Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (172): Prabu Kuning mengutus si Kenang menaklukkan mancanagara

 Alkisah, ada seorang utusan Prabu Kuning dari Kartasura bernama Kenang. Dia adalah saudara ipar Panji Tohjaya yang diutus untuk menaklukkan negeri mancanagara. Si Kenang ini berani memikul tugas itu karena dijanjikan negeri Jipang jika dia berhasil menaklukkan negeri mancanagara. Si Kenang pun tak ragu untuk berangkat. Si Kenang mengira Sang Raja Pakubuwana masih berada di Ponorogo. Bersama lima orang pembantunya Kenang berangkat dari Kartasura.

Dengan menyamar sebagai pedagang sapi dan membawa muatan si Kenang berangkat ke mancanagara. Dia mengira dengan cara itu akan aman. Ketika Kenang sampai di Madiun perjalanannya terhenti. Hati si Kenang tergetar karena mendengar Raja Pakubuwana berada di rumah Pangeran Martalaya. Si Kenang terperosok dalam masalah. Lalu ingat kalau saudara iparnya Panji Tohjaya turut serta mengiringi Sang Raja. Si Kenang menyuruh lima temannya untuk berhenti di luar kota. Sementara si Kenang akan masuk kota menemui Panji Tohjaya.

Sesampai di kota si Kenang menemui Tohjaya. Panji Tohjaya kaget melihat saudara iparnya itu. Setelah ditanyai si Kenang lalu disembunyikan oleh Tohjaya. Segera setelahnya Tohjaya menghadap Panembahan Brawijaya.

Setelah menyembah Tohjaya berkata, “Hamba beritahukan kalau ada berita yang sampai kepada hamba yang menyebutkan ada utusan Prabu Kuning yang diutus ke Winten untuk menemui Kartapati. Utusan itu masih berada di barat kota Madiun. Besok pagi mereka akan berangkat melewati utara kota. Mereka bisa lolos dari penjagaan pasukan Madiun karena menyamar sebagai pedagang sapi. Adapun surat yang mereka bawa ditaruh di dalam Al Qur’an sehingga lolos pemeriksaan. Sedangkan sapi-sapi mereka kawal dengan berkuda.”

Sang Raja Panembahan Brawijaya kaget mendengar laporan Panji Tohjaya. Segera diperintahkan agar kedua pangeran Madiun dipanggil. Kedua pangeran diberi perintah agar ikut mendampingi Sang Panembahan yang akan berburu ke utara kota. Sang Raja akan berpura-pura berburu ayam hutan dan burung. Namun sampai lama Sang Raja menunggu tak ada utusan seperti digambarkan Tohjaya yang lewat. Panembahan Brawijaya agak marah kepada Tohjaya. Panembahan kemudian pulang kembali ke kota.

Tohjaya sadar bahwa Sang Panembahan marah kepadanya. Segera Ki Tohjaya menyiapkan pasukannya dan menghadang si utusan. Tidak lama si utusan terlihat sedang enak-enak berjalan. Kelima utusan naik kuda menggiring sapi-sapi. Oleh pasukan Tohjaya mereka dihentikan. Salah seorang dari mereka sadar kalau perjalannya sudah diketahui musuh, segera dia melarikan diri. Empat orang lainnya berhasil ditangkap. Barang bawaan mereka lalu diperiksa. Sudah ditemukan surat di dalam Al Qur’an yang mereka bawa. Al Qur’an itu ditaruh di dalam kerajang yang diletakkan di punggung sapi. Keempat utusan dan semua barang lalu dibawa ke kota.

Sesampai di kota mereka diserahkan kepada Sang Raja Panembahan Brawijaya. Sang Raja sangat bersukacita. Setelah diperiksa seorang mengaku berasal dari Wirasaba. Tiga orang lainnya mengaku berasal dari Kartasura. Malah ada yang mengaku anak dari Ki Sokadana, seorang kaum dari Kadipaten. Mereka juga mengatakan ada seorang utusan lagi yang menjadi tetua mereka, bernama Kenang. Si Kenang ini pamit masuk ke kota Madiun, tetapi tak kunjung muncul. Namun pengakuan terakhir ini diabaikan oleh Ki Tohjaya. Kepada Sang Raja Tohjaya hanya melaporkan asal-usul mereka.

Sang Raja Panembahan Brawijaya kemudian memerintahkan agar mereka ditampung dalam penjagaan pasukan Surabaya.

Berkata Sang Raja, “Nista kalau membunuh utusan.”

Bergetar hati Ki Tohjaya. Kalau utusan itu masih hidup mereka berpeluang membongkar rahasia saudara iparnya si Kenang. Ki Tohjaya lalu meminta kepada pasukan Surabaya agar memohon izin untuk membunuh utusan. Alasannya supaya tidak merepotkan perjalanan. Lurah prajurit pasukan Surabaya setuju. Dia lalu memohon kepada Sang Raja agar utusan ini dibunuh saja. Para utusan itu berlaku curang, buat apa dirawat. Malah akan merepotkan perjalanan. Sang Raja setuju. Empat utusan segera dibawa ke pinggir sungai lalu dihabisi. Semua barang bawaan diperintahkan untuk dibagi rata.

Sang Panembahan Brawijaya kemudian memerintahkan kepada dua pangeran Madiun untuk bersiap. Panembahan Brawijaya akan segera menyerang Kartasura. Semua pasukan mancanagara akan dikerahkan.  Pada tanggal satu bulan puasa, pasukan Panembahan Brawijaya berangkat. Yang bertindak sebagai panglima tinggi adalah Sang Raja Prabu Jaka Susuhunan Bauwarna atau Pangeran Adipati Anom. Bertindak sebagai pembuka jalan adalah Ki Mangunyuda bersama pasukan mancanagara. Perjalanan pasukan Sang Panembahan dipercepat. Sudah sampai di desa Kincang, lalu pasukan bermalam. Pagi hari segera berangkat melanjutkan perjalanan. Dalam sehari perjalanan pasukan sudah sampai di desa Kukur. Sang Panembahan lalu bermarkas di Kukur. Jayengrana kemudian disuruh menjemput Mbak Retna, wanita yang dipersembahkan ketika di Madiun dulu. Jayengrana lalu menjemput saudara perempuannya itu di Kapadhangan dan menghaturkan kepada Sang Panembahan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/11/babad-tanah-jawi-172-prabu-kuning-mengutus-si-kenang-menaklukkan-mancanagara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...