Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (171): Raja Pakubuwana meletakkan jabatan dan digantikan Pangeran Adipati Anom dengan gelar Prabu Jaka Susuhunan Bauwarna

 Alkisah, Sang Raja Pakubuwana telah memerintahkan dua pangeran Madiun untuk menyerang Pamagetan. Pangeran Martalaya dan Pangeran Mangkunagara sudah melaksanakan. Namun sampai beberapa lama Pamagetan belum berhasil ditaklukkan. Tidak lama kemudian utusan Sang Raja yang berangkat ke gunung Wilis sudah datang. Dhandhang Wacana datang dengan membawa pesan Panembahan Sekondha.

Pesan Panembahan Sekondha, “Kangjeng Sinuhun persilakan menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Adipati Anom. Karena ibarat tanaman, Sang Raja sudah mengalami kesundulan, biji yang akan datang sudah tumbuh. Maka lebih baik Pangeran Adipati yang menjadi raja. Tidak ada larangan jika akan melakukan itu.”

Sang Raja menuruti saran Panembahan Sekondha dari gunung Wilis. Para punggawa dan prajurit segera dikumpulkan. Pangeran Adipati kemudian diangkat sebagai raja dengan gelar Sang Prabu Jaka Susuhunan Bauwarna. Adapun Sang Raja Pakubuwana kemudian menjadi sesepuh kerajaan dan berganti nama Panembahan Brawijaya. Semua punggawa dan prajurit sudah menyaksikan dan mematuhi titah Sang Panembahan.

Sementara itu dua pangeran Madiun yang ditugaskan menyerang Pamagetan sampai kini belum mendapat kemajuan yang berarti. Kedua pangeran kemudian melapor kepada Sang Raja. Bantuan pasukan kemudian dikirim dari Ponorogo. Yang ditugaskan adalah Ngabei Mangunjaya disertai patih Tambakbaya. Juga ditugaskan sebagai panglima Ki Ranggasutadipa dan para kerabat Ki Suradedaha dan Suradirja. Pasukan bantuan dari Ponorogo segera berangkat dengan jumlah pasukan yang tak terhitung. Pamagetan telah dikepung, semua jalan sudah dijaga. Juga jalan menuju Pancot.

Penduduk negeri Pamagetan sangat menderita karena datangnya musuh yang begitu besar. Bila sungguh-sungguh terjadi perang maka Pamagetan akan hancur. Raden Sumaningrat dan sang adik Raden Mangunjaya merasa takkan sanggup melawan, maka keduanya sepakat mengirim surat kepada kedua pangeran Madiun dan punggawa Ponorogo. Dalam surat dinyatakan keduanya hendak menyerah. Utusan segera membawa surat kepada dua pangeran Madiun. Surat sudah dibaca oleh kedua pangeran dari Madiun dan dimintakan persetujuan kepada pasukan Ponorogo yang datang membantu. Semua sudah sepakat akan menerima penyerahan Raden Sumaningrat. Tidak berapa lama Raden Ayu Sumaningrat diutus sang suami untuk menghadap kepada Sang Raja di Ponorogo. Raden Ayu Sumaningrat menghaturkan hidup-mati sang suami.

Sang Raja berkata dengan sedikit menahan marah, “Baiklah bibi, aku terima semua perkataan bibi. Namun kalau suami bibi tidak datang sendiri maka tidak aku anggap. Sekarang bibi pulanglah, katakan kepada suami bibi kalau memang sungguh-sungguh menyerah sebaiknya menghadap sendiri dan bertemu denganku.”

Raden Ayu Sumaningrat lalu kembali. Singkat cerita sudah sampai di Pamagetan dan bertemu dengan sang suami. Sudah disampaikan semua titah Sang Raja. Raden Sumaningrat pun segera bersiap. Sebelum ke Ponorogo, Raden Sumaningrat menemui dua pangeran Madiun dan punggawa Ponorogo yang masih mengepung kota. Setelah mendapat izin baru Sumaningrat berangkat ke Ponorogo.

Raden Sumaningrat sampai di Ponorogo setelah matahari tergelincir ke barat. Sudah dihaturkan ikatan senjata dari Pamagetan. Sang Raja sangat bersukacita. Raden Sumaningrat kemudian dipanggil menghadap. Raden Sumaningrat meletakkan keris dan sungkem kepada Sang Raja. Kepada Sang Raja penguasa Pamagetan itu menyatakan kesetiaan. Juga mengembalikan pusaka milik Sang Raja berupa keris Kyai Baruwang.

 Penyerahan diri Sumaningrat dan Mangunjaya sudah diterima. Adapun status Pamagetan untuk sementara ditangguhkan, tidak langsung diberikan kepada Sumaningrat. Sang Raja memerintahkan keduanya tinggal dulu di Ponorogo.

Ketika itu Sang Raja berkeinginan mengadakan upacara berburu kijang dan banteng ke hutan Tegalsari. Sesampai di hutan Tegalsari Sang Raja kehujanan lalu berhenti dan kembali ke Ponorogo. Setelah sampai di Ponotogo Sang Raja diminta untuk menyaksikan acara latihan keprajuritan. Namun Sang Raja tidak berkenan hadir. Adipati Suradiningrat dan Adipati Wirareja lalu membujuk Sang Raja muda.

Berkata kedua adipati, “Sangat-sangat kami berharap paduka berkenan hadir karena paduka sudah menjadi raja menggantikan ayah paduka. Jangan sampai para prajurit merasa kehilangan raja mereka. “

Sang Pranembaha Brawijaya pun ikut serta membujuk Sang Raja. Akhirnya Sang Raja muda berkenan menyaksikan olah kaprajuritan di hari Sabtu.

Tidak berapa lama datang berita yang menyebutkan bahwa pasukan Cina dari Kartasura sudah naik ke Ponorogo. Pemimpin mereka adalah Sujanapura dan Raden Mlayakusuma. Sang Raja sudah memberi perintah agar pasukan Ponorogo menghadang musuh yang datang. Para punggawa di Ponorogo sepakat untuk menguji kesetiaan Sumaningrat. Kalau benar-benar telah menyerah maka disuruh berangkat menghadapi musuh yang datang. Sang Raja menyetujui usulan para punggawa. Maka Sumaningrat ditugaskan memimpin pasukan Ponorogo. Sekalian juga negeri Pamagetan diserahkan kembali kepadanya. Adapun sang adik Raden Mangunjaya diberikan negeri Kaduwang dan namanya diganti menjadi Raden Arya Mangunrana. Pasukan Ponorogo sudah siap, segera Raden Sumaningrat dan Raden Mangunrana berangkat.

Pasukan Raden Sumaningrat sudah sampai di Pakiringan, mereka lalu menggelar barisan. Pasukan Cina dari Kartasura sudah mengetahui kalau musuh sudah sampai di Pakiringan. Mereka pun bersiap tempur. Pagi hari berikutnya kedua kubu sudah saling mendekat. Tidak berapa lama pecah pertempuran sengit antara kedua kubu. Pasukan Cina mendapat tempat yang bagus untuk menembak. Mereka leluasa menembak sambil duduk. Pasukan Ponorogo dan Pamagetan yang berada di atas kuda kurang leluasa bergerak karena medan yang tidak rata. Mereka tak leluasa mengendalikan kuda. Tombak dan lembing yang mereka bawa pun sulit digunakan. Sementara pasukan Cina terus memberondong dengan tembakan. Pasukan Ponorogo dan Pamagetan hanya bisa bersembunyi di balik pohon.

Raden Sumaningrat dan Raden Mangunrana memaksa untuk terus menyerang. Serangannya dapat dengan mudah ditahan pasukan Cina. Raden Sumaningrat tertembak di dekat mata kaki. Kuda Sang Raja yang dipinjamkan juga ikut terluka. Raden Sumaningrat berhasil diselamatkan oleh prajurit Ponorogo dan dibawa mundur. Sang Raja sudah diberi tahu bahwa pasukan Sumaningrat telah kalah perang melawan pasukan Cina di Pakiringan. Pasukan Cina yang mengejar pasukan Sumaningrat kemudian bermarkas di Tirisan. Sedang pasukan Ponorogo kemudian kembali ke Barangkal.

Para punggawa sudah sepakat akan mengirim bantuan kepada pasukan Ponorogo. Yang akan memimpin Raden Adipati Suradiningrat dan kedua pangeran dari Madiun. Pasukan Ponorogo segera berangkat. Tidak berapa lama datang pasukan dari Surabaya yang dulu dimintakan oleh Kapten Hohendorff, jumlahnya seribu prajurit. Pasukan dari Surabaya langsung diperbantukan ke medan perang di Barangkal.

Sementara itu di Ponorogo, Sang Panembahan Brawijaya ingin segera menggempur Kartasura. Namun niat itu terpaksa diurungkan karena Prabu Jaka sedang menderita sakit cacar.

Di Barangkal, pasukan Adipati Suradiningrat sudah siap tempur. Jumlah pasukan amat banyak sampai memenuhi hutan. Hutan menjadi seperti terbakar oleh warna-warna pakaian para prajurit yang mencolok. Di pihak lain, pasukan Cina yang berbaris di Tirisan sudah mundur ke Kaduwang. Mereka mendapat perintah untuk terus  bergerak menuju Sukawati. Namun Raden Sujanapura diperintahkan untuk kembali ke Kartasura. Setelah sampai di Kartasura yang dituju adalah kediaman Adipati Pati Mangunoneng. Adipati Mangunoneng telah mendapat perintah untuk mengangkat Sujanapura dengan nama baru Tumenggung Suralaya. Tanah garapan seluas seribu karya menjadi miliknya. Setelah diangkat pada jabatan baru Tumenggung Suralaya diperintahkan bergabung kembali dengan pasukan Cina di Sukawati. Tujuh ratus prajurit Cina dibawah pimpinan Ping Bulung diperintahkan ikut Sujanapura. Raden Tumenggung Suralaya alias Sujanapura segera berangkat ke Sukawati. Perjalanannya sudah sampai di Garompol. Pasukan Cina kemudian menata barisan. Ada yang bertindak sebagai sayap kiri dan kanan. Pasukan sayap di selatan ditempatkan di Uter. Dua puluh lima prajurit Cina yang berada di Uter dipimpin Ki Rangga Supatra Baki. Pasukan sayap di utara ditempatkan di Rongge dengan seratus prajurit Cina.

Sementara itu Panembahan Brawijaya sedang menyaksikan sang putra Prabu Jaka dimandikan oleh para eyang. Raden Ayu Purubaya dan Raden Ayu Sumaningrat ikut menyirami. Sang Prabu Jaka menangis dan memanggil sang ibu. Sang Panembahan sangat bersedih.

Berkata Panembahan, “Duh, anakku, jangan engkau bertanya di mana ibumu.”

Para abdi yang melayani menjadi ikut bersedih. Mereka pun tak mampu menahan air mata. Selama Prabu Jaka sakit ada berita yang disampaikan kepada Panembahan Brawijaya, bahwa barisan Cina di Tirisan sudah mundur ke Kaduwang. Mereka tak perlu diserang sudah mundur sendiri. Juga menurut berita itu pasukan Cina sekarang bermarkas di Uter.

Ketika sakit Prabu Jaka hampir sembuh ada dua utusan perempuan yang datang dari Kartasura. Kedua orang itu utusan dari Ratu Ageng dan Ratu Maduretna. Namanya Mbok Gadhung dan Mbok Waringin. Setelah dihadapkan kepada Panembahan Brawijaya keduanya menyampaikan salam dari Ratu Ageng dan Ratu Maduretna.

Berkata kedua utusan, “Hamba sampaikan salam dari Ratu Ageng dan adik paduka Ratu Maduretna. Selain untuk menjenguk putra mahkota, hamba diutus ke sini untuk memastikan kabar yang menyebutkan bawa paduka sekarang berada di lautan pasir.”

Panembahan Brawijaya berlinang air mata, kemudian berkata pelan, “Salam dari ibu sudah saya terima. Sangat berterima kasih atas bakti adikku Ratu Maduretna. Kalau ibu Ratu menanyakan kabar sang cucu, sekarang baru saja merasa sehat setelah beberapa lama sakit.”

Kedua utusan berkata, “Ibu paduka selama paduka tinggal sampai lupa makan dan tidur.”

Panembahan berkata, “Para istriku siapa yang ikut bersama ibu?”

Utusan menjawab, “Istri paduka yang saya lihat ada delapan. Dua orang diambil menjadi istri raja yang sekarang, yakni Raden Ayu Srenggara dan Raden Ayu Turunsih. Adapun Raden Ayu Kilen paling akhir dibawa dari kediaman Mangunoneng. Sekarang enam orang istri paduka bersama Ratu Ibu.”

Setelah Panembahan tidak bertanya lagi kedua utusan menyampaikan pesan Ratu Ibu, “Duhai paduka, ibu paduka berpesan bila paduka izinkan, kami berdua akan melanjutkan perjalanan ke Madura.”

Panembahan berkata, “Baiklah, kalian aku izinkan ke Madura. Aku akan menitip surat untuk Dinda Madura. Juga sampaikan salam dari ibu dan salam dariku. Jangan kalian lancang, katakan saja pesan ibu kepada Dinda Madura.”

Kedua utusan perempuan sudah berangkat ke Madura. Mereka diberi kuda dan disertai pengawalan oleh Raden Suryawinata dan pasukannya. Ada delapan orang yang menyertai mereka ke Madura.

Tidak lama berselang datang utusan dari Pangeran Ngabei. Si utusan menyampaikan salam dan sembah serta menghaturkan hidup dan mati kepada Panembahan. Karena Pangeran Ngabei merasa sungguh celaka menjadi abdi. Tidak mampu melindungi Sang Raja.

Panembahan Brawijaya berkata, “Aku terima salam taklim dari Kakanda Ngabei.”

Si utusan berkata, “Kakak paduka sekarang berserah diri kepada kehendak paduka.”

Sang Panembahan berkata, “Kalau Kakanda Ngabei mampu melakukan, kumpulkan para mantri yang masih berada di Kartasura. Singkirkan yang berhati buruk. Kalau kelak aku menyerang Kartasura dan sampai di Garompol, Kanda Ngabei aku minta membantu dengan menyerang musuh dari belakang. Dan berilah tanda dengan membakar-bakar. Aku serahkan kepada Kakanda bagaimana dia akan lakukan.”

Hari berlalu, Prabu Jaka sudah sembuh dari sakit cacar. Panembahan Brawijaya berkehendak segera menyerang Kartasura. Sebelum berangkat Panembahan mengangkat para kerabat untuk menduduki berbagai jabatan.

Berkata Panembahan, “Aku ganti nama para adikku. Dinda Dipanagara aku ganti nama Arya Adinagara. Adapun Dinda Arya Pamot aku ganti nama Arya Adiwijaya. Si Kata alias Bangsantaka aku ganti nama Tumenggung Nitinagara. Si Kate alias Bangsapatra aku ganti nama Tumenggung Kartinagara. Si Jaya aku angkat sebagai Tumenggung dengan nama Sasrawijaya. Si Besar dan Jimus juga aku beri jabatan ngabei. Si Besar aku beri nama Ngabei Jangpati, si Jimus aku beri nama Ngabei Jangkewuh. Si Gobes atau Nayamanggala, aku beri nama Suradipraja. Si Mariyun pakailah nama Ngabei Kartapraja. Si Brangta pakailah nama Ngabei Wirapraja. Dan keponakannya si Ragisuta aku beri nama Rangga Wirantaka. Si Citradiwirya aku beri kedudukan tumenggung. Dan si Santayuda pakailah nama Ngabei Wangsanagara. Adapun si Wangsamenggala aku ganti nama Ngabei Jayakrendha. Si Trunawangsa pakailah nama Jayaendra. Si Wangsapati alias Garembyang pakailah nama Ngabei Matangyuda. Bocahku si Wangsatruna pakailah nama Ngabei Yudapati. Paman si Wangsatruna pakailah nama Ngabei Setratruna. Si Naladiwangsa aku beri nama Ngabei Jayasudira. Si Wangsajaya aku ganti nama Demang Gardapati. Adapun si Ngabdurahman pakilah nama Ngabei Wangsaniti.”

Telah tuntas seluruh abdi diberi kedudukan dan nama baru. Tidak berapa lama dua pangeran Madiun yang berada di barisan Barangkal setelah pasukan Cina mundur ke Kaduwang keduanya kembali ke Ponorogo. Mendadak datang kabar dari Madiun yang menyebut bahwa negeri itu didatangi musuh. Dua punggawa dari Kartasura sudah memasuki wilayah Madiun. Mereka adalah Ki Tumenggung Natayuda dan Ki Tumenggung Maospati. Kedua punggawa sudah sampai di Bayem. Kedua pangeran Madiun lalu mohon pamit kepada Panembahan Brawijaya untuk kembali ke Madiun. Mereka akan menghadapi musuh yang datang. Sang Panembahan telah memberi izin. Kedua pangeran pun segera berangkat.

Setelah kedua pangeran Madiun berangkat Sang Panembahan berkenan mengirim pasukan bantuan. Pasukan sudah siap berangkat ke Madiun. Namun mendadak datang utusan dari kedua pangeran Madiun yang memberitahukan bahwa musuh sudah datang dari utara. Mereka telah menaklukkan wilayah Jagaraga. Pasukan Madiun saat ini bermarkas tepat di timur kota Jagaraga. Mereka sedang memperhatikan gerakan musuh dan menaksir jumlahnya.

Sang Panembahan berkata, “Dinda Martalaya dan Dinda Mangkunagara suruhlah berhati-hati. Aku akan segera berangkat untuk membantu.”

Utusan dari Madiun segera melesat kembali kepada tuannya. Sang Panembahan kemudian bersiap berangkat. Kuda dan tandu sudah disiapkan. Bersamaan waktunya datang Ki Rajaniti dari Pasuruan. Ki Rajaniti melaporkan bahwa tugasnya meminta bantuan ke Pasuruan telah gagal.

Pagi hari Sang Panembahan berangkat dari Ponorogo. Pasukan Panembahan Brawijaya dan Prabu Jaka berjajar sepanjang jalan. Setelah sampai di Banyuasin Taman Ganter pasukan berhenti untuk beristirahat. Tidak lama kemudian langsung berangkat ke Madiun. Sesampai di Madiun Sang Panembahan berdiam di rumah Pangeran Martalaya. Pasukan kemudian ditempatkan ke pondokan masing-masing. Pangeran Madiun melaporkan bahwa pasukan Madura telah sampai di Jipang. Jumlah mereka empat ribu prajurit. Dalam kesempatan itu Jayengrana menghaturkan keponakan Tumenggung Mataun Jipang yang bernama Mbak Retna. Si wanita tadi berada di Padhangan. Sang Panembahan memerintahkan untuk mengambil wanita tersebut nanti saja.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/10/babad-tanah-jawi-171-raja-pakubuwana-meletakkan-jabatan-dan-digantikan-pangeran-adipati-anom-dengan-gelar-prabu-jaka-susuhunan-bauwarna/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...