Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (173): Pangeran Madura memberangkatkan prajurit menggempur Kartasura

 Alkisah, pasukan Cina yang dulu dikalahkan Kapten Hohendorff di Lemahabang sekarang masih berada di  Tuntang. Ketika mundur ke Tuntang dulu, mereka merusak jembatan sehingga pasukan Hohendoff tak bisa mengejar. Kedua kubu hanya saling tembak dari seberang sungai. Tidak ada yang kalah dan menang. Pasukan Hohendoff kemudian mundur ke Ungaran.

Kapten Hohendorff lalu melaporkan jalannya perang kepada Kumendur-Komisaris di Semarang. Dalam laporan Hohendorff menyebut kalau sudah menang perang dan berhasil memukul mundur pasukan Cina dari Lemahabang. Kumendur-Komisari sangat suka mendengarnya.

Sementara di kubu pasukan Cina, dua pemimin mereka, Mudha Cupyan dan Ki Garwakandha juga telah melapor ke Kartasura. Mereka melaporkan kekalahan di Lemahabang. Ki Adipati Mangunoneng dan Raden Martapura sangat bersedih mendengarnya.

Sementara itu, utusan Sang Raja Panembahan Brawijaya yang disuruh ke Madura, Mbok Gadhung dan Mbok Waringin telah sampai di tempat tujuan. Surat dari Sang Raja Pakubuwana telah disampaikan kepada Pangeran Cakraningrat. Sang Pangeran tertawa sambil memukul paha, karena Sang Raja sampai menghiba-hiba dalam meminta bantuan.

Pangeran Cakraningrat berkata, “Rupaya Sang Raja kapok telah mendiamkanku. Rasakan akibatnya kalau lebih suka mendengarkan perkataan orang jahil.”

Pangeran Cakraningrat kemudian memanggil patih Ki Mangundara dan para lurah prajurit. Yang dipanggil segera menghadap. Telah hadir Jayasudira, Jayaprameya, Truna Tan Gingsir, Raden Darmawangsa dan Raden Kartapraja. Kepada mereka diperintahkan berangkat ke Kartasura dengan membawa tiga ribu prajurit. Tujuh ratus bersenjata senapan dan karabin. Seribu enam ratus bersenjata tombak pendek Bung Ampel, tujuh ratus bersenjata campuran tombak dan pedang. Mereka membawa berstrong dan kalantaka sejumlah enam puluh.

Pangeran Cakraningrat berkata, “Engkau, hai Jayasudira. Berangkatlah memimpin pasukan bersama si Kartareja. Jadilah wakilku. Segera taklukkan Kartasura. Si Darmawangsa, Si Truna Tan Gingsir dan si Jayaprameya ikutlah serta. Si Ardapati dan si Dipasana dari Tuban, kerahkan semua pasukanmu. Pasukan Tuban jangan ditinggal satu pun. Juga dari Gresik dan Sidayu, semua kerahkan ke Kartasura tapi jangan ikut berperang. Kalian mengantar prajurit Madura saja sambil bersorak di belakang untuk memberi dukungan. Ingatlah, jangan pulang kalau Kartasura tidak takluk. Seorang pun tak boleh pulang kalau kalah. Sungguh memalukan kalau sampai kalah melawan si anjing budug yang berkeliaran di Jawa itu.”

Para mantri Madura menghaturkan sembah tanda kesanggupan.

Pangeran Cakraningrat berkata lagi, “Nanti jangan tunggu Kangjeng Panembahan dari Ponorogo. Segera saja serang Kartasura. Kalau sudah takluk nanti gampang urusannya di belakang. Kalian besok semua cukur gundul. Kepala plontos kalian akan membuat peluru meleset. Itu ilmu laduni dariku. Kalau bertemu dengan tuanmu Ratu Maduretna, segera bawa pulang ke Madura. Tak usah minta izin Panembahan. Kalau ditanya katakan putra-putranya selalu menanyakan ibunya. Kalian berangkatlah pada hari Kamis besok.”

Semua mantri dan lurah menyembah dan mencium kaki Pangeran Cakraningrat. Tiga ribu orang kemudian diberi hadiah. Para mantri dan lurah diberi pakaian dari beludru berenda masing-masing satu lembar. Pasukan Sarageni dan Panombak masing-masing diberi pakaian sangkelat merah berenda merah, biru, kuning, ungu dan megan.

Tiba saatnya berangkat, galaganjur dibunyikan. Suaranya menggema di angkasa. Pasukan Madura berangkat dengan kapal. Di Gresik mereka mendarat dan segera menuju Lamongan. Lalu menuju Jipang. Pasukan garis depan dipimpin Demang Jayaprameya dengan membawa tiga ratus prajurit. Juga ikut di depan Raden Darmawangsa dan Raden Truna Tan Gingsir. Mereka kemudian menuju Jipang dan beristirahat. Dari Jipang mereka menuju Kaduwang.

Sementara itu Susuhunan Bauwarna dan Panembahan Brawijaya yang berada di Kukur sedang tampil di hadapan para punggawa. Ketika itu Pangeran Madiun memberi tahu bahwa pasukan Madura sudah sampai di desa Kayu. Mengulang cerita sebelumnya, ketika Sang Panembahan berangkat sebenarnya Susuhunan Prabu Jaka ditinggal di Ponorogo bersama istri Panembahan Raden Ayu Ponorogo. Namun karena Panembahan selalu khawatir kalau meninggalkan sang putra, maka tiga hari kemudian Susuhunan Bauwarna dipanggil. Susuhunan Bauwarna lalu berangkat bersama Raden Ayu Ponorogo ke Kukur. Perjalanan mereka dipercepat tanpa berhenti di Kincang. Setelah Susuhunan Bauwarna sampai di Bukur Panembahan Brawijaya merasa tenang hatinya.

Sementara itu utusan Panembahan yang menjemput keponakan Tumenggung Mataun Jipang sudah kembali dari Kapadhangan dengan membawa Mbak Retna. Tidak lama datang pula utusan Raden Suradiningrat yang memberitahukan bahwa musuh sudah menduduki Jagaraga. Mereka membuat markas di desa Careme. Pemimpin mereka adalah Natayuda, Maospati, Yudanagara dan Pringgalaya.

Sang Panembahan berkata, “Dinda Martalaya dan Dinda Mangkunagara bagaimana pendapat kalian menghadapi musuh di Careme ini?”

Kedua pangeran menjawab, “Paduka duduk nyaman saja. Jangan khawatir bila belum mati abdi paduka si Martalaya dan Mangkunagara ini. Kalau kami sudah tewas dalam perang, semua terserah paduka kelak.”

Sang Panembahan merasa tenang  setelah mendengar pernyataan kedua pangeran Madiun.

Panembahan berkata lagi, “Aku sudah percaya kepada kalian berdua.”

Kedua pangeran Madiun menyembah lalu undur diri dari hadapan Sang Raja. Keduanya lalu memilih prajurit yang akan diajak berangkat ke medan perang. Adipati Suradiningrat diminta bantuan prajurit yang tangguh. Yang berpengalaman perang malam, yakni prajurit Kapetengan. Adipati Suradiningrat menyediakan lima ratus prajurit berkuda dengan dipimpin seorang Kapetengan. Adapun pasukan Pangeran Martalaya sudah dipilih dari para prajurit Kapetengan yang tangguh dengan pimpinan patih Madiun Raden Sewaka, masih terhitung adik dari Pangeran Martalaya. Sedangkan pasukan Pangeran Mangkunagara dipimpin oleh patih Ki Mangkuwijaya. Jumlah pasukan dari Madiun kira-kira seribu prajurit. Pasukan Panembahan Brawijaya segera berangkat. Mereka telah diberi pesan agar jangan menombak seseorang kalau tidak didahului. Semua menyatakan kesiapan.

Pada malam hari mereka berangkat dari pondokan. Mereka berjalan seperti pencuri di malam hari. Tidak ada yang bersuara selain suara tapak kaki mereka. Singkat cerita mereka telah sampai di Careme dan segera mengepung barisan musuh. Pasukan musuh tak mengira kalau akan diserang, mereka enak-enak tidur nyaman. Pasukan Madiun-Ponorogo tak menunggu waktu siang. Begitu sampai langsung menyerang. Pasukan Kartasura kaget karena tiba-tiba musuh telah masuk ke perkemahan dan benteng mereka. Banyak yang kelabakan dan asal menombak. Tak sedikit yang mengenai teman sendiri. Para prajurit kecil sudah bubar saling terjang. Tak lagi mengingat tuannya. Para punggawa pun ikut berlari mengamankan diri. Markas pasukan Kartasura dijarah dan semua barang serta senjata diangkut.

Ketika hari terang markas Careme sepenuhnya dapat dikuasai kembali. Para punggawa dan prajurit Madiun-Ponorogo sepakat untuk tidak kembali. Jangan tanggung sekalian menyerang ke Jagaraga. Segera pasukan Madiun-Ponorogo berangkat dari Careme. Setelah hari siang mereka telah sampai di Jagaraga. Kota itu sudah tak memberi perlawanan lagi. Tumenggung Jagaraga ditangkap dan barang-barang dijarah. Kemudian diserahkan kepada dua pangeran Madiun. Kedua pangeran sangat bersuka cita. Keduanya lalu melaporkan kepada Panembahan Brawijaya bahwa musuh di Careme telah sirna dan bupati Jagaraga telah menyerah. Si Tumenggung Jagaraga kemudian menghaturkan sembah, lalu setelahnya ditempatkan di pondokan.

Lalu kepada dua pangeran Panembahan berkata, “Kalian berangkatlah sekalian ke Kartasura. Aku akan segera menyusul di belakangmu.”

Pangeran Madiun dan Raden Adipati Suradiningrat bersama pasukan mancanagara kemudian berangkat menuju Kartasura. Pagi hari pasukan Panembahan menyusul berangkat dari Kukur. Setelah seperjalanan pasukan beristirahat di Gereh. Di Gereh Panembahan menerima utusan Tumenggung Tirtawiguna dari Semarang. Empat orang utusan menyerahkan surat kepada Panembahan. Surat sudah diterima dan dibaca dengan seksama. Satu hari berselang utusan memohon pamit hendak kembali ke Semarang. Tiga orang diizinkan kembali, sedangkan yang seorang ditahan dulu oleh Panembahan. Utusan yang tinggal namanya Bujangga Taruna. Utusan kemudian diserahkan kepada Wirareja. Setelah dua hari bermalam di Gereh Pasukan Panembahan lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sampai di desa Maliwat Panembahan kembali bermalam selama tiga hari. Pasukan garis depan Sang Panembahan yang terdiri dari prajurit mancanagara sudah menduduki desa Ingas. Setelah tiga hari pasukan Panembahan kembali berangkat. Pasukan garis depan sudah meninggalkan Ingas. Ganti Ingas kemudian dipakai bermarkas oleh Panembahan. Setelah selama dua hari berada di Ingas Panembahan kembali melanjutkan perjalanan. Pasukan garis depan yang berada di Sangkal pun terus bergerak maju sampai di Piji. Gantian Panembahan menduduki Sangkal.

Panembahan memerintahkan agar memeriksa perjalanan pasukan Madura. Menurut kabar pasukan Madura berada di Kawu. Yang diutus untuk memeriksa adalah Tumenggung Citradiwirya, Dhandhang Wacana, Raden Suryawinata dan Kartapraja. Mereka berangkat dengan memacu kuda agar segera mendapat kepastian. Ketika sudah sampai di markas pasukan Madura mereka terlihat kaget. Segera bersiap menyambut dengan senjata. Namun ketika mereka mengetahu keempat orang adalah utusan mereka tak mengganggu sama sekali. Mereka hanya menghentikan dan bertanya maksud kedatangan si tamu. Si tamu menjawab bahwa mereka utusan Panembahan Brawijaya yang bertahta di Ponorogo. Pasukan Madura merasa tenang, lalu membawa utusan masuk ke pondokan. Di dalam pondok keempat utusan bertemu dengan pembesar pasukan Madura, Ki Jayasudira, Raden Darmawangsa dan Raden Truna Tan Gingsir. Utusan dipersilakan duduk dengan nyaman.

Ki Citradiwirya menyampaikan salam dari Panembahan kepada pasukan Madura. Para pembesar pasukan Madura menghaturkan terima kasih.

Berkata Ki Citradiwirya, “Saya diutus Sang Panembahan untuk menanyakan dua utusan wanita, Mbok Gadhung dan Mbok Waringin. Apakah mereka berdua selamat? Dan bagaimana mereka sampai di Madura?”

Para pembesar pasukan Madura berkata, “Kami tidak tahu kalau ada utusan dari Sang Raja. Kami hanya mendapat perintah dari tuan kami Pangeran Madura untuk menaklukkan Kartasura. Kami hanya diberi pesan agar tidak berpaling ke mana-mana. Kalau tidak takluk Kartasura kami tidak boleh pulang. Kalau tak bisa mengalahkan pasukan Cina sudah pasti kami hanya akan pulang nama. Adapun bila Panembahan Brawijaya akan menyerang Kartasura juga, baik bila kita menyerang bersama-sama.”

Keempat utusan tertegun tanpa bisa berkata ketika mendengar jawaban pembesar Madura yang seperti itu. Mereka merasa pasukan Madura akan membuat repot.

Lama hening, Jayasudira kemudian berkata, “Dik, saya bicara sebagai pribadi kepadamu. Tuanku Pangeran Madura itu dalam mengabdi kepada Sang Raja sudah sejak para leluhurnya. Sejak zaman Mataram sampai zaman Kartasura. Adapun tuanmu Sunan Kombul ini, bisa diumpamakan seperti kalau engkau punya istri tua tetapi engkau selalu menyakiti hatinya. Kemudian engkau meninggalkan istrimu. Lalu istrimu jatuh ke tanganku, sudah pasti aku terima. Tapi aku kemudian berulah untuk mencoba apakah engkau masih mau menerima istrimu. Kalau engkau masih memberi maaf maka kelak pun akan berselingkuh denganku lagi. Lalu saya cobai lagi engkau dan kalau engkau tetap bersungguh-sungguh pasti isterimu akan kembali lagi. Seperti itu perumpamaannya. Maka kelak pasti tuanku Pangeran Madura pun akan menjadi abdi Sang Panembahan lagi.”

Keempat utusan berkata, “Benar engkau Kak, kita lihat besok.”

Keempat utusan segera undur diri dari pondokan pasukan Madura. Perjalanan mereka dipercepat. Sesudah sampai di markas Panembahan Brawijaya mereka melaporkan apa yang mereka alami. Sang Panembahan tertegun tanpa bicara. Lalu pasrah atas kehendak Tuhan. Bila memang Tuhan menghendaki dirinya kembali menjadi penguasa di Kartasura, mustahil orang Madura bisa menghalangi.

Sementara itu di barisan Madura, setelah utusan Panembahan Brawijaya berlalu, pasukan Madura segera berangkat dari Kawu. Setelah satu perjalanan mereka sampai di Palumbungan. Pasukan Madura menata pondokan untuk berisitirahat. Belum lama mereka datang mendadak pasukan Cina menyerang. Pasukan Madura geger melihat musuh yang datang tiba-tiba. Pasukan Cina mengira kalau jumlah pasukan Madura hanya sedikit. Mereka pun tanpa perhitungan langsung menerjang. Pasukan Cina memberondong dengan tembakan senapan. Pasukan Madura menahan serangan tanpa takut. Beberapa prajurit yang bertebaran membangun pondokan pun segera berkumpul. Pasukan Madura menjadi semakin banyak. Para lurah prajurit Madura mengamuk tanpa kenal takut. Seorang prajurit bernama Kebogalagah mengamuk menerjang sekumpulan prajurit Cina. Kebogalagah berhasil membunuh banyak prajurit Cina sebelum akhirnya tewas. Sementara itu prajurit Madura di belakang Kebogalagah ikut mengamuk berbela mati. Pasukan Cina terdesak dan segera mundur. Mayat Kebogalagah kemudian berhasil diamankan. Pasukan Cina lari menjauh ke arah baratdaya. Setelah pasukan Cina mundur prajurit Madura bisa beristirahat.

Berita kemenangan pasukan Madura di Palumbungan sudah terdengar oleh Panembahan Brawijaya. Panembahan merasa heran tetapi juga bersukacita. Sudah merasa bahwa perjalanannya akan selamat. Panembahan mendapat firasat bahwa dirinya akan kembali berkuasa di Kartasura. Panembahan kemudian memanggil Kartapraja dan Bujangga Truna untuk diutus ke Madiun. Mereka ditugaskan untuk mengambil barang-barang perlengkapan Sang Panembahan. Kedua utusan segera berangkat ke Madiun disertai dua mantri.

Setelah bermarkas di Sangkal selama tiga hari, pagi-pagi Sang Panembahan kembali meneruskan perjalanan. Panembahan berada di depan, sedangkan sang putra Prabu Jaka Susuhunan Bauwarna berada di belakang.  Yang dituju adalah desa Piji. Di Piji Sang Panembahan bermalam selama dua hari, lalu melanjutkan perjalanan sampai di Gemantar. Sementara itu pasukan garis depan sudah menduduki Kentheng.

Pasukan Madura sudah mendengar bahwa Panembahan berada di Gemantar. Para pembesar Madura bermaksud mengirim utusan untuk menghaturkan sembah bakti dan meminta izin. Karena sedang berperang di pihak yang sama, semoga mendapat berkah dari Sang Panembahan. Setelah sepakat para pembesar Madura mengirim utusan bernama Wulung Wilandaka dan pasukannya menuju markas Gemantar.

Di Gemantar Sang Panembahan sudah diberi tahu kedatangan Wulung Wilandaka. Panembahan Brawijaya berkenan menerima si utusan. Wulung Wilandaka segera menghadap.

Berkata Wulung Wilandaka, “Hamba diutus abdi paduka Jayasudira dari Madura untuk menghaturkan sembah kepada paduka. Juga abdi paduka meminta izin kepada paduka untuk menyerang Kartasura. Semoga berkah paduka membuat para prajurit selamat. Juga bila paduka berkenan, hamba meminta pasukan mancanagara untuk mendukung dari kiri dan kanan. Agar kami semakin kuat.”

Berkata Kangjeng Panembahan, “Aku terima sembah bakti kalian para prajurit Madura. Adapun permintaanmu untuk mendukung dari kiri dan kanan, jangan khawatir soal itu. Katakan kepada tuanmu si Jayasudira aku akan mendukungnya. Jangan menoleh kiri-kanan, tapi juga waspadalah. Jangan sampai mendapat celaka di medan perang. Aku akan mendukung. Sekarang pulanglah. Sampaikan salam untuk para pasukan Madura.”

Wulung Wilandaka juga disuruh Jayasudira meminta kuda. Panembahan sudah mengabulkan. Enam kuda Sang Panembahan sudah diberikan. Wulung Wilandaka segera mohon pamit. Setelah utusan pergi Sang Panembahan memerintahkan agar pasukan mancanagara, Madiun dan Ponorogo untuk selalu mengawasi gerakan pasukan Madura. Jangan terlalu dekat, tapi cukup aman jika sewaktu-waktu pasukan Madura butuh bantuan. Panembahan berpesan agar jangan sampai pasukan Madura mendapat celaka. Karena jika terjadi akan semakin kecil peluang merebut Kartasura. Pasukan yang bertugas mengawasi semua memakai kuda agar bisa bergerak dengan cepat. Pasukan Madiun ditugaskan mengawasi dari sayap kiri dan pasukan Ponorogo ditugaskan mengawasi dari sayap kanan.

Sementara itu di barisan pasukan Madura, Wulung Wilandaka sudah kembali. Segera si utusan menemui tuan yang memberi tugas. Ki Jayasudira, Ki Kartapraja, Truna Tan Gingsir dan Raden Darmawangsa merasa gembira karena telah mendapat dukungan Sang Panembahan. Mereka juga merasa berterima kasih karena telah mendapat kuda dari Panembahan. Keempat pembesar Madura kemudian mengumumkan kepada seluruh prajurit bahwa besok pagi mereka akan berangkat. Paginya pasukan Madura bersiap berangkat dari Palumbungan. Bende sudah ditabuh dan pasukan Madura pun berangkat.

Dari markas Gemantar, setelah dua hari bermalam Sang Panembahan  kembali melanjutkan perjalanan. Pasukan Panembahan berangkat menuju Kentheng dan kemudian bermarkas di sana.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/12/babad-tanah-jawi-173-pangeran-madura-memberangkatkan-prajurit-menggempur-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...