Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (168): Raden Martapura berselisih dengan Adipati Mangunoneng

 Alkisah, di negeri Kartasura Adipati Pati Mangunoneng mendapat surat balasan dari Madura. Surat dari Pangeran Cakraningrat menyatakan: “Setelah salamku kepadamu. Engkau mengirim surat kepadaku, sudah aku baca. Perihal engkau mengangkat raja, baiklah aku izinkan sepanjang engkau menurut kepadaku. Semua meriam perunggu yang berada di Sitinggil, kirimkan ke Madura. Baru setelah itu aku izinkan engkau mempunyai raja baru.”

Setelah membaca surat Adipati Pati Mangunoneng kaget. Ki Adipati lalu memanggil Raden Martapura. Ketika Raden Martapura datang Ki Adipati menyuruh Martapura membaca sendiri surat dari Madura.

Setelah membaca surat Martapura berkata, “Ini bukan surat balasan. Tidak perlu kita minta dukungan kepada anjing dari Madura itu untuk mengangkat raja.”

Ki Adipati berkata, “Bagaimana kita akan membalas surat seperti itu?”

Martapura berkata, “Emang gua pikirin. Bukan aku yang berkirim surat. Mengapa sampeyan sembunyi-sembuyi membuat surat tak patut itu. Ente pikir ente yang berkuasa di tanah Jawa?”

Ki Martapura berkata sambil pergi. Ki Mangunoneng sakit hati. Semalaman Ki Mangunoneng kepikiran terus perkataan Martapura. Berbaring di lantai Mangunoneng menimang-nimang golok pemberian Ki Patih Natakusuma dahulu. Sangat disukai golok itu, sampai melupakan kerisnya.

Sementara itu Raden Martapura malam harinya berniat mencuri di kediaman Mangunoneng. Dengan membawa seorang pembantu bernama Senggama Ki Martapura sudah sampai di kediaman Mangunoneng. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, sudah waktunya orang tidur. Martapura memanjat pagar bata bersama pembantunya. Sesampai di dalam yang dicari adalah peraduan Ki Mangunoneng. Martapura menemukan Mangunoneng tidur di lantai, lalu dibacakan mantera penyirepan. Seketika Ki Mangunoneng tidur pulas. Golok milik Mangunoneng diambil bersama sebuah bungkusan yang dipakai sebagai bantal. Isinya diambil lalu bungkusannya dibuang. Kepala Mangunoneng tergeletak di lantai. Martapura lalu keluar dengan kembali memanjat pagar bata.

Ketika bangun Ki Mangunoneng kaget karena kepalanya berada di lantai. Tangannya meraih golok, ternyata tak ditemukan. Mangunoneng merasa bahwa seorang pencuri telah masuk ke rumahnya. Segera diperintahkan penjaga untuk meronda. Pagar bata disuruh meneliti. Tak ada yang retak atau bolong. Ki Mangunoneng merasa ada sesuatu yang tak beres.

Pagi harinya Ki Mangunoneng memanggil Citrasoma tua. Anak dari Citrasoma yang juga memakai nama Citrasoma masih menjabat di Jepara, sedang Citrasoma tua berada di Kartasura. Ketika Sang Raja pergi dari istana si Citrasoma tertinggal dan ditangkap pasukan Cina. Lalu diambil oleh Ki Mangunoneng sebagai abdi. Sekarang Citrasoma tua hendak dikirim ke Semarang untuk mengantar surat. Ki Citrasoma segera berangkat.

Singkat cerita Ki Citrasoma sudah sampai di Semarang dan bertemu dengan Rangga Tiksnawijaya. Lalu oleh Rangga diantar menemui Tuan Komisaris. Surat dari Mangunoneng dihaturkan kepada Tuan Komisaris dan segera diterjemahkan oleh juru bahasa.

Isi surat Mangunoneng: “Salam dari Adipati Pati, yang membimbing Prabu Kuning. Saya meminta ampunan dari Kumpeni dan hendak menyerah. Namun mohon disamarkan. Pasukan Kumpeni hendaknya mendekat ke Pati. Nanti saya akan berpura-pura hendak menundukkan pasukan Kumpeni di Pati. Di situ nanti saya menyerah.”

Komisaris Prisel dan Komisaris Tilen sangat gembira setelah membaca surat Mangunoneng. Segera Tuan Komisaris memerintahkan Daeng Mabelah untuk memimpin pasukan Kumpeni ke Pati. Yang akan diangkat sebagai bupati Pati adalah patih dari Demak yang saat ini berada di Semarang. Dia masih saudara Raden Suranata Demak. Namanya Wiranagara. Ketika dulu Suranata ikut Prabu Kuning saudaranya tidak mau. Dia lalu ke Semarang mencari perlindungan Kumpeni. Dia ke Semarang bersama patih dari Tumenggung Wirasastra yang bernama Martanagara. Keduanya menyatakan sanggup menaklukkan Pati. Pasukan Kumpeni segera berangkat dari Semarang dipimpin dua kapten Kumpeni dengan enam ratus serdadu Bugis-Makasar-Ambon.

Sementara itu Raden Tumenggung Suranata dari Demak baru saja datang dari Kartasura dengan membawa seratus prajurit Cina. Raden Suranata mendengar kalau pasukan Kumpeni sudah sampai di negeri Demak. Segera Suranata bersiap menghadapi kedatangan Kumpeni dengan menggelar barisan di Kapatutan.

Di lain pihak pasukan Kumpeni sudah tahu kalau musuh akan menghadang di Kapatutan. Segera mereka menabuh tambur tanda perang dimulai. Kedua kubu segera terlibat pertempuran sengit. Serdadu Kumpeni Ambon-Sumbawa mengamuk menerjang lawan. Prajurit Cina banyak yang tewas. Raden Suranata ciut nyalinya, lalu lari meninggalkan gelanggang. Pasukan Kumpeni terus mengejar sampai ke kota. Raden Suranata bersama sisa pasukan Cina hendak bertahan di dalam kota, tetapi kerepotan karena pasukan Kumpeni tak memberi kesempatan. Kota Demak dikepung dan dibakar. Perilaku serdadu Kumpeni mirip orang mabuk. Semua ditumpas habis. Suranata dan prajurit Cina lari meninggalkan Demak ke arah timur dan berhenti di Suranjari. Suranata lalu mengirim surat ke Kartasura untuk meminta bantuan, juga meminta kepulangan Ki Padmanagara agar Suranata mempunyai teman melawan musuh yang datang dari Semarang.

Sementara itu pasukan Kumpeni telah menduduki Demak. Ki Wiranagara diangkat sebagai penguasa oleh Kumpeni. Banyak orang yang kemudian datang menyatakan kesetiaan. Pasukan Ki Wiranagara sudah banyak.

Di pihak lain, Raden Tumenggung Suranata terus lari ke timur menuju Grobogan. Pasukan Kumpeni terus mengejar sampai di Barangkal. Dari Barangkal pasukan Kumpeni mengirin surat ke Semarang, melaporkan kalau Demak sudah takluk. Pasukan terus bergerak menuju Pati. Komisaris dan Tuan Kumendur sangat gembira mendengar berita kemenangan pasukan Kumpeni.

Sementara itu di Kartasura, Ki Citrasoma sudah datang dari Semarang. Kedatangan Citrasoma bersamaan waktunya dengan takluknya Demak ke tangan pasukan Kumpeni. Juga tersiar kabar pasukan Kumpeni menuju Pati. Ki Adipati Pati Mangunoneng sangat gembira. Dia mempunyai alasan untuk meninggalkan Kartasura. Segera Ki Mangunoneng berpamitan kepada Prabu Kuning untuk berpura-pura merebut Pati dari tangan Kumpeni. Namun Raden Mangunoneng tak mendapat izin. Raden Martapura kemudian bepesan kepada Kapten Sapanjang.

Kata Martapura, “Hai Ki Sapanjang, kalau Adipati Pati pamit kepada Anda hendak merebut Pati. Itu bukan alasan yang sebenarnya. Sesungguhnya dia ke Pati hanya untuk menyerah ke Semarang.”

Kapten Sapanjang kaget mendengar pesan Martapura. Segera Sapanjang mengundang pasukan Cina sebanyak empat puluh orang yang tangguh. Segera berangkat Sapanjang menuju ke kediaman Mangunoneng. Setelah bertemu dengan Sang Adipati Kapten Sapanjang bersalaman dan diajak duduk nyaman.

Adipati Pati berkata pelan, “Hai bapak, sebaiknya engkau tinggal di kota untuk menjaga Sang Prabu. Saya minta pamit merebut Pati, karena Pati sekarang diduduki musuh dari Semarang.”

Kapten Sapanjang berseru, “Ki Adipati, kalau Anda pergi siapa yang menjadi teman saya menjaga Sang Prabu. Sudahlah urungkan saja kepergianmu.”

Adipati Mangunoneng berkata, “Duh siapa saya ini. Kan masih ada Martapura yang mumpuni dan perkasa. Sakti dalam perang.”

Kapten Sapanjang berkedip memberi isyarat kepada prajuritnya. Seketika semua prajurit Sapanjang menarik pedang sabir dan berdiri.

Kapten Sapanjang berkata, “Kalau engkau hendak melawan orang Cina, tak usah pergi. Di sini saja.”

Ki Adipati Mangunoneng miris melihat gerakan prajurit Cina, tetapi duduknya tak bergeser sedikit pun.

Ki Adipati berkata, “Apa sebab engkau berkata demikian? Kalau aku berniat meninggalkan Sang Prabu, sudah pasti kulakukan dari dulu. Ketika masih menderita terlunta-lunta. Ibarat badan menjadi makanan nyamuk. Aku tak akan memisahkan diri dari kalian dan semua pasukan Cina. Aku yang telah mengangkat Sang Prabu menjadi raja.”

Banyak-banyak sumpah Sang Adipati, membuat Kapten Sapanjang tenang hatinya. Pasukan Cina kembali menyarungkan pedang. Mereka kembali duduk nyaman. Ki Adipati lalu mengeluarkan jamuan dan mereka bersantap bersama. Keduanya kemudian berembug untuk mengatur strategi. Mereka sepakat mengirim Muda Cupyan memimpin pasukan Cina sejumlah sembilan ratus.

Ki Adipati berkata, “Punggawa Jawa yang aku tunjuk ke Pati saudara iparku sendiri Ki Garwakanda dan Raden Mangkupraja. Pasukan bagilah menjadi dua bagian. Satu bagian menyerang Kaliwungu. Kalau Kaliwungu sudah takluk bocahku si Tiksnanagara itu angkatlah sebagai bupati. Lalu dari Kaliwungu bergeraklah ke Tugu agar orang Semarang khawatir. Kalau mereka ketakutan pasti akan menarik pasukan yang berada Barangkal, Pati. Kalau pasukan di Pati ditarik, seranglah dari belakang.”

Kapten Sapanjang sangat gembira, “Benar itu Ki Adipati, segera berangkatkan pasukan untuk menolong Pati. Adapun yang ke timur, Ki Adipati sebaiknya juga menunjuk orang yang akan berangkat.”

Ki Adipati berkata, “Benar bapak, yang aku tunjuk ke timur Tumenggung Natayudan dan si Maospati.  Adapun nanti yang akan memimpin saudara iparku Tumenggung Surantani. Tidak perlu pakai pasukan Cina. Mustahil kalah hanya melawan pasukan Mancanagara.”

Kapten Sapanjang sangat gembira. Segera mengundang punggawa yang ditunjuk agar mereka bersiap. Ki Tumenggung Garwakandha, Tumenggung Mangkupraja dan Mudha Cupyan berangkat mendahului. Singkat cerita pasukan pimpinan Garwakandha sudah sampai di Ungaran. Di Kalidodol pasukan Kartasura dibagi dua. Pasukan Jawa lalu bermarkas di Pudhakpayung. Pasukan Cina menuju Kaliwungu bersama Ki Tiksnanagara dan empat mantri Panumping. Mereka kemudian bermarkas di desa Cangkiran.

Berita kedatangan pasukan dari Kartasura sudah tersiar di Semarang. Ada sepasukan Cina yang berada di Cangkiran dan sedang bersiap menuju Kaliwungu. Para pembesar Kumpeni mengundang Tirtawiguna dan Suradipura untuk diajak berembug. Kedua punggawa sudah masuk ke Loji dan segera bergabung dengan pembesar Kumpeni.

Sementara itu di Kartasura, tiga punggawa yang ditunjuk untuk berangkat ke timur sudah bersiap. Mereka adalah Ki Tumenggung Maospati, Tumenggung Natayuda dan Tumenggung Surantani. Perintah Adipati Pati Mangunoneng agar mereka menuju Sukawati lalu menduduki Madiun. Pasukan Kartasura segera berangkat ke timur. Ketika sampai di Jagaraya mereka mulai menjarah desa Careme, lalu meluas ke desa-desa sekitar.

Sementara itu Raden Sumaningrat yang sudah bergabung ke kubu Prabu Kuning sudah mendapat perintah untuk menyerang Pamagetan. Karena Sang Raja Pakubuwana di Ponorogo sedang ditinggal prajuritnya dan belum berhasil mengkosolodasi pasukan, maka saat yang tepat jika sekarang menyerang Pamagetan. Sumaningrat segera berangkat mengerahkan pasukan.

Di Pamagetan, Raden Mangunjaya mendengar kalau sang uwak Sumaningrat akan menyerang negerinya. Mangunjaya segera mengundang prajuritnya. Mereka diberi pesan kalau sang uwak sungguh-sungguh akan melawan Sang Raja, maka para prajurit diminta untuk bersiap perang habis-habisan.

Berkata Raden Mangunjaya, “Kalau Wak Sumaningrat sungguh-sungguh melawan Sang Raja, saya akan lawan habis-habisan. Kalau uwak tak ingat dengan pengabdiannya dulu kepada Sang Raja, sungguh aku pun tak ragu untuk menebas lehernya. Kalau kedatangannya untuk mengabdi kepada rajaku, ayo saling mundur, jangan sampai terjadi perang.”

Sumaningrat mendengar kalau sang keponakan akan menghadapinya di Pamagetan. Juga telah sampai ucapan menantangnya. Sumaningrat merasa disepelekan oleh seorang bocah. Anak tertua Sumaningrat yang bernama Pusparana ikut panas kupingnya mendengar tantangan dari Mangunjaya.

Berkata Pusparana, “Saya berkata sungguh-sungguh, kalau seperti itu perkataan Mangunjaya, ayah jangan ikut-ikut. Biar saya hadapi dalam perang tanding. Siapa dari kami yang lebih perwira. Siapa yang akan tewas pasti dipenggal kepalanya.”

Seorang adik Sumaningrat yang bernama Raden Mangunyuda juga mendengar tantangan tersebut, hatinya merasa bahwa dia akan kehilangan saudara.

Berkata Raden Mangunyuda kepada Sumaningrat, “Kalau sekarang, lebih baik saya sendiri yang menghadapi si Mangunjaya. Jangan sampai Anda kehilangan anak.”

Raden Sumaningrat berkata, “Terserah padamu.”

Mangunyuda lalu berangkat menemui sang keponakan. Raden Mangunjaya yang mendapat kunjungan sang paman segera sungkem. Keduanya lalu duduk nyaman.

Berkata Raden Mangunyuda, “Mangunjaya kedatanganku hendak bertanya kepadamu, apa maksudnya mempersiapkan perang habis-habisan dengan mengerahkan seluruh senjata?  Engkau ini seperti hendak melawan musuh sungguhan.”

Mangunjaya berkata, “Sebab saya lakukan ini semua, paman, karena mendapat tugas berat dari Sang Raja menjaga negeri Pamagetan. Tidak akan saya tinggal lari. Akan saya bela sampai mati. Walaupun yang akan merebut adalah Uwak, saya tak melihat dia sebagai orang tua. Kalau dia sungguh melawan Sang Raja pasti saya hadapi dengan perang.”

Raden Mangunyuda berkata, “Mangunjaya, ketahuilah. Aku sampai di sini tidak membawa teman. Aku hanya ingin memberimu nasihat. Jangan engkau salah terima. Sekali-kali tidaklah uwakmu akan melawan Sang Raja karena ingat dulu diangkat sebagai abdi. Juga telah diberi kemuliaan ketika Sang Raja masih bertahta di Kartasura. Uwakmu datang hanya untuk berbakti kepada Sang Raja. Maka dia akan menduduki Pamagetan, supaya kelak bisa menjadi sarana bagi Sang Raja kalau hendak berperang.”

Raden Mangunjaya ketika mendengar pernyataan sang paman menjadi reda. Pasukan dari Ponorogo yang dia bawa segera diundang dan dibawa pulang ke Ponorogo. Raden Sumaningrat dengan leluasa menduduki Pamagetan

Sementara itu Puspayuda yang diutus Sang Raja ketika bermarkas di Kaduwang sudah sampai di Semarang. Puspayuda sudah bertemu dengan Tuan Komisaris dan Tuan Kumendur. Surat dan hadiah sudah diserahkan kepada Kumendur dan Komisaris. Juru bahasa segera membacakan surat dari Sang Raja kepada para pembesar Kumpeni. Selang sehari Puspayuda mendengar meriam tanda kehormatan. Puspayuda kaget dan dalam hati timbul tanda tanya. Selang sehari kemudian Puspayuda dipanggil kembali ke Loji. Surat balasan dari Kumendur telah diberikan, Puspayuda disuruh segera kembali. Juga diberi bekal sejumlah lima koin uang. Bersama dua orang kaum yang menyertainya, Puspayuda bergegas pulang ke Kaduwang.

Singkat cerita, Puspayuda sudah sampai di Kartasura. Ketika melewati Uter dia mendapat kabar bahwa Sang Raja kalah perang dan sudah terusir dari Kaduwang. Puspayuda kebingungan karena tidak mengetaui keberadaan Sang Raja. Berita yang dia dengar menyebutkan kalau Sang Raja sudah lari ke arah timur. Ki Puspayuda lalu ingat, Sang Raja dahulu ketika meninggalkan keraton berniat ke Surabaya, lalu akan menuju Semarang melalui laut. Ki Puspayuda lalu berniat kembali ke Semarang. Pikirnya, tak urung Sang Raja pasti akan sampai di Semarang. Puspayuda berharap akan berjumpa dengan Sang Raja di Semarang.



https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/07/babad-tanah-jawi-168-raden-martapura-berselisih-dengan-adipati-mangunoneng/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...