Translate

Senin, 02 September 2024

Babad Tanah Jawi (182): Raja Ternate diajukan ke medan perang

Alkisah, barisan Raden Suradiningrat yang berada di Awangga pada malam hari diserang pasukan Cina. Mereka datang dan menembaki markas Awangga. Pasukan Ponorogo gugup dan tak sempat membalas. Mereka pun lari menuju barisan Sanggung. Pasukan Cina kemudian berbelok ke Kadresanan dan memperkuat benteng mereka. Empat hari kemudian pasukan Cina menyergap barisan Sanggung yang ditempati Raden Adipati Suradiningrat dan Ki Rajaniti. Pasukan Ponorogo lari pontang-panting. Mereka lari meninggalkan kuda dan senjata-senjata. Pasukan Ponorogo lari ke timur menuju Picis. Setelah menyeberang sungai mereka terus saja lari ke Ponorogo. Pasukan mancananagara pun ikut pulang ke negeri masing-masing. Punggawa yang berada di Sanggung tinggal Ki Rajaniti. Ki Rajaniti lalu mengirim laporan kepada Sang Raja, bahwa pasukan Ponorogo dan mancanagara telah lari pulang. Sang Raja kaget dan langsung memanggil Kapten Hohendorff.

Berkata Sang Raja, “Hai Komandan, bagaimana ini pasukan mancanagara semua lari pulang?”

Kapten Hohendorff sedikit malu karena tak segera mengerahkan pasukan Kumpeni untuk membantu sehingga mereka kalah dan lari.

Berkata Kapten Hohendorff, “Paduka jangan bersedih. Besok pagi saya akan memukul musuh yang bermarkas di Kadresanan.”

Kapten segera mohon diri dan kembali ke Loji. Para opsir diperintahkan untuk bersiap menyerang Kadresanan besok pagi. Sore harinya Raja Ternate diminta datang ke Loji oleh Kapten. Bersamaan datangnya Raden Pringgalaya, Raja Ternate sampai di Loji. Keduanya kemudian menemui Hohendorff.

Kapten Hohendorff berkata, “Saya besok akan menyerang Kadresanan. Anda Raja Ternate besok saya ajak serta.”

Raja Ternate berkata, “Baik Tuan, saya sangat senang diadu perang melawan musuh. Saya malu kalau di sini hanya menganggur. Semoga besok pekerjaan saya bisa diterima oleh Sang Raja dan saudara Kumpeni. Karena saya ke sini memang untuk membantu melawan musuh.”

Pagi hari pasukan dari Kartasura sudah bersiap. Raja Ternate dan pasukannya memakai baju zirah, pelindung kepala dari besi dan menyandang senapan. Pasukan Kumpeni dan Ternate setelah siap segera berangkat. Raden Pringgalaya tak ketinggalan. Juga Rangga Wanengjiwa yang mengikuti di belakang. Singkat cerita perjalanan pasukan Kartasura sudah sampai di Karecek. Mereka kemudian berhenti untuk menata barisan. Raja Ternate ingin mendahului berangkat dengan maksud menyerang duluan. Komandan Hohendorff sangat mencegah.

Berkata Hohendorff, “Jangan berangkat dulu. Nanti ke Kadresanan bersama pasukan besar Kumpeni.”

Raja Ternate memaksa, “Benar Anda, tapi saya ingin mengetahui posisi musuh.”

Raja Ternate dan pasukannya kemudian berangkat duluan. Ketika musuh melihat kedatangan orang Ternate segera mereka menabuh bende dan bersiap menghadang. Pangeran Prangwadana sudah mengembangkan payung kuningnya dan menabuh carabalen. Segera maju Prangwadana bersama pasukannya.

“Ayo jangan mundur, kita lawan orang Ternate. Rajanya biar aku yang menghadapi. Jangan kalian mundur,” kata Pangeran Prangwadana.

Di lain pihak Raja Ternate juga telah mengembangkan payungnya. Pasukannya sudah membunyikan seruling dan gong. Tak lama kedua pasukan saling beradu senapan. Sampai lama mereka masing berimbang kekuatannya. Raja Ternate lalu menerjang bersama pasukan baju besinya. Prangwadana tangguh menahan. Dua prajurit Prangwadana terkena senjata dan tewas. Prajurit di belakangnya lari semua. Prangwadana berusaha memajukan kembali pasukannya, tetapi mereka telanjur ciut nyalinya. Pangeran Prangwadana ikut mundur. Pasukan Ternate mengejarnya. Payung Prangwadana berhasil direbut. Namun bantuan pasukan Cina Mataram segera datang. Dari arah timur mereka tak henti menembak ke arah pasukan Ternate. Pasukan Ternate banyak yang tewas. Mereka sudah turun dari kuda dan memakai kuda-kuda mereka sebagai perisai. Ada pula yang berlindung di balik pohon jarak. Hanya raja mereka yang masih menunggang kuda. Namun tidak lama kuda Raja Ternate terkena peluru. Sang Raja pun terluka betisnya. Adapun prajurit yang membawa payung tewas.

Pasukan Cina Matarm terus merangsek dan mendesak. Namun dari arah timur pasukan Kumpeni datang membantu. Pasukan Cina Mataram tak mampu menahan serangan pasukan Kumpeni, mereka pun bubar berlarian. Pasukan Kumpeni terus mengejar sampai desa Klepu. Tak lama kemudian mereka yang mengejar kembali ke Kadresanan. Setelah selesai perang mereka menghitung jumlah korban. Ada tujuh orang prajurit Cina yang tewas dan banyak yang luka-luka. Adapun dari pihak Kumpeni seorang serdadu ditemukan tewas. Benteng musuh di Karecek kemudian dihancurkan. Pondok-pondok dibakar agar tidak dipakai kembali sebagai markas. Pasukan Kumpeni kemudian memerintahkan para tukang pikul untuk membawa mayat-mayat prajurit Ternate dan Bali yang tewas. Pasukan Kartasura kemudian kembali ke kota.

Ketika pasukan Kartasura menuju ke kota Rangga Wanengjiwa menyimpang jalan dan kembali ke arah barat. Dia hendak menuju desanya di Awangga. Kemudian menyimpang jalan lagi menuju Sumber. Di tengah perjalanan Ki Rangga bertemu musuh yang tercecer. Hanya seorang saja. Dia bersembunyi dengan membawa senapan. Ketika akan ditangkap si musuh melawan dengan melepaskan tembakan. Ki Rangga terkena peluru dan jatuh berguling ke tanah. Pasukan Ki Rangga tak peduli lagi ke mana musuh lari. Mereka hanya fokus menolong Ki Rangga. Namun nyawa Ki Rangga tak tertolong.

Peristiwa itu kemudian dilaporkan kepada Arya Pringgalaya. Ki Pringgalaya sangat kaget dan menyesalkan kejadian itu. Hohendorff pun heran mengapa hal itu bisa terjadi. Komandan Hohendorff kemudian melapor kepada Sang Raja. Secara rinci Hohendorff melaporkan jalannya perang juga jumlah pasukan yang tewas. Dari pihak pasukan Cina tujuh orang mati dan banyak yang luka-luka. Dari pasukan Raja Ternate yang tewas tiga orang dan lima orang luka-luka. Kuda Raja Ternate juga terluka. Raja Ternate sendiri menderita luka di betis. Pembesar pasukan yang tewas adalah Rangga Wanengjiwa. Namun kematiannya tak diketahui oleh prajuritnya. Dia dibunuh oleh prajurit sandi musuh yang menyelinap.

Sang Raja berkata, “Aku terima semua pengorbanan prajuritku. Adapun si Rangga memang sudah takdir hanya sampai di sini. Bagaimana keadaan pasukan Cina apakah mereka sudah kapok ketika engkau pukul?”

Kapten Hohendorff berkata, “Sepertinya mereka takkan kembali lagi.”

Sang Raja kemudian memerintahkan agar Rangga Wanengjiwa digantikan anaknya. Kalau si anak belum cukup umur sebaiknya diganti dulu oleh saudaranya. Kapten Hohendorff menyatakan kesiapan menjalankan perintah Sang Raja. Komandan segera keluar menyampaikan perintah Sang Raja kepada Arya Pringgalaya. Pringgalaya mengusulkan agar saudara Wanengjiwa dulu yang menggantikan karena pekerjaannya sungguh berat.

Pagi hari berikutnya Raja Ternate datang ke Loji untuk menemui Kapten Hohendorff.

Berkata Raja Ternate, “Komandan, saya ingin minta kuda kepada Sang Raja. Adapun kuda yang saya inginkan yang berwarna dhawuk. Sebab saya meminta kuda karena kuda saya mati.”

Kapten Hohendorff segera berpesan kepada Ki Tohjaya untuk mengajukan permintaan kuda kepada Sang Raja. Kuda si Ganggong yang diminta sesuai ciri yang disebut Raja Ternate tadi. Tohjaya segera melapor kepada Sang Raja dan si kuda pun segera diberikan. Tohjaya keluar dari keraton sudah menuntun si Ganggong lalu diberikan kepada Raja Ternate. Raja Ternate sangat girang tak terkira. Sore hari sudah dibawa berjingkrak ke dekat pasar. Siang malam si Ganggong dibawa-bawa sampai si kuda menjadi kurus. Setelah si Ganggong menjadi kurus Raja Ternate bermaksud menukar dengan kuda Sang Raja yang lain. Yang ditunjuk adalah si Wagugen. Kuda pun diberikan lagi dan dipakai jalan-jalan sampai kurus. Setelah si Wagugen kurus Raja Ternate bermaksud menukarnya kembali dengan si Ganggong. Kapten Hohendorff jengkel dengan ulah Raja Ternate.

Kapten berkata, “Saya takut disebut orang tidak urus. Dan lagi apakah saudara kira Kangjeng Sunan itu kusir atau penitipan kuda?”

Raja Ternate terdiam. Dalam hati merasa malu. Tujuh hari kemudian Raja Ternate datang kembali ke Loji. Kali ini kedatangannya untum minta pamit hendak kembali ke Semarang. Kapten Hohendorff tampak berusaha mencegah, tetapi dalam hati merasa lega.

Berkata Kapten Hohendorff, “Kalau saudara ingin pulang ke Semarang, saya harus melapor dulu kepada Tuan Komisaris. Saya tak mau mengabulkan permintaan saudara bila belum mendapat izin.”

Pagi hari berikutnya Hohendorff mengirim surat pemberitahuan ke Semarang. Komisaris segera membalas surat Hohendorff. Dalam suratnya Tuan Komisaris menyetujui jika Raja Ternate ingin pulang. Tetapi disuruh meninggalkan pasukannya beserta kaptennya. Raja Ternate kemudian diundang ke Loji. Kepadanya diberitahukan surat dari Tuan Komisaris. Raja Ternate setuju.

Kapten Hohendorff bertanya, “Kapan saudara akan berangkat ke Semarang?”

Raja Ternate berkata, “Lusa.”

Kapten Hohendorff segera memerintahkan kepada Raden Pringgalaya untuk menyediakan kuda angkut untuk mengantar rombongan Raja Ternate ke Semarang. Hohendorff kemudian melapor ke istana bahwa Raja Ternate telah dipanggil Tuan Komisaris ke Semarang.

Sang Raja berkata, “Kapan akan berangkat?”

Kapten menjawab, “Lusa dia berangkat.”

Sang Raja berkata, “Syukurlah dia segera pergi. Di sini hanya mengganggu saja.”

Kapten Hohendorff keluar dari istana. Setelah sampai harinya Raja Ternate berangkat ke Semarang. Kapten Ternate ditinggal di Kartasura dengan pasukan sejumlah tiga puluh orang.

Sementara itu Ki Rajaniti yang berbaris di Sanggung setiap malam pergi dari markasnya karena takut kalau disergap musuh. Kalau siang dia kembali berjaga di markas. Kepergiannya di malam hari tak tentu keberadaannya.

Di tempat lain, orang Cina Mataram sudah mulai mengerahkan pasukan ke Kadresanan kembali. Mereka memperkuat barisan dengan tambahan pasukan dari Pagelen. Pemimpin mereka bernama Jayawinata. Desa-desa sekitar Kadresanan sudah ditaklukkan. Koripan dan Kuwel sudah dikuasai.

Di Kartasura Raden Pringgalaya sangat bersedih. Yang menjadi sebab kesedihannya adalah persoalan jatah makan Kumpeni. Raden Pringgalaya tak pernah putus mencari solusi bersama Komandan Hohendorff. Pringgalaya selalu mengeluhkan kerepotan dalam melayani makan para Kumpeni. Repotnya karena mereka tak punya kuli angkut satupun. Kalau tak ada juru angkut bagaimana bisa pekerjaan di dapur lancar. Kapten Hohendorff sendiri merasa sedikit malu karena lama tak menolong pasukan Jawa.

Berkata Hohendorff, “Besok saya serang pasukan Cina di Kadresanan lalu terus maju ke Mataram. Jangan sampai tanggung dalam melangkah. Supaya segera selesai. Namun saya dengar berita jalannya sangat sulit. Sebaiknya Anda mengirim utusan untuk memeriksa jalan yang akan dilalui pasukan kita. Carilah yang lebih mudah dilewati. Karena kabarnya jalan utama sudah diberi halangan dan dilubangi. Malah lubangnya dalam dan sangat sulit dilewati.”

Raden Pringgalaya menyatakan sanggup. Setelah mencapai kata sepakat keduanya berpisah ke pondokan masing-masing.

Sementara itu di barisan Sanggung, Ki Rajaniti menderita sakit. Oleh Sang Raja Rajaniti diizinkan pulang ke Kartasura. Tidak lama sampai di Kartasura Rajaniti meninggal dunia. Anaknya yang bernama Suramenggala kemudian menggantikan kedudukannya di markas Sanggung. Sudah diangkat sebagai tumenggung dan mengambil nama ayahnya, Tumenggung Rajaniti. Beberapa waktu kemudian Rajaniti di Sanggung kedatangan utusan dari Kadresanan. Yang mengutus Ki Kartileksana dan Ki Wangsanagara. Adapun si utusan bernama kecil Saju. Si utusan datang membawa surat. Oleh Rajaniti kemudian diantarkan kepada Raden Pringgalaya. Setelah diperiksa isi suratnya menyatakan kalau kedua petinggi tersebut ingin menyerah kepada Sang Raja dan tunduk kepada Kumpeni. Bila telah diizinkan akan segera menyeberang. Oleh Pringgalaya utusan dibawa masuk ke Loji dan diserahkan kepada Kapten Hohendorff. Kapten sangat gembira. Pringgalaya juga melaporkan kerepotan di jalan utama Sanggung ke barat yang banyak dipenuhi pasukan musuh sehingga kedua orang yang akan menyerah perlu diamankan.

Berkata Kapten Hohendorff kepada si utusan, “Engkau pulanglah dulu. Pastikan keinginan Ki Wangsanagara dan Ki Kartileksana. Kalau benar-benar ingin mengabdi kepada Sang Raja, tentukan waktunya kapan akan berangkat. Supaya saya mendapat kepastian untuk menjemput ke Kadresanan.”

Pringgalaya juga berpesan, “Katakan kepada Wangsanagara dan Kartileksana, kalau sungguh-sungguh hendak mengabdi kepada Sang Raja bawalah serta kabar mengenai musuh.”

Utusan segera kembali ke Kadresanan. Para punggawa yang berkumpul di Loji pun kembali ke rumah masing-masing. Dua hari kemudian si utusan kembali datang. Yang dituju adalah kediaman Raden Pringgalaya. Oleh Pringgalaya si utusan dibawa ke Loji dan diperiksa.

Si utusan berkata, “Kalau Tuan izinkan, besok pagi Ki Wangsanagara dan Ki Kartileksana akan berangkat dari Kadresanan. Keduanya khawatir kalau rencananya keburu terdengar oleh orang Mataram.”

Pringgalaya menyahut, “Kalau begitu Tuan, sebaiknya segera dilaksanakan agar hati mereka tenang. Besok pagi Tuan kirimlah pasukan untuk menjemput. Kalau Tuan setuju segeralah melapor kepada Sang Raja.”

Komandan Hohendorff lalu mengirim pesan kepada Ki Tohjaya dan Naladirja agar dimintakan waktu menghadap kepada Sang Raja. Tohjaya segera masuk ke istana untuk melapor. Kapten telah diiznkan menghadap. Segera Kapten ke istana. Sesampai di hadapan Sang Raja Hohendorff melaporkan bila ada musuh yang ingin bergabung mengabdi kepada Sang Raja. Namanya Kartileksana dan Wangsanagara.

“Bila paduka berkenan menerima besok pagi akan saya jemput,” kata Hohendorff.

Sang Raja berkata, “Benar langkahmu itu. Segera laksanakan.”

Hohendorff kembali menemui Pringgalaya untuk menyampaikan perintah Sang Raja.

Kapten berkata, “Raden, saya sudah mendapat izin untuk menjemput besok.”

Utusan segera disuruh kembali dengan janji besok pukul sebelas akan dilaksanakan penjemputan. Ki Wangsanagara dan Ki Kartaleksana diminta keluar dari benteng pada jam tersebut. Tempat yang akan dipakai bertemu adalah selatan Karecek. Setelah pesan selesai, si utusan melesat kembali ke Kadresanan.

Hari berikutnya pasukan penjemput sudah bersiap berangkat. Pukul sebelas mereka sudah menunggu di selatan Karecek. Ki Wangsanagara dan Ki Kartileksana sudah mendapat pesan melalui utusan. Bersama anak Ki Wangsanagara yang bernama Sajung mereka keluar dari benteng. Si Sajung berangkat duluan dan telah bertemu pasukan penjemput. Tak lama kemudian kedua petinggi telah datang. Mereka bertiga pun dibawa ke Kartasura.

Di Kartasura mereka bertemu Kapten Hohendorff di Loji. Arya Pringgalaya kemudian dipanggil ke Loji. Kepada keduanya Arya Pringgalaya menanyakan segala sesuatu tentang musuh. Berapa jumlahnya dan siapa saja pembesar pasukannya. Kedua petinggi menceritakan semuanya.

Kapten Hohendorff kemudian melapor kepada Sang Raja. Sang Raja memerintahkan kepada kedua petinggi untuk bergabung kepada wadana mereka dahulu. Juga nanti akan ditempatkan pada jabatan lamanya.

Setelah peristiwa ini selesai Kapten dan Pringgalya masih harus memikirkan musuh mereka di Randhulawang. Sudah menginjak bulan Maulud. Rencana untuk menyerang Randhulawang segera disusun.

Pringgalaya berkata, “Tuan, besok kalau berangkat ke Randhulawang, jangan khawatirkan soal peralatan Kumpeni. Para mantri nanti yang akan mengurusnya. Walau harus mengangkat barang bawaan sendiri pun kalau perlu harus dilakukan.”

Kapten merasa lega hatinya karena persoalan tukang pikul ini selalu menjadi halangan.

Kapten berkata, “Baik Raden, saya berencana ke Randhulawang setelah acara grebeg Maulud. Dan juga saudara segera berilah kabar kepada Raden Endranata agar dia mulai mengumpulkan tukang pikul untuk membawa peralatan Kumpeni.”

Pringgalaya pun sepakat dengan usulan Hohendorff. Tidak lama kemudian datang utusan dari barisan Kadresanan. Jayawinata mengirim utusan menyatakan ingin mengabdi kepada Sang Raja dan bersahabat dengan Kumpeni. Namun kalau menyerah sekarang posisinya tidak menguntungkan. Lebih baik bila nanti pasukan Kartasura menyerang Jayawinata akan melakukan sabotase dari belakang.

Kapten setuju dan menyambut baik rencana Jayawinata. Si utusan lalu diberi tanda berupa kain sutra biru selebar tiga jengkal dan panjang satu depa.

Berkata Kapten Hohendorff, “Kalau besok aku datang ke Kadresanan, segera kibarkan kain ini. Ini menjadi tanda kalau Ki Jayawinata berani memukul Cina dari belakang. Kalau tidak berani agar menyingkir saja.”

Utusan pun kembali ke Kadresanan. Hohendorff lalu melaporkan dua perkara kepada Sang Raja. Yang pertama perihal kedatangan utusan Jayawinata dan kesepakatan yang telah dia buat. Yang kedua, meminta izin untuk menyerang Randhulawang setelah grebeg Maulud. Hohendorff merencanakan setelah berhasil memukul Randhulawang akan terus menyerang ke Mataram.”

Sang Raja berkata, “Benar itu rencanamu, Kapten. Dan mengenai Jayawinata semoga yang dia katakan benar. Andai pun meleset aku yakin engkau tidak takut kepada Jayawinata. Mengenai waktu keberangkatan apakah si Pringgalaya sudah engkau beri tahu?”

Kapten berkata, “Kalau paduka izinkan sekarang juga saya panggil ke mari si Pringgalaya.”

Sang Raja pun memerintahkan Pringgalaya dipanggil sekarang juga. Tak lama kemudian yang dipanggil sudah menghadap. Sang Raja kemudian memberi perintah sesuai usulan Kapten Hohendorff. Pringgalaya menyatakan kesiapan.

Berkata Pringglaya, “Baik paduka, semua abdi paduka segera saya perintahkan untuk bersiap. Kemarin sudah saya tanya kesiapan para mantri. Mereka katakan sanggup berangkat meski harus memikul barang bawaannya sendiri. Mereka hanya ingin segera berangkat. Adapun si Endranata juga sudah diperintahkan untuk menyediakan tukang pikul.”

Sang Raja sudah menerima rencana kedua punggawanya itu. Keduanya lalu diperintahkan segera melaksanakan. Kedua punggawa menyembah dan keluar dari istana.

Pada bulan Maulud tanggal dua belas, pagi hari Sang Raja telah keluar istana untuk melaksanakan acara grebeg Maulud. Sang Raja bertahta di Sitinggil, di hadapan para punggawa lengkap yang berjajar-jajar. Segenap serdadu Kumpeni turut hadir. Para prajurit berbaris di alun-alun dengan menggelar senjata lengkap. Meriam pun disiagakan. Tidak lama kemudian gunungan telah keluar dari puri. Pasukan Kumpeni menandai keluarnya gunungan dengan tembakan senapan. Meriam kemudian dibunyikan satu kali. Setelah tembakan lagi sebanyak tiga kali, meriam berdentum sebanyak tujuh belas kali. Pasukan Jawa menyambung dengan berondongan senapan. Setelah itu Sang Raja turun dari Sitinggil dan menggelar pertunjukan tayub di bangsal Pangapit. Para opsir pun bersuka-suka sampai mabuk. Ketika mabuk bicaranya mengumbar kesanggupan. Ada yang ingin segera berperang melawan pasukan Cina. Ada yang mengatakan tak takut perang. Dan banyak lagi yang dikatakan orang mabuk.

Sang Raja sangat gembira karena melihat para abdi menikmati pertunjukkan. Juga terlihat mereka menyatakan kesanggupannya masing-masing. Sang Raja kemudian memberi perintah kepada Arya Pringgalaya untuk segera menyiapkan pasukan.

Berkata Sang Raja, “Engkau umumkan kepada para pasukan bahwa kita akan berangkat hari Selasa.”

Pringgalaya segera mengumumkan kepada para wadana dan mantri serta para kaliwon bahwa hari Selasa akan berangkat memukul Randhulawang. Segenap para mantri menyatakan siap. Sang Raja lalu masuk ke puri. Acara pertunjukkan dan grebeg Maulud selesai. Para opsir kembali ke Loji. Para punggawa pulang ke rumah masing-masing.

Sementara itu di Randhulawang, seorang prajurit sandi datang mengabarkan bahwa pasukan Kumpeni dan Kartasura akan segera menyerang.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/01/22/babad-tanah-jawi-182-raja-ternate-diajukan-ke-medan-perang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...