Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (169): Sang Raja Pakubuwana bertemu dengan Sunan Lawu

 Alkisah, yang sedang bersedih Sang Raja Pakubuwana masih mengamankan diri di gunung Sawo dengan ditemani abdi yang masih setia, Ki Bangsantaka.

Pada suatu hari Sang Raja bertanya, “Hai Bangsantaka, apakah teman-temanmu sudah terkumpul semua?”

Bangsantaka menjawab, “Sudah lengkap, paduka. Ada adik paduka Pangeran Dipanagara, Raden Ayu Pringgalaya dan suaminya Raden Pringgalaya. Di sebelah timur Jembet mereka terpisah. Yang ke utara adik paduka Pangeran Arya Pamot. Adapun para prajurit posisi mereka di selatan. Separuh lagi berada di barat.”

Sang Raja tenang hatinya karena para abdi sudah diketahui posisi mereka. Selama berada di gunung Sawo keadaan Sang Raja sangat menderita dan menyedihkan. Tidur di dalam pondok yang sempit dan tidak layak. Sang Raja selalu mengurangi makan dan tidur dan memperbanyak doa kepada Allah. Para prajurit sangat prihatin melihat keadaan raja mereka. Demikian juga istri Sang Raja dari Ponorogo yang baru saja dinikahi di Ponorogo dulu. Keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak mengira akan mengalami nasib seperti ini, sang putri Ponorogo selalu bersedih. Para abdi berusaha menghibur sang putri agar kesedihannya tidak berlarut-larut.

Ki Bangsantaka berkata, “Duh tuanku, suami paduka jangan didekati dahulu. Agar hatinya tenang biarkan dia berdoa kepada Tuhan. Kelak kalau Kartasura sudah ditaklukkan, semua akan kembali bahagia.”

Sang putri berkata, “Bukan, itu maksud saya. Saya hanya merasa sangat kasihan melihat Sang Raja. Saya ingin melayani supaya hati Sang Raja tenang.”

Sang Raja mendengar percakapan antara sang istri dan Bangsantaka, lalu keluar menemui mereka.

Berkata Sang Raja, “Duhai istriku, engkau rela berbela menderita bersamaku. Aku sungguh berterima kasih. Kuatkan hatimu karena kita sedang mendapat ujian dari Tuhan. Diri kita sedang dibersihkan oleh Yang Maha Kuasa. Diberi sedikit kesusahan dan derita agar hati kita kuat. Maka jangan mengurangi ibadah. Bila kelak kita diperkenankan kembali ke Kartasura dan menguasai negeri kembali, di dalam istana pun jangan melupakan peribadatan seperti ini.”

Sang putri meneteskan air mata, lalu berkata, “Duhai tuanku, jangan diperpanjang cerita di dalam istana. Sekarang paduka berada di hutan, tak tampak seperti seorang raja. Kalau kelak kembali ke istana, pasti melupakan abdi dari Ponorogo ini. Karena pasti banyak yang bisa dilihat lagi.”

Sang Raja tertawa lalu menenangkan sang istri. Mendadak datang utusan dari Ponorogo. Utusan dari Adipati Suradiningrat dan Adipati Wirareja. Utusan mengabarkan bahwa telah datang surat Mangunoneng dari Kartasura. Surat ditujukan kepada Adipati Suradiningrat. Isi suratnya berupa bujukan agar Adipati Suradiningrat menangkap Sang Raja Pakubuwana. Sebagai imbalah Prabu Kuning akan memberikan tanah di timur gunung Lawu seluruhnya kepada Sang Adipati.

Sang Raja berkata kepada si utusan, “Segera kembalilah. Katakan kepada Paman Adipati. Berilah balasan berbasa-basi.”

Utusan menyembah dan segera kembali ke Ponorogo. Setelah menghadap Adipati Suradiningrat, utusan menyampaikan perintah Sang Raja. Surat Mangunoneng segera dibalas dengan balasan berpura-pura.

Demikianlah Sang Raja berdiam di gunung Sawo memohon pertolongan Tuhan. Selalu hidup prihatin dengan mengurangi makan dan tidur. Pada suatu hari pondokan gunung Sawo kedatangan seorang santri bernama Durahman, menantu Kyai Muhkamat dari Majasem. Si santri diterima oleh Bangsantaka dan segera dibawa menghadap Sang Raja. Santri Durahman bermaksud mengabdi kepada Sang Raja. Pengabdiannya sudah diterima dan disuruh bergabung dengan Ki Bangsantaka dan Ki Bangsapatra. Tidak lama berselang datang abdi dari Kartasura bernama Ki Citraboma dan Ki Citramanggala. Lalu malam berikutnya datang lagi Ki Kartawirya dan Ki Sutamenggala. Keduanya juga dari Kartasura. Sang Raja menanyakan kabar berita keadaan di Kartasura. Keduanya menceritakan apa yang mereka saksikan.

Sudah dua puluh tujuh hari Sang Raja berdiam di gunung Sawo. Sang Raja hampir tak pernah makan dan tidur. Setiap hari yang dimakan hanya nasi ketan sebesar buah kemiri. Pada suatu hari, hari Selasa Kliwon, Sang Raja sedang berbaring. Tiba-tiba datang angin besar. Para penjaga kaget karena datangnya angin besar yang tiba-tiba. Sang Raja memerintahkan para penjaga untuk menjauh. Angin itu adalah tanda kedatangan raja lelembut dari Argadumilah yang bernama Sunan Lawu. Tampak seorang yang sebesar gunung memakai kampuh poleng.

Sunan Lawu berkata dengan suara menggelegar, “Anak Prabu, jangan engkau bersedih. Si bapak ini sanggup membantu menaklukkan Kartasura. Namun aku minta anak Prabu mau menikahi anak perempuanku, seorang yang cantik bernama Nimas Ratu. Besok dia akan datang sendiri pada hari Jum’at.”

Sang Raja Pakubuwana mendekat. Ketika mendengar perkataan Sunan Lawu seketika tertegun tak mampu bicara. Dalam hati merasa bingung. Karena yang diminta pertolongan adalah Tuhan, tetapi yang datang sebangsa lelembut. Namun Sang Raja segera sadar, barangkali memang inilah jalan pertolongan dari Tuhan itu. Harus memakai jasa lelembut. Karena semua yang ada di bawah langit adalah hamba Tuhan juga.

Sang Raja berkata manis, “Kalau engkau memang tulus membantu, datangkan anakmu itu. Aku akan mengambilnya sebagai istri dan kelak bantulah aku dalam perang agar prajuritku menang.”

Sunan Lawu berkata, “Duhai Sang Raja, jangan khawatir.”

Sunan Lawu sudah menghilang dari hadapan Sang Raja. Waktu sudah menjelang pagi. Sang Raja kembali ke pondokan. Para pengawal sangat keheranan melihat Sang Raja kali ini raut wajahnya tampak berseri, beda dengan hari-hari kemarin. Sang Raja kemudian meminta perlengkapan untuk mandi keramas.

Alkisah, pada hari Jum’at, datang putri Argadumilah. Datangnya bersamaan dengan angin yang bertiup kencang. Sang Raja kaget dan ingat janjinya kemarin. Sang Raja kemudian menunggu kemunculan Nimas Ratu. Seketika yang ditunggu muncul, Ratu Nimas segera sungkem kepada Sang Raja.

Berkata Nimas Ratu, “Saya diutus oleh ayah untuk membawa pasukan lelembut membantu paduka dalam perang. Semua pasukan lelembut akan memukul mata musuh ketika di medan perang agar mereka sakit mata. Kalau mata mereka bengkak dan rabun pasti akan kalah perang. Kalau paduka berkenan, silakan paduka kembali ke Ponorogo. Saya dan pasukan lelembut akan menjaga paduka di malam hari. Kalau siang hari pasukan saya akan bersembunyi di hutan.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, jangan jauh-jauh dariku.”

Pagi harinya Sang Raja mengumumkan kepada para pengawal yang berada di gunung Sawo bahwa Sang Raja akan ke Ponorogo untuk memulai perang kembali. Utusan segera dikirim ke Ponorogo untuk memberi tahu Adipati Suradiningrat.

Sementara itu utusan Sang Raja yang berangkat ke Surabaya sudah sampai. Kapten Hohendorff sudah dipesan agar setelah sampai di Surabaya segera berangkat melalui laut ke Semarang. Dua abdi Sang Raja menyertainya, Naladirja dan Sindupati. Rombongan Hohendorff terlebih dulu bertemu dengan penguasa Surabaya Tumenggung Secanagara dan Tumenggung Sasranagara. Hohendorff memerintahkan kedua tumenggung Surabaya bersiap perang, dan segera menyusul Sang Raja. Hohendorff sangat khawatir karena Sang Raja baru saja kalah perang dan hanya dijaga sedikit prajurit mancanagara. Dua tumenggung Surabaya bermaksud mengumpulkan prajurit dari wilayah timur terlebih dahulu. Namun Hohendorff menyuruh segera berangkat agar Sang Raja segera mendapat pengawalan. Mereka sudah sepakat. Setelah mendapat kepastian, Hohendorff pun segera berangkat ke Semarang. Tak lama kemudian delapan ratus prajurit Surabaya yang dipimpin oleh Anggadirja, saudara Tumenggung Sasranagara, berangkat dengan berkuda.

Di gunung Sawo, Sang Raja sedang menunggu-nunggu datangnya utusan dari Ponorogo. Tidak berapa lama utusan dari Ponorogo datang. Namun mereka membawa kabar yang kurang baik. Adipati Suradiningrat dan Adipati Wirareja memberitahukan bahwa Pamagetan telah dikuasai oleh musuh. Sumaningrat telah menduduki Pamagetan dan bersiap menangkap Sang Raja. Juga terdengar kabar dari Madiun bahwa barisan Madiun sudah mundur ke negerinya.

Sang Raja berkata kepada utusan, “Segera pulanglah. Katakan kepada Paman Adipati Suradiningrat dan Bapak Wirareja, aku percaya mereka bisa mengatasi hal ini. Terserah bagaimana menghadapi musuh, tapi semua harap berhati-hati. Juga kirimlah utusan ke Madiun, kepada Dinda Mangkunagara dan Dinda Martalaya. Aku perintahkan agar keduanya menyerang musuh di Pamagetan itu.”

Utusan segera kembali ke Ponorogo. Semua pesan Sang Raja telah disampaikan.

Di saat yang sama utusan Adipati Suradiningrat yang berangkat ke Kartasura sudah kembali ke Ponorogo. Utusan segera disuruh menghadap kepada Sang Raja di gunung Sawo untuk menceritakan hasil pekerjaannya. Kepergian utusan ke Kartasura adalah untuk membawa surat balasan dari Adipati Suradiningrat kepada Adipati Mangunoneng. Surat sudah diserahkan kepada Adipati Mangunoneng. Sang adipati lalu membawanya menghadap Prabu Kuning. Prabu Kuning sangat gembira setelah membaca surat dari Adipati Suradiningrat.

Prabu Kuning bertanya kepada si utusan, “Ada di mana Paman Raja?”

Si utusan menjawab, “Paman paduka Sang Raja berada di lautan pasir.”

Sunan Kuning menyuruh Mangunoneng keluar untuk memberi surat balasan. Isi suratnya mengatakan kalau semua pasukan mancanagara diserahkan kepada Adipati Suradiningrat. Kalau semua pasukan mancanagara sudah berkumpul di Ponorogo lalu disuruh untuk membawa ke Kartasura. Demikian si utusan menceritakan yang terjadi dalam perjalanannya. Sang Raja tersenyum.

Si utusan menyambung ceritanya, “Dan lagi paduka, perlu paduka ketahui bahwa musuh yang datang ke Kaduwang dipimpin Baureksa. Mereka adalah pasukan Cina peranakan. Juga terdengar kabar bahwa pasukan Cina yang berjaga di Grobogan telah dikalahkan pasukan Kumpeni yang dipimpin Kapten Hohendorff.”

 Sang Raja berkata, “Hai utusan, kalian segera kembalilah ke Ponorogo. Katakan kepada Paman Suradiningrat dan Bapak Wirareja, aku sangat berterima kasih atas pengabdiannya kepadaku.”

Utusan bergegas kembali ke Ponorogo. Tidak berapa lama datanglah Adipati Wirareja ke gunung Sawo. Adipati Wirareja menyembah dan menghaturkan salam dari Adipati Suradiningrat. Wirareja memberitahukan bahwa Adipati Suradiningrat meminta Sang Raja untuk kembali ke Ponorogo. Sang Raja sangat bersukacita. Segera diumumkan kepada para abdi bahwa mereka sudah bisa pulang ke Ponorogo. Semua merasa gembira.

Setelah bersiap rombongan Sang Raja segera berangkat. Selama perjalanan Adipari Wirareja mengawal Sang Raja di belakang. Pangeran Adipati berada di depan dengan pengawalan ketat para prajurit. Para kerabat juga berada di depan, Pangeran Arya Dipanagara, Pangeran Arya Pamot dan Raden Ayu Pringgalaya. Mereka berada di depan Sang Raja dan dibelakang Pangeran Adipati. Kedua tukang kuda Sang Raja, Ki Wangsakusuma dan Nayamenggala selalu berada di samping Sang Raja.

Ketika rombongan Sang Raja mendekati kota Adipati Suradiningrat sudah menyambut di tenggara kota Ponorogo. Perjalanan Sang Raja tak berhenti. Dalam sehari sudah sampai di kota Ponorogo. Sang Raja kemudian berdiam di rumah Adipati Suradiningrat. Para punggawa masing-masing pulang ke pondokan mereka yang lama. Pagi hari berikutnya Sang Raja tampil di hadapan para punggawa. Adipati Suradiningrat duduk di depan Sang Raja.

Berkata Sang Adipati, “Hamba mendengar berita bahwa musuh yang berada di Kaduwang adalah pasukan peranakan Cina. Pemimpin mereka bernama Baureksa. Adapun musuh paduka yang berada di Pamagetan adalah si Sumaningrat. Sekarang pasukan Pamagetan masih berhadap-hadapan dengan pasukan Dinda Martalaya dan Dinda Mangkunagara dari Madiun.”

Sang Raja berkata, “Paman, sekarang pangggillah Dinda Mangkunagara dan Dinda Martalaya. Aku ingin bertemu.”

Sang Adipati menyatakan siap. Pada waktu Sang Raja datang dari gunung Sawo, Citradiwirya menyusul Sang Raja ke Ponorogo. Citradiwirya telah diterima pemgabidannya kembali oleh Sang Raja dan ditempatkan di pondokannya.



https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/08/babad-tanah-jawi-169-sang-raja-pakubuwana-bertemu-dengan-sunan-lawu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...