lalu berkata kepada Ki Wangsantaka, “Sepertinya ini sudah habis, tidak ada yang menyusul lagi.”

Sang Raja berkata, “Apa yang kamu katakan Wirareja?”

Ki Wirareja berkata, “Paduka, abdi paduka sudah habis. Tidak ada yang akan menyusul lagi. Saya mohon paduka berkenan berangkat lagi ke tempat yang agak jauh.”

Sang Raja dan rombongan segera bergegas. Rombongan sudah memasuki jalan besar ke arah timur dan sampai di desa Lawiyan. Di timur pasar jalanan becek dan sulit dilalui. Kuda Sang Raja berbelok ke selatan menghindari genangan. Sang Raja lalu turun dari kuda. Setelah berhasil melalui jalan becek Sang Raja kembali naik kuda. Kapten Hohendorff selalu berjaga di samping Sang Raja. Rombongan lalu meneruskan perjalanan. Tidak lama sampai di pintu gerbang Adiwarna. Mengira di Adiwerna ada orang Cina, para serdadu Kumpeni waspada. Mereka segera mengisi senapan dengan peluru dan maju ke depan untuk berjaga-jaga. Namun ternyata di Adiwarna tak ada orang Cina ditemui. Semua yang berjaga di pintu hanya orang Jawa. Rombongan meneruskan perjalanan dengan aman ke arah timur laut.

Ki Wirareja berkata, “Paduka, kehendak paduka akan ke mana, karena arah kita menuju timur laut?”

Sang Raja berkata, “Aku akan ke Surabaya. Itu tempat yang layak untuk diminta perlindungan.”

Ki Wirareja berkata, “Duhai paduka, bila berkenan sebaiknya kita ke Mataram. Karena semua abdi paduka tujuan mereka mengungsi semuanya ke Mataram. Juga para kerabat paduka menuju ke sana. Bila dapat berkumpul maka paduka dapat membentuk pasukan kembali.”

Sang Raja berkata, “Belum tentu mereka ke sana. Dan belum tentu mereka mampu kita ajak perang kembali. Kita pikirkan nanti saja. Sekarang kita mencari selamat dulu.”

Ki Wirareja berkata, “Hamba berserah kepada paduka. Ke manapun yang paduka tuju, hamba akan mengiringi. Namun saran hamba lebih baik paduka melewati jalan selatan. Kalau bisa menyeberang Paserenan maka akan banyak abdi paduka yang ditemui di sana. Tempat yang biasa para abdi singgahi adalah Kedhunggudel. Kalau nanti yang ikut mengawal paduka semakin banyak, perjalanan paduka lebih aman.”

Sang Raja menuruti saran Ki Wirareja. Setelah melewati pintu Adiwarna Sang Raja memerintahkan rombongan berbelok ke selatan. Setelah menyeberang sungai di Jenes, rombongan sampai di Kadhiwekan. Di arah selatan terlihat di desa Babad ada serombongan orang berbaris menuju ke timur. Rombongan Sang Raja meneruskan perjalanan ke arah tenggara. Tak lama bertemu dengan rombongan tersebut di desa Pagedhangan. Ternyata mereka sekumpulan prajurit yang dipimpin Santayuda dari Cengkalsewu. Adapun tujuan mereka berjalan ke timur adalah menyusul Sang Raja. Di antara mereka ada Raden Wangsatruna, juru bahasa Secapati dan Kanduruan Pacitan. Ketika mereka tahu Sang Raja bersama rombongan yang mereka temui, segera mereka menghadap dan sungkem. Sang Raja menerima mereka semua untuk bergabung.

Beberapa saat rombongan beristirahat di Pagedhangan, lalu kembali meneruskan perjalanan ke arah tenggara. Berjalan tak henti-henti sampai masuk ke Pamanggaran. Tampak di depan mereka serombongan pasukan berkuda diiringi pasukan darat. Sang Raja sedikit was-was. Setelah dekat terlihat pemimpin mereka yang berada di depan adalah Raden Mangunjaya dan Raden Sumaningrat. Namun keduanya telah telanjur menyeberang sungai. Salah seorang perwira  yang berada di belakang adalah Raden Mangunjaya. Baru saja mendarat dari sungai, Raden Mangunjaya menoleh ke belakang dan melihat rombongan Sang Raja. Raden Mangunjaya memberitahu Ki Puspakusuma yang belum menyeberang untuk menunggu Sang Raja. Ki Puspakusuma segera turun dari kuda dan menghaturkan sembah.

Ki Puspakusuma menceritakan perang yang baru saja dia alami di Teras. Meski berhasil membunuh lima orang Cina pasukan Ki Puspakusuma kehabisan prajurit karena prajurit Kartasura banyak yang lari. Sang  Raja sangat heran.

Sang Raja berkata, “Sudahlah, jangan engkau katakan lagi. Ayo kita sekarang berjalan lagi.”

Sang Raja lalu bertanya lagi, “Di mana desa Paserenan yang ditunjukkan si bapak Wirareja kemarin?”

Para prajurit menjawab, “Paduka, letaknya di atas, masih jauh dari sini.”

Sang Raja berkata kepada Ki Wirareja, “Bagaimana ini, kita salah jalan?”

Ki Wirareja berkata, “Hamba berserah kepada paduka, karena sekarang sudah telanjur jauh dari Paserenan.”

Sang Raja berkata, “Sudahlah, mau bagaimana lagi. Sekarang kita berada di mana? Desa di pinggir sungai ini apa namanya?”

Para prajurit berkata, “Ini desa Pamanggaran, paduka.”

Sang Raja berkata, “Hai bapak, ambilkan aku perahu untuk menyeberang.”

Seorang bekel penduduk setempat menghaturkan perahu kepada Sang Raja. Saat ashar Sang Raja menyeberang bersama Pangeran Adipati. Para prajurit dan serdadu Kumpeni tak ketinggalan. Empat kali penyeberangan dengan lima perahu, semua rombongan sudah berpindah ke timur sungai. Setelah menyeberang Sang Raja dikagetkan sekumpulan orang yang sedang beristirahat di barat sungai. Tampak seorang dari mereka berpayung putih. Sang Raja menyuruh seorang prajurit untuk memeriksa. Tak lama kemudian si prajurit melapor kalau sekumpulan orang tersebut adalah pasukan Pangeran Buminata. Sang Raja berkenan memanggil sang adik. Utusan segera berangkat menemui Pangeran Buminata.  Ketika Pangeran Buminata mengetahui sang kakak berada di dekat situ mereka malah pergi ke selatan. Mereka tak ingin bergabung dengan Sang Raja. Sang Raja pun mengabaikan sang adik dan kembali melanjutkan perjalanan.

Perjalanan rombongan Sang Raja sudah sampai di Langsur. Sang Raja menanyakan keberadaan Ki Wirareja. Oleh pengawal dijawab bahwa Ki Wirareja berjaga di belakang. Rombongan terus berjalan. Pangeran Adipati selama perjalanan tidak boleh jauh-jauh dari Sang Raja. Setelah datang waktu magrib rombongan beristirahat dan bermalam di desa Tarajukuning. Ki Wirareja selalu ditunggu kedatangannya oleh Sang Raja. Lama kemudian yang ditunggu-tungguh tidak jua datang. Sang Raja hendak rebahan, lalu meminta kain untuk dipakai bantal. Para prajurit menyerahkan Kyai Gondil untuk dipakai sebagai bantal. Sang Raka kemudian tiduran dengan berbantal Kyai Gondil.

Sampai malam hari Ki Wirareja baru datang. Setelah dilaporkan kepada Sang Raja, Ki Wirareja dipanggil menghadap.

Sang Raja bertanya, “Mengapa engkau tertinggal Wirareja?”

Ki Wirareja berkata, “Saya menunggu ibu saya paduka. Saya coba untuk memanggilnya agar ada yang melayani santap paduka.”

Sang Raja berkata, “Apakah ibumu jadi datang.”

Ki Wirareja, “Tidak paduka. Saya tunggu sampai lama tidak juga datang, maka saya tinggal.”

Sang Raja bertanya, “Hai Paman Mangunjaya, berapa jauh Semedhangan dari sini?”

Mangunjaya menjawab, “Dua perjalanan dari sini, paduka.”

Di tengah mereka berbincang terdengar suara ringkik kuda dari kejauhan. Para prajurit mengira mereka adalah sepasukan musuh yang patroli.

Lalu Ki Wirareja berkata, “Paduka, bila masih mampu segera kita lanjutkan perjalanan. Mumpung abdi paduka masih utuh. Kalau kita tungguh sampai pagi, abdi paduka bisa-bisa sudah habis.”

Sang Raja berkata, “Benar katamu. Baiklah bapak, ayo kita lanjutkan perjalanan. Aku ingin menuju Semedhangan.”

Rombongan Sang Raja kembali berangkat. Raden Mangunjaya ditunjuk sebagai pembuka jalan. Dari desa Tarajukuning mereka bergerak ke arah tenggara. Tidak lama kemudian mereka menemui sungai yang dalam. Seseorang mengingatkan bahwa tempat itu tidak dapat dilalui karena merupakan lubuk sungai yang dalam.

Ki Bangsantaka kemudian memanggil Ki Mangunjaya, “Hai Raden Mangunjaya, mengapa engkau menyesatkan kami?”

Raden Mangunjaya berkata, “Aku bingung jalannya, Nak.”

Bangsantaka berkata, “Jadi mana jalan yang benar?”

Raden Mangunjaya menunjuk ke arah timur. Mereka lalu mengikuti arah tenggara lagi. Tidak lama kemudian sudah sampai di desa Semedhangan. Hari sudah menjelang pagi. Sang Raja berdiri pada sebuah tanah lapang dikelilingi para abdi. Ada seorang prajurit membongkar dinding anyaman bambu untuk dipakai sebagai alas. Setelah mendapat tikar Sang Raja dipersilakan duduk bersama Pangeran Adipati. Sang Raja lalu mengambil buah-buah yang disajikan. Para pengawal semua kelelahan. Ada yang bersimpuh, ada yang berselonjor kaki ada yang duduk-duduk.

Sang Raja bertanya kepada Raden Mangunjaya, “Di mana kakakmu si Paman Sumaningrat?”

Mangunjaya berkapa pelan, “Kakak hamba sedang sakit. Sekarang mengungsi ke pedesaan.”

Sang Raja berkata, “Undanglah ke sini. Kalau tak sanggup berjalan bawalah pakai tandu. Aku ingin bertemu sebentar.”

Mangunjaya segera berangkat memanggil kakaknya. Ki Bangsantaka lalu mencari nasi. Tidak lama kemudian sudah mendapat nasi dengan lauk pauk ikan, seekor ayam panggang, lombok, kedelai dan garam, serta empat butir telur. Setelah diserahkan kepada Sang Raja diperintahkan untuk dibagikan kepada para abdi dan serdadu Kumpeni. Setelah semua makan Ki Mangunjaya datang.

Ki Mangunjaya berkata, “Paman paduka sudah hamba panggil. Namun memohon maaf, karena sangat sakitnya tidak bisa datang.”

Sang Raja berkata, “Paksalah dia agar datang. Aku ingin bertemu sebentar saja.”

Mangunjaya berkata, “Sudah hamba paksa paduka. Namun tidak bisa turun dari tempat tidur.”

Sang Raja terdiam dan berpikir, sungguh terlalu. Tidak ingat kebaikanku di masa lalu. Sudah sampai di rumahnya mengapa saya panggil tidak datang.

Ki Wirareja berkata, “Ada berita kalau abdi paduka semakin berkurang. Si Wangsatruna dan Secapati sengaja tertinggal ketika paduka berangkat dari Tarajukuning. Sebaiknya paduka segera berangkat ke tempat yang paduka kehendaki.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, aku ingin menuju ke tempat Citradiwirya di Pamagetan.”

Ki Wirareja segera menyampaikan perintah Sang Raja kepada Raden Mangunjaya, agar Mangunjaya menunjukkan jalan ke Pamagetan. Mangunjaya segera menunjuk jalan arah timur laut. Saat matahari terbit rombongan Sang Raja kembali melanjutkan perjalanan. Raden Mangunjaya ditempatkan di depan sebagai penunjuk jalan. Semedhengan sudah mereka tinggalkan.

Setelah bebarapa saat berjalan Sumanagara berkata kepada temannya, “Kalau Sang Raja menanyakanku, katakan aku masih di belakang. Karena anak saya sedang sakit.”

Sumanagara memisahkan diri dari rombongan di timur Semedhengan. Sementara Sang Raja terus berjalan sampai di desa Boga. Setelah beristirahat sebentar untuk minum rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Dari desa Boja rombongan Sang Raja menuju desa Jamurdipa. Di desa itu mereka telah disambut berbagai jamuan makan. Rupanya Raden Ayu Sumaningrat yang membuat jamuan. Sang Raja dan rombongan kemudian bersantap siang sambil beristirahat di bawah pohon. Ada banyak nasi dan lauk-pauknya. Sampai semua makan secara kenyang nasi masih tersisa banyak.

Setelah selesai makan rombongan  Sang Raja kembali melanjutkan perjalanan. Dari Jamurdipa mereka menuju arah timur laut. Setelah tampak para pengawal kelelahan Sang Raja mengistirahatkan mereka di desa Sagawe.

Berkata Sang Raja kepada Raden Mangunjaya, “Apa nama desa ini?”

Raden Mangunjaya menjawab, “Desa Sagawe, paduka.”

Sang Raja kemudian berteduh di bawah pohon mangga pakel. Sang Raja bertanya kepada Wirareja jalan menuju ke Pamagetan. Ki Wirareja meneruskan pertanyaan kepada Raden Mangunjaya. Mangunjaya menunjuk ke arah timur laut.

Sang Raja berkata pelan, “Apa masih jauh?”

Raden Mangunjaya berkata, “Kalau berjalan santai bisa dua kali bermalam. Kalau cepat bisa seharian.”

Setelah cukup beristirahat Sang Raja dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan cukup jauh mereka sampai di desa Kakum. Sang Raja melihat para pengawal sudah sangat kelelahan. Sang Raja memerintahkan rombongan untuk beristirahat. Banyak macam kelakuan para prajurit untuk menghilangkan lelah. Ada yang bersandar ke pohon, ada yang bersimpuh ada yang duduk-duduk. Tampak banyak anak gembala di sekiar mereka. Tak lama datang penduduk desa menyajikan jamuan. Sebuah nampan besar mereka gotong. Jamuan segera dibagi merata kepada anggota rombongan. Salah satu abdi, Ki Sutamenggala Galempo bertanya kepada bekel desa yang membawa jamuan.

Berkata Ki Galempo, “Hai paman, barangkali engkau mendengar ada punggawa yang melewati desa ini?”

Ki Bekel desa menjawab, “Tidak ada tuan.”

Seorang temannya mencolek. Ki Bekel lalu ingat sesuatu.

“Benar kyai, ada berita di Kadaren sudah tiga malam ini kedatangan seorang punggawa negeri.”

Sutamenggala Galempo bertanya lagi, “Punggawa dari mana?”

Ki Bekel menjawab, “Hamba tidak tahu tuan.”

Ki Galempo mendesak, “Katakan apa yang kau dengar saja.”

Ki Bekel berkata, “Menurut yang saya dengar dia dari Pamagetan. Itu menurut berita yang sampai kepada saya tuan.”

Ki Galempo bergetar hatinya, seketika girang. Berita segera disampaikan kepada Sang Raja. Sang Raja lalu menunjuk Ki Bangsantaka untuk membuktikan ke Kadaren. Ki Bangsantaka segera berangkat. Belum lama pergi Sang Raja menyuruh Mangunjaya untuk menemani. Mangunjaya segera bergegas menyusul Bangsantaka. Keduanya segera menuju desa Kedaren.

Ketika sampai di Kedaten Ki Citradiwirya sudah pergi. Ki Bangsantaka dan Mangunjaya berusaha menyusul. Tidak lama mereka berhasil mengejar Ki Ciradiwirya. Setelah diberi tahu kedatangan Sang Raja, Ki Citradiwirya segera memacu kudanya. Bersama pasukannya Citradiwirya bersegera menemui Sang Raja. Sesampai di desa Kakum Ki Citradiwirya turun dari kuda dan sungkem kepada Sang Raja sambil menangis seperti perempuan.

Citradiwirya berkata, “Duh paduka, hamba berserah hidup dan mati. Sangat celaka hamba menjadi abdi paduka.”

Sang Raja berkata, “Sudah diamlah. Engkau membawa berapa pembantu?”

Citradiwirya berkata, “Saya menjemput paduka dengan membawa lima ratus prajurit.”

Sang Raja berkata, “Perjalananku ini hendak menuju rumahmu. Bocah-bocah ini kelelahan.”

Citradiwirya berkata, “Silakan paduka singgah. Saya tak merasa memiliki negeri Pamagetan. Semua milik paduka. Hamba hanya sekedar berjaga.”

Berkata Sang Raja, “Hai Citradiwirya, segera carikan kuda untuk semua rombongan. Mereka sudah tak kuat lagi berjalan. Sediakan kuda untuk mereka semua.”

Citradiwirya menyembah, “Sudah hamba beri kuda masing-masing seekor. Tidak ada yang berboncengan. Kuda masih sisa.”

Sang Raja merasa bersukacita. Pada saat itu Mangunjaya berpamitan hendak mencari istri dan anak-anaknya. Kalau sudah ketemu Mangunjaya akan kembali ke Kartasura untuk menjadi mata-mata yang melaporkan segala kejadian di istana. Sang Raja mengizinkan. Karena hendak mencegah pun tak mampu. Barangkali apa yang dikatakan benar. Kelak pasti terbukti dengan sendirinya. Mangunjaya sudah berlalu.

Sang Raja kembali melanjutkan perjalanan dari Kakum. Menuju ke arah timur laut perjalanan Sang Raja sampai di desa Gugur. Hari sudah menjelang malam. Sang Raja memerintahkan untuk bermalam di desa Gugur. Pagi hari langsung berangkat meneruskan perjalanan. Sesampai di Pancot rombongan beristirahat di pasar. Ada bangku panjang yang kemudian dipakai Sang Raja untuk duduk. Hari masih pagi, di atas gunung Lawu terlihat kabut gelap yang menutupi jalan di depan. Citradiwirya merasa khawatir.

Salah seorang abdi dari Pancot berkata, “Sangat berbahaya paduka kalau dilewati.”

Namun Sang Raja bersikeras untuk tetap meneruskan perjalanan. Sang Raja lalu memerintahkan seorang abdi untuk mengusir kabut. Seorang abdi lalau membakar dupa di sebuah tempat pertapaan di Pancot yang terletak di pinggir pasar. Setelah dupa dibakar asapnya membubung tinggi. Setelah sarapan rombongan Sang Raja meneruskan perjalanan. Tampak asap tebal sudah mereda. Namun baru berjalan beberapa saat kabut tebal datang lagi disertai hujan turun rintik-rintik. Rombongan Sang Raja kemudian berhenti.

Citradiwirya berkata, “Paduka, mohon dengan sangat untuk kembali ke Pancot. Kalau pegunungan sudah turun kabut dan hujan, tidak bisa dinaiki lagi. Kalau dipaksakan akan membahayakan. Lebih baik kita kembali ke Pancot dan beristirahat semalam. Besok pagi kita melanjutkan perjalanan.”

Sang Raja menuruti saran Citradiwirya, rombongan lalu kembali ke Pancot. Setelah mereka ditempatkan dalam pondokan hujan turun dengan deras sampai malam hari. Langit gelap oleh mendung yang tak jua hilang sampai pagi menjelang. Perjalanan Sang Raja dilanjutkan di bawah hujan rintik-rintik. Pagi itu matahari tak kelihatan karena tertutup mendung. Suasana menjadi mencekam. Sampai di Cemarasewu Sang Raja mengistirahatkan rombongan. Setelah cukup beristirahat rombongan kembali melanjutkan perjalanan sampai di desa Palaosan. Di Palaosan rombongan bersantap siang, kemudian berangkat kembali ke Pamagetan. Setelah dua hari berjalan rombongan Sang Raja sampai di Pamagetan. Hati Sang Raja sudah tenang dan bisa menata pasukan kembali.


[1] Sengkalan: gunung obah rêtuning wong sri narendra (1667 A.J., 1742/1743 A.D.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/12/28/babad-tanah-jawi-163-raja-pakubuwana-meninggalkan-keraton-kartasura-bermaksud-ke-magetan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...