Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (176): Raja Pakubuwana II kembali bertahta di Kartasura

Alkisah. Ketika Panembahan Brawijaya berada di Surabratan, Gumpang, sebelum Ratu Maduretna dan kedua putri Panembahan datang telah datang sebelumnya dua putri Sang Panembahan yang lain. Nama kedua putri tersebut adalah Raden Ajeng Jabir dan Raden Ajeng Dewi. Mereka dibawa oleh sang nenek Raden Ayu Wetan, istri dari mendiang Pangeran Arya Mataram. Raden Ayu Wetan juga membawa seorang putrinya, janda dari Padmanagara Demak. Juga telah datang Raden Ayu Natakusuma, istri Ki Patih Natakusuma.

Selama berada di Gumpang Sang Panembahan sangat bersusah hati karena tidak mempunyai istri permaisuri. Bagi seorang raja tidak mempunyai permaisuri berarti menurunkan derajat, maka Panembahan menimbang-timbang siapa yang pantas diangkat sebagai permaisuri. Pertama, Sang Raja bermaksud mengambil Raden Ayu Natakusuma sebagai permaisuri. Namun Raden Ayu tidak bersedia karena masih mengingat suaminya yang berada di Sri Lanka. Malah kalau bisa Raden Ayu Natakusuma ingin menyusul pula ke Sri Lanka.

Sang Panembahan kemudian memilih putri dari Raden Ayu Wetan, dari Kamataraman. Yakni masih putra dari sang kakek Pangeran Arya Mataram. Jadi masih terhitung bibi Sang Panembahan. Akad nikahnya akan dilaksanakan bila Ratu Maduretna telah datang. Setelah Ratu Maduretna datang dari Tembayat Sang Panembahan melangsungkan akad nikah. Putri Pangeran Arya Mataram kemudian diberi gelar Ratu Mamenang.

Sementara itu yang berada di Salatiga, Tuan Kumendur sangat bergembira karena masih terbuka peluang untuk menanam jasa kepada Sang Panembahan. Sang Raja Pakubuwana atau Panembahan Brawijaya belum bisa masuk ke istana karena dicegah pasukan Madura. Sang Panembahan meminta Kumpeni untuk mengusir pasukan Madura agar Sang Panembahan dapat segera bertahta kembali di Kartasura. Arya Pringgalaya telah datang ke Salatiga untuk menjemput Tuan Kumendur. Pesan Sang Panembahan agar kedatangan Kumpeni dipercepat. Oleh karena itu Pringgalaya hanya semalam di Salatiga. Esok harinya pasukan Kumpeni pun berangkat.

Perjalanan pasukan Kumpeni telah sampai di Boyolali, lalu beristirahat semalam. Pagi harinya langsung berlanjut ke Kartasura. Pasukan Madura telah mengetahui kalau pasukan Kumpeni datang. Para pembesar pasukan Madura kemudian menyiapkan pasukan untuk menghadang pasukan Kumpeni. Ketika pasukan Kumpeni telah sampai di Banyudana, pasukan Madura telah terlihat. Pasukan Madura dipimpin Ki Dipasasana Tuban. Ki Dipasasana lalu mendekati pasukan Kumpeni. Dipasasana mengatakan kalau pasukan Madura telah menyambut kedatangan pasukan Kumpeni di Asem.

Ketika sampai di Asem Kapten Hohendorff melihat pasukan Madura telah berbaris. Tampak para pembesar Madura berada di atas kuda dengan berpayung. Kapten lalu meminta agar payungnya dikembangkan. Juga kepada para prajurit dipesan agar semua tombak dihunus dari sarungnya. Ketika kedua pasukan sudah dekat tampak Raden Wangsengsari mendekat ke arah Kapten Hohendorff dengan berjalan kaki. Setelah keduanya bertemu mereka bersalaman. Hohendorff menyambut uluran tangan Wangsengsari dengan masih berada di atas kuda. Wangsengsari kemudian mendekati Tuan Kumendur dan bersalaman. Wangsengsari kemudian mengajak pasukan Kumpeni untuk masuk ke Pagelaran. Mereka kemudian duduk berbincang. Sementara para pembesar kedua pasukan saling berbincang, para prajurit selalu dalam keadaan waspada.

Tuan Kumendur kemudian menyuruh juru tulis untuk bertanya maksud kedatangan pasukan Madura ke Kartasura.

Berkata si juru tulis, “Kalin semua datang ke Kartasura siapa yang menyuruh? Mengapa kalian berbuat rusuh di negeri Kangjeng Sunan?”

Jayasudira menjawab, “Tuanku Panembahan Madura yang menyuruh. Kami disuruh menggempur pasukan Cina. Agar pasukan Cina pergi dari Kartasura.”

Juru tulis lalu disuruh bertanya lagi, “Kalau kalian berniat baik kepada Kangjeng Sunan dan juga Kumpeni, mengapa berani menjarah meriam dan gamelan. Siapa yang menyuruh? Apakah juga Panembahan Madura?”

Jayasudira menjawab, “Kami tak merasa membawa meriam dan gamelan milik Sang Raja.”

Jurut tulis bertanya lagi, “Lalu siapa yang menyuruh memboyongi wanita, apakah Pangeran Madura?”

Jayasudira menjawab, “Siapa yang melakukan itu? Akan saya tangkap.”

Tuan Kumendur setelah mendengar perkataan orang Madura tadi segera berunding dengan Kapten Hohendorff. Sekarang yang menjadi prioritas adalah kembalinya Sang Panembahan sebagai raja di Kartasura. Bagaimana cara agar Panembahan bisa segera masuk ke istana. Adapun terhadap orang Madura ini, kalaupun diteruskan bertanya ibarat bertanya kepada orang gila.

Lalu juru bahasa disuruh berkata kepada para pembesar pasukan Madura. Seperti ini juru bahasa berkata, “Hai Jayasudira, atas jasamu mengusir pasukan Cina dari Kartasura Tuan Kumendur sangat berterima kasih. Namun sekarang Tuan Kumendur memerintahkan kepada kalian semua, supaya kalian pulang ke Madura. Dalam sehari ini kalian harus pulang. Tidak boleh beralasan lagi.”

Pasukan Madura kemudian bersiap kembali ke Madura. Mereka sudah dipesan tidak boleh membawa barang-barang lagi. Kalau ada yang membawa barang atau wanita, para opsir sudah diperintahkan untuk merebutnya kembali. Para opsir lalu memerintahkan kepada sersan untuk melaksanakan pemeriksaan. Banyak barang-barang berhasil disita dari tangan prajurit Madura. Juga termasuk meriam dan berbagai senjata. Adapun para wanita, yang tertangkap di pondokan segera diambil. Yang tertangkap di jalan direbut secara paksa.

Sementara itu utusan Sang Panembahan yang bernama Trunamanggala sudah sampai di Madura. Surat sudah diserahkan kepada Pangeran Cakraningrat. Setelah surat dibaca Pangeran sangat marah kepada pasukannya yang berada di Kartasura karena berani memasukkan Pangeran Ngabei ke istana. Pangeran Madura kemudian menyiapkan seluruh pasukan yang tersisa untuk menyusul ke Kartasura. Yang ditinggal di Madura hanya tiga wadana saja.

Pangeran Madura berkata, “Kalian seret keluar yang berada di istana. Mengapa berlaku seperti itu. Siapa yang menyuruh si Jayasudira. Kalau mereka sudah keluar, Kangjeng Sunan segera persilakan masuk ke istana. Segeralah. Jangan lama-lama.”

Segera berangkat pasukan Madura melalui jalan barat dengan berjalan darat saja. Setelah mendarat di Grobogan lalu ke timur. Kedatangan mereka bersamaan datangnya Tuan Kumendur di Kartasura. Lalu mereka pun kembali pulang ke Madura. Namun ketika Kumendur datang ke Pagelaran pada saat itu orang Madura sedang bersiap membawa meriam Kyai Subrastha dan Kyai Segarawana. Adapun Nyai Satomi sudah diturunkan dari rodanya. Mendadak pasukan Kumpeni datang dan mengusir pasukan Madura. Pangeran Ngabei kemudian dikembalikan ke rumah Pangabean.

Kumendur kemudian menempati Sitinggil. Kapten Hohendorff kemudian diperintahkan menjemput Panembahan Brawijaya. Tiga brigade pasukan Kumpeni menyertai Hohendorff. Satu brigade dipimpin  Letnan Owis, terdiri dari serdadu berbangsa Belanda. Satu brigade dari Bali dipimpin Kapitan Barak. Dan satu brigade Kumpeni Islam dipimpin Kapitan Daeng Mabelah. Sesampai di kediaman Kasurabratan Kapten Hohendorff merangkul Sang Panembahan sambil memangis. Kapten Hohendorff menangis karena ingat peristiwa di Ponorogo. Juga teringat bagaimana Sang Panembahan begitu menderita ketika keluar dari istana.

Kapten Hohendorff bertanya keselamatan Sang Panembahan, juga menyampaikan salam dari Tuan Kumendur. Panembahan menyatakan terima kasih.

Kapten Hohendorff berkata, “ Dan lagi Sang Raja, Tuan Kumendur mengirim pasukan Kumpeni untuk menjaga paduka sejumlah tiga berigade. Satu brigade Kumpeni berbangsa Belanda, satu berigade Kumpeni Bali dan satu berigade Kumpeni Makasar. Kepala pasukan Kumpeni adalah alperes Owis dahulu. Sekarang sudah diangkat sebagai Letnan.”

Letnan Owis kemudian dihadapkan kepada Sang Panembahan. Letnan Owis maju dan menghaturkan sembah.

Kapten Hohendorff berkata lagi, “Kalau paduka telah berkenan, paduka dipersilahkan segera masuk ke istana. Besok pagi saudara paduka Tuan Kumendur akan menyambut paduka.”

Panembahan berkata, “Kapten, engkau katakan kepada Tuan Kumendur. Aku mengucapkan terima kasih. Kalau dia meminta kepadaku untuk masuk ke istana besok pagi, aku sangat gembira. Besok pagi jemputlah aku. Sungguh aku akan segera berangkat.”

Kapten Hohendorff kemudian kembali ke Sitinggil. Kepada Tuan Kumendur Kapten menyampaikan salam dari Panembahan. Juga kesediaan Sang Panembahan untuk masuk istana besok. Tuan Kumendur segera menyiapkan penjemputan. Sebanyak dua pasukan Kumpeni diberangkatkan untuk menjemput Sang Panembahan. Sesampai di Kasurabratan, Panembahan telah siap berangkat. Maka berangkatlah Panembahan dengan pengawalan dua pasukan Kumpeni dan para punggawa.

Di istana, Tuan Kumendur telah menyambut di Pagelaran. Sang Panembahan bersalaman lalu dibawa masuk ke bangsal Pangrawit. Setelah berhenti sebentar Tuan Kumendur segera mempersilakan Panembahan masuk ke dalam puri. Di dalam puri Kangjeng Ratu Ageng menyambut sang putra. Sang Panembahan dipeluk dan dicium berkali-kali. Sang Panembahan kemudian bertahta di pendapa dan kembali menjadi raja Kartasura.

Tuan Kumendur berkata, “Musuh paduka pasukan Cina jangan dikhawatirkan lagi. Kalau sudah pasti tempatnya Kumpeni yang akan menumpasnya.”

Tuan Kumendur kemudian minta pamit keluar dari puri dan kembali ke pondokannya. Saat masuknya kembali Sang Raja ke dalam keraton pada hari Sabtu, tanggal dua puluh dua, bulan Syawal, tahun alip. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: pandhita  nênêm angrasani ratu[1]. Sore harinya Raden Arya Pringgalaya memberi tahu Sang Raja bahwa Prabu Kuning atau Raden Mas Garendi sekarang berada di Yogya dan sudah menaklukkan beberapa wilayah Mataram. Sang Raja kemudian memanggil Kapten Hohendorff untuk menghadap ke istana. Sesampai di hadapan Sang Raja Hohendorff menyarankan agar musuh segera digempur.

Berkata Kapten Hohendorff, “Sebaiknya musuh di Mataram segera digempur. Bila paduka berkenan pasukan Surabaya yang berangkat dengan pimpinan Raden Arya Pringgalaya dan Panji Tohjaya.”

Sang Raja berkata, “Baiklah Kapten, segera beritahukan kepada Si Arya Pringgalaya dan Panji Tohjaya agar mereka memimpin pasukan mancanagara dan Surabaya.”

Kapten Hohendorff dan Arya Pringgalaya segera keluar dan menemui Tuan Kumendur. Semua perintah Sang Raja telah disampaikan. Sang Raja setuju kalau Raden Arya Pringgalaya yang memimpin pasukan dari Kartasura untuk menggempur musuh di Mataram.

Tuan Kumendur lalu berkata kepada Pringgalaya, “Raden, kalau musuh di Mataram nanti terasa berat segera beritahukan kepadaku. Nanti aku segera kirim bantuan pasukan Kumpeni.”

Pada saat itu Arya Pringgalaya masih punya ganjalan. Patih Sang Raja selama berada di pengungsian Ponorogo, yakni Adipati Wirareja ketika Sang Raja masuk ke istana langsung menempati kediaman Natakusuman. Natakusuman adalah rumah dinas patih Kartasura. Ketika hal itu dilaporkan kepada Sang Raja, Adipati Wirareja mendapat amarah. Adipati Wirareja dianggap mendahului perintah. Raden Arya Pringgalaya dalam hati sangat berharap mendapat penunjukkan jabatan patih. Namun Sang Raja belum mau menetapkan karena belum berunding dengan Kumpeni.

Tuan Kumendur segera menghadap Sang Raja di istana untuk berpamitan. Kumendur akan kembali ke Semarang. Sang Raja sudah mengizinkan. Sebelum Kumendur pergi Sang Raja meminta saran.

Berkata Sang Raja, “Bagaimana saran saudara berkaitan dengan jabatan patih. Sebaiknya siapa yang diangkat menggantikan Wirareja. Apakah saudara mendapat pesan dari Tuan Komisaris?”

Tuan Kumendur berkata, “Saya tidak mendapat pesan perihal itu. Tugas saya hanya membawa paduka kembali ke Kartasura sampai masuk keraton. Bila ada yang menghalangi itu menjadi pekerjaan saya untuk menyelesaikan. Adapun persoalan pengangkatan punggawa sebaiknya paduka ajukan kepada Tuan Komisaris sendiri.”

Tuan Kumendur kemudian menyerahkan semua punggawa yang dia bawa dari Semarang. Setelah selesai Tuan Kumendur pun mohon pamit. Sekembalinya dari istana Tuan Kumendur langsung bertolak ke Semarang. Semua serdadu Kumpeni ditinggal di Kartasura. Adapun pimpinan Kumpeni di Kartasura dipegang oleh Kapten Hohendorff. Sang Raja dan para punggawa merasa tenang karena sekarang Sang Raja dijaga pasukan Kumpeni dalam jumlah besar. Suasana di Kartasura sudah aman tenteram seperti sedia kala.

Ketika suasana sudah aman Ratu Ageng teringat peristiwa ketika terjadi kekacauan. Ada seorang abdi yang sangat dikasihi tetapi dinilai telah berbuat tidak patut, namanya Ki Gambuh. Ratu Ageng memerintahkan agar si abdi tak lagi dikaryakan sampai anak keturunannya.


[1] Sengkalan: pandhita nênêm angrasani ratu (1667 A.J., 1742/1743 A.D.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/15/babad-tanah-jawi-176-raja-pakubuwana-ii-kembali-bertahta-di-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...