Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (26): Adipati Pajang menghadap Sunan Kudus

 Kangjeng Sunan Kudus sedang dihadapan para murid-muridnya. Adipati Jipang berada di depan. Mereka sedang membicarakan yang baru saja tewas, Pangeran Prawata dan Pangeran Kalinyamat.

Sunan Kudus berkata, “Hai anakku Arya Jipang, aku tanya padamu. Sepeninggal kakakmu di Prawata dan Kalinyamat, aku rasa sekarang hatiku belum merasa tenang kalau engkau belum menjadi raja. Tetapi kalau engkau menjadi raja sekarang, aku merasa engkau akan menemui kerepotan. Masih ada yang akan menghalangi jalanmu, yakni Adipati Pajang yang juga punya keinginan yang sama denganmu. Kalau kalian sama-sama ngotot tak urung terjadi perang. Kasihan orang-orang kecil yang akan menjadi korban. Namun kalau Adipati Pajang masih hidup mustahil engkau lestari menjadi raja.”

Arya Jipang menghaturkan sembah, lalu berkata, “Bagaimana menurut guru, apakah Pajang perlu saya serang sekarang?”

Sunan Kudus berseru, “Jangan sampai seperti itu. Kalau sampai terjadi perang rusak negeri ini. Kalau bisa engkau lakukan dengan diam-diam. Suruhlah tukang pukul yang mumpuni untuk membunuh Adipati Pajang. Jangan sampai ada yang tahu.”

Arya Jipang segera melaksanakan perintah sang guru. Empat orang Kajineman sudah dipanggil untuk menjalankan tugas melakukan upaya sandi kepada Adipati Pajang. Keempat orang tersebut segera berangkat ke Pajang. Pada malam hari mereka hendak masuk ke dalam puri. Pagar bata yang tinggi dapat mereka atasi dengan ajian yang mereka miliki. Pagar bata diusap seketika merendah. Keempatnya segera masuk dalam puri.

Adipati Pajang saat itu sedang tertidur pulas dikelilingi para istri. Keempat orang yang masuk segera dapat menemukan posisi sang adipati. Tidak menunggu waktu keempatnya segera menikam Adipati Pajang. Ulah mereka membuat para istri sang adipati terbangun. Para wanita itu menjerit ketika melihat ada empat orang menikam suami mereka. Apalagi ketika mereka melihat sang adipati hanya diam ketika ditikam beramai-ramai oleh keempat pencuri itu. Mereka mengira sang adipati telah tewas.

Jerit para istri membuat Adipati Pajang terbangun. Para istri kaget karena ternyata Adipati Pajang tak sedikitpun tergores kulitnya. Adipati Pajang bertanya mengapa mereka menjerit dan menangis. Para istri mengatakan kalau mereka melihat empat pencuri sedang menikam sang adipati. Mereka mengira sang adipati sudah tewas karena terlihat hanya diam saja.

Berkata Adipati Pajang, “Kalau begitu si pencuri pasti masih berada di dalam rumah. Segera nyalakan pelita.”

Pelita segera dinyalakan. Tampak empat pencuri tadi masih berada di sekitar tempat tidur sang adipati dalam keadaan bergelimpangan. Mereka semua lumpuh tak dapat berdiri.

Adipati Pajang bertanya, “Hai maling, siapa yang menyuruhmu?”

Para Kajineman dari Jipang berkata, “Hamba disuruh kakak paduka Adipati Arya Jipang untuk membunuh paduka. Sekarang hamba tobat dan pasrah hidup mati kepada paduka tuanku. Asalkan kami semua diberi hidup.”

Adipati Jipang berkata, “Baiklah, aku maafkan kalian. Kembalilah kepada tuanmu dan katakan apa yang telah engkau lakukan.”

Keempat Kajineman segera diberi hadiah uang dan pakaian, lalu disuruh kembali ke Jipang.

Berkata Adipati Jipang, “Segeralah kalian pulang. Jangan sampai tepergok penjaga. Bisa mati dikeroyok.”

Keempat Kajineman segera pulang ke Kudus. Menjelang fajar mereka telah sampai. Mereka melaporkan hasil penugasan mereka yang gagal.

Mereka berkata, “Hamba sudah melaksanakan tugas ke Pajang. Namun Adipati Pajang sangat waspada. Semalaman kami intai, tak sedikitpun mereka lengah.Sekeliling pura dijaga sangat ketat sehingga kami tidak bisa menemukan celah untuk masuk. Maka kami lebih baik pulang karena kalau siang tidak akan mungkin melaksanakan rencana pembunuhan itu. Sebaiknya paduka tipudaya saja si Adipati Pajang itu. Kalau tidak demikian mustahil kita bisa membunuhnya.”

Mendengar laporan upaya sandi yang gagal tersebut Adipati Jipang merasa kerepotan. Sang adipati segera melapor kepada Sunan Kudus perihal kemustahilan melakukan pembunuhan kepada Adipati Pajang.

Berkata Adipati Jipang, “Guru, utusan saya sudah sampai di Pajang tetapi tidak dapat melaksanakan tugas. Pajang dijaga sangat ketat, mustahil untuk bisa masuk. Bagaimana seandainya kita melakukan tipudaya kepada Adipati Pajang. Paduka panggil dia dengan pura-pura berbincang tentang ilmu rahsa.”

Sunan Kudus berkata, “Baiklah aku turuti permintaanmu. Aku akan panggil dia ke sini.”

Sunan Kudus segera memanggil Pangalasan. Kepada Pangalasan Sunan Kudus berpesan, “Panggillah putraku Adipati Pajang agar segera datang ke Kudus. Katakan aku hendak mengajaknya berbincang tentang ilmu rasa.”

Pangalasan bergegas berangkat ke Pajang. Singkat cerita Pangalasan sudah berhasil bertemu dengan Adipati Jipang. Pada saat itu di Pajang sang adipati sedang menggelar pisowanan. Pangalasan menghadap disaksikan para punggawa Pajang yang hadir.

Berkata Pangalasan, “Tuan, kedatangan hamba ke sini diutus ayah paduka Kangjeng Sunan Kudus. Paduka diminta segera datang ke Kudus untuk berbincang tentang ilmu rasa.”

Adipati Pajang yang mendapat panggilan guru agung tergopoh-gopoh menyambut. Ingin segera berangkat memenuhi undangan tersebut. Namun Ki Pamanahan dan Ki Panjawi waspada.

Segera Ki Pamanahan mencolek sang adipati dan berbisik, “Tuan, saya merasa orang ini satu kehendak dengan maling yang datang tempo hari. Pasti membawa pesan yang tidak tulus atau hanya tipudaya saja. Kalau tuan nanti memenuhi undangan itu, harap tetap waspada. Ajaklah para mantri untuk berjaga-jaga beserta para prajurit. Semua ikut, jangan ada yang ketinggalan.”

Adipati Pajang sangat berterima kasih telah diingatkan oleh Ki Pamanahan. Segera para mantri diperintahkan untuk bersiap berangkat ke Kudus beserta pasukannya. Prajurit berkuda berangkat duluan. Prajurit darat menyusul belakangan sebagai cadangan jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Pada saat itu putra Ki Pamanahan yang diambil putra angkat Adipati Pajang telah dewasa dan sudah mampu memegang tombak. Oleh Sang Adipati sang putra diajak serta sebagai lurah panakawan, namanya pun telah diganti dengan sebutan Ngabei Loring Pasar dan dianggap sebagai putra sulung Adipati Pajang.

Perjalanan rombongan Adipati Pajang sudah sampai di Kudus. Duta sudah memberitahukan kepada Kangjeng Sunan bahwa Adipati Pajang akan segera tiba.

Sunan Kudus berkata, “Baiklah, panggillah anakku Adipati Jipang untuk menyambut kedatangan Adipati Pajang. Katakan aku akan keluar setelah kedua putraku lengkap menghadap.”

Adipati Jipang segera diberi tahu agar cepat datang ke padepokan Sunan Kudus. Sementara itu Adipati Jipang telah lama menunggu di luar, tetapi tak segera dipersilakan masuk. Ketika utusan datang Ki Adipati dipersilakan masuk tetapi hanya ditemui Adipati Jipang. Kalau kedua murid Sang Sunan sudah lengkap baru Sunan Kudus akan menemui mereka.

Adipati Pajang segera masuk sambil tetap waspada. Ki Pamanahan dan Ki Panjawi selalu mendampingi. Ketika sudah masuk ke bangsal padepokan kedua adipati duduk berhadapan. Keduanya saling terdiam tak bertegur sapa sampai beberapa saat.

Setelah beberapa saat Adipati Jipang membuka percakapan, “Kita sudah lama tidak bertemu Dinda. Sekarang Dinda memakai keris yang mana?”

Adipati Pajang berkata, “Keris saya yang lama, Kyai Carubuk.”

Adipati Jipang berpikir kalau terkena keris itu pasti sekali tikam saja langsung mati.

Adipati Jipang berkata, “Boleh saya lihat Dinda?”

Keris dihunus oleh Adipati Pajang dan diserahkan kepada Adipati Jipang. Ki Pamanahan waspada barangkali Adipati Jipang akan menikam Adipati Pajang dengan kerisnya sendiri, maka dia segera mencolek tuannya. Adipati Pajang tanggap, kemudian menghunus keris satunya lagi. Kedua pembesar itu kini sama-sama menghunus keris telanjang.

“Ini keris saya yang lebih bagus, Kanda,” kata Adipati Pajang.

Adipati Jipang berkata, “Ini juga sama-sama bagus Dinda.”

Adipati Pajang berkata lagi, “Walau sama-sama bagus yang ini lebih ampuh.”

Belum sempat terjadi apapun tiba-tiba Sunan Kudus keluar. Ketika mendapati kedua muridnya sedang menghunus keris Sunan Kudus berseru.

“Kalian mau apa kok sama-sama memegang keris. Apa kalian mau belantik keris atau mau tukar tambah? Ayo sarungkan keris kalian,” kata Sunan Kudus.

Keris Kyai Carubuk dikembalikan oleh Adipati Jipang kepada Adipati Pajang.

Sambil menyerahkan keris Adipati Jipang berkata, “Wah, tampaknya belum saatnya membuat janda baru.”

Adipati Pajang tak mau kalah, menukas, “Saya pun gagal memberi makan gagak.”

Sunan Kudus berkata, “Sudahlah, jangan diperpanjang. Sekarang kalian kembali dulu ke pesanggrahan kalian masing-masing. Karena belum lengkap hadir para bupati muridku. Nanti kalau sudah lengkap kalian aku panggil kembali.”

Kedua adipati menghaturkan sembah lalu undur diri ke tempat pemondokan masing-masing. Adipati Jipang mendahului lengser, Adipati Pajang mengikuti di belakang. Dari padepokan Sunan Kudus Adipati Pajang menuju ke tempat pemondokan yang berada di tepi sungai. Di saat yang sama prajurit darat yang berjalan kaki dari Pajang sudah sampai. Pasukan dari Pajang lalu ditempatkan di seberang barat sungai Bengawan Sore. Adapun pasukan Ki Arya Jipang berada di seberang timur sungai Bengawan Sore.

Pada malam harinya Adipati Pajang berbincang dengan Ki Pamanahan.

Ki Pamanahan berkata, “Saya beritahukan, kakak paduka Ratu Mas Kalinyamat sepeninggal suami dan kakak paduka Sunan Prawata hatinya sangat bersedih. Sekarang tidak mau pulang ke Demak dan bertapa di gunung Danaraja. Dia bersumpah takkan memakai kain sebelum Arya Jipang mati. Saran saya paduka kunjungi kakak paduka. Syukur bila bisa dinasehati agar mengurungkan bertapanya.”

Adipati Pajang menuruti saran Ki Pamanahan. Sang Adipati didampingi oleh Ki Pamanahan dan Ki Panjawi. Mas Ngabei Loring Pasar juga ikut serta. Malam itu juga mereka berempat berangkat ke gunung Danaraja. Perjalanan mereka dilakukan diam-diam. Sesampai di gunung Danaraja mereka memanggil seorang pembantu yang berjaga di tempat pertapaan Ratu Mas Kalinyamat. Adipati Pajang menyatakan ingin menengok sang kakak. Si pembantu kemudian melapor ke dalam.

Si pembantu berkata, “Kangjeng Ratu, adik paduka Adipati Pajang datang hendak menengok paduka.”

Berkata Ratu Mas Kalinyamat, “Katakan kepada Dinda Adipati, aku sedang bertapa. Tidak bisa aku menemui langsung. Kalau ingin bicara aku akan menemuinya di balik kerobong.”

Si pembantu lalu berkata kepada Adipati Pajang, “Kakak paduka tidak bisa menemui secara langsung. Hanya bersedia bicara di balik kerobong.”

Berkata Adipati Pajang, “Aku tahu Kanda Kalinyamat sedang prihatin. Aku datang karena hendak menyampaikan sesuatu.”

Keempatnya lalu dibawa masuk ke sebuah ruangan. Si pelayan kemudian melapor kalau sang adik sudah datang. Dari balik tabir Mas Kalinyamat mengucapkan selamat datang.

“Dinda datang ke sini ada perlu apa?”

Adipati Pajang berkata, “Kanda, saya bersegera datang ke sini karena mendengar kabar bahwa Anda sangat bersedih sehingga meninggalkan negeri dan tak mau mengenakan kain. Maka, bila berkenan saya sarankan paduka jangan berlarut dalam kesedihan. Orang hidup pasti akan menemui mati, itu sudah kehendak Tuhan. Mati karena terluka seperti suami Anda, sungguh akan mendapat surga. Mencari kematian yang seperti apa lagi?”

Ratu Mas Kalinyamat berkata, “Terima kasih Dinda engkau mengingatkan. Namun aku tak mau memakai kain kalau kematian kakakmu belum terbalaskan. Itu sudah takdirku. Syukur Dinda mau datang ke sini. Aku ini seorang perempuan, kepada siapa lagi hendak minta tolong selain kepadamu. Sekarang aku katakan padamu Dinda, kalau engkau mau membunuh Arya Jipang seisi Kalinyamat akan aku serahkan. Aku minta Dinda bersedia membunuh Arya Jipang untukku. Siapa lagi yang aku tangisi, aku tak punya saudara laki-laki lagi. Hanya dirimu harapanku satu-satunya.”

Adipati Pajang berkata, “Saya tak berani karena Kanda Arya Jipang sakti dan perkasa.”

Ratu Mas Kalinyamat berkata, “Tanpa guna aku mempunyai saudara  kalau tak bisa aku tangisi. Kedatanganmu ke sini sungguh tiada guna.”

Ki Pamanahan berbisik kepada Adipati Pajang, “Saran saya, mintalah berpikir semalam saja. Besok barulah memberi jawaban.”

Adipati Pajang menuruti saran Ki Pamanahan, lalu berkata, “Kanda, saya pikir dulu semalam nanti. Besok pagi saya kembali kalau sudah mempunyai jawaban. Kanda sekarang saya minta pamit dulu ke pemondokan.”

Ratu Mas Kalinyamat berkata, “Baiklah Dinda, besok kembalilah ke sini.”

Adipati Pajang kembali ke pemondokan. Ki Pamanahan tak ikut kembali. Dia masih ingin menasihati Ratu Mas Kalinyamat agar mengurungkan pertapaannya. Ketika Adipati Pajang sudah pulang Ki Pamanahan kembali ke tempat Ratu Mas Kalinyamat.

Si pengasuh kembali melapor kepada sang ratu, “Tuan, adik paduka dari Sela hendak menghadap kembali.”

Ratu Mas berkata, “Aduh adikku, ada apa lagi engkau ke sini.”

Ki Pamanahan berkata pelan, “Hamba hendak memberi saran kepada paduka Kangjeng Ratu. Adik paduka sang adipati itu kegemarannya kepada perempuan cantik. Walau semisal sedikit takut kalau melihat orang cantik akan bangkit keberaniannya. Saya dulu melihat ada seorang wanita cantik peninggalan suami paduka. Dia besok paduka rias dan tempatkan di sisi kerobong paduka ketika adik paduka kembali lagi. Itu saran saya. Adik paduka pasti keluar kesanggupannya.”

Ratu Mas Kalinyamat berkata, “Baiklah, saya coba saranmu itu.”

Ki Pamanahan lalu lengser dari tempat pertapaan Ratu Mas Kalinyamat dan kembali ke pemondokannya. Pagi harinya Adipati Pajang sudah bangun. Ki Pamanahan segera datang menghadap bersama Ki Panjawi.

Adipati Pajang berkata, “Aku tanya padamu Kanda, bagaimana saranmu sekarang mengenai Kanda Ratu Kalinyamat ini. Karena sangat mendesak permintaannya kepadaku agar membunuh Arya Jipang. Aku sebenarnya enggan.”

Ki Pamanahan, “Saran saya sebaiknya dituruti saja permintaan Kakak paduka. Karena tidak ada saudara lain yang sanggup menolong selain paduka. Apakah paduka kurang pasukan yang berani melawan Arya Jipang?”

Adipati Pajang lega mendengar saran Ki Pamanahan.

Berkata Adipati Jipang, “Nanti malam kita kembali lagi. Supaya jangan menjadi kekhawatiran. Supaya Kanda Kalinyamat berhenti tangisnya.”

Malam harinya Adipati Pajang berangkat kembali ke puncak Danaraja. Kali ini disertai empat puluh prajurit. Ki Pamanahan tak boleh jauh dan harus selalu mendampingi. Setelah mereka sampai di gunung dan dipersilakan masuk Adipati segera menghadap Ratu Mas Kalinyamat. Ketika masuk ke dalam ruangan tempat Ratu Kalinyamat Adipati Pajang kaget karena melihat dua orang wanita cantik yang duduk di kiri kerobong. Wanita itu konon bukan istri dari Sunan Prawata dulu, tetapi istri seorang prajurit Kajineman. Suami si wanita masih hidup. Adipati Panjang kepincut melihatnya dan hatinya tergoda.

Adipati Pajang menengok kepada Ki Pamanahan dan berkata, “Kanda, itu istri siapa? Mengapa cantik jelita. Mengapa baru kali ini aku melihatnya?”

Ki Pamanahan berkata, “Kalau perkiraan saya itu istri peninggalan almarhum Sunan Prawata.”

Adipati Pajang berkata, “Bagaimana kalau saya minta, apakah kira-kira Kanda Kalinyamat akan memberikan?”

Ki Pamanahan berkata, “Dulu kakak paduka pernah berjanji akan memberikan seisi Kalinyamat kalau paduka sanggup membunuh Arya Jipang. Kalau hanya wanita itu pasti juga akan diberikan. Bahkan selain itu juga takkan keberatan.”

Ratu Mas Kalinyamat menyapa pelan, “Dinda engkau sudah datang. Apakah permintaanku akan Dinda turuti?”

Adipati Jipang berkata, “Benar Kanda. Jangan khawatir. Tenangkan hati Kakanda, saya yang akan membunuh Adipati Jipang. Tapi bila nanti berhasil dua wanita cantik ini saya minta.”

Ratu Mas Kalinyamat berkata, “Duh adikku, aku tak berjanji. Tapi kalau hanya dua atau lebih atau barang berharga yang lain yang aku punya akan aku serahkan kepadamu.”

Dua wanita cantik tadi kemudian disuruh maju ke depan. Keduanya hanya menunduk sambil sesekali melirik. Hati Adipati Pajang semakin gonjang-ganjing. Namun keinginannya disabarkan dulu karena syarat memilikinya belum terlaksana.

Adipati Pajang berkata, “Kanda, saya pulang dulu untuk bersiap. Saya mohon restu paduka agar dapat segera membalaskan kematian Kanda Pangeran Prawata dan Kanda Pangeran Kalinyamat. Saya tak takut berhadapan dengan Arya Jipang. Syukur kalau bisa bertarung satu lawan satu. Sungguh segala polahnya akan saya turuti.”

Ratu Mas Kalinyamat tersenyum dalam hati. Benar kata Dinda Pamanahan. Siapa lagi yang bisa aku minta tolong selain engkau Dinda Adipati.

Adipati Pajang segera lengser dari hadapan Ratu Mas Kalinyamat. Dua wanita tadi sudah dibawa serta. Sesampai di pemondokan semua punggawa Pajang dipanggil.

Berkata Adipati Pajang, “Wahai semua mantriku, siapa yang sanggup menghadapi Adipati Jipang. Siapapun yang berhasil menewaskannya akan aku beri hadiah yang besar, yakni negeri Pathi dan desa di Mataram.”

Para mantri tak ada yang sanggup. Semua tak berani melawan Adipati Jipang yang terkenal perkasa.

Adipati Pajang berkata, “Katakan kepada semua prajurit, barangsiapa bisa membunuh Adipati Pajang sudah pasti hadiahnya negeri.”

Pertemuan hari itu bubar dan belum mendapatkan titik terang.

Di lain tempat suami dari dua orang wanita yang diambil Adipati Pajang merasa tidak terima istrinya dirampas begitu saja. Dia lalu mendatangi teman-temannya dan mengajak menuntut balas. Tiga temannya menyambut ajakannya dan mereka merencanakan hendak membunuh Adipati Pajang nanti malam. Mereka telah bersumpah untuk mati bersama-sama, seperti telur satu sarang.

Malam hari empat prajurit Kajineman masuk ke pondokan Adipati Pajang. Segera mereka menemukan tempat sang adipati tidur. Seperti biasa Adipati Pajang kalau tidur selalu dikelilingi para istrinya. Tanpa ragu keempat prajurit Kajineman bersama-sama menikam Adipati Pajang. Yang sedang tidur tidak merasakan apapun. Tikaman keris laksana lalat hinggap saja, tak meninggalkan lecet sedikitpun. Namun suara gedebuk yang mereka timbulkan membuat para istri sang adipati terbangun. Melihat suami mereka beramai-ramai ditusuk mereka menjerit.

Adipati Pajang kaget dan terbangun. Sang Adipati mendapati para istri tengah memengangi kakinya. Juga terlihat empat orang tergeletak tak mampu bangkit. Adipati Pajang kemudian menanyai keempat orang itu. Setelah jelas duduk perkaranya mereka semua diampuni. Kepada mereka diberi hadiah dan disuruh segera pergi. Keempat prajurit Kajineman sangat gembira karena tak menyangka masih hidup setelah semua yang dilakukannya. Si Kajineman yang punya istri cantik pun telah rela istrinya diambil oleh Adipati Pajang.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/25/babad-tanah-jawi-26-adipati-pajang-menghadap-sunan-kudus/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...