Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (167): Pasukan Ponorogo kalah perang melawan pasukan Kartasura

 Pasukan Sang Raja terus bergerak dari Ponorogo. Di sepanjang jalan orang-orang dari desa-desa yang diduduki pasukan Ponorogo geger. Mereka kemudian melapor ke Kartasura. Berita kedatangan pasukan Ponorogo segera dilaporkan kepada Adipati Mangunoneng. Sang adipati kaget mendengar laporan di Uter kedatangan prajurit dari Ponorogo. Pasukan garis depan mereka sudah sampai di Taman. Adipati Mangunoneng segera masuk ke istana untuk melapor kepada Sang Prabu Kuning. Sang Prabu sangat marah dan segera memerintahkan untuk menghadang musuh. Mangunoneng segera keluar melaksanakan perintah.

Sesampai di rumahnya Adipati Mangunoneng segera memanggil para punggawa Kartasura. Semua sudah berkumpul, termasuk Raden Martapura. Mereka berembug untuk menghadapi pasukan Ponorogo yang akan menyerang. Para punggawa sepakat untuk menunjuk Ki Kartawirya dan Ki Jayadirana untuk memimpin pasukan Kartasura. Ki Jayadirana berasal dari Roma, masih saudara ipar Adipati Mangunoneng. Ki Jayadirana ditunjuk memimpin pasukan dari Pamajegan, Bagelen, Lowanu dan Mataram. Sedangkan pasukan pesisir dipimpin Tumenggung Lasem Wiranagara. Pasukan Sarageni Ki Adipati Pati separuhnya diserahkan kepada sang paman Ki Kartawirya. Setelah semua siap Sang Raja diberi tahu. Sang Raja kemudian memberi izin kepada pasukan untuk berangkat. Sebelum berangkat Prabu Kuning berpesan agar seluruh prajurit berhati-hati dan waspada. Juga didoakan agar semua selamat dalam perang. Pasukan Prabu Kuning segera berangkat menghadang musuh. Perjalanan mereka telah sampai di Picis. Tumenggung Kartawirya dan pasukan beristirahat dan bermalam.

Sementara itu, pasukan Ponorogo di Uter telah mendengar kalau pasukan Prabu Kuning sudah dikerahkan menghadapi serangan mereka. Suradirja dan Suradedaha segera mengirim utusan untuk memberi tahu Sang Raja di Kaduwang bahwa pasukan Kartasura sudah bersiap menghadang pasukan Sang Raja. Pasukan Kartasura dipimpin seorang punggawa dari Pati bernama Kartawirya. Prajurit Cina yang ikut tidak banyak. Pasukan Kartasura juga berangkat melalu jalan utara. Pemimpin pasukan utara seorang Cina peranakan bernama Salobog, yang sudah diangkat punggawa dan diganti nama Pringgalaya. Mereka juga disertai seorang punggawa baru yang baru saja menyerah dari Semarang, namanya Sujanapura. Pasukan Kartasura sudah sampai di Garompol.

Utusan kedua panglima Ponorogo sudah sampai di markas Kaduwang dan bertemu Sang Raja. Surat laporan sudah diserahkan dan dibaca oleh Sang Raja. Ki Suradirja meminta izin untuk bertempur melawan pasukan Kartasura.

Sang Raja berkata, “Baik, sudah aku izinkan. Hanya pesanku, berhati-hatilah. Juga kepada seluruh prajurit semua  berhati-hatilah. Aku doakan kepada Allah Yang Maha Agung agar mereka semua selamat dan unggul dalam perang.”

Si utusan kedua panglima segera kembali. Tak lama kemudian datang utusan dari Madiun. Pangeran Martalaya dan Pangeran Mangkunagara melaporkan kalau pasukan Kartasura sudah mendatangi Madiun. Pimpinan mereka bernama Pringgalaya, seorang peranakan Cina. Juga ada punggawa Jawa bernama Sujanapura. Kedua pangeran meminta izin untuk bertempur.

Sang Raja berkata, “Baik, aku beri izin. Pesanku, harap berhati-hati. Semoga selamat dan dijaga Tuhan Yang Maha Agung.”

Si utusan segera kembali ke Madiun.

Di Nguter, Raden Suradirja dan Raden Suradedaha sudah berangkat hendak menyerang pasukan Kartasura. Di pihak lain, Tumenggung Kartawirya juga sudah berangkat dari Paserenan dan sudah sampai di Taman. Kedua pasukan sudah saling mendekat. Kartawirya merencakan mundur bila pasukan musuh terlalu banyak.

Di belakang para mantri saling berbisik, “Melawan orang Pajang dan Mataram tidak akan repot. Orang Pajang sekarang ini ibarat tawon yang sudah tak punya sarang. Mustahil berani menyengat. Bahkan ketika masih punya sarangpun mereka pergi tak ada bobotnya.”

Lurah mantri menbentak, “Hai jangan lancang mulutmu. Ketahuilah, pembesar Mataram itu walau berada di puncak gunung masih dipatuhi oleh prajuritnya.”

Pasukan Kartawirya sudah sampai di Taman dan sudah berhadapan dengan musuh. Tidak lama pertempuran pun pecah. Kedua pasukan saling tembak. Pasukan Pati berperang darat, sedang pasukan Ponorogo berada di atas kuda. Saat itu sedang musim kemarau. Tempat yang mereka pakai bertempur lapang dan rata. Pasukan Pati didampingi pasukan Lasem sebagai sayap. Pasukan Ponorogo dan mancanagara mengepung pasukan Pati. Pasukan Pati bermaksud mundur karena merasa tak mampu melawan musuh yang banyak. Namun Tumenggung Kartawirya masih berjalan darat. Kudanya dituntun di depan.

Ki Jadirana berkata, “Kyai, Anda pakai kudanya.”

Ki Kartawirya berkata, “Tidak nak, kalau akau pakai kuda kasihan yang tidak punya kuda.”

Ki Jadirana berkata kepada para prajurit, “Hai bocah, paksalah Kyai memakai kuda.”

Ki Kartawirya sudah dipaksa naik kuda, beramai-ramai dinaikkan oleh para prajurit. Ki Jadirana kemudian mengawal di depan. Seekor kuda betina dilepaskan. Kuda Ki Kartawirya langsung kegirangan. Ketika dicambuk langsung melesat ke depan meninggalkan prajurit darat. Pasukan Pati sudah mundur, sedangkan pasukan Cina sudah lari duluan bahkan sebelum bertempur. Karena merasa temannya hanya sedikit, ketika melihat musuh banyak mereka lari. Seorang komandan pasukan Cina bernama Gagak Pranala dikejar musuh. Ketika tersusul ditombak punggungnya. Seketika mati. Pasukan Ponorogo terus mengejar. Ketika musuh sudah melewati sungai pengejaran mereka hentikan. Pasukan Pati dan Lasem sudah bubar berlarian. Sisa pasukan yang selamat pulang ke Kartasura dan melapor kalau perang mereka kalah. Tumenggung Kartawirya berhenti di desa Baki.

Sementara itu Suradirja dan Suradedaha kembali ke Uter. Sesampai di markas kemudian mengirim utusan ke Kaduwang untuk memberi tahu Sang Raja bahwa mereka menang perang. Barang-barang jarahan dibawa serta. Sang Raja sangat bersukacita. Harta jarahan dikembalikan kepada para prajurit untuk dibagi.

Di Kaduwang Sang Raja mendapat laporan dari telik sandi yang mengatakan kalau kota Kartasura geger setelah kalah perang. Rasa-rasanya kalau diteruskan menyerang ke kota, Kartasura akan segera takluk. Apalagi pasukan Kartasura yang menyerang Madiun juga berhasil dipukul mundur. Pasukan Pringgalaya dan Sujanapura yang berada di Garompol sudah kembali ke Kartasura.

Selama di Kaduiwang Sang Raja juga kedatangan seorang dari Blora bernama Secabau. Pengabdiannya sudah diterima oleh Sang Raja. Semakin bertambah setiap hari orang yang datang. Pasukan Sang Raja semakin besar. Para pangeran, adipati dan bupati banyak berdatangan. Tumenggung Rajaniti sudah pula datang ke Kaduwang untuk berserah hidup dan mati. Yang dituju adalah Adipati Wirareja. Ki Adipati Wirareja kemudian memberi ganti pakaian dan kemudian menghaturkan kedatangan Rajaniti kepada Sang Raja. Namun Sang Raja tidak berkenan menerima Rajaniti karena sudah banyak ingkar kepada Sang Raja. Kapten Hohendorff sangat meminta agar Sang Raja berkenan menerima. Karena sekarang Sang Raja sangat memerlukan abdi. Sang Raja kemudian memanggil Rajaniti. Sesampai di hadapan Sang Raja, Ki Rajaniti menyatakan bertobat dan memohon pengampunan sambil menangis. Sang Raja kemudian menyuruh Rajaniti bergabung dengan Ki Bangsantaka.

Tidak berapa lama datang lagi utusan dari Ki Surawiguna dan Ki Wangsadita. Utusan memberitahukan bahwa sekarang Ki Surawiguna berada di Wiraka dan Ki Wangsadita berada di Sekarbala. Ki Wangsadita membawa istri Sang Raja dan pusaka berupa pedang emas. Sang Raja sangat bersukacita. Utusan segera diberi balasan dan disuruh kembali. Kedua punggawa diperintahkan segera menghadap Sang Raja.

Sang Raja bermaksud mengirim utusan ke Semarang untuk memberi tahu Tuan Komisaris kalau Sang Raja sekarang sudah berada di Kaduwang. Sudah membentuk pemerintahan sementara bersama para punggawa yang telah bergabung. Kapten Hohendorff segera membuat surat yang berisi pemberitahuan dan permintaan bantuan Kumpeni ke Kartasura. Sekarang Sang Raja dikawal pasukan Ponorogo pimpinan Adipati Suradiningrat. Pasukan inilah yang telah menyerang Kartasura dari timur. Setelah surat selesai segera dikirim ke Semarang. Yang membawa surat seorang juru tulis bernama Puspayuda

Bersamaan waktunya dengan keberangkatan utusan ke Semarang, datang utusan dari Surabaya. Yang mengirim utusan adalah patih Surabaya Ki Sawunggaling, yang oleh Sang Raja sudah diangkat sebagai tumenggung dengan nama Tumenggung Secanagara. Sedang adipati Surabaya Ki Wirasraya juga diberi nama Tumenggung Sasranagara. Utusan dari Surabaya berjumlah dua orang, namanya Anggadirja dan Wiradirana. Mereka membawa enam puluh orang dengan membawa persembahan dari Surabaya. Dua ekor kuda dan beberapa perabot rumah yang serba indah. Utusan sudah diberi balasan, segera diperintahkan untuk kembali ke Surabaya. Sang Raja memberi pesan agar keduanya memberi tahu tuannya bahwa Sang Raja telah bersiap menyerang Kartasura. Sang Raja meminta bantuan pasukan dari Surabaya. Dari dua utusan hanya Wiradirana yang kembali ke Surabaya disertai sepuluh orang pembantu. Anggadirja dan sisa pasukan ditugaskan untuk ikut menjaga Sang Raja.

Raden Adipati Suradiningrat meminta izin kepada Sang Raja untuk menghukum abdi yang tidak bersungguh-sungguh dalam perang. Walau masih kerabat atau anak raja kalau tak sungguh-sungguh akan dihukum mati. Suradiningrat juga meminta izin untuk maju sendiri sebagai panglima perang. Agar tujuan Sang Raja merebut Kartasura segera tercapai. Sang Raja sudah mengizinkan. Pagi hari berikutnya pasukan Ponorogo kembali berangkat menyerang Kartasura. Adipati Wirareja juga ikut menyertai. Perjalanan pasukan Adipati Suradiningrat dan Adipati Wirareja telah sampai di Uter.

Sementara itu Tumenggung Kartawirya sudah mengirim utusan kepada Adipati Pati Mangunoneng. Ki Kartawirya melaporkan kekalahannya melawan pasukan Ponorogo. Ketika dilaporkan kepada Prabu Kuning, Sang Prabu sangat marah. Prabu Kuning memerintahkan untuk mengirim bantuan pasukan. Raden Mlayakusuma yang ditunjuk bersama para panekarnya. Juga Ki Wirajaya yang sudah menyerah dan diberi nama Tumenggung Baureksa. Ki Bauraeksa sekarang menjabat sebagai wadana dalam. Ki Arya Mandura yang semua akan dikirim ke Cengkalsewu belum berangkat, maka juga diperbantukan ke pasukan Kartawirya. Bersama mereka disertakan juga pasukan Cina satu bendera sejumlah dua puluh lima prajurit berkuda dengan komandan Cik Mantu. Yang ditunjuk sebagai panglima pasukan Kartasura kali ini adalah Tumenggung Sujanapura.

Pasukan Kartasura sudah berangkat dengan pimpinan Tumenggung Sujanapura. Sudah sampai di Baki dan bertemu dengan Kartawirya. Tumenggung Baureksa kemudian mengirim surat kepada Adipati Sutanagara dari Kaduwang. Isi surat menyuruh Sutanagara untuk lari dahulu, lalu berbelok ke barat. Ki Sutanagara ketika menerima surat dari Baureksa kemudian memberitakan kepada teman-temannya dari mancanagara. Mereka sepakat untuk mudur ke Uter. Sesampai di Uter mereka menemui Adipati Suradiningrat. Mereka kemudian berembug untuk menata barisan. Hati pasukan mancanagara kembali berani. Mereka pun sudah menata barisan dengan menempati bagian sayap Yang berada di bagian dada adalah Raden Adipati Suradiningrat. Mereka sudah bersiap menghadapi musuh di medan perang.

Sementara itu pasukan Cina dan Jawa dari Kartasura sudah sampai di Uter. Kedua kubu segera terlibat pertarungan sengit. Kedua pasukan saling tembak dengan gigih. Tak ada yang berniat mundur. Karena dipimpin oleh Sang Adipati sendiri, pasukan Ponorogo bangkit semangatnya. Tak lagi takut mati, juga takkan mau mundur. Semua menerjang dengan berani.

Di pihak lain prajurit Cina dan Jawa dari Kartasura sudah berkurang keberaniannya. Hanya sempat sebentar memberikan pukulan yang berarti, berangsur mereka ciut nyali. Baureksa kemudian menyuruh prajurit Cina untuk menerjang sayap kiri pasukan musuh yang dipimpin anak Ki Sutanagara yang bernama Sumawijaya. Ketika melihat pasukan Cina menerjang pasukan Kaduwang hendak menghadang, tetapi mereka diarahkan oleh pemimpinnya untuk lari. Ketika pasukan Cina mulai menerjang pasukan Kaduwang sudah bubar berlarian mengikuti tuannya. Mereka terus berlari melewati pasukan Ponorogo di belakangnya. Pasukan Ponorogo yang melihat pasukan Cina mengejar menjadi ikut-ikutan lari. Raden Suradiningrat akhirnya mundur karena kehabisan pasukan. Ki Wirareja sudah mundur duluan untuk mengamankan Sang Raja.

Sementara itu pasukan Cina dan Kartasura yang mengejar pasukan Ponorogo malah sudah sampai di Kaduwang. Mereka berhasil menemukan markas Sang Raja karena ditunjukkan oleh teman-teman Sutanagara. Saat itu Sang Raja masih tidur sehingga tidak mengetahui kalau di luar sudah terjadi keributan. Pasukan pengawal Sang Raja yang berjaga di luar melihat orang-orang berlarian dari barat. Ketika ditanya mereka tak menoleh sedikitpun, terus lari ngacir. Ada seorang prajurit darat yang ditanya menjawab bahwa pasukan Adipati Suradiningrat telah kalah dan semua bubar berlarian. Musuh terus mengejar di belakang, makanya mereka lari. Para pengawal kemudian menanyakan keselamatan Ki Wirareja yang membawa pasukan Sang Raja. Mereka menjawab tidak tahu. Para pengawal pun kebingungan karena tak berani membangunkan Sang Raja.

Sementara itu kakak perempuan Sang Raja, Raden Ayu Pringgalaya, ketika mendengar berita kekalahan pasukan Ponorogo langsung masuk ke pondokan Sang Raja. Sang Raja dibangunkan dan diberi tahu.

Berkata Raden Ayu Pringgalaya, “Duh paduka, bangunlah. Si Suradiningrat sudah kalah perang. Musuh paduka sudah mendekati markas. Para prajurit banyak yang mengungsi.”

Sang Raja terbangun dan gugup. Lalu keluar dan memerintahkan para prajurit untuk bersiap. Apa saja yang akan dibawa segera disuruh untuk diangkat.

Di tempat lain, Ki Sutanagara Kaduwang mendengar berita Raden Suradiningrat telah kalah. Dia lalu membuat siasat agar Sang Raja cepat lengser dari kedudukannya. Sebuah meriam hasil rampasan dibawa ke tengah hutan. Setelah sampai di lokasi meriam segera dibunyikan. Dari markas Sang Raja bunyi meriam seperti dari arah yang berbeda dari medan perang, banyak yang mengira musuh telah mengepung dari arah lain. Orang-orang di markas Kaduwang geger. Sang Raja lalu keluar dari markas. Tohjaya lalu memerintahkan tukang pikul dari Surabaya untuk mengambil barang bawaan mereka yang datang dari Surabaya untuk dibawa pergi. Dua kuda yang kemarin dipersembahkan kepada Sang Raja baru satu ekor yang siap. Tohjaya melihat Sang Raja tampak tergesa-gesa.

Tohjaya lalu menghunus golok dan berkata kepada Sang Raja, “Tuanku jangan tergesa-gesa. Kalau abdi si Tohjaya ini masih hidup paduka akan aman. Sudah tekad Tohjaya akan berbela mati di Kaduwang.”

Sang Raja berkata, “Aku terima kesetiaanmu. Ayo sekarang kita berangakat. Satu dua orang tak apa.”

Sang Raja berangkat dari Kaduwang. Yang selalu menyertai Sang Raja hanya Pangeran Adipati dan Kapten Hohendorff berserta serdadunya. Barang bawaan Sang Raja banyak yang tertinggal. Juga kuda-kuda yang belum sempat disiapkan. Pangeran Adipati karena tergesa-gesa sampai tertukar bajunya.

Perjalanan Sang Raja sudah sampai di batas kota. Lalu datang Ki Wirareja dan Nayamanggala yang lari dari medan perang. Sesampai di hadapan Sang Raja Ki Wirareja sungkem kepada Sang Raja. Sang Raja kemudian memeriksa Ki Wirareja dan bertanya apa yang telah terjadi.

Ki Wirareja berkata, “Sekarang abdi paduka Paman Adipati Suradiningrat kalah dalam perang dan berpisah dengan hamba. Karena sangat tergesa-gesa sekarang keberadaannya tidak saya ketahui. Juga saya tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati.”

Sang Raja berkata, “Apa yang terjadi sudah kehendak Tuhan. Lebih baik kalau sudah reda kita pikirkan. Ayo sekarang kita berangkat.”

Sudah menjelang malam ketika itu, hampir terbit rembulan tetapi masih gelap. Sang Raja berangkat dengan bergegas. Ketika matahari hampir terbit Sang Raja sudah sampai di Barangkal. Rombongan Sang Raja kemudian berhenti sebentar untuk beristirahat. Tidak lama kemudian segera meneruskan perjalanan. Ketika matahari tergelincir mereka sampai di Mamenang. Rombongan Sang Raja bertemu dengan Raden Suradiningrat, Suradirja dan Suradedaha. Mereka semua sungkem kepada Sang Raja seraya meneteskan air mata. Raden Adipati Suradiningrat menyerahkan hidup mati karena kalah perang melawan pasukan Kartasura.

Berkata sang Adipati, “Sungguh hamba tak mengira bisa bertemu paduka lagi. Juga hamba tak mengira akan kalah perang melawan prajurit Cina. Sebab pasukan hamba sampai kalah karena si Sutawijaya alias si Gandor yang menjadi sayap kiri lari duluan dan membuat seluruh pasukan panik. Prajurit hamba menjadi bubar berlairan. Bukan hamba yang mengawali lari dari medan perang. Hamba terpaksa mundur karena kehabisan prajurit. Semua ikut lari bersama prajurit Sutawijaya.”

Sang Raja berkata, “Sudahlah Paman. Tidak perlu dibahas lagi. Sudah terjadi mau diapakan. Asalkan masih banyak yang selamat prajuritmu, kelak bisa ditata lagi kalau sudah sampai di rumah. Ayo sekarang kita mencari selamat dulu.”

Sang Raja dan rombongan berangkat dari Mamenang diiringi Adipati Suradiningrat dan beberapa punggawa menuju Ponorogo. Perjalanan mereka dipercepat agar segera sampai. Pada saat tengah malam mereka sudah masuk kota Ponorogo.

Sementara itu pasukan Cina dan Kartasura menggelar barisan di Tanduran, wilayah Kaduwang. Raden Mlayakusuma tercium gelagat berpihak ke Sang Raja yang berada di Ponorogo. Orang Cina sangat khawatir, lalu mengirim utusan untuk memberitahukan perihal ulah Raden Mlayakusuma kepada Sapanjang dan Singseh. Kedua kapten Cina lalu mengirim prajurit Cina sejumlah seratus secara diam-diam. Secara lahir tugas mereka membantu pasukan Cina yang berada di Kaduwang. Namun mereka sebenarnya akan menangkap Mlayakusuma. Sesampai di Kaduwang seratus pasukan Cina menemui Sujanapura. Mereka berbisik bahwa kedatangannya untuk menangkap Mlayakusuma. Sujanapura tahu bahwa Mlayakusuma mendua. Namun dia berusaha menutupinya. Orang Cina percaya dan mengurungkan tujuan semua. Mereka melaksanakan tugas lain, membantu pasukan di Kaduwang memukul Ponorogo.

Sementara itu Sang Raja sudah dua hari berada di Ponorogo. Sang Raja menggelar pertemuan dengan para punggawa. Adipati Suradiningrat, Adipati Wirareja, Kapten Hohendorff dan para serdadu Kumpeni sudah hadir. Yang menjadi masalah adalah prajurit Ponorogo habis. Ketika Sang Raja sampai kota Ponorogo terlihat sepi. Para prajurit yang lari belum terkumpul lagi. Kapten Hohendorff dan para stafnya telah bersepakat dengan rencana mereka.

Kapten Hohendorff berkata, “Paduka, kalau seperti ini akan tanpa hasil perjalanan kita. Kalau paduka berkenan lebih baik paduka izinkan saya kembali ke Semarang. Saya dan teman-teman Kumpeni akan melalui Surabaya. Kalau saya berhasil selamat sampai di Semarang saya akan minta bantuan pasukan Kumpeni untuk menyerang musuh dari belakang. Saya akan serang juga musuh yang berada di Grobogan, Bicak dan Tanjung. Juga yang di Ungaran. Lalu saya akan serang Kartasura.”

Sang Raja meminta pertimbangan Suradiningrat dan Wirareja, “Bagaimana pendapat kalian terhadap usulan Kapten?

Adipati Suradiningrat dan Wirareja sepakat, “Kami berdua sepakat jika memang Kumpeni bersungguh-sungguh. Paduka izinkan Kapten ke Semarang dengan membawa mandat dari paduka.”

Para serdadu Kumpeni kemudian menyatakan ikrar kesetiaan kepada Sang Raja, bahwa mereka sungguh-sungguh mengabdi kepada Sang Raja.

Seperti ini pernyataan Hohendorff mewakili para Kumpeni: “Kami bersungguh-sungguh mengabdi kepada Sang Raja, walau kami harus hancur karenanya. Namun paduka, bila paduka masih diperkenankan Allah menjadi raja, kami akan selamat sampai di Semarang. Semoga kita segera bertemu kembali. Saya berharap kita bisa bertemu di Boyolali. Paduka dari Garompol, kita serang bersama orang Cina di Kartasura.”

 Sang Raja berkata, Aku ucapkan terima atas ikrar kesetiaanmu.”

Sang Raja lalu memberi Kapten Hohendorff sebuah pedang bernama Candhabirawa dan sebuah sapu tangan. Juga kepada juru tulis dan letnan diberikan sebuah pedang bersarung emas. Semula pedang itu dibawa oleh Bangsantaka dan Bangsapatra. Kapten dan rombongannya segera berangkat. Sang Raja juga menyertakan punggawa Jawa, Anggadija dari Surabaya, Ki Sindupati dan Ki Naladriya. Kedua rombongan sudah diberi bekal masing-masing delapan riyal. Hohendorff dan kawan-kawan segera berangkat.

Sepeninggal Hohendoff Sang Raja lalu berembug dengan Adipati Suradiningrat dan Adipati Wirareja, bagaimana langkah selanjutnya.

 Adipati Suradiningrat berkata, “Karena para prajurit Ponorogo belum berkumpul semua. Sangat berbahaya kalau sampai musuh datang. Sebaiknya paduka untuk sementara mengungsi ke gunung. Agar lebih tenang dan aman. Sementara saya akan mengumpulkan prajurit dahulu.”

Sang Raja menuruti saran Ki Adipati Suradiningrat. Sang Raja juga mengirim Ki Rajaniti ke Pasuruan untuk meminta bantuan kepada Bupati Wiranagara alias Berahim. Sang Raja kemudian bermarkas di gunung Sawo.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/06/babad-tanah-jawi-167-pasukan-ponorogo-kalah-perang-melawan-pasukan-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...