Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (19): Jaka Tingkir mengabdi ke Demak

 Alkisah di negeri Demak, Sang Raja Panembahan Jimbun sudah mangkat dengan meninggalkan enam putra. Seorang di antaranya adalah wanita bernama Ratu Mas Nyawang yang kemudian menikah dengan Pangeran Cirebon. Putra kedua bernama Pangeran Sabranglor yang kemudian menggantikan kedudukan sang ayah sebagai raja Demak. Putra ketiga laki-laki bernama Pangeran Sedalepen. Lalu putra keempat bernama Pangeran Trenggana. Putra kelima bernama Raden Kanduruan dan putra keenam bernama Raden Pamekas.

Pangeran Sabranglor tidak lama menggantikan kedudukan sang ayah karena keburu wafat. Sebagai pengganti ditunjuk Pangeran Trenggana. Pengangkatan Pangeran Trenggana disaksikan para waliyullah. Patih Mangkurat juga sudah wafat, kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Patih Wanasalam. Sultan Trenggana memerintah negeri Demak dengan adil, tiada beda dengan sang ayah. Negeri Demak semakin makmur dan sejahtera.

Kembali ke perjalanan Mas Karebet atau si Jaka Tingkir yang melaksanakan perintah sang guru untuk mengabdi ke negeri Demak. Setelah pergi dari Sela Jaka, Tingkir mampir dulu ke rumah sang ibu untuk memohon restu.

Nyai Ageng Tingkir berkata pelan, “Benar petunjuk dari Ki Ageng Sela itu. Namun tunggulah barang tiga hari lagi. Dua pembantumu sedang memanen padi. Kalau sudah selesai biar nanti mengantarmu ke Demak. Ada seorang pamanmu yang sudah mengabdi di sana namanya Ki Ganjur, kedudukannya sebagai lurah Suranata. Engkau temui dia agar dihaturkan kepada Sultan.”

Jaka Tingkir bersukacita karena ada seorang adik ibunya telah mengabdi di Demak. Jaka Tingkir kemudian membantu memanen padi. Seharian Jaka Tingkir berada di sawah tak hendak pulang, agar pekerjaannya cepat selesai. Ketika itu sudah masuk waktu ashar. Ada mendung yang menggantung di langit, kemudian turun hujan rintik-rintik.

Pada saat bersamaan lewatlah Kangjeng Sunan Kalijaga dari Pamantingan. Kangjeng Sunan berjalan dengan tongkat cis. Ketika melihat Jaka Tingkir Kangjeng Sunan berhenti lalu memanggil dari luar sawah.

Berkata Kangjeng Sunan, “Anakku, berhentilah memanen padi. Segeralah mengabdi ke Demak. Engkau anakku, adalah calon raja yang akan menguasai tanah Jawa.”

Setelah berkata Kangjeng Sunan segera pergi ke arah utara. Jaka Tingkir memandang Kangjeng Sunan sampai tak terlihat. Setelah itu Ki Jaka segera pulang dan melapor kepada sang ibu.

Berkata Nyai Ageng, “Kalau demikian anakku, segeralah berangkat. Tidak usah menunggu panen selesai. Nanti aku cari orang untuk melakukannya. Engkau sudah mendapat perintah dari wali penutup, Kangjeng Sunan di Kalijaga. Segeralah berangkat.”

Singkat cerita, Ki Jaka Tingkir sudah sampai di Demak dengan diantar dua pembantu ibunya. Yang pertama dituju adalah rumah Kyai Ganjur. Oleh Kyai Ganjur Ki Jaka Tingkir sudah dihaturkan kepada Sultan Trenggana dan diterima pengabdiannya.

Pada suatu hari Sultan yang sedang menuju masjid hendak melewati Jaka Tingkir. Ki Jaka Tingkir hendak beranjak pergi tetapi karena di belakangnya ada kolam Jaka Tingkir tidak dapat bergerak lagi. Dalam posisi duduk menghormat tiba-tiba Jaka Tingkir melompat mundur ke seberang kolam. Kemampuan Jaka Tingkir tersebut dilihat Sultan. Ki Jaka Tingkir kemudian dipanggil menghadap. Singkat cerita Sultan Trenggana merasa terkesan dengan kemampuan Jaka Tingkir. Ki Jaka Tingkir lalu diangkat sebagai lurah tamtama Demak. Ki Jaka Tingkir cakap dalam menjalankan tugasnya sehingga kasih sayang Sultan semakin bertambah. Tak lama kemudian Jaka Tingkir diangkat sebagai anak angkat Sultan Trenggana dan diberi nama Raden Jaka Tingkir.

Sebagai lurah tamtama Jaka Tingkir selalu mengiringi ke manapun Sang Raja pergi. Jika Sang Raja bercengkerama di hutan, Jaka Tingkir ikut serta. Tugasnya mengejar macan. Ki Jaka dengan sigap menangkap macan dan mengendongnya untuk dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat gembira melihat kemampuan Jaka Tingkir yang menakjubkan itu. Juga bila Sang Raja sedang berlayar di sungai, Ki Jaka ikut serta. Bila ada buaya tampak, Ki Jaka segera mengejar dan menangkapnya dan dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja semakin sayang kepada putra angkatnya tersebut. Sangat-sangat dimanjakan sampai si anak desa itu diberi pakaian yang indah-indah layaknya pakaian para pangeran. Memang pantas karena walau anak desa perilaku dan watak Jaka Tingkir sama sekali tidak seperti anak desa pada umumnya. Sopan santunnya lengkap, sakti dan perwira serta penampilannya mengesankan.

Beberapa lama Ki Jaka Tingkir menjadi lurah tamtama, Sang Raja berkenan merekrut tamtama baru. Banyak pemuda desa mendaftar sebagai prajurit. Ada seorang pemuda sakti dari Pingit di daerah Kedu. Orangnya tinggi besar dan wajahnya seram. Tingkah polahnya kasar dan congkak. Sungguh tak pantas kalau menjadi pengawal raja. Nama orang itu Dhadhungawuk. Di desanya si Dhadhungawuk sudah terkenal kesaktiannya. Segala senjata tak mempan padanya. Bahkan peluru pun tak sanggup merontokkan sehelai rambutnya.

Ketika datang ke arena pendaftaran si Dhadhungawuk bersikap congkak. Ki Jaka Tingkir yang sudah mendengar tentang si Dhadhungawuk panas hatinya. Niat hatinya menjajal kesaktian si Dhadungawuk yang sudah kondang itu.  Si Dhadhungawuk dipanggil mendekat. Ketika sudah dekat si Dhadhungawuk ditusuk dadanya dengan sadak, gulungan daun sirih yang siap dipakai untuk nginang yang sungguh bukan sebuah senjata. Seketika Ki Dhadhungawuk pecah dadanya dan tewas di tempat. Orang-orang keheranan melihat kesaktian Jaka Tingkir yang mencengangkan.

Peristiwa itu kemudian dilaporkan kepada Sang Raja. Jauh dari dugaan, Sang Raja tidak berkesan akan kesaktian Jaka Tingkir akan tetapi malah marah besar. Ki Jaka Tingkir dianggap bersalah karena telah membunuh orang tanpa dosa. Apalagi orang tersebut punya kemampuan lebih dan hendak mendaftar sebagai prajurit yang mengabdi kepada Sang Raja. Sultan Demak seketika hilang rasa simpati dan kasihnya kepada Jaka Tingkir.

Berkata Sultan Trenggana kepada Patih Wanasalam, “Hai Patih, sungguh tak elok kelakuan si Jaka Tingkir. Membunuh orang tanpa dosa. Ini memalukan negeri Demak. Segera usirlah dia dari kota. Biarlah hidup di hutan tanpa teman. Orang seperti itu patutnya hidup di belantara.”

Sang Raja juga memerintahkan untuk memberi uang lima ratus kepada ahli waris Dhadhungawuk sebagai uang diat. Patih Wanasalam segera melaksanakan perintah. Dengan berat hati Ki Patih mengusir Jaka Tingkir dari kota Demak. Jaka Tingkir tak dapat berkata lain selain patuh pada perintah Sang Raja. Dengan lunglai Jaka Tingkir berlalu, menghilang dari kota Demak. Para prajurit tamtama pun tampak lesu karena lurah mereka terusir.

Jaka Tingkir berjalan tanpa tujuan ke arah tenggara. Hatinya galau. Hendak pulang kembali ke Tingkir menemui ibunya, takut kalau ibunya diikutkan dosanya. Akhirnya Ki Jaka hanya berdiam di tengah hutan. Andai mati pun dia tidak peduli. Ada seekor ular besar mendatangi. Oleh Ki Jaka dipegang lehernya dan didekatkan kepalanya agar si ular mematuknya sekalian. Biar dia yang menjadi sebab kematianku, pikir si Jaka. Namun si ular malah takut dan mengeloyor pergi. Si Jaka jengkel, si ular segera ditarik tubuhnya. Terdengar bunyi krek…. dan si ular mati lemas. Tiba-tiba dari arah barat datang macan galak yang mendekat. Ki Jaka sengaja menghadangnya. Keduanya segera terlibat pertarungan. Namun dengan sekali pukul si macan galak terpental jauh dan mati seketika. Oh, sungguh memprihatinkan nasib Jaka Tingkir. Orang kalau sedang sial, mencari mati pun susah. Tak lama kemudian datang angin ribut yang sangat besar. Pepohonan patah dan tumbang. Hewan penghuni hutan kocar-kacir. Namun tetap saja Ki Jaka Tingkir selamat tak kurang satu apapun. Memang belum masanya menemui ajal. Mungkin yang kuasa masih punya rencana besar untuknya.

Jaka Tingkir terbangun dari antara pepohonan yang rebah. Perlahan terus berjalan hingga melompati pegunungan Kendeng. Sampailah ia pada tepi sebuah tikungan sungai. Di tempat itu dia bertemu dengan seorang tua. Tak disangka si orang tua tadi memanggil.

“Hai anak muda, berhentilah sebentar. Aku lihat engkau ini mirip saudaraku Ki Ageng Pengging. Wajahmu mirip hanya engkau lebih gagah, tapi kakakku lebih tinggi sedikit. Engkau ini dari mana asalmu?” tanya orang tua tadi.

Jaka Tingkir menjawab, “Benar saya dari Pengging. Menurut cerita orang memang saya putra Ki Ageng Kebokananga di Pengging.”

Si orang tua tadi merangkul Jaka Tingkir dengan penuh kasih. Ternyata orang tua tadi adalah Ki Ageng Butuh, saudara muda seperguruan dari ayah Jaka Tingkir sendiri. Ki Ageng hendak mengunjungi seorang ajar di gunung Beluk, tetapi diurungkan dan kembali ke rumah dengan membawa Jaka Tingkir.

“Setelah kepergian ayah-ibumu aku pernah mengunjungi Pengging. Tetapi rumahmu sepi. Menurut cerita orang engkau sudah dirawat uwakmu Nyai Ageng Tingkir. Aku sudah tenang karena pasti akan terawat baik. Sungguh tak kusangka akan bertemu denganmu dalam keadaan yang memprihatinkan. Bersabarlah karena setiap kemuliaan selalu diawali dengan keadaan prihatin. Jangan kemudian engkau berputus asa mengharap anugerah Tuhan,” kata Ki Ageng Butuh.

Ki Jaka merasa nyaman mendengar nasihat Ki Ageng Butuh yang menenangkan. Di tempat Ki Ageng Butuh si Jaka Tingkir mendapat berbagai pelajaran baru yang belum pernah ia terima tentang perilaku para nabi yang menjadi raja dan orang besar. Segala pelajaran tentang baik dan buruk, yang utama dan nista, serta yang rendah dan luhur, semua diajarkan oleh Ki Ageng Butuh. Ki Jaka kini menyadari perilakunya kemarin memang salah. Hatinya sungguh amat menyesal

Selama dua bulan Ki Jaka Tingkir berada di Butuh. Setelah dirasa cukup membekali Jaka Tingkir dengan berbagai pengetahuan yang dimilikinya, Ki Ageng menyuruh Jaka Tingkir kembali ke Demak. Barangkali Sang Raja telah mengampuni dan memanggilnya kembali maka jangan jauh dari kota Demak. Namun bila Sang Raja belum memanggilnya kembali, janganlah jauh dari Pengging. Ki Jaka patuh dan melaksanakan saran Ki Ageng Butuh.

Jaka Tingkir kemudian secara diam-diam menemui teman prajuritnya dulu untuk mencari berita barangkali Sultan Trenggana pernah ingin memanggilnya kembali. Namun Ki Jaka kecewa karena belum ada berita baik untuknya. Ki Jaka lalu menuruti saran Ki Ageng Butuh agar menetap tak jauh dari Pengging sekalian ziarah ke makam ayahnya.

Empat hari di Pengging pada suatu malam Jaka Tingkir bermimpi. Dalam mimpi itu Jaka Tingkir mendengar suara:

“Hai, jangan engkau bersedih hati. Kembalilah engkau ke arah tenggara. Mengabdilah kepada seorang di tenggara Getasaji yang bernama Buyut Banyubiru. Engkau akan mendapat petunjuk.”

Ki Jaka Tingkir kaget dan terbangun. Dengan diam-diam tanpa diketahui kerabatnya di Pengging Ki Jaka Tingkir pergi ke arah tenggara desa Getasaji. Ada seorang pertapa yang baru saja masuk Islam, namanya Ki Buyut Banyubiru. Ki Buyut ini sangat kuat bertapa sehingga mendapat ilham dari Tuhan. Pandangannya awas terhadap berbagai kejadian di dunia.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/18/babad-tanah-jawi-19-jaka-tingkir-mengabdi-ke-demak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...