Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (27): Arya Jipang tewas karena siasat Ki Pamanahan dan Ki Panjawi

 Alkisah, Ki Pamanahan sedang berbincang dengan saudaranya dari Sela, Ki Panjawi dan Ki Juru. Sang putra Raden Ngabei juga turut mendengarkan. Ketika itu Ki Juru bertanya perihal sayembara Adipati Pajang untuk membunuh Arya Jipang.

Ki Pamanahan berkata, “Tadi sang adipati mengumumkan sayembara bagi siapa yang bisa membunuh Arya Jipang akan diberi hadiah tanah Mataram dan negeri Pathi. Tapi sampai sekarang belum ada yang sanggup.”

Ki Juru berkata, “Kalau begitu, Anda sanggupi saja. Hadiah yang akan diterima begitu besar, bumi Pathi dan Mataram. Sayang kalau kedua wilayah itu lepas ke orang lain.”

Ki Pamanahan berkata, “Saudara ipar, gampang saja kalau hanya menerima hadiah. Tapi siapa yang berani melawan Adipati Jipang?”

Ki Juru berkata, “Saya tahu dia perwira yang tangguh dan sakti. Tapi wataknya keras dan mudah marah. Serta keberaniannya berlebihan. Orang seperti itu kalau ditantang pasti tidak akan berpikir panjang langsung maju. Nah, kelak saya bantu untuk mengatur siasat melawannya. Kalau bisa pisahkan dia dari pasukannya. Kalau sudah terpencil lalu dikeroyok. Pasti lama-lama akan kecapaian dan gampang dibunuh. Nah, kalau Anda sudah siap besok, segera mengajukan diri kepada sang Adipati.”

Malam itu tiga bersaudara dari Sela sepakat hendak mengajukan diri mengikuti sayembara. Keesokan hari mereka menghadap kepada Adipati Pajang. Ki Pamanahan berada di depan, Ki Juru dan Panjawi mendampingi di belakang. Ngabei Loring Pasar juga ikut serta. Saat itu sang Adipati sedang duduk di hadapan para mantri negeri Pajang. Semua tertunduk mendengarkan apa yang akan dikatakan Ki Pamanahan.

Berkata Ki Pamanahan, “Saya sekeluarga ingin mengikuti sayembara melawan Adipati Jipang. Paduka nanti saya minta mendampingi dari belakang. Kalau melihat paduka pasti Arya Jipang bersemangat untuk perang.”

Adipati Pajang sangat gembira mendengar kesediaan Ki Pamanahan.

Berkata Sang Adipati, “Engkau sendiri yang maju Kanda. Kebetulan sekali kalau tanah Mataram bukan orang lain yang akan memiliki. Lalu bagaimana Kanda akan mensiasati Adipati Jipang yang perkasa itu?”

Ki Pamanahan berkata, “Besok pagi saya mohon prajurit Pajang semua bersiaga, tapi jangan keluar arena dulu. Saya yang akan maju duluan.”

Adipati Pajang sangat bersukacita. Segera diperintahkan agar seluruh prajurit Pajang bersiaga dengan senjata lengkap. Malam menjelang, Ki Pamanahan, Ki Juru dan Ki Panjawi malam itu mengatur siasat yang akan diterapkan esok pagi.

Berkata Ki Juru, “Besok kita datangi tukang kuda Arya Jipang. Kita tangkap dan kita potong telinganya. Lalu kita sertakan surat agar diberikan kepada Arya Jipang. Si tukang kuda pasti akan lari terbirit-birit sehingga membuat Adipati Jipang kaget dan marah. Kalau dia marah pasti akan langsung keluar tanpa menunggu pasukan siap. Watak Adipati Jipang sangat pemberani, kita manfaatkan itu.”

Malam itu seluruh keluarga Ki Pamanahan dari Sela dikumpulkan. Ada sejumlah dua ratus yang datang. Malam itu mereka tak tidur untuk mematangkan rencana. Paginya Ki Pamanahan bersama Ki Juru dan Ki Panjawi keluar menuju tempat mencari rumput. Ada seorang tukang kuda dari Jipang yang biasa mencarikan rumput untuk kuda Arya Jipang yang bernama Gagakrimang. Si tukang rumput lalu dikepung.

Berkata Ki Pamanahan, “Kamu orang dari mana?”

Si tukang rumput menjawab, “Saya pembantu Adipati Jipang, tukang kuda yang mengurus kuda Gagakrimang.”

Ki Panjawi segera menubruk orang itu dan mengikatnya sampai tak bisa polah lagi.

Ki Pamanahan tersenyum sambil berkata, “Ki Lurah, aku akan mengiris kupingmu sedikit.”

Si tukang rumput berkata, “Jangan kuping yang engkau minta. Mintalah rumput ini akan aku beri. Kalau kuping yang diminta akan aku cegah. Kuping ini warisan leluhur mengapa hendak engkau minta.”

Ki Pamanahan berkata, “Baiklah kalau tidak boleh diminta, akan aku beli. Berapa harganya?”

Si tukang rumput menjawab, “Walau akan engkau beli, aku tak ingin.”

Ki Pamanahan berkata lagi, “Mana yang kau pilih, aku tikam kau atau aku potong kupingmu?”

Si tukang rumput gelisah, “Ya sudah potong saja sedikit.”

Si tukang rumput dipegang dan dipotong telinganya. Ki Juru segera menyiapkan surat dan dikalungkan ke leher si tukang rumput. Ki Pamanahan lalu memberikan uang sejumlah lima belas. Tukang rumput segera disuruh menghaturkan surat kepada tuannya, Adipati Jipang. Si tukang rumput lari terbirit-birit sambil menahan sakit. Tampak tubuhnya mandi darah yang terus mengucur dari telinganya.

Sementara itu di tempat Arya Jipang, saat itu Arya Jipang hendak bersantap siang. Tiba-tiba di luar si tukang rumput lari menerobos barisan mantri yang menghadap Ki Adipati. Semua kaget melihat si tukang rumput mandi darah dan mengaduh kesakitan. Di lehernya tampak ada surat menggantung. Ki Patih Mataun yang berada di dekat sang adipati bertanya kepada para punggawa apa yang terjadi di luar itu. Yang ditanya melaporkan bahwa tukang rumput sang adipati pulang dalam keadaan kuping terpotong. Si tukang rumput lalu disuruh maju ke depan.

Adipati Jipang yang sedang akan bersantap mendengar keributan di luar. Patih Mataun diperintahkan untuk membawa tukang rumput yang membuat keributan. Patih Mataun menyarankan agar sang adipati melanjutkan bersantap dulu. Adipati Jipang tak sabar ingin segera mengetahui apa yang terjadi. Namun Patih Mataun tak beranjak. Tiba-tiba si tukang rumput menerobos masuk dan melapor dalam keadaan berlumuran darah. Adipati Jipang kaget.

“Bapak Mataun, itu orang kenapa kok mandi darah?” tanya Arya Jipang.

Patih Mataun menjawab, “Si tukang rumput ini dipotong telinganya dan dibawakan surat untuk paduka.”

Adipati Jipang mengambil surat itu dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih mengepal nasi. Surat segera dibaca. Isinya berupa surat tantangan. Isi suratnya: “Surat inti peringatan untuk Arya Jipang. Kalau engkau sungguh prajurit, kalau engkau sungguh seorang lelaki, ayo majulah aku tunggu di Bengawan Sore. Engkau menyeberanglah bertarung satu lawan satu dengan Adipati Pajang. Jangan mengandalkan pasukanmu yang banyak. Aku lawan engkau satu-satu.”

Ki Adipati sangat marah setelah membaca surat itu. Tangannya memukul piring sampai pecah menjadi dua. Sang Adipati segera menyuruh tukang kuda mengambil kuda Gagakrimang. Setelah bersiap memacu kudanya dan menenteng tombak. Sebuah tombak dhapur Biring Lanang yang bernama Kyai Dhandhangmungsuh. Ki Mataun berusaha mencegah, agar para prajurit punya waktu untuk bersiap. Namun Ki Adipati sudah telanjur melesat bersama Gagakrimang.

Adipati Jipang mempunyai adik lain ibu yang bernama Arya Mataram. Ki Arya Mataram segera menyusul sambil terus berusaha meredakan amarah sang adipati.

“Kanda, berhentilah dulu. Paduka tunggu pasukan bersiap!” teriak Arya Mataram dari atas kudanya.

Arya Jipang tak peduli, “Minggirlah kamu. Aku tidak takut.”

Arya Jipang semakin marah ketika sang adik terus membuntuti. Berkata Arya Jipang, “Engkau ini saudara lain ibu. Aku tidak mengajakmu!”

Ki Arya Mataram pun menyerah, “Baiklah Kanda, kalau tidak mau saya nasihati. Pasti akan bertaruh nyawa.”

Ki Mataun yang sudah berusia lanjut juga berusaha menyusul, tetapi napasnya tak mampu lagi mengimbangi sepak terjang Arya Jipang yang memacu kudanya layaknya peluru melesat ke arah Bengawan Sore. Apalagi selain sudah sepuh Ki Mataun juga mempunyai sakit asma.

Sementara itu Ki Pamanahan bersaudara harap-harap cemas menanti kedatangan Arya Jipang. Ketiga saudara dari Sela ditambah Ngabei Loring Pasar menata pasukan keluarga di pinggir sungai. Sementara pasukan Pajang bersiap agak di belakang. Karena cepatnya si Arya Jipang memacu kuda, dia sampai di tepi sungai sendirian. Pasukannya yang menyusul masih jauh di belakang. Adipati Jipang terhenti di sebelah timur sungai. Di sebelah barat sudah berjajar pasukan dari keluarga Ki Pamanahan. Ada larangan yang sudah masyhur sejak dulu, barangsiapa menyeberang sungai Bengawan Sore pasti kalah. Arya Jipang sedikit ragu. Pasukan dari Sela terus bersorak memanas-manasi Arya Jipang agar menyeberang sungai.

Dari seberang sungai Arya Jipang berteriak, “Hai, siapa yang membuat surat tantangan. Ayo segera maju biar aku hadapi. Ayo menyeberanglah bertarung satu lawan satu denganku.”

Orang-orang Sela membalas, “Tuanku Adipati Pajang yang membuat surat. Kalau kamu berani menyeberanglah. Jangan hanya berhenti di tepi sungai. Kalau kamu berani menyeberang jangankan Tuanku Adipati, aku sendiri pun berani melawanmu.”

Adipati Jipang bangkit amarahnya. Kudanya segera dicambuk keras. Adipati Jipang melompat ke sungai bersama kuda Gagakrimang. Si Gagakrimang pandai berenang, sebentar segera sampai di tepi barat. Ki Pamanahan waspada. Bersiap bersama Ki Panjawi, Ki Juru dan sang putra Ngabei Loring Pasar. Ketika Arya Jipang hampir mendarat tombak dan lembing menghujaninya. Arya Jipang mencambuk kudanya. Gagakrimang melompat seperti kilat dan mendarat di tengah barisan pasukan Sela. Banyak prajurit Sela yang terluka diterjang Gagakrimang. Senjata tombak tak mempan di tubuh Arya Jipang. Bahkan para prajurit Sela tak dianggap olehnya. Matanya berputar mencari Adipati Pajang.

“Dimana si Pajang ini?” teriak Arya Jipang. “Mengapa sekarang ngumpet. Katanya sanggup melawanku perang tanding satu-satu. Mengapa sekarang lari dari perang. Kalau ketemu pasti mati.”

Pasukan Sela terus menahan laju Arya Jipang dengan tombak dari depan samping dan belakang. Arya Jipang terus merangsek. Banyak prajurit Sela tewas diterjang amukan Arya Jipang. Tak lama kemudian pasukan Sela bubar berlarian. Prajurit Pajang yang mendukung di belakang segera maju. Ki Adipati Jipang semakin bersemangat. Amukannya semakin menjadi, seperti banteng yang terluka. Namun seberapa kuat satu orang dapat bertahan kalau dikeroyok ribuan prajurit. Pada satu kesempatan Arya Jipang berhasil dilukai lambungnya dengan tombak. Sebuah luka menganga di perutnya. Ususnya sampai terburai keluar. Oleh Adipati Jipang usus itu disampirkan ke gagang keris. Meski sudah terluka amukan Arya Jipang tidak kendur.

Ki Pamanahan dan Ki Panjawi yang melihat banyak prajuritnya tewas bersiap turun menghadang Arya Jipang. Ngabei Loring Pasar pun tak sampai hati melihat saudaranya dari Sela bergelimpangan. Terbawa oleh jiwa muda yang mendidih Ngabei Loring Pasar segera menerjang. Tombak Kyai Palered pemberian sang ayah dia tenteng menuju ke tempat Arya Jipang. Ki Pamanahan, Ki Panjawi dan Ki Juru segera menyusul. Ki Juru naik kuda betina.

Arya Jipang yang dihadang empat orang berseru, “Siapa kamu? Kamu bukan musuh saya. Di mana Adipati Pajang? Suruh dia ke sini. Aku sudah terluka, mengapa dia masih tidak berani keluar?”

Ngabei Loring Pasar panas hatinya mendengar perkataan Arya Jipang. Segera dia bersiap melawan. Ki Juru awas melihat. Kuda Ngabei masih belo dan belum terlatih. Segera Ki Juru melepas kuda betina yang ia tunggangi. Kuda Gagakrimang yang dinaiki Arya Jipang ketika melihat ada kuda betina menjadi girang. Polahnya berjingkrak ke kiri-kanan sukar dikendalikan.

Ngabei Loring Pasar yang naik kuda belo bermaksud menerjang, tapi si kuda ketakutan. Ngabei lalu turun dari kuda sambil menjatuhkan larangan: “Kelak anak cucuku kalau perang jangan memakai kuda belo. Pasti akan merepotkan.”

Ngabei Loring Pasar lalu menghadapi Arya Jipang dari darat. Karena Gagakrimang selalu polah akibat melihat kuda betina Arya Jipang menjadi terlena. Dalam satu kesempatan Ngabei Loring Pasar dapat membidik dengan tombak Kyai Paleret. Dengan sekuat tenaga Ngabei menusuk dada Arya Jipang, tembus sampai ke punggung. Arya Jipang terjatuh dan tewas seketika. Raden Ngabei Loring Pasar lalu mencabut tombaknya dari tubuh Arya Jipang. Tampak olehnya pucuk tombak patah sebesar beras. Raden Ngabei menyesal tak terkira.

Tak berapa lama datang Patih Tumenggung Arya Mataun. Ki Patih bermaksud bela mati kepada tuannya. Tak berapa lama Ki Mataun pun tewas. Kepalanya dipenggal dan dipanjar di pinggir sungai. Pasukan Jipang yang menyertai Mataun habis dibantai. Peristiwa tewasnya Arya Jipang ini ditandai dengan sengkalan: iku sapta her nabi[1].

Sementara itu di seberang timur sungai pasukan besar Jipang telah sampai. Melihat ada pasukan besar datang Ngabei Loring Pasar melambaikan tangan dan berteriak:

“Wahai pasukan Jipang. Lihat tuanmu telah tewas. Apa lagi yang akan kalian bela. Tuanmu dan patihnya telah tewas. Kalau kalian hendak merebutnya, silakan maju ke sini. Ingatlah, kalian ini orang kecil. Jangan ikut-ikutan mati. Kalau si patih berbela mati itu wajar karena dia ikut menikmati hidup mulia. Sebaliknya kalian, apa yang kalian dapat?”

Para prajurit Jipang tertunduk. Mereka sepakat untuk menyudahi perang. Tuan mereka pun telah tewas. Tiada guna melanjutkan perang. Para prajurit Jipang kemudian menyeberang sungai untuk menyerahkan senjata sebagai tanda menyerah. Perang hari itu sudah selesai, para prajurit kembali ke pemondokan.

Malam harinya Ki Pamanahan, Ki Juru dan Ki Panjawi berembug tentang siapa yang akan ditetapkan sebagai pembunuh Arya Jipang. Karena yang berhasil membunuh adalah Ngabei Loring Pasar, anak angkat dari sang adipati sendiri.

Ki Juru berkata, “Bagaimana menurut kalian, Kyai Pamanahan dan Ki Panjawi?”

Ki Pamanahan dan Ki Panjawi menjawab, “Kami menurut saranmu?”

Ki Juru berkata pelan, “Kalau dilaporkan seperti kejadian yang sesungguhnya bahwa yang membunuh Arya Jipang adalah Mas Ngabei, maka pasti hadiahnya hanya sedikit karena Mas Ngabei sudah diangkat anak oleh Kangjeng Adipati. Paling kita hanya akan menerima pakaian dan uang. Kalau saran saya sebaiknya kalian berdua yang mengaku telah membunuh Arya Jipang. Pasti hadiahnya negeri.”

Ki Pamanahan berkata, “Benar katamu ipar. Itu sudah menjadi janji, pasti bisa kita tagih nanti.”

Ki Pamanahan berkata kepada Ki Panjawi, “Kalau demikian kita akui kalau yang membunuh kita berdua.”

Semua sudah sepakat, termasuk Ngabei Loring Pasar. Pagi harinya mereka melaporkan kemenangan kepada Adipati Pajang. Semua jarahan senjata dan para tawanan yang menyerah dibawa serta. Juga dilaporkan bahwa yang berhasil membunuh Arya Jipang adalah dua lurah tamtama bernama Ki Pamanahan dan Ki Panjawi. Dalam kesempatan itu Ki Pamanahan juga menghaturkan senjata Arya Jipang yang berupa dua keris.

Adipati Pajang berkata, “Di mana para tawanan dari Jipang?”

Ki Pamanahan berkata, “Yang diikat itu senjata mereka. Adapun orangnya berada di belakang sana.”

Adipati Pajang berkata, “Kanda, panggilah tetua dari mereka. Aku hendak bertanya-tanya.”

Dua mantri dari Jipang yang sudah sepuh segera dipanggil maju ke depan.

Adipati Pajang bertanya, “Dahulu Arya Jipang punya saudara lain ibu. Sekarang berada di mana?”

Si mantri menjawab, “Ketika sang adipati berangkat perang kemarin, sang adik dimaki-maki sampai sakit hati. Kemudian dia pergi tanpa pamit. Sekarang tidak diketahui keberadaannya.”

Adipati Pajang berkata kepada Ki Pamanahan, “Kanda, engkau aku tanya bagaimana engkau membagi hadiah antara kalian berdua. Antara Pathi dan Mataram, mana yang akan mendapat bagian masing-masing. Kanda Pamanahan yang tua aku persilakan membaginya.”

Ki Pamanahan berkata, “Karena saya lebih tua, saya mengalah. Dinda Panjawi biarlah mendapat negeri Pathi yang sudah makmur. Saya memilih membuka negeri di desa Mataram saja.”

Adipati Pajang berkata, “Baik Kanda Pamanahan. Saya sekedar melaksanakan keputusanmu. Supaya tidak mengulang pekerjaan, sekalian saja saya serahkan negeri Pathi kepada Kanda Panjawi. Mulai besok Kanda Panjawi pulanglah ke Pathi. Sedang untuk Kanda Pamanahan, akan aku serahkan besok kalau kita sudah pulang ke Pajang. Dan lagi perintahku kepada Kanda Pamanahan, jangan dulu pulang bersama pasukan. Pergilah ke tempat Kanda Ratu Kalinyamat. Beritahukan bahwa Arya Jipang telah tewas, engkau sendiri yang membunuhnya. Agar hati Kanda Kalinyamat merasa tenang. Kalau Kanda sudah selesai, jangan ditunda-tunda segeralah pulang ke Pajang. Aku akan serahkan tanah Mataram kepadamu. Sekarang aku hendak pulang duluan.”

Adipati Pajang segera mengumumkan keberangkatan kepada seluruh pasukan. Ki Pamanahan tetap tinggal untuk melaksanakan tugas menemui Ratu Kalinyamat. Adapun Ki Panjawi juga segera berangkat ke negeri Pathi.

Singkat cerita Ki Panjawi sudah memerintah negeri Pathi dengan luas sepuluh ribu karya. Ki Panjawi lalu bergelar Ki Ageng Pathi. Di Pathi Ki Panjawi telah hidup mulia berkecukupan.

Sementara itu Ki Pamanahan sudah naik ke gunung Danaraja. Ki Juru selalu ikut serta, tak pernah berpisah darinya. Setelah menghadap Ratu Kalinyamat Ki Pamanahan melaporkan kematian Arya Jipang.

Berkata Ki Pamanahan, “Hamba diutus adik paduka Adipati Pajang untuk memberi tahu bahwa Arya Jipang telah tewas. Saya sendiri yang membunuhnya. Patih Mataun yang berbela mati telah tewas pula. Kepala Patih Mataun dipenggal dan dipanjar di tepi sungai. Semua prajurit Jipang sudah menyerah kepada Pajang.”

Ratu Kalinyamat kaget sekaligus gembira mendengar berita yang tidak dia duga.

Berkata Ratu Kalinyamat, “Duh adikku, syukur kalau si Jipang sudah tewas dan engkau sendiri yang membunuhnya. Adikku hanya engkau yang bisa melepas sumpahku dan menghilangkan kesedihanku. Sepantasnya aku berlindung kepadamu sekarang. Sekarang aku serahkan Kalinyamat dan Prawata kepadamu. Aku tak lagi berwenang memiliki.”

Ki Pamanahan menyembah, “Terimakasih Kanda, atas semua pemberian ini. Namun saya sudah mendapat hadiah dari Kangjeng Adipati Pajang berupa tanah Mataram. Juga adik saya Panjawi sudah mendapat hadiah negeri Pathi.”

Ratu Kalinyamat berkata, “Itu malah lebih baik. Kalau begitu harta benda dari Kalinyamat ini bawalah ke Mataram untuk bekal engkau membuka negeri. Semua peninggalan kakakmu pangeran bawalah semuanya.”

Ki Pamanahan berkata, “Sangat berterimakasih Kanda. Kalau boleh pusaka saja yang saya minta.”

Ratu Kalinyamat berkata, “Dinda jangan khawatir. Itu semua termasuk dalam barang yang aku janjikan kepada siapa yang dapat membunuh Si Jipang. Ini ada permata menjangan merah dan ada intan bernama Si Uluk. Dua pusaka ini terimalah.”

Dua benda pusaka sudah diterima oleh Ki Pamanahan.

Ratu Kalinyamat berkata lagi, “Pesanku, jangan mengatakan apapun tentang dua pusaka ini. Kalau tersebar ke banyak orang dapat menimbulkan fitnah. Ingatlah itu. Dan juga semua peninggalan Kanda Pangeran yang berupa wanita, semua terimalah. Karena itu semua milik Kanda Prawata dan Kanda Kalinyamat, yang berupa para selir dan wanita simpanan. Kalau yang seperti itu aku tak berwenang memiliki. Semua bawalah saja. Sedangkan untuk saya tinggalkan para pelayan yang sudah tua-tua untuk melayaniku saja.”

Semua harta dari Kalinyamat dan para wanita sudah dikeluarkan. Ki Pamanahan menerimanya dan membawanya serta. Ki Pamanahan menyembah dan minta pamit. Ratu Kalinyamat menitipkan rasa terima kasih kepada sang adik Adipati Pajang yang telah berkenan menuruti permintaannya membunuh Adipati Jipang.

Ki Pamanahan dan Ki Panjawi kemudian pulang kembali ke Pajang. Di jalan mereka mampir ke desa Sela untuk mengabarkan kepada para sanak saudaranya bahwa dirinya kini akan menempati tanah Mataram. Kepada sanak saudara di Sela yang ingin memiliki tanah baru, dipersilakan ikut serta. Dari keluarga di Sela Ki Pamanahan mendapat seratus lima puluh orang. Mereka semua akan membantu Ki Pamanahan membuka tanah Mataram. Mereka kemudian menyertai Ki Pamanahan pulang ke Pajang.

Sesampai di Pajang Ki Pamanahan segera melaporkan tugas yang dia emban. Semua harta benda dari Kalinyamat serta para wanita semua dibawa menghadap.

Berkata Ki Pamanahan, “Sudah saya laksanakan tugas yang paduka berikan. Kangjeng Ratu menghaturkan banyak terima kasih kepada paduka. Bersama saya disertakan dua pusaka berupa permata menjangan merah dan intan Si Uluk, sejumlah harta benda dan para wanita muda milik mendiang Sunan Prawata dan Pangeran Kalinyamat. Semua saya haturkan kepada paduka karena saya sekedar utusan. Adapun para wanita yang telah tua diminta kakak paduka Ratu Kalinyamat untuk tinggal melayani beliau.”

Adipati Pajang berkata, “Baiklah aku terima. Engkau sungguh amanah dan dapat dipercaya. Namun aku sudah mendapat banyak. Selain tanah Prawata, Kalinyamat juga tanah Jipang, sudah menjadi milikku. Maka semua harta tadi engkau ambil saja. Aku tak ingin mengambilnya sedikit pun. Adapun para wanita muda, aku ingin melihat dulu. Barangkali ada yang aku suka, biarlah tinggal di sini.”

Para wanita dari Kalinyamat kemudian dipanggil menghadap satu persatu. Semua sudah diperiksa tetapi tak ada satupun yang disukai sang adipati. Hanya ada seorang gadis di bawah umur yang menarik hati. Maka satu itu yang diminta. Namun karena masih di bawah umur sementara dititipkan dulu kepada Ki Pamanahan. Kelak kalau sudah cukup dewasa diminta segera diantar ke puri kadipaten. Ki Pamanahan menyembah, siap melaksanakan perintah.

Berkata Adipati Pajang, “Sekarang pulanglah dulu. Perkara tanah Mataram kita bicarakan nanti. Tak urung pasti engkau terima.”

Ki Pamanahan segera keluar dari balai pisowanan dan kembali ke rumahnya.

Hari berganti hari Ki Pamanahan menunggu perintah perihal tanah Mataram. Namun Sang Adipati tak kunjung membicarakan. Yang disebut tanah Mataram adalah sebuah desa kecil yang hampir wilayahnya masih berupa hutan. Jadi penduduk desa Mataram masih sangat sedikit dan belum bisa disebut sebuah negeri. Tentu seharusnya tidak ada keberatan Adipati Pajang melepasnya dibanding negeri Pathi, tapi mengapa hingga kini belum kunjung diberikan. Ki Pamanahan sangat menunggu-nunggu hingga gelisah.

Ki Juru menasihati Ki Pamanahan agar bersabar. Mustahil tanah Mataram tidak diberikan. Mana ada raja yang ingkar janji. Mungkin memang belum saatnya, jangan sampai menimbulkan syak wasangka. Demikian kata Ki Juru. Namun hati Ki Pamanahan kian hari kian bersedih. Ki Pamanahan lalu berpindah ke dukuh Banglampir. Sudah lama Ki Pamanahan tak menghadap kepada Adipati Pajang. Setiap hari hanya beribadah dan melakukan amalan prihatin.


[1] 1471 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/26/babad-tanah-jawi-27-arya-jipang-tewas-karena-siasat-ki-pamanahan-dan-ki-panjawi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...