Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (24): Riwayat Ki Ageng Sela sekeluarga

 Kembali ke cerita Ki Ageng Sela. Dahulu pernah disinggung kalau Ki Ageng Sela mempunyai enam adik perempuan. Semua adik perempuan Ki Ageng sudah menikah dan membangun rumah tangga di tempat masing-masing. Ki Ageng Sela meneruskan tradisi leluhurnya sebagai pengayom warga desa Sela dan menjadi guru bagi mereka. Pekerjaan para warga desa Sela bertani dan berkebun. Mereka semua hidup dari bercocok tanam.

Pada suatu sore setelah waktu ashar Ki Ageng pergi ke sawah. Saat itu sedang turun hujan rintik-rintik. Ki Ageng hanya berjalan sendirian tanpa teman. Sesampai di sawah Ki Ageng mencangkul. Baru tiga kali mengayun cangkul mendadak datang petir yang berupa seorang kakek-kakek. Oleh Ki Ageng si petir ditangkap dan kemudian terdengar suara menggelegar. Ki Ageng tak melepaskan si petir bahkan kemudian si kakek-kakek diikat. Niatnya hendak dihaturkan kepada Sultan Demak yang ketika itu masih berkuasa sebagai raja di tanah Jawa.

Ki Ageng segera berangkat ke kota Demak dengan membawa si petir. Singkat cerita si petir sudah dihaturkan kepada Sultan Demak. Sultan Trenggana sangat gembira melihat si petir yang berupa kakek-kakek. Oleh Sultan si petir diperintahkan untuk dikurung dalam kerangkeng dan dipertontonkan kepada orang banyak. Kepada yang hadir diumumkan agar jangan memberi air kepada si kakek petir.

Banyak orang kemudian hadir untuk menonton si petir. Sambil menonton mereka memuji keberanian Ki Ageng Sela yang sakti. Di antara kerumunan orang yang menonton rupaya ada petir perempuan yang menyamar sebagai nenek-nenek. Si petir perempuan tadi kemudian memercikkan air dari guci yang ia sembunyikan. Setelah mendapat percikan air si kakek-kakek melesat ke angkasa dengan meninggalkan suara menggelegar. Mereka berdua kembali ke tempat asalnya. Ki Ageng Sela pun kemudian pulang kembali ke desa.

Ada kisah lain dari Ki Ageng Sela yang kali ini tidak terpuji. Kegemaran Ki Ageng Sela adalah menggelar pertunjukan wayang kulit. Ada seorang dalang yang mempunyai istri sangat cantik. Dalang itu langganan Sultan Demak yang sedang mengamen ke wilayah Sela. Orang-orang yang melihat kecantikan istri sang dalang heboh membicarakannya. Berita itu pun sampai ke telinga Ki Ageng Sela. Ki Ageng rupaya kepincut kepada istri sang dalang dan berniat hendak merebutnya. Dia kemudian menyuruh beberapa orang Sela untuk membunuh si dalang. Sudah terlaksana si dalang tewas dikeroyok orang Sela. Istri dan gamelannya kemudian diambil dan diserahkan kepada Ki Ageng Sela. Di antara barang rampasan Ki Ageng melihat ada sebuah kempul yang menarik hatinya. Kempul diambil dan diberi nama Kyai Bicak. Karena sangat takjub dengan kempul itu Ki Ageng sampai melupakan niat semula hendak mengambil istri si dalang. Ki Ageng kemudian hanya mengambil kempul itu saja dan dibuat menjadi bende. Kelak ketika Sunan Kalijaga datang dan melihat bende itu, Kangjeng Sunan memberi wasiat bahwa bende itu kelak menjadi pusaka bagi para raja di tanah Jawa. Kalau bende itu dipukul berbunyi nyaring, maka akan menang perang.

Selain kisah tersebut ada lagi kisah Ki Ageng Sela yang menjadi legenda. Suatu ketika Ki Ageng sedang menanam buah labu. Saat itu Ki Ageng sedang mengendong salah satu putranya. Ki Ageng mengenakan kain cindhe tetapi tidak memakai ikat pinggang. Ketika sedang asyik menggendong anak tiba-tiba terdengar suara heboh. Ada orang yang mengamuk. Ki Ageng bermaksud mengamankan putranya ke rumah, tetapi orang yang mengamuk keburu datang. Segera Ki Ageng meletakkan si anak dan menghadapi orang itu. Namun karena tergesa-gesa Ki Ageng terserimpet pohon labu yang menjalar. Ki Ageng jatuh terjerembab dan terlepas kainnya. Dengan menahan malu segera Ki Ageng bangun dan membetulkan pakaiannya. Orang yang mengamuk berkali-kali menusuk Ki Ageng, tetapi tak satupun meninggalkan gurat luka. Ki Ageng membalas dan seketika orang tadi tewas di tempat.

Ki Ageng lalu menjatuhkan larangan: “Siapapun kelak anak keturunanku jangan ada yang menanam buah labu. Dan jangan sekali-kali memakannya. Juga anak keturunanku kelak jangan ada yang memakai kain cindhe.”

Ki Ageng Sela mempunyai tujuh anak. Enam anaknya adalah perempuan. Hanya putra bungsu yang terlahir laki-laki. Ketujuh anak Ki Ageng Sela telah berumah tangga dan tinggal di pedukuhan masing-masing. Ketujuh putra itu adalah: Yang pertama Nyai Ageng Lurah Tengah, yang kedua Nyai Ageng Saba, yang ketiga Nyai Ageng Bangsri, keempat Nyai Ageng Jati, kelima Nyai Ageng Patanen, keenam Nyai Ageng Pakisdangu dan yang bungsu laki-laki bernama Ki Ageng Enis.

Putra kedua, Nyai Ageng Saba mempunyai dua putra, laki-laki dan perempuan. Putra yang tua perempuan dan yang muda laki-laki bernama Ki Juru. Nyai Ageng Saba bermaksud berbesan dengan saudara sendiri. Ada anak Ki Ageng Enis yang lahir laki-laki, namanya Ki Pamanahan. Ki Pamanahan kemudian diambil menantu Nyai Ageng Saba. Jadi Ki Pamanahan kemudian menjadi kakak ipar dari Ki Juru.

Kembali ke cerita lama, adik Ki Ageng Getas Pandawa yang bernama Nyai Ageng Ngerang mempunyai putra seorang laki-laki yang tampan, namanya Ki Ageng Pathi. Ki Ageng Pathi ini menpunyai anak bernama Ki Panjawi. Ki Panjawi ini kemudian diambil anak oleh Ki Ageng Enis. Jadi Ki Panjawi sebenarnya adalah saudara satu canggah dengan Ki Pamanahan, kemudian menjadi saudara angkat. Dari sinilah kemudian terjalin persaudaraan yang amat kental antara tiga orang; Ki Pamanahan, Ki Juru dan Ki Panjawi. Apalagi setelah Ki Ageng Enis berpesan agar ketiganya jangan sampai berpisah. Tiga orang tadi kemudian belajar agama kepada Kangjeng Susuhunan Kalijaga. Ketika Mas Karebet berguru kepada Ki Ageng Sela, ketiganya juga dipersaudarakan dengan Karebet. Dari segi usia Karebet lebih muda dari ketiganya. Maka menjadi saudara muda. Maka ketika Mas Karebet menjadi adipati di Pajang Ki Ageng Enis sangat dihormati. Ketika Mas Karebet akhirnya menjadi raja di Pajang Ki Ageng Enis diangkat sebagai Panembahan dan diberi tempat di Lawiyan. Ketiga saudara Ki Pamanahan, Ki Juru dan Ki Panjawi kemudian mengabdi sebagai punggawa di Pajang. Mereka sangat dikasihi Sang Raja karena merupakan saudara seperguruan. Ketika Ki Ageng Enis wafat, Ki Ageng dimakamkan di Lawiyan.

Ki Ageng Pamanahan mempunyai banyak putra. Ada tujuh putra Ki Ageng ketika mengabdi di Pajang. Putra tertua bernama Raden Jambu, putra kedua bernama Raden Bagus, putra ketiga bernama Raden Santri, putra keempat bernama Raden Tompe, sedang putra kelima bernama Raden Kadhawung. Dua orang putra Ki Pamanahan lainnya lahir perempuan, dan ketika itu masih muda.

Karena sampai saat itu Adipati Pajang Mas Karebet belum mempunyai putra maka putra kedua Ki Pamanahan yang bernama Raden Bagus diambil sebagai putra angkat.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/23/babad-tanah-jawi-24-riwayat-ki-ageng-sela-sekeluarga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...