Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (165): Sang Raja Pakubuwana berkeraton di Ponorogo

 Alkisah, Sang Raja Pakubuwana sudah tenang berdiam di Pamagetan. Pada suatu hari Sang Raja berbincang dengan Citradiwirya. Sang Raja memerintahkan Citradiwirya memberi kabar ke Madiun. Citradiwirya segera mengirim utusan ke Madiun untuk memanggil bupati Madiun. Yang berkuasa di Madiun adalah Raden Martalaya dan Raden Saputra, yang sudah diberi nama Sumawijaya.

Sang Raja kemudian berkata kepada Wirareja, “Bapak, engkau sekarang aku angkat sebagai adipati dengan nama Adipati Wirareja. Si Galempo namanya aku ganti menjadi Ngabei Sindupati.”

Sang Raja lalu meminta kepada Citradiwirya untuk menyediakan abdi dari Pamagetan yang akan diutus ke Surabaya. Tujuannya untuk memberi tahu penguasa Surabaya Ki Sawungaling dan Ki Wirasraya bahwa Sang Raja telah pergi meninggalkan istana. Kelak bila Sang Raja berkenan ke Surabya mereka sudah siap menyambut. Bersama utusan juga disertakan surat dari Sang Raja yang isinya berupa pengangkatan kedudukan kedua penguasa Surabaya. Ki Sawunggaling diberi nama Secanagara dan Ki Wirasraya diberi nama Sasranagara. Setelah surat selesai dibuat segera dibawa utusan ke Surabaya.

Sementara itu utusan Ki Citradiwirya yang berangkat ke Madiun untuk memanggil Raden Martalaya dan Raden Sumawijaya sudah sampai. Keduanya bersiap berangkat menghadap Sang Raja. Martalaya duluan menghadap, sedangkan Sumawijaya masih menata pasukannya. Setelah sampai di Pamagetan Raden Martalaya segera sungkem kepada Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Di mana Sumawijaya sekarang?”

Raden Martalaya berkata, “Masih di pondokannya di luar. Menunggu perintah paduka.”

Sang Raja segera memanggil Sumawijaya untuk segera menghadap. Sumawijaya masuk dan segera sungkem kepada Sang Raja. Setelah diizinkan Sumawijaya duduk di samping Raden Martalaya. Sang Raja lalu bertanya kepada Raden Martalaya tentang sejarah para leluhurnya di Madiun. Raden Martalaya lalu menceritakan bahwa para leluhurnya dulu masih saudara dengan leluhur Raden Sumawijaya. Raden Sumawijaya menyambung, bahwa keduanya masih keturunan dari Surabaya.

Sang Raja lalu berkata “ Martalaya dan Sumawijaya, kalian aku beri nama baru. Si Martalaya pakailah nama Pangeran Martalaya dan engkau Sumawijaya pakailah nama Pangeran Mangkunagara.”

 Keduanya sudah diberi nama dan kedudukan pangeran. Pangeran Martalaya dan Pangeran Mangkunagara menghaturkan sembah dan mengucapkan banyak terima kasih. Sang Raja lalu berkenan berangkat ke Madiun. Kedua pangeran Madiun dan Citradiwirya ikut mengiringi perjalanan Sang Raja. Sesampai di barat Ringinkuncung rombongan Sang Raja bertemu dengan dua utusan dari Tumenggung Surabrata Ponorogo.

Kedua utusan menyembah dan berkata, “Hamba diutus abdi paduka Tumenggung Ponorogo, paduka dipersilakan untuk singgah di Ponorogo.”

Sang Raja berkata kepada Pangeran Martalaya, “Hai Martalaya, bagaimana kalau aku terus ke Ponorogo, apakah akan kemalaman di jalan?”

Pangeran Martalaya menjawab, “Sepertinya akan kemalaman paduka.”

Sang Raja bertanya, “Hai utusan, siapa nama kalian?”

Kedua utusan menjawab, “Suradirja dan Sutadedaha, paduka.”

Sang Raja berkata, “Kalian pulanglah. Katakan kepada si Tumenggung Ponorogo. Kalau aku langsung ke Ponorogo pasti kemalaman. Aku berpesan bila Paman Tumenggung Surabrata sungguh ingin aku singgah ke Ponorogo, besok datanglah ke Madiun. Karena aku akan ke Madiun dulu.”

Kedua utusan segera kembali untuk melapor kepada tuannya. Sang Raja kemudian meneruskan perjalanan menuju Madiun. Malam harinya Sang Raja menginap di rumah Pangeran Martalaya. Siang harinya Tumenggung Surabrata sudah datang menghadap. Surabrata sungkem kepada Sang Raja. Ki Tumenggung Surabrata lalu ditempatkan di pondokannya. Malam itu Ki Tumenggung ikut menginap di Madiun.

Pagi hari berikutnya Sang Raja berkenan memanggil para punggawa untuk berkumpul. Telah hadir Pangeran Martalaya, Pangeran Mangkunagara dan Tumenggung Surabrata. Adipati Wirareja tak ketinggalan. Juga Kapten Hohendorff, tak pernah jauh dari Sang Raja.

Sang Raja berkata pelan, “Paman Surabrata, bagaimana pendapatmu sebaiknya langkahku selanjutnya.”

Surabrata berkata, “Hamba siap melaksanakan kehendak paduka, walau sampai mati pun takkan menghindar. Abdi paduka si Surabrata suka hati bila sampai mati membela paduka. Sekarang paduka inginkan berkeraton di mana?”

Sang Raja berkata, “Kehendakku, ingin ke Surabaya untuk menata pasukan.”

Berkata Raden Surabrata, “Paduka, bila paduka ingin ke Surabaya, abdi paduka si Surabrata ini sangat menghalangi. Walau nantinya paduka akan ke Surabaya, tetapi besok saja kalau abdi paduka si Surabrata ini sudah mati. Namun bila Surabrata masih hidup sangat mencegah abdi paduka si Surabrata. Paduka segeralah berkeraton di rumah hamba agar para bupati mancanegara segera dapat menghadap kepada paduka. Adapun terhadap diri hamba ini, janganlah paduka khawatirkan karena seluruh badan hamba sudah hamba abdikan kepada paduka. Kalaupun nanti abdi paduka harus mati di medan perang membela paduka, abdi paduka sungguh akan merelakan dengan sukacita. Adapun bila nanti masih mendapat anugerah dari Tuhan Yang Maha Suci, mustahil abdi paduka akan celaka. Walau melawan berapa pun musuh, takkan takut. Musuh si Cina dan Garendi pasti akan hilang dari Kartasura.”

Sang Raja berkata pelan, “Aku tak bermaksud meninggalkanmu. Sebab aku ingin ke Surabaya supaya engkau lebih ringan bebanmu dalam membelaku.”

Raden Surabrata berkata sambil menyembah, “Hamba mohon maaf, kalau paduka sungguh akan ke Surabaya setidaknya putra paduka Pangeran Adipati mohon saya bawa ke Ponorogo. Nanti akan saya angkat sebagai raja di Ponorogo. Bila di Ponorogo ada putra paduka pasti kawula mancanegara bangkit keberaniannya dan sanggup melawan pasukan Cina dan Garendi.”

Sang Raja terdiam, hatinya sungguh merasa kerepotan. Kalau harus berpisah dengan sang putra rasanya tidak akan sanggup. Sang Raja sampai bersusah payah menempuh perjalanan panjang keluar dari istana tak lain adalah untuk menyelamatkan sang putra, agar kelak penerusnya sebagai raja tetap lestari. Harapannya kelak sang putra dapat melebihi dirinya dalam memerintah kerajaan. Kalau sampai berpisah pasti hatinya akan gelisah dan tak tenang.

Sang Raja berkata pelan kepada Adipati Wirareja, menanyakan pendapatnya dan pendapat para sesepuh kerajaan. Semua menyatakan akan mengikuti kehendak Sang Raja. Bila Sang Raja berkenan tinggal di Ponorogo, tidak mengapa kalau Madiun ditinggalkan. Toh sudah terbukti kesetiaannya. Hati Sang Raja sudah tenang. Sang Raja memutuskan menginap di Madiun satu malam lagi. Pagi harinya Sang Raja berangkat ke Ponorogo. Citradiwirya diperintahkan kembali ke Pamagetan untuk menyiapkan pasukan. Kalau pasukan Pamagetan sudah siap, agar segera melapor ke Ponorogo.

Dari Madiun Sang Raja berangkat menuju Ponorogo dengan melewati bekas kota Pagelang. Di sana Sang Raja berhenti untuk memeriksa sumber air. Ada air di sebuah telaga yang berbau dan berasa macam-macam. Ada yang asin, amis, busuk dan sepat. Sumber air itu di desa Kaprayan. Sang Raja kemudian melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Sehari kemudian sudah sampai Ponorogo.

Sesampai di Ponorogo Sang Raja memerintahkan agar Raden Surabrata menjalankan prajurit sandi ke Kartasura. Delapan orang telik sandi segera dikirim. Sang Raja kemudian memberi perintah kepada Adipati Wirareja.

Berkata Sang Raja, “Hai bapak, umumkan bahwa Paman Tumenggung Surabrata aku angkat kedudukannya sebagai adipati dengan nama Adipati Suradiningrat.”

Para punggawa menyatakan patuh terhadap perintah Sang Raja.

Sementara itu telik sandi yang dikirim ke Kartasura sudah kembali. Hanya empat orang yang kembali, sisanya masih ditinggal di Kartasura. Prajurit sandi melaporkan bahwa pasukan Cina dibagi dua, satu bagian berada di Grobogan dan satu bagian di Kartasura. Juga ada berita bahwa Ki Rajaniti telah tertangkap oleh orang Cina. Oleh Sapanjang Rajaniti ditebus dua ribu riyal, lalu diserahkan kepada Ki Mangunoneng. Punggawa bernama Wirajaya sudah diganti nama menjadi Bahureksa. Pasukan Cina menempati beberapa bagian keraton, tetapi tidak melakukan perubahan apapun. Laporan prajurit telik sandi cocok dengan laporan yang dikirim Raden Mangunjaya melalui surat.

Ketika masih berada di Madiun Sang Raja menerima surat dari Raden Mangunjaya. Dalam surat dilaporkan mirip dengan apa yang dikatakan para prajurit sandi Ponorogo tadi. Hanya di dalam surat Raden Mangunjaya masih terselip kertas kecil yang dilipat. Ketika surat kecil itu dibuka hati Sang Raja menjadi sedikit marah dan bersedih. Itulah yang kemudian mendorong Sang Raja bersegera ke Ponorogo.

Lain cerita, ketika masih berada di Pamagetan Sang Raja memanggil Ngabei Tohjaya dari Lamongan. Sebab dipanggil karena Ngabei Tohjaya mempunyai seorang putri yang cantik. Ngabei Citradiwirya yang melaporkan. Tempat Ngabei Tohjaya berada sudah diketahui, yakni di desa Sepreh. Dari Sepreh Ngabei Tohjaya sudah dipanggil menghadap kepada Sang Raja. Ngabei Tohjaya datang sekeluarga. Sesampai di Ponorogo Ngabei Tohjaya diterima Adipati Wirareja. Wirareja lalu melaporkan kedatangan Tohjaya kepada Sang Raja.

Berkata Adipati Wirareja, “Paduka, abdi paduka si Tohjaya sudah datang bersama keluarganya.”

Sang Raja memerintahkan agar Tohjaya dipanggil menghadap. Sang Raja menyambut kedatangan Tohjaya dengan setengah bercanda.

“Hai orang Bali,” kata Sang Raja.

Ngabei Tohjaya bergegas menyembah dan sungkem kepada Sang Raja sambil menahan tangis.

Berkata Sang Raja, “Tohjaya engka masih setia ikut denganku.”

Tohjaya menyembah dan berkata, “Benar paduka. Karena paduka adalah raja yang telah membuat hamba kenyang. Andai saya diberi makan oleh orang Madura, sudah pasti saya ikut orang Madura.”

Sang Raja berkata, “Hai Tohjaya, engkau bergabunglah satu pondokan dengan bapak Wirareja. Hai Bapak Wirareja, ajaklah Tohjaya ke pondokanmu.”

Adipati Wirareja kemudian membawa Tohjaya sekeluarga ke pondokannya.

Beberapa hari kemudian ada yang datang ke Ponorogo, seorang peranakan Cina yang bernama Suradiwangsa. Dia datang membawa banyak orang berkuda lengkap dengan senjata senapan. Jumlahnya ada delapan puluh orang. Oleh Adipati Suradiningrat pasukan Suradiwangsa diperiksa asal dan senjata yang mereka bawa. Suradiningrat merasa tenang setelah mendengar pernyataan Suradiwangsa. Adipati Suradiningrat kemudian melapor kepada Sang Raja.

Berkata Ki Adipati Suradiningrat, “Hamba beritahukan kepada paduka, ada seorang peranakan Cina datang dengan membawa pasukan. Dia bernama Eki yang sekarang telah memakai nama Suradiwangsa. Dia datang bersama adiknya yang bernama Elik. Keduanya membawa sejumlah delapan puluh prajurit berkuda dengan senjata senapan dan tombak.”

Sang Raja kaget karena Suradiningrat berani hendak mengabdikan peranakan Cina.

Sang Raja berkata, “Hai Paman, mengapa engkau berani mengajukan peranakan Cina kepadaku. Apa engkau sudah tahu sebelumnya tentang dia?”

Berkata Adipati Suradiningrat, “Benar paduka. Saya mendengar berita di Kartasura dulu ada seorang anak Cina yang ingin menjadi abdi dalem seperti orang Jawa. Malah berita itu menyebutkan kalau dia sudah khitan dengan tidak seizin ayahnya. Tetapi si ayah yang bernama Baru tidak rela kalau anaknya menjadi orang Jawa. Namun karena si anak sangat memaksa kejadiannya menjadi seperti sekarang ini. Si anak sudah menjadi orang Jawa dan bernama Suradiwangsa. Saya sudah menanyai Suradiwangsa perihal riwayatnya dan berita tersebut terbukti benar. Maka saya berani mengajukan kepada paduka. Bila nanti ada keburukan padanya, saya yang menanggung. Paduka jangan khawatir.”

Sang Raja berkata, “Kalau demikian, panggil dia segera. Aku ingin melihatnya.”

Sang Raja kemudian masuk ke peraduan dan mengambil keris Kyai Balabar dan disandangnya. Sang Raja lalu kembali lagi ke tempat duduk. Tidak lama kemudian Suradiwangsa masuk dan menghaturkan tanda kesetiaan berupa kain jarit dan sejumlah uang. Juga pernyataan kesetiaan kepada Sang Raja. Hati Sang Raja lega. Pengabdian Suradiwangsa telah diterima. Suradiwangsa disuruh keluar untuk ditempatkan dalam pondokannya. Suradiwangsa merasa bersukacita karena pengabdian telah diterima. Tidak lama Suradiwangsa di Ponorogo. Segera setelahnya ditempatkan di desa Ngawi untuk membantu Tumenggung Jagaraga.

Sementara itu Sang Raja ingat dengan perkataan Adipati Suradiningrat ketika masih berada di Madiun. Si Adipati tampak tidak ingin kalau pengangkatan Sang Raja di Ponorogo melibatkan para orang Cina dan Kumpeni. Terkesan Sang Adipati hanya ingin Sang Raja mengandalkan pasukan orang timur saja. Maka Sang Raja berpesan kepada seorang abdi bernama Puspayuda agar mengingatkan Kapten Hohendorff. Karena sudah berulang kali Adipati Suradiningrat meminta kepada Sang Raja agar menyerahkan Hohendorff kepada Adipati Suradiningrat. Namun Sang Raja tidak bersedia menyerahkan. Oleh karena itu Hohendoff diminta agar berusaha mendekati dan mengambil hati Adipati Suradiningrat.

Puspayuda segera melaksanakan pesan Sang Raja. Ketika Hohendorff mengetahui hal itu, dia hanya bisa tertegun. Dalam hati Hohendorff merasa bahwa Sang Raja sangat mengasihinya. Sejak itu Hohendorff menampakkan pengabdian kepada Adipati Suradiningrat. Berusaha mengambil hati agar Sang Adipati berkenan menerimanya. Akhirnya Adipati Suradiningrat pun luluh. Tidak ada lagi kekhawatiran terhadap keberadaan Hohendoff di samping Sang Raja.

Pada suatu hari Sang Raja sedang berbincang dengan Adipati Suradiningrat dan para punggawa lain.

Sang Raja berkata, “Paman Suradiningrat, apakah engkau mempunyai seorang putri cantik yang pantas aku ambil sebagai istri?”

Suradiningrat berkata, “Benar paduka, saya punya anak perempuan yang ingin saya persembahkan kepada paduka. Bila paduka berkenan silakan paduka ambil. Adapun soal dia cantik atau tidak, silakan paduka lihat sendiri.”

Sang Raja sangat bersukacita. Setelah pertemuan bubar Sang Raja bertanya kepada para abdi.

Berkata Sang Raja, “Apa benar cantik anak Suradiningrat yang akan dihaturkan kepadaku? Cantik mana dengan istriku yang kutinggalkan di keraton?”

Yang ditanya menjawab, “Kalau paduka bandingkan, tentu tak sebanding dengan istri paduka.”

Sang Raja bertanya lagi, “Kalau dibanding si Boled cantik mana? Atau dengan si Gedong? Coba kalian bandingkan.”

Yang ditanya menjawab, “Tak sebanding. Sungguh masih kalah dengan istri paduka yang lain.”

Sang Raja masih bertanya, “Kalau dengan ibunya Tambur? Ini terakhir aku menimbang.”

Si abdi menjawab, “Masih lebih cantik adik paduka Raden Ayu Natakusuma kalau dilihat dari parasnya.”

Sang Raja kecewa, “Kalaupun diberikan aku tak ingin. Aku pakai buat apa?”

Para abdi berkata, “Mohon maaf. Hamba menghaturkan hidup mati. Saran hamba, walau tidak cantik sebaiknya anak Ki Suradiningrat tetap paduka ambil sebagai istri. Kalau tidak demikian para abdi paduka akan sangat terbebani. Hati mereka tidak nyaman kepada Raden Adipati Ponorogo. Karena Sang Adipati telah begitu besar pengabdiannya kepada paduka.”

Sang Raja menimbang-nimbang saran para abdi. Ada benarnya juga bahwa jika anak si adipati diambil istri akan semakin merapatkan hubungan antara para abdi dari Kartasura dengan orang Ponorogo. Apa yang mereka sarankan benar adanya.

Sang Raja berkata, “Baiklah aku turuti saran kalian. Segera panggil Bapak Wirareja untuk saya jadikan wakil dalam akad nikah besok pada hari Minggu.”

Ki Wirareja sudah dipanggil dan diberi tahu. Pada hari Minggu berikutnya dilaksanakan akad nikah antara Sang Raja dengan putri Adipati Suradiningrat. Hati sang Adipati lega. Semakin besar rasa pengabdiannya kepada Sang Raja karena sekarang menjadi keluarga sendiri. Semangat Sang Adipati bangkit dan semakin besar kesanggupannya.

Tidak lama kemudian Adipati Suradiningrat memberangkatkan utusan ke wilayah mancanagara. Ke Rawa, Kalangbret, Sarengat, Balitar, Kartasana, Pace, Caruban dan Kaduwang. Para bupati di wilayah tersebut diminta untuk menyiapkan pasukan. Pasukan Ponorogo sendiri juga sudah dipersiapkan dengan baik dan dalam keadaan siap tempur.

Sang Adipati Suradiningrat kemudian melapor kepada Sang Raja, “Paduka, abdi paduka semua sudah siap. Hamba serahkan kepada kehendak paduka.”

Sang Raja berkata, “Paman, kapan engkau akan berangkat?”

Adipati Suradiningrat berkata, “Besok hari Selasa.”

Sang Raja berkata, “Paman, nanti hari Selasa jangan sampai gagal berangkat. Aku akan segera berangkat. Jangan sampai terlena.”

Adipati Suradiningrat berkata, “Abdi paduka semuanya selalu dalam keadaan waspada.”

Di saat bersamaan prajurit telik sandi Ponorogo yang berada di Kartasura datang. Mereka membawa berita bahwa pasukan Cina sedang dikerahkan ke Ungaran untuk menghadapi pasukan Kumpeni. Di saat yang sama juga telah datang pasukan dari mancanagara, Kaduwang, Pace, Kalangbret, Rawa, Winten, Kartasana dan Caruban. Juga telah datang Ki Mataun dari Jipang.

Beberapa waktu kemudian datang pula utusan dari ibu Sang Raja, Kangjeng Ratu Ageng. Sang Ibu mengirim dua utusan untuk berkirim salam dan doa kepada Sang Raja. Setelah menyampaikan salam utusan menyampaikan pesan Ratu Ageng agar Sang Raja segera merebut kembali Kartasura. Jangan terlalu lama supaya para putri tawanan tidak menderita berkepanjangan. Bersama si utusan juga disertakan dua cupu perhiasan emas. Sang Raja sangat bersukacita. Utusan segera disuruh kembali setelah diberi surat balasan.

Hari Selasa telah tiba. Pasukan Sang Raja berangkat dari Ponorogo bersama Adipati Suradiningrat dan pasukan para bupati mancanagara. Perjalanan pasukan dari Ponorogo telah sampai desa Mamenang dan berhenti untuk beristirahat.

Sementara itu di Kartasura, Sang Prabu Kuning Amangkurat sudah bertahta dengan tenang. Para punggawa Kartasura banyak yang menyerah dan ditempatkan sesuai kedudukannya masing-masing. Hanya jabatan wadana gedhong kanan kiri yang kosong. Wadana gedong kanan Tumenggung Wirareja ikut Sang Raja di Ponorogo. Adapun wadana gedong kiri TumenggungTirtawiguna berada di Semarang. Jabatan wadana gedong kanan kemudian diisi orang Pajangkungan dan diberi nama Tumenggung Wirareja. Adapun wadana gedong kiri diisi oleh seorang abdi paneket bernama Kartiyuda dari Pacelongan, diberi nama Tumenggung Suranata. Masih saudara ipar Adipati Mangunoneng. Kyai Wirajaya diganti nama Baureksa. Pejabat luar yang kosong adalah wadana Panumping, kemudian diisi oleh ipar Mangunoneng yang lain, bernama Tumenggung Garwakandha. Adipati Mangunoneng menjadi patih. Mantri ageng yang menjadi wadana adalah Selobog, seorang peranakan Cina, namanya kemudian diganti Pringgalaya. Adapun Kartawirya mengepalai Pamajegan. Di Mataram yang menjadi penguasa adalah Raden Tumenggung Martapura. Punggawa Kartasura lama sudah banyak yang menyerah. Setiap hari mereka berdatangan menyatakan kesetiaan.

Adipati Mangunoneng yang menjadi patih sudah mengirim surat ke mancanagara dan pesisir. Mereka semua diminta untuk menyerah. Pangeran Madura diminta doa restu. Selain dari itu para bupati diminta segera menyatakan kesetiaan ke Kartasura.

Sementara itu Pangeran Buminata yang telah menyerah meminta kepada Patih Mangunoneng dan Raden Martapura agar menjemput sang kakak yang berada di Mataram. Adipati Pati Mangunoneng dan Martapura lalu berunding untuk membawa para kerabat yang berada di Mataram, yakni Pangeran Ngabei. Seratus prajurit Cina dan prajurit Sarageni dari Pati dikirim untuk menjemput para pangeran.

Di Mataram empat pangeran lain mendengar bahwa pasukan penjemput telah dikirim untuk membawa mereka ke Kartasura. Empat pangeran, yakni Pangeran Mangkubumi, Pangeran Rangga, Pangeran Silarong dan Pangeran Prangwadana tidak sudi tunduk kepada Prabu Kuning. Malam hari sebelum kedatangan pasukan penjemput keempatnya lolos dari Mataram. Pangeran Mangkubumi memimpin ketiga adiknya berangkat ke Semarang. Perjalanan mereka sudah sampai di Kedu.

Sementara itu pasukan penjemput telah membawa Pangeran Ngabei ke Kartasura. Sang Pangeran dipertemukan dengan para adik sesama pangeran yang telah menyerah, yakni Pangeran Buminata, Pangeran Singasari dan Pangeran Arya Mataram. Adipati Pati Mangunoneng dan Raden Martapura telah menempatkan mereka di rumah Pangeran Silarong.

Di lain tempat, Pangeran Mangkubumi bersaudara telah berangkat dari Kedu untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang. Singkat cerita mereka telah sampai di wilayah Semarang, yakni di Tugu. Mereka kemudian mengirim utusan untuk menemui Tumenggung Tirtawiguna. Ki Tumenggung sangat kaget. Segera Ki Tirtawiguna melapor ke Loji Semarang bahwa ada saudara Sang Raja berjumlah empat orang datang ke Semarang. Mereka adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Rangga, Pangeran Silarong dan Pangeran Prangwadana. Komisari dan kumendur kaget. Segera mengutus orang untuk menjemput para pangeran. Tidak lama kemudian keempat pangeran sudah sampai di Loji. Kumendur dan dua komisaris menyambut di pintu Loji. Setelah bersalaman keempatnya dipersilakan masuk.

Ketika sudah duduk nyaman di dalam Komisaris muda Tilen mencolek Pangeran Rangga dan berbisik, “Itu pangeran yang memakai kain motif parang rusak dan berbaju biru, siapa namanya?”

Pangeran Rangga berkata, “Dia Pangeran Mangkubumi.”

Komisaris Tilen kembali bertanya, “Apa hubungannya dengna Sang Raja yang terusir dari istana?”

Pangeran Rangga berkata, “Dia saudara muda Sang Raja.”

Komisaris Tilen kembali berkata, “Dia tampan dan perilakunya baik. Namun saya duga dia mengungsi ke sini tidak tulus atau karena terpaksa.”

Komisaris tua Prisel bertanya kepada para pangeran, “Seperti apa keadaan ketika Sang Raja pergi dari istana. Apakah dua belas orang Kumpeni tidak ketinggalan.”

Pangeran Mangkubumi menjawab pertanyaan Komisaris Prisel dengan menceritakan semua, dari awal sampai akhir. Para pangeran kemudian ditempatkan ke pondokan mereka. Hati mereka sudah tenang. Tidak berapa lama Raden Sujanapura berpamitan akan pulang untuk mencari istrinya. Komisaris sudah mengizinkan. Juga menitpkan surat kepada Sang Raja yang sedang berada di pengungsian. Komisaris meminta Sujanapura menyusulkan surat itu ke tempat Sang Raja berada. Raden Tirtawiguna yang mendengar Sujanapura diizinkan pulang menjadi kepengin ikut. Tirtawiguna lalu ke Loji untuk meminta izin serupa. Ketika sampai di Loji Tirtawiguna berbisik kepada juru bahasa agar memintakan izin kepada Tuan Komisaris bagi dirinya. Alasannya akan menengok anak istri. Juru bahasa kemudian menyampaikan permintaan Tirtawiguna kepada Tuan Komisaris. Seketika Tuan Komisaris marah besar. Matanya memerah dan dadanya tersengal-sengal. Tangan Tuan Komisaris meraih rotan dan dipukulkan ke baju. Seketika robek separuh.

Tuan Komisaris berseru, “Orang seperti apa kamu ini? Sungguh sayang Sang Raja mengangkat punggawa tak berbobot. Sukanya ikut-ikutan seperti anak kecil. Raden Sujanapura itu bukan punggawa andalan Sang Raja. Sesuka dia saya izinkan. Kalau kamu ini, seorang yang dipercaya oleh Sang Raja dan diperbantukan kepadaku. Mengapa pamit pulang? Apa akan menyerah kepada Cina di Kartasura? Apa Sang Raja yang sedang mengungsi tidak punya budi baik kepadamu? Apa orang Cina dulu yang memberimu makan? Apa tuan yang mengkaryakanmu sudah mati? Bagaima engkau ini?”

Tirtawiguna gemetar. Merasa kalau dirinya takkan hidup lagi. Dengan terbata-bata mengatakan kepada juru bahasa, “Dik, katakan kepada Tuan Komisaris. Kalau sampai saya punya kesetiaan mendua kepada Sang Raja dan hendak memisahkan diri dari Kumpeni, biarlah saya hancur menjadi tanah.”

Masih banyak sumpah yang diucapkan oleh Tirtawiguna. Oleh juru bahasa disampaikan kepada Tuan Komisaris. Komisaris sudah reda kemarahannya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/02/babad-tanah-jawi-165-sang-raja-pakubuwana-berkeraton-di-ponorogo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...