Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (175): Prajurit Madura menjarah keraton Kartasura

Sementara itu pasukan Madura, sudah menyeberang ke barat bengawan dan langsung menuju Kartasura. Tidak ada lagi yang menghalangi, pasukan Madura melenggang ke istana. Seisi istana dijarah tanpa sisa.

Ketika pasukan Madura telah menyeberang bengawan Pangeran Ngabei langsung membakar rumah Wirajayan. Sesuai pesan Sang Raja dahulu, bila pasukan Panembahan menyerang kota Pangeran Ngabei akan melakukan bakar-bakar untuk semakin mengacaukan kota. Ketika pasukan Madura melihat ada bakar-bakaran mereka segera menuju ke tempat itu. Setelah sampai pasukan Madura segera menemui Pangeran Ngabei. Pangeran menanyakan kabar Panembahan Brawijaya atau Sunan Pakubuwana.

Jawa si prajurit Madura, “Sunan siapa? Kami ke sini tak ada urusan dengan sunan. Kami hanya menjalankan perintah tuan kami untuk menaklukkan Kartasura. Pesan tuan kami kalau Kartasura sudah takluk kami disuruh mencari salah satu pangeran yang ada dan mengangkatnya menjadi raja.”

Pangeran Ngabei kini menyadari apa yang terjadi. Pangeran Ngabei lalu minta bertemu dengan pembesar pasukan Madura. Prajurit Madura kemudian melapor kepada pemimpin mereka. Pangeran Ngabei lalu ditemui Raden Jayasudira, Jayaprameya, Kartajaya dan Darmawangsa. Keempatnya meminta dengan sangat agar Pangeran Ngabei mau masuk ke istana. Sesampai di dalam istana keris Pangeran Ngabei dan para pembantunya dijarah pasukan Madura. Juga semua barang miliknya.

Pangeran berkata pelan kepada Ki Jayasudira, “Paman, bagaimana maksudnya barang-barang semua dijarah ini?”

Jayasudira menjawab, “Itu hanya dipinjam. Mosok akan hilang milik paduka?”

Jayasudira dan Jayaprameya kemudian memutuskan mengirim utusan untuk memberi tahu Panembahan bahwa keraton sudah diduduki pasukan Madura. Raja orang Cina Prabu Kuning sudah pergi meninggalkan istana.

Sementara itu Sang Panembahan setelah tiga hari berada di markas Kentheng kemudian berangkat menuju Kedhunggedhe. Sesampai di Kedhung Gedhe sore harinya datang utusan yang disuruh mengambil barang dari Madiun, yakni Kartapraja dan Bujangga Taruna. Barang-barang Sang Panembahan kemudian dihaturkan. Panembahan merasa tenang hatinya. Tidak lama kemudian ada prajurit yang memberi tahu bahwa Kartasura sudah takluk. Sang Panembahan semakin bersuka cita. Setelah semalam berhenti di Kedhunggedhe pagi hari berikutnya Panembahan meneruskan perjalanan. Sang Panembahan berangkat bersama pasukan berkuda dan meninggalkan pasukan darat. Sang Panembahan sudah tak sabar masuk keraton. Rombongan Sang Panembahan memacu kuda agar segera sampai. Semua prajurit berkuda turut serta mengiringi perjalanan Sang Panembahan. Tidak lama perjalanan Panembahan sudah sampai di Baturana dan melalui jembatan sasak pasukan Panembahan pun menyeberang.

Baturana sudah ditinggalkan, pasukan Panembahan sudah sampai di Galadhak. Sesampai di Galadhak Panembahan disambut oleh utusan Jayasudira.

Si utusan berkata, “Hamba diutus oleh abdi paduka dari Madura. Paduka dipersilakan kembali ke timur bengawan. Jangan dulu masuk keraton.”

Sang Panembahan berhenti dan tertegun. Sementara tak dapat berkata-kata. Pangeran Mangkunagara dari Madiun lalu maju ke depan Sang Panembahan, menghadap kepada utusan.

Berkata seru Pangeran Mangkunagara, “Anjing orang Madura ini. Bisa-bisanya berkata seperti itu kepada rajaku. Aku sanggup membawa rajaku ke Kartasura tanpa bantuan anjing Madura.”

Sang Panembahan berkata, “Dinda Mangkunagara, sudahlah. Kita terima takdir Tuhan Yang Maha Agung. Belum selesai perjalananku.”

Sang Panembahan lalu berkata kepada utusan Madura, “Katakan kepada tuanmu dari Madura. Kalau kedatanganku ini tak hendak masuk keraton. Namun aku takkan kembali ke timur bengawan.”

Panembahan mengurungkan perjalanannya mundur kembali. Pangeran Madiun dibawa mundur sambil dipegangi karena khawatir tak bisa mengendalikan emosi. Dalam perjalanan di atas kuda Panembahan berembug dengan para punggawa, tempat mana yang akan dijadikan markas sementara.

Berkata Panembahan, “Di mana tempat yang sebaiknya kita tinggali.”

Ki Adipati Wirareja berkata, “Kalau paduka berkenan, kita tinggal di desa Ngemplak saja. Letaknya di selatan keraton. Tempat itu baik dipakai sebagai markas sementara. Saya usulkan tempat itu karena lapang dan rata. Juga pandangan terbuka, tidak tertutup oleh pasukan Madura.”

Raden Pringgalaya menyambung, “Hai Wirareja, kalau pendapat saya tidak seperti itu. Susah kalau harus membuat markas lagi di sembarang tempat. Kalau perkara kedatangan para abdi, kalau dasarnya mau berbakti pasti tak takut dengan pasukan Madura yang menghalangi jalan.”

Sang Panembahan berkata, “Sudahlah, Bapak Wirareja karena anak-anak belum beristirahat, sebaiknya kita ke Gumpang saja. Rumah si Surabrata aku pakai sebagai markas.”

Sang Panembahan dan pasukan kemudian berdiam di Kasurabratan. Sang Panembahan kemudian menjalankan utusan secara rahasia untuk masuk ke istana memastikan keselamatan sang ibu Ratu Ageng dan Ratu Maduretna. Sesampai di istana utusan tidak menjumpai Ratu Maduretna. Hanya Ratu Ageng dan Ratu Alit yang mereka temukan. Ratu Maduretna telah keluar istana ketika pasukan Panembahan masih berada di timur bengawan. Ketika itu Ratu Maduretna sengaja menghindari pasukan Madura. Keluarnya Ratu Maduretna dengan membawa serta dua keponakan, Raden Ayu Kadhaton dan Raden Ayu Kaluwak.

Dengan menggandeng kedua keponakan Ratu Maduretna keluar melalui tembok yang jebol. Sesampai di luar tembok Ratu Maduretna bertemu dengan sang adik Pangeran Arya Mataram yang hendak menyusul Pangeran Buminata. Karena sangat bingung, ketika berpapasan Ratu Maduretna tidak sadar kalau bertemu sang adik. Beruntung Pangeran Arya Mataram melihat sang kakak. Seketika Pangeran Arya Mataram mengurungkan niat menyusul Pangeran Buminata. Pangeran Arya Mataram lalu turun dari kuda dan menemui sang kakak beserta dua keponakan.

Ratu Maduretna berkata, “Dinda Pangeran, aku nekad keluar istana karena malu kalau sampai ketemu orang Madura.”

Pangeran Arya Mataram menyanggupi untuk menyembunyikan sang kakak di Tembayat. Sang kakak menurut saja. Lalu Ratu Maduretna oleh Pangeran Arya Mataram dibawa ke Tembayat. Panembahan Brawijaya telah mengirim prajurit untuk mencari Ratu Maduretna dan dua putri. Sekitar Lunge sudah diubres tapi tak ketemu.

Ratu Maduretna yang mengungsi ke Tembayat telah mengirim utusan kepada pasukan Panembahan untuk memberi tahu serta meminta dijemput. Keberadaan Ratu Maduretna telah dilaporkan kepada Panembahan. Panembahan Brawijaya memerintahkan Nitinagara untuk menjemput Ratu Maduretna dan dua putri Panembahan. Ki Tumenggung Nitinagara segera membawa pasukan Ponorogo dan Madiun untuk menjemput ke Tembayat. Ratu Maduretna dan dua putri segera dibawa ke markas Gumpang. Hati Sang Panembahan sudah tenang.

Di istana, karena mengira Panembahan telah masuk keraton banyak pejabat, saudagar dan para abdi yang bermaksud menghadap. Namun ketika masuk istana mereka hanya mendapati pasukan Madura. Mereka yang telanjur masuk sunguh apes. Barang bawaan mereka dijarah habis prajurit Madura. Juga baju-baju yang mereka pakai. Sekeluar istana keadaan mereka sungguh memprihatinkan. Yang semua priyayi tak lagi terlihat seperti priyayi. Yang semula saudagar tak lagi terlihat saudagar. Mereka pucat dan kumal. Pakaian mereka compang-camping karena bekal mereka semua dijarah prajurit Madura. Banyak dari mereka yang kemudian mengadu ke markas Gumpang atau bermaksud menghadap Panembahan. Adipati Wirareja sampai tak tega melihat keadaan mereka.

Adipati Wirareja lalu menghadap Sang Panembahan dan melapor, “Duh paduka, orang-orang yang datang dari istana untuk menghadap paduka keadaannya sungguh memprihatinkan. Mereka dijarah prajurit Madura sampai keadaannya tak patut dilihat. Orang Madura keterlaluan dalam menjarah milik orang. Sungguh sangat meresahkan polah anjing-anjing dari Madura itu. Mereka juga telah menjarah milik paduka yang berupa meriam dan gamelan.”

Setelah mendengar penuturan Ki Wirareja Sang Panembahan sangat marah. Segera membuat surat untuk memberi tahu kepada Cakrangingrat Madura tentang ulah rusuh pasukannya yang berada di keraton. Yang disuruh membawa surat adalah Ki Citradiwirya. Namun baru di tengah perjalanan Citradiwirya sudah kembali. Citradiwirya dibegal orang desa di tanah Sukawati. Panembahan kemudian mengutus Ki Trunamenggala untuk mengirim surat ke Madura.

Sejak kepergian Trunamenggala semakin banyak orang dijarah oleh prajurit Madura. Orang-orang yang akan menghadap Sang Panembahan pun dicegat dan dilucuti harta bendanya. Sang Panembahan semakin jengkel kepada pasukan Madura. Juga mengingat bahwa sang kakak Pangeran Ngabei berada di dalam keraton. Sang Panembahan mengira semua atas persetujuan sang kakak. Panembahan tidak tahu kalau sang kakak hanya dijadikan simbol saja.

Karena tak bisa menahan diri lagi Sang Panembahan mengirim surat ke Semarang. Kepada Tuan Komisaris dan Tuan Kumendur Sang Panembahan memberitahukan bahwa Kartasura sudah direbut oleh pasukan Madura. Namun setelah menduduki istana pasukan Madura banyak bertingkah. Sang Panembahan tidak boleh masuk istana dan terpaksa berhenti di Kasurabratan. Pasukan Madura juga berbuat rusuh dengan menjarah orang-orang. Utusan Sang Panembahan telah berangkat ke Semarang, namanya Suradipraja dan Jayengrana.

Semakin hari ulah pasukan Madura semakin menjadi-jadi. Merian dan gamelan milik Sang Panembahan yang berada di istana setiap hari dibawa ke Sala. Di sana meriam dan gamelan itu dimuat ke atas kapal dan dibawa ke Madura.

Sementara itu Pangeran Ngabei yang berada di dalam istana setiap hari selalu diberi janji manis oleh pembesar pasukan Madura. Oleh karena itu Pangeran sudah memberikan semua barang yang dijarah kepada Jayasudira dan Jayaprameya. Kadang-kadang Pangeran Ngabei dibawa keluar naik tandu dengan payung kuning. Namun semua pengikutnya tidak memakai keris karena sudah dijarah pasukan Madura.

Suatu ketika di dalam rumah Pangeran Ngabei terjadi percakapan antara Pangeran dan ketiga pembantunya. Patih Secamanggala, Ditamanggala dan Reksawacana carik dari Natakusuman.

Berkata Pangeran Ngabei, “Seperti paman Natakusuma itu sekarang menderita di tahanan Kumpeni. Apakah dia tidak mengeluh kepada Kumpeni. Kalau saja dia mengeluh, mana yang lebih berat hukumannya antara orang suruhan dan yang menyuruh?”

Para pembantunya menjawab, “Berat yang menyuruh.”

Pangeran Ngabei berkata, “Yang aku rasakan juga seperti itu. Kalau aku lihat apa yang dibicarakan oleh para pembesar pasukan Madura itu.”

Sementara itu Sang Panembahan selalu menanti kedatangan balasan dari surat yang telah dikirimkan ke Semarang. Sang Panembahan menunggu-nunggu bantuan Kumpeni. Di pihak lain pembesar pasukan Madura sudah mendengar berita kalau Kumpeni akan datang ke Kartasura untuk kembali mengangkat Panembahan ke tahtanya. Para pembesar pasukan Madura lalu berembug di Pagelaran. Sudah hadir lengkap para pembesar pasukan Madura, Jayasudira, Jayaprameya, Kartareja, Wangsengsari dan Dipasasana Tuban.

Dipasana berkata, “Bagaimana pendapat kalian semua kalau sampai Kumpeni datang ke Kartasura?”

Raden Wangsengsari menanggapi, “Mau apa lagi, kalau kelak Kumpeni sungguh datang, kita lakukan saja perintahnya kalau baik.”

Dipasana berkata, “Benar Raden, tapi tak demikian menurut saya. Kalau Kumpeni datang membawa surat dari Panembahan Madura baru kita turuti perintahnya. Kalau tidak tak apa kita lawan sampai mati pun tak apa.”

Wangsengsari berkata, “Besok saja kalau sudah pasti datang kita bicarakan lagi. Sekarang, Paman Dipasana, persoalan Ratu Maduretna bagaimana?”

Dipasana berkata, “Kalau perkara itu saya tak ikut-ikut. Terserah engkau saja.”

Raden Wangsengsari kemudian berkata kepada Raden Darmawangsa, “Raden, engkau berangkatlah saja ke Gumpang untuk menemui Kangjeng Ratu Maduretna. Katakan suaminya memanggilnya pulang ke Madura karena sang putra selalu menanyakan ibunya.”

Darmawangsa segera berangkat ke Gumpang. Setelah melapor kepada Panembahan, Darmawangsa diizinkan masuk.

Darmawangsa berkata, “Hamba diutus oleh para pembesar pasukan Madura untuk meminta adik paduka Kangjeng Ratu Maduretna agar pulang ke Madura.”

Sang Raja berkata, “Hai Baledhug, tanyakan sendiri kepada tuanmu.”

Saat itu Ratu Maduretna juga berada di hadapan Sang Panembahan. Darmawangsa kemudian bertanya kepada Ratu Maduretna.

“Mari tuanku, suami paduka meminta paduka kembali ke Madura. Suami paduka tidak tahan selalu ditangisi putra paduka yang menanyakan ibunya.” Kata Darmawangsa alias Baledhug.

Ratu Maduretna menjawab, “Baledhuk, sampaikan kepada tuanmu, sembah dan baktiku. Yang kedua, sampaikan permintaan maafku karena aku belum bisa kembali ke Madura. Situasi di sini belum pasti. Kakanda Panembahan nasibnya belum jelas. Kelak kalau Kakanda sudah menempati istana kembali baru aku bisa tenang. Silakan kalau akan menjemputku.”

Darmawangsa menyembah lalu segera mohon diri. Sesampai di keraton Darmawangsa menemui Raden Wangsengsari. Semua titah Panembahan dan pesan Ratu Maduretna telah disampaikan. Para pembesar Madura merasa bahwa tugasnya membawa Ratu Maduretna pulang tampaknya takkan berhasil.

Sementara itu utusan Panembahan yang berangkat ke Semarang sudah sampai. Tuan Kumendur dan Tuan Komisaris sudah membaca surat dan memahami maksud Panembahan. Kedua pembesar Kumpeni itu sangat gembira. Isi suratnya berisi pemberitahuan bahwa pasukan Madura berkelakuan buruk selama berada di Kartasura. Tuan Komisaris dan Tuan Kumendur segera menyiapkan pasukan Kumpeni kulit putih dan Kumpeni Islam.

Panglima pasukan Kumpeni adalah Kapten Hohendorff dibantu letnan Mukidin dan Letnan Dulkarim serta alperes Bakudin.  Para komandan Kumpeni Islam adalah; Daeng Mabelah, Kapitan Taempak, Kapten Barak, Kapten Layar, Kapten Semangun, Kapten Cakrajaya, Kapitan Katewel, Kapitan Panjang dan Kapitan Buwang. Para punggawa Kartasura yang berada di Semarang juga ikut serta dibawa ke Kartasura, yakni Tumenggung Tirtawiguna, Kyai Suradipura dan Tumenggung Wiryadiningrat.

Para kerabat juga ingin ikut serta ke Kartasura, seperti; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Silarong, Pangeran Rangga dan Pangeran Prangwadana. Namun Tuan Kumendur tidak mengizinkan.

Berkata Tuan Kumendur, “ Pangeran, kalian dan para punggawa lainnya besok saja pulang ke Kartasura bersama saya. Kalau sekarang kalian memaksa pulang, saya tidak sampai hati karena kakak kalian belum masuk ke dalam istana. Artinya belum menjadi raja kembali di Kartasura. Kelak kalau Sang Raja Pakubuwana telah kembali bertahta kalian bisa pulang bersamaku. Jangan bersedih hati.”

Pasukan Kumendur telah bersiap berangkat. Kumendur turut menyertai sampai di Ungaran. Di Ungaran pasukan bermalam untuk istirahat. Paginya kemudian melanjutkan perjalanan. Tuan Kumendur dalam hati merasa sangat malu karena bantuan datang setelah Kartasura berhasil direbut pasukan Madura. Pikiran Kumendur serba tak enak. Maka ketika sampai di Salatiga Kumendur menyuruh Toutlemonde untuk memimpin pasukan ke Gumpang. Kepergian Toutlemonde didampingi Ngabei Sindupati dan Ngabei Surawiguna. Ketika sampai di Gumpang Ngabei Surawiguna diperintah Sang Panembahan untuk mencari istri Kapten Hohendorff. Setelah dicari ternyata ditemukan di pondok pasukan Madura dan disembunyikan di kolong tempat tidur. Oleh Surawiguna kemudian dibawa menghadap Sang Panembahan.

Sementara itu, yang hatinya sedang galau. Tuan Kumendur selama di Salatiga selalu menunggu kabar dari Kartasura. Tak lama datang utusan Sang Panembahan yang bernama Wangsanagara. Kedatangan utusan membawa perintah Panembahan untuk menyerahkan surat kepada Tuan Kumendur. Surat segera dibuka oleh Kumendur dan dibaca dengan seksama. Isi surat berupa permintaan agar pasukan Kumpeni segera diberangkatkan ke Kartasura. Juga disebutkan bahwa Panembahan sudah tak tahan lagi melihat ulah pasukan Madura yang keterlaluan.

“Si Jayasudira sangat angkuh dan kurang ajar. Bantal Ratu Ibu diacak-acak. Juga Kanda Pangeran Ngabei yang berada di istana berlagak seolah raja betulan. Berani memberi perintah kepada bekas mantri Sang Panembahan. Panembahan sudah tak tahan lagi. Karena segeralah pasukan Kumpeni didatangkan ke Kartasura. Aku ingin segera mengusir pasukan Madura yang telah menjarah seisi istana. Gamelan dan meriam sudah diangkut. Juga mereka berani memboyong para putri.” Sudah tamat isi surat Panembahan.

Tuan Kumendur sangat gembira karena masih ada peluang untuk membantu Panembahan. Segenap pasukan Kumpeni segera disiapkan untuk berangkat.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/14/babad-tanah-jawi-175-prajurit-madura-menjarah-keraton-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...