Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (20): Jaka Tingkir berperang melawan buaya

 Alkisah, setelah negeri Majapahit takluk oleh Demak, anak cucu Prabu Brawijaya tercerai berai ke beberapa tempat. Ada seorang bernama Raden Jambalika yang kemudian mengungsi ke puncak Dumilah, di gunung Lawu. Raden Jambalika masih memegang teguh keyakinan agama Budha, tetapi kemudian di akhir hayat juga memeluk agama Islam. Raden Jambalika mempunyai seorang anak bernama Mas Manca, seorang pemuda tampan yang gemar bertapa. Ki Mas Manca ini kemudian diambil anak oleh Ki Buyut Banyubiru, seorang pertapa yang tajam penglihatan batinnya.

Ki Buyut sangat menyayangi Mas Manca dan berharap sebagai keturunan raja Majapahit kelak dapat kembali hidup mulia sebagai penguasa tanah Jawa. Namun, mata batin Ki Buyut yang awas melihat bahwa Mas Manca kelak hanya akan mendampingi penguasa tanah Jawa. Walau demikian Ki Buyut masih bersyukur. Syukur-syukur kelak Mas Manca bisa menjadi patih atau setidak-tidaknya tidak hanya mewarisi kedudukannya sebagai kepala dukuh.

Ki Buyut berkata kepada Mas Manca, “Anakku, bakal rajamu tinggal dua hari lagi datang ke sini. Setelah tiga bulan di sini, waktu baginya untuk menjadi raja ibarat tinggal separuh biji kentang. Aku akan membantu mempercepat dia menjadi raja. Kelak dia akan berkedudukan di kota Pajang. Anakku, kelak engkau yang akan mendampinginya. Rajamu kelak raja yang perwira dan ditakuti lawan. Dia itu keturunan dari Handayaningrat Pengging. Masih saudara denganmu, hanya dia menurut silsilah jatuh lebih tua. Namanya Mas Karebet dari Tingkir.”

Sang putra menerima pesan dari Ki Buyut dan bersiap sedia melaksanakan. Tak lama kemudian Ki Jaka Tingkir datang di dukuh Banyubiru. Oleh Ki Buyut disambut dengan hangat dan dipersaudarakan dengan Mas Manca. Genap tiga bulan di Banyubiru Ki Buyut memberi petunjuk kepada Mas Karebet.

Berkata Ki Buyut, “Duh anakku, sudah saatnya anugerah ini jatuh kepadamu. Perlihatkan dirimu kepada ayahmu Sultan Demak yang sedang bercengkerama di pesanggrahan Prawata. Kelak ketika pulang ke keraton dia akan membawamu serta. Aku berikan syarat untuk mempercepat engkau kembali ke keraton Denak. Ini ada sebongkah tanah dariku. Masukkan ke mulut seekor kerbau yang besar. Si kerbau akan mengamuk tanpa lawan. Tidak ada satupun punggawa yang dapat mengatasi amukan si kerbau. Para prajurit banyak yang terluka olehnya. Itulah awal mula engkau akan dipanggil kembali oleh Sultan Demak. Mas Manca, engkau sertailah perjalanan Mas Karebet. Jangan sekali-kali berpisah dengannya.”

Kedua putra menghaturkan sembah dan bersiap berangkat. Ki Buyut membuat rakit agar Mas Karebet dapat cepat menempuh perjalanan melalu bengawan Solo. Selain menyuruh Mas Manca ikut, Ki Buyut juga menyertakan sang keponakan bernama Mas Wila dan Ki Wuragil, anak dari Ki Majasta saudara muda Ki Buyut. Keempat orang tersebut diberi pesan agar selalu bersama-sama ke manapun mereka pergi.

Setelah bersiap mereka berempat naik ke rakit di sungai Dengkeng, anak sungai bengawan Solo. Ki Jaka Wila dan Ki Wuragil bertugas memegang galah untuk mengarahkan laju rakit. Sesampai di Picis mereka telah masuk ke bengawan Solo. Perjalanan mereka menyusuri sungai lancar tanpa halangan sampai di sebuah tempat yang bernama Kedhung Srengenge. Waktu itu pukul empat sore, hujan turun rintik-rintik.

Di Kedhung Srengenge bersarang ratu buaya putih bernama Ki Bahureksa. Bahureksa mempunyai pembantu bernama Jalumampang. Melihat ada rakit datang dengan empat penumpang buaya Jalumampang mengerahkan pasukan buaya. Dua ratus buaya berbaris menghadang perjalanan Ki Jaka Tingkir. Tak lama kemudian pecah pertempuran antara empat orang itu melawan ratusan buaya. Mas Manca kokoh perkasa melawan serangan para buaya. Kemampuannya setara dengan Mas Karebet. Kedua ksatria dari Butuh mengamuk. Pasukan buaya diobrak-abrik. Mas Karebet menceburkan diri ke dalam air. Ratu buaya Ki Bahureksa berhasil ditaklukkan. Mas Manca yang melawan Jalumampang di darat berhasil menyabetkan patih buaya itu ke pohon. Sebanyak tujuh puluh buaya mati di tempat. Pasukan buaya menyerah kalah. Sebagai tanda penyerahan mereka berjanji akan menyerahkan satu buaya setiap tahun. Ki Bahureksa lalu menyertakan empat puluh buaya untuk mendorong rakit Ki Jaka Tingkir. Ki Wila dan Ki Wuragil tak perlu memegang galah lagi. Mereka meneruskan perjalanan sampai di Butuh. Karena sangat kecapaian sehabis perang melawan buaya mereka tertidur. Dalam tidur itu ada seberkas cahaya mendarat ke tubuh Jaka Tingkir. Itu adalah anugerah atau wahyu raja yang telah berpindah ke diri Jaka Tingkir. Berkas cahaya itu dilihat oleh Ki Ageng Butuh yang segera melacak tempat jatuhnya. Di tempat cahaya jatuh Ki Ageng Butuh melihat sang keponakan Jaka Tingkir sedang tertidur. Ki Ageng Butuh segera membangunkan Jaka Tingkir dan membawanya pulang. Oleh Ki Ageng Butuh Jaka Tingkir diberitahu bahwa wahyu raja telah berpindah kepadanya. Akan tetapi tetaplah bersahaja dan hidup dengan bermartabat. Jangan berbuat rusuh dengan nggege mangsa. Misalnya dengan mempercepat kematian Sultan Trenggana. Bagaimanapun Sultan sangat menyayangi Jaka Tingkir seperti anak sendiri. Kelak kalau Sultan wafat pasti kedudukan raja akan dia warisi. Jaka Tingkir diminta untuk bersabar menunggu takdirnya sambil terus berdoa kepada Allah.

Setelah selesai memberi pesan Ki Ageng Butuh menyuruh Jaka Tingkir segera meneruskan perjalanan. Tak lama kemudian sudah sampai di tempat yang dituju. Buaya pendorong rakit disuruh kembali ke Kedhung Srengenge. Jaka Tingkir dan kawan-kawan mendarat di desa Bulu.

Berkata Ki Jaka Tingkir kepada para buaya, “Pulanglah kalian ke Kedhung Srengenge. Aku dan teman-temanku akan meneruskan perjalanan melalui darat.”

Para buaya patuh dan segera berenang menuju arah hulu sungai, ke tempat sarang mereka di Kedhung Srengenge. Ki Jaka Tingkir kemudian melanjutkan perjalanan melalui Majenang di Grobogan dan semakin dekat dengan pesanggrahan Sang Raja di gunung Prawata.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/19/babad-tanah-jawi-20-jaka-tingkir-berperang-melawan-buaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...