Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (166): Raja Pakubuwana bersiap merebut kembali negeri Kartasura

 Alkisah  Sang Raja Pakubuwana sudah bermarkas di Mamenang selama dua hari. Pagi hari berikutnya pasukan Sang Raja bergerak melanjutkan perjalanan. Sang Raja berada di tengah pasukan, dijaga para pengawal. Para istri berada di depan Sang Raja bersama Pangeran Adipati dan para pengasuhnya. Yang menjadi panglima pasukan adalah Raden Adipati Suradiningrat Ponorogo yang memimpin pasukan di depan. Pasukan dari Ponorogo sangat besar, berjalan seperti aliran ombak samudera. Di belakang Adipati Suradiningrat menyambung pasukan Adipati Wirareja. Di belakangnya baru pasukan Sang Raja dipimpin Bangsantaka dan Bangsapatra. Setelah beberapa lama berjalan pasukan beristirahat di Barangkal.

Selama di Brangkal Sang Raja kedatangan abdi dari kota sejumlah lima belas orang. Para abdi sudah diantarkan ke hadapan Sang Raja oleh Ki Bangsantaka dan Ki Bangsapatra. Di markas Barangkal, Ki Adipati Suradiningrat dan Adipati Wirareja juga menerima kedatangan adik Sang Raja yang bernama Pangeran Arya Pamot. Sang Pangeran segera diantar menghadap kepada Sang Raja. Maksud kedatangan Pangeran Arya Pamot adalah mengantar sang bibi, istri dari mendiang Pangeran Purubaya yang bernama Raden Ayu Cathis. Bersama Raden Ayu Cathis ikut serta saudara muda laki-laki bernama Pangeran Wangsakusuma. Sesampai di markas Pangeran Wangsakusuma sungkem kepada sang kakak sambil menangis tersedu-sedu layaknya perempuan. Tiga hari Sang Raja bermalam di Barangkal. Hari berikutnya pasukan Sang Raja melanjutkan perjalanan. Singkat cerita pasukan Sang Raja sudah sampai di desa Tirisan.

Sementara itu Ngabei Citradiwirya yang sudah menggelar barisan di Pamagetan bermaksud memberi tahu Sang Raja kalau pasukannya sudah siap. Namun Ki Citradiwirya dan para punggawanya tak satupun yang paham sastra. Lalu yang diambil sebagai juru tulis adalah seorang keponakan Raden Sumadiningrat yang rumahnya di Pamagetan. Ki Citradiwirya memberi pesan apa saja yang perlu disampaikan di dalam surat. Yakni, memberi tahu kepada Sang Raja bahwa pasukan Pamagetan sudah siap. Untuk selanjutnya menunggu perintah dari Sang Raja. Namun si juru tulis ternyata tidak amanah. Ketika mengetahui bahwa sang tuan tidak bisa baca tulis dia membuat surat yang isinya tidak sesuai pesan Citradiwirya. Dia membuat surat yang isinya menyerahkan negeri Pamagetan kepada Sang Raja.

Isi suratnya berbunyi: “Sembah bakti dari abdi paduka Citradiwirya untuk paduka Susunan. Abdi paduka si Citradiwirya menghaturkan negeri Pamagetan kepada paduka karena hamba tak bisa jauh dari Sang Raja.”

Setelah surat selesai ditulis segera diserahkan kepada Citradiwirya. Tanpa melakukan periksa Citradiwirya langsung melipat surat dan menyuruh utusan segera berangkat. Utusan segera melesat ke Tirisan dan surat segera dihaturkan kepada Sang Raja. Ketika selesai membaca surat Citradiwirya Sang Raja sangat marah. Adipati Suradiningrat lalu dipanggil menghadap.

Sang Raja berseru, “Paman, engkau aku tanya siapa yang layak untuk diangkat di Pamagetan karena si Citradiwirya menulis surat seperti ini. Isi suratnya menyerahkan negeri Pamagetan kepadaku. Sungguh dia berbuat tidak patut sebagai punggawa negeri. Ingkar kepada tugasnya dan tidak bisa diandalkan. Mengapa ketika aku sedang mengalami masa sulit malah menyerahkan negeri. Dia tak pantas dijadikan abdi. Paman, segeralah balas surat Citradiwirya. Katakan padanya: Sesuka hatimu. Kalau mau meninggalkanku juga tak apa, mau ikut juga terserah. Aku tidak mau tahu.”

Adipati Suradiningrat menyatakan kesiapan. Sang Adipati lalu berkata, “Kalau paduka bertanya siapa pengganti Citradiwirya kepada hamba, hamba usulkan anak menantu hamba yang juga masih keponakan si Sumaningrat, namanya Sumawijaya.”

Berkata Sang Raja, “Apa dia berani melawan Sumaningrat?”

Adipati Suradiningrat berkata, “Paduka tanya pasti berani melawan si uwak. Berperang di darat maupun di atas kuda pasti berani. Kalau memang si Sumaningrat melawan paduka.”

Usulan Adipati Suradiningrat sudah diterima Sang Raja. Si menantu yang bernama Sumawijaya kemudian diganti nama menjadi Raden Mangunjaya. Raden Suradiningrat lalu mengirim utusan membawa surat keputusan ke Pamagetan. Isi surat sesuai pesan Sang Raja. Singkat cerita utusan sudah bertemu dengan Ki Citradiwirya dan surat dari Sang Raja sudah diberikan. Ki Citradiwirya lalu memanggil juru tulisnya dan disuruh membaca surat sesuai yang tertulis. Surat itu isinya kemarahan Sang Raja dan pengusiran terhadap Citradiwirya. Citradiwirya dipersilakan pergi ke manapun yang dia mau.

Setelah surat selesai dibaca Citradiwirya tertegun. Dalam hati bertanya-tanya apa dosanya. Hanya memberi tahu kalau pasukan sudah siap dan meminta perintah, mengala dibalas dengan kemarahan. Citradiwirya merasa telah dibohongi oleh juru tulisnya. Hatinya penuh penyesalan. Inilah buah dari orang tak tahu baca tulis sehingga bisa dibohongi orang. Orang baik menjadi hilang baiknya. Sungguh celaka diriku, telah menurut kepada sembarang orang. Karena terburu-buru menjadi tidak teliti memilih pembantu.

Ki Citradiwirya pasrah. Sudah takdir bahwa dirinya selesai bertugas di Pamagetan. Segera Ki Citradiwirya menyuruh para prajuritnya untuk bersiap. Mereka akan diajak keluar dari negeri Pamagetan. Citradiwirya kemudian pergi ke Madiun. Para prajuritnya disuruh menyusul Sang Raja.

Sementara itu Raden Mangunjaya sudah diangkat sebagai penguasa Pamagetan. Berangkat dari markas Tirisan Raden Mangunjaya dikawal pasukan berkuda dari Ponorogo. Namun Raden Mangunjaya tak mau langsung masuk ke kota Pamagetan. Mangunjaya bermaksud mengumpulkan prajurit untuk membentuk pasukan yang kuat. Sewaktu-waktu sang uwak Sumaningrat datang dia mampu menghadapi. Raden Mangunjaya setelah berhasil mengumpulkan prajurit baru masuk ke kota Pamagetan.

Di markas Tirisan, Sang Raja hanya satu hari bermalam. Paginya langsung melanjutkan perjalanan. Singkat cerita pasukan Sang Raja sudah sampai di Kaduwang. Dan pasukan garis depannya sudah mencapai desa Muruh. Sang Raja kemudian bermarkas di Kaduwang. Baru semalam Sang Raja di Kaduwang mendadak datang Raden Arya Pringgalaya bersama Pangeran Dipanagara dan istrinya. Setelah diizinkan menghadap kedua pembesar Kartasura tersebut sungkem kepada Sang Raja sambil menangis seperti tangis perempuan. Keduanya menghaturkan hidup dan mati dan berserah kepada perintah Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Semua kesalahanmu sudah tidak ada lagi.”

Keduanya lalu disuruh beristirahat dan diberi pondokan. Sang Raja lalu memerintahkan kepada Raden Adipati Suradiningrat untuk segera memberangkatkan pasukan. Adipati Suradiningrat segera menunjuk panglima perang. Ki Adipati memasang dua punggawa andalannya, Suradirja dan Suradedaha. Sang Raja sudah menyetujui keduanya menjadi panglima perang yang akan memimpin pasukan Ponorogo dan mancanagara menyerang Kartasura. Pasukan Ponorogo dan mancanagara pun berangkat. Yang pertama dituju adalah Uter. Pasukan bergerak memenuhi jalan seperti aliran sungai yang tumpah. Sepanjang jalan menuju Kartasura pasukan Ponogoro dan mancanagara menaklukkan desa-desa yang dilewati.

Sang Raja tetap tinggal di Kaduwang. Yang ditugaskan untuk mengurus kebutuhan Sang Raja adalah Sutanagara dari Kaduwang.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/04/babad-tanah-jawi-166-raja-pakubuwana-bersiap-merebut-kembali-negeri-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...